"Apakah sudah pernah bertemu dengan pria itu? Siapa dia?" tanya Bryan dengan penasaran. "Aku tidak mengenalnya, cincin berlian darinya ku temukan di kamar Vivian. Kemudian Vivian telah memberitahuku semuanya," jawab Celine dengan lembut. Mata Bryan berkaca-kaca, perasaannya bercampur antara sedih dan ragu, "Mungkin dia telah menemukan jodoh yang baik," ucap Bryan dengan suara serak. "Bryan, kamu menceraikan Vivian karena penyakitmu. Sudah saatnya kamu menemuinya. Agar dia tahu semuanya hanya kesalahpahaman," ujar Celine, mencoba menyemangati Bryan. Bryan tersenyum pahit, merasakan kelemahan tubuhnya semakin menggerogoti harapannya. "Kondisiku sekarang masih belum bisa pergi jauh," jawab Bryan sambil menatap ke luar jendela." Jika pria itu telah berhasil memasuki pintu hatinya. Maka, biarkanlah dia ikut pria itu." "Apakah kamu benar-benar ingin melepaskan Vivian atau perasaanmu terhadapnya telah berubah?" tanya Celine dengan suara lembut. "Sampai kapan pun, perasaanku tidak akan
Billy berjalan menghampiri Vivian dengan senyum ramah," Apakah kamu masih menolak berteman denganku? Aku tahu kamu masih belum bisa menerimaku. Tapi, aku tidak memaksamu harus segera membuat keputusan. Aku akan menunggu dengan sabar," ujarnya."Aku butuh waktu," jawab Vivian dengan ragu." Aku tidak ingin terburu-buru dalam sebuah hubungan," lanjut Vivian.Billy mengulurkan tangannya, menawarkan jabat tangan kepada Vivian yang tampak ragu-ragu. "Aku mengerti, kalau begitu kita bisa berteman dulu!" ujarnya dengan senyum tulus. Vivian menarik nafas dalam-dalam, kemudian menerima tawaran bersalaman itu. "Terima kasih, karena sudi berteman denganku. Aku akan menjadi teman baikmu," balas Billy, semakin melebarkan senyumnya. "Sama-sama!" sahut Vivian, kemudian melirik jam tangannya. "Aku ingin pergi dulu, sudah waktunya masuk kerja!" ujarnya bergegas. Billy tersenyum simpul, lalu berkata, "Aku sudah meminta cuti untukmu, hari ini aku ingin pergi ke suatu tempat. Apakah kamu sudi menemani
"Billy Maxwel mengenali nyonya, Apakah karena sebelumnya dia tinggal di hotel? Bukankah nyonya bekerja di sana?" tanya Edward.Bryan semakin murung, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Tangannya mengepal erat, seolah mencoba menahan amarah yang memuncak. "Pastikan apa niatnya mendekati Vivian! Apakah hanya karena kebetulan atau ada niat lain!" perintah Bryan dengan nada tegas. "Siap, Jenderal!" jawab Edward dengan hormat, lalu segera berlalu untuk melaksanakan perintah Bryan. Sementara itu, pikiran Bryan terus melayang pada Vivian, wanita yang selama ini ia cintai. "Vivian, sejauh apa hubunganmu dengan dia? Kenapa harus dia? Billy Maxwel, kalau kamu berniat jahat padanya, aku akan mengambil nyawamu," batin Bryan dengan penuh kebencian. Dalam hatinya, Bryan merasa cemas dan tidak tenang. "Aku harus segera sembuh, agar bisa ke Jerman. Melindunginya dari jarak jauh," gumam Bryan, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Di sisi lain, Billy yang baru saja meninggalkan r
Vivian merasa binggung ketika Billy memeluknya erat, Napasnya terasa pendek dan hatinya berdebar kencang. Mereka berdua segera menuju rumah sakit terdekat untuk segera mendapatkan pertolongan. Sesampainya di rumah sakit, seorang dokter dengan sigap menangani Billy Maxwel. Operasi kecil untuk mengeluarkan peluru yang menancap di pundak Billy serta membalut luka di lengannya dilakukan dengan cekatan. Sementara itu, Jhones dan Vivian menunggu dengan cemas di luar ruangan. Tak lama kemudian, Jhones menghampiri Vivian yang tampak gelisah. "Nona, Maaf atas kejadian tadi yang telah menakutimu," ucap Jhones dengan raut wajah menyesal. Vivian menggelengkan kepalanya, berusaha tersenyum. "Aku tidak apa-apa, Tapi, apakah Tuan Maxwel sering mengalami serangan seperti ini?" tanyanya, yang khawatirmJhones menghela napas, kemudian menjawab, "Tidak, Nona. Ini adalah serangan pertama yang menimpa Tuan Maxwel. Kami tidak tahu siapa yang berani melakukan hal ini." Vivian terdiam dan terbayang keja
Emily berjalan sambil tersenyum, di tangannya terlihat membawa sesuatu yang dia beli. Ia kemudian menuju ke salah satu kamar pasien. Klek!" suara buka pintu yang dilakukan oleh Emily dan melangkah masuk ke dalam.Ia melihat Bryan sedang berlatih berjalan di dalam kamar itu. Secara beransur kakinya semakin membaik."Bryan," seru Emily dengan senyum manis di wajahnya.Bryan sambil melangkah dengan santai tanpa menoleh ke arah wanita itu.Emily tersenyum dan meletakan barang yang dia bawa ke atas meja."Aku siapkan makanan untukmu, Makanan yang lezat untuk pasienku," ujar Emily sambil mengeluarkan bekal itu."Aku sudah makan, Andrew telah mengantar makanan untukku tadi," jawab Bryan."Aku akan keluar dari rumah sakit secepatnya," ujar Bryan dengan nada tegas. Emily, langsung menoleh dengan kening berkerut. "Kenapa cepat sekali? Kondisimu belum pulih sepenuhnya?" tanya Emily dengan nada khawatir. "Aku sudah lama meninggalkan markas. Sudah saatnya aku kembali ke sana. Ada urusan penting y
Billy yang sedang menunggu jawaban Vivian, Ia meneguk minuman yang di dalam gelasnya. Pria itu hanya santai dan tersenyum. Ia berharap bisa mendapatkan perhatian wanita itu."Baiklah, aku akan menyiapkan bahannya dulu. Setelah selesai aku akan mengantar ke rumahmu," jawab Vivian di seberang sana dengan suara lembut. Billy tersenyum mendengar jawaban Vivian, merasa bersemangat dan berdebar-debar. "Aku akan meminta Jhones menjemputmu, Aku akan menunggumu di sini," kata Billy sambil tersenyum lebar, merasa senang hati karena rencana yang dia buat semakin mendekati kenyataan. Setelah mengucapkan selamat tinggal, mereka memutuskan panggilan tersebut. "Vivian, apakah aku sudah berhasil mendapatkan hatimu?" gumam Billy dalam hati, berharap bahwa semua usahanya akan membuahkan hasil. Dia merasa semakin yakin bahwa ia telah berhasil mendapatkan cinta dari wanita itu. Sementara itu, Vivian berjalan menuju pusat perbelanjaan dengan langkah cepat. Ia mencari bahan dapur dan ikan segar yang aka
_"Tuan, Maaf kalau saya ikut campur. Mungkin sudah saatnya Anda dan nyonya bertemu," ucap Andrew dengan terus terang."Dengan kondisiku seperti ini? Apa yang harus aku beritahu padanya? Aku lumpuh selama sembilan bulan dan mungkin saja akan kambuh lagi? Kalau dia tahu, betapa hancurnya perasaan dia. Andaikan sekarang dia bisa menerima seseorang bukankah dia akan memulai hidup bahagia," jawab Bryan.Andrew menatap atasannya dan berkata," Masalah utamanya adalah soal perasaan, Apakah nyonya sudah melupakan kenangan kalian berdua atau belum. Bagaimana jika Billy Maxwel hanya mengunakannya sebagai alat balas dendam? Bukankah nyonya akan tersakiti untuk kedua kali? Tuan, Aku yakin nyonya akan lebih bahagia bersama Anda walau kondisi tubuh Anda tidak baik," kata Andrew yang berusaha menyadari atasannya.Bryan menghela nafas kasar dan menunduk sedih," Mencintai tidak seharusnya memiliki. Aku ingin memastikan apakah Billy Maxwel mencintainya atau hanya untuk balas dendam padaku," kata Bryan.
Siang hari yang terik, kantin markas militer dipenuhi prajurit yang sedang menikmati makan siang mereka. Suara gemerincing piring dan sendok mencampur aduk dengan percakapan riuh di ruangan. Di salah satu meja, sekelompok prajurit sedang asyik membahas tentang kondisi Jenderal Bryan, pemimpin mereka. "Kabar mengatakan, Jenderal sedang sakit parah," ujar Stuart, prajurit berwajah bulat yang duduk di tengah-tengah kelompok tersebut. "Iya, katanya selama ini Jenderal dirawat di rumah sakit. Lihat saja, wajahnya terlihat pucat dan badannya semakin kurus," sambung Ethuan, teman sejawat Stuart yang sedang menikmati makanannya. "Mungkin juga, sudah lama Jenderal tidak muncul di markas. Mudah-mudahan tidak apa-apa dan cepat pulih," timpal Sandro. prajurit berambut ikal yang duduk di sebelah Ethuan. Di sudut kantin, seorang prajurit muda bernama Santoz sedang menyantap makan siangnya sendirian. Ia sedang mendengar percakapan kelompok Ethuan. Dengan tatapan tajam dan ingin tahu tentang Br