Dokter Hanz tiba di rumah Charlie, disambut oleh Vivian yang tampak panik. "Dokter, tolong periksa Charlie. Dia demam tinggi, tak bisa bangun dari tempat tidur," ucap Vivian dengan wajah pucat. Dokter Hanz segera menuju kamar Charlie dan mulai memeriksa kondisinya. Keringat mengucur deras dari dahi Charlie, wajahnya merah dan tubuhnya terasa panas membakar. "Charlie demam tinggi, penyakitnya kambuh lagi. Seharusnya dia banyak istirahat. Tapi, masih saja bekerja keras," ucap Dokter Hanz yang khawatir. "Tindakan apa yang harus kita lakukan?" tanya Vivian sangat cemas, menatap wajah dokter Hanz yang serius. "Aku akan memberi obat untuk menurunkan demamnya, serta mengambil sampel darah untuk diperiksa. Besok aku akan mengirim hasilnya setelah keluar," jawab Dokter Hanz sambil mengambil jarum suntik dan tabung kecil untuk mengambil sampel darah Charlie. Vivian setia menemani suaminya walau dirinya merasa takut melihat suaminya dalam kondisi seperti itu. Setelah selesai mengambil sampe
Celine yang berada di rumah mewahnya sedang duduk di ruangan pribadinya. Ia telah mendengar pembicaraan pasangan suami istri itu."Kalian melarikan anakku, Di mana anakku sekarang?" gumam Celine dengan wajah datar dan berharap segera mendapatkan informasi dari mereka.Di sisi lain, Stone yang mengemudi menuju ke rumah sakit tempat Mike Anderson dirawat, tanpa dia sadari seseorang yang mengikutinya dari belakang. Pria yang membawa mobil berwarna hitam berparkir di tempat parkiran depan rumah sakit adalah Andrew utusan Charlie."Siapa yang masuk rumah sakit? Kenapa dia bisa ke sini?" gumam Andrew yang berada di dalam mobil.Stone melangkah gontai menuju ruangan kantor dokter yang menangani Mike Anderson. Wajahnya tampak serius dan garang. Ia mengetuk pintu kantor itu sebelum memasuki ruangan tersebut. Di dalam, dokter yang menangani Mike duduk di belakang meja dengan laptop terbuka di depannya. "Kondisi pasien sangat lemah, belum pasti apakah pasien akan sadar atau tidak. Penyakitnya s
"Siap, Tuan. Segera saya lakukan!" jawab Andrew dengan patuh.Tidak lama kemudian Andrew meninggalkan kediaman atasannya.Vivian mengambil obat yang telah diresepkan dokter dari lemari obat, kemudian meletakannya di telapak tangan Charlie, suaminya yang sedang sakit. "Minum obatnya dulu, Kamu harus rutin ikut saran dokter. Selain itu, kamu harus sering periksa suhu badan. Aku akan membantumu," ujar Vivian dengan lembut dan penuh perhatian. Charlie tersentuh dengan perhatian istrinya yang tak pernah lelah merawatnya sejak ia jatuh sakit. Ia tersenyum lemah sambil menatap mata Vivian yang penuh kasih sayang, lalu menelan obat tersebut bersama dengan air putih yang disodorkan Vivian. "Beberapa hari ini jangan ke markas dulu, Kamu harus jaga kesehatanmu," kata Vivian seraya mengambil termometer dari meja kerja suaminya. Dengan hati-hati, ia memasukkan termometer ke bawah ketiak Charlie untuk memeriksa suhu badannya. "Maaf, karena telah membuatmu khawatir! Aku berjanji akan istirahat da
Elena hanya bisa menunduk, bibirnya bergetar karena ketakutan. Ia tahu betul bagaimana Edward yang keras dan tak pernah memberi ampun pada pengkhianatan. Pada saat seperti ini, ucapannya terasa berat dan sukar untuk keluar dari mulutnya. "Tolong jangan melakukan itu, Saya yang berhutang padanya dan saya yang akan membayarnya sendiri," ucap Elena dengan suara lirih penuh ketakutan. Edward menatap tajam wanita di hadapannya, matanya menyala penuh amarah. "Sebagai asisten kediaman Jenderal berhutang dengan orang luar, sungguh memalukan sekali. Apakah upah yang diberikan tidak cukup sehingga harus berhutang?" tanya Edward dengan nada sinis.Elena merasa tertekan, tangannya gemetar tak mampu menyembunyikan rasa takut yang menguasai dirinya. Namun, ia tetap berusaha untuk menjawab pertanyaan Edward dengan seadanya, berharap agar rencananya yang tersembunyi tetap aman dari kecurigaan Edward."Hutang lama, Sebelum saya bekerja di kediaman. Demi operasi orang tua saya," jawab Elena dengan al
"Apakah kamu yakin, Kekuasaan tidak akan mengalahkan hukum?" tanya Vivian."Vivian, apakah kamu takut dia terlepas dan Micheal tidak akan sanggup menahannya?" tanya Charlie.Vivian menghela napas dan sedikit cemas, ia kemudian duduk di sofa. Begitu juga Charlie yang ikut duduk di samping istrinya.Charlie memegang tangan istrinya,"Katakan apa yang kamu pikirkan!" Vivian menoleh ke arah suaminya dan berkata," Kalau kamu menangkap pelakunya, Kamu siap berhadapan dengan ayahmu?" tanya Vivian khawatir."Aku tidak takut kalau sampai terjadi, Jangan cemaskan hal ini! Cukup percaya saja padaku!" jawab Charlie dengan yakin.Vivian mengangguk walau dirinya khawatir dengan suaminya. Kediaman Perdana Menteri.Meliza duduk di samping suaminya, Ronald, yang tengah sibuk dengan laptopnya di ruangan kerja. Ia menyeduh minuman hangat untuk suaminya yang tampak letih setelah seharian bekerja sebagai Perdana Menteri. Suasana di kediaman resmi Perdana Menteri ini terasa hening dan tenang. "Meliza, ta
Ronald terkejut melihat ekspresi serius yang terpancar dari wajah putranya, Charlie. Matanya terbelalak saat mendengar ancaman yang keluar dari mulut putranya. "Apakah kamu sadar apa yang kamu katakan?" ucap Ronald dengan suara gemetar. "Sadar! Aku bahkan masih ingat bagaimana istriku kesakitan dan menderita. Anak kami harus meninggal begitu saja. Pak Perdana Menteri, apakah Anda masih ingin meloloskan tersangka?" tanya Charlie dengan tatapan tajam yang menusuk jantung Ronald. "Charlie, dengan mengunakan Jaksa dan prajuritmu datang ke kediamanku?" tanya Ronald sambil menahan emosi. Napasnya terasa sesak, ia merasa tertantang oleh sikap nekad putranya. Garis kening Ronald semakin dalam, mencerminkan konflik batin yang sedang dihadapi. Sementara itu, Charlie terlihat tegar dan tidak bergeming, percaya bahwa apa yang dilakukannya adalah keputusan yang benar. Dalam situasi yang memanas ini, siapa yang akan mengalah? Siapa yang benar dan siapa yang salah? Hanya waktu yang akan menjawab
Meliza mengigit bibirnya cemas, berusaha menutupi kesalahan yang dia lakukan."Aku ingin pengacara, Aku tidak ingin bicara denganmu!" pinta Meliza.Micheal tertawa sinis dan bangkit dari tempat duduknya."Kenapa tertawa? Aku tidak bercanda," kata Meliza dengan serius. Ia ketakutan dan berusaha menyembunyikan apa yang dia rasakan.Micheal menghampiri wanita itu dan berkata," Pernyelidikan ini secara rahasia, Karena melindungi reputasi Pak Perdana Menteri. Andaikan tersebar luas...Apa yang akan terjadi. Kamu masih berharap Pak Perdana Menteri akan mencarikan pengacara untukmu," kata Micheal.Meliza menatap mata Micheal dengan keyakinan, "Ronald akan menolongku, Dia tidak akan membiarkan aku di penjara atas tuduhan yang tidak pernah aku lakukan," ujarnya mantap. Micheal tersenyum sinis, "Kita lihat saja nanti, Apakah Pak Perdana Menteri akan muncul menyelamatkanmu atau tidak," jawabnya sambil mengejek. Tangannya terlipat di dada, menunjukkan sikap angkuh. Sementara itu, Hendy yang men
Hendy memandang ayahnya yang berdiri di hadapannya," Pa, apakah mama benar-benar membunuh anak dalam kandungan kakak?" tanya Hendy yang hampir tidak percaya.Ronald menghela napas," Benar! Mamamu telah membunuh anak Charlie. Oleh karena itu mama mu harus dihukum sesuai undang-undang negara," jawab Ronald."Berapa lama hukumannya?" tanya Hendy dengan suara lesu."Walau masih bayi, Akan tetap kesalahannya tidak bisa dimaafkan atau diberi keringanan oleh pihak hakim. Lebih kurang harus sepuluh tahun. Apa lagi kalau pihak Jaksa yang memutuskan hukuman itu karena pengaruh kakakmu yang seorang jenderal...bisa saja mamamu tidak akan bisa keluar seumur hidupnya," jawab Ronald.Hendy semakin hancur setelah mendengar jawaban dari ayahnya itu, Rasa tidak percaya begitu tega sang ibunya membunuh bayi yang belum dilahirkan.Hendy berusaha bangkit dan berdiri di hadapan ayahnya," Pa, Apa bisa aku memohon pada kakak, agar meringankan hukuman mama?" tanya Hendy yang berharap.Ronald menepuk bahu putr