Cemburu dan putus asa membuncah di dalam dadanya, membuat darahnya serasa mendidih. Dalam keadaan emosional yang tak stabil, Billy pun menenggak beberapa gelas minuman alkohol yang disajikan di hadapannya. "Bryan Anderson, aku akan bersaing secara adil denganmu. Kalau kamu berhasil mendapatkan dia. Maka, bukan berarti aku kalah. Tapi, kamu hanya beruntung saja," ucap Billy dengan nada penuh tekad, wajahnya semakin memerah akibat alkohol yang diminumnya. Ia berdiri, mengepalkan tangan, dan menghembuskan napas seakan ingin mengusir semua kekecewaan dan rasa cemburu yang menghantuinya. Jhones, yang selama ini selalu setia mendampinginya, menatap Billy dengan raut khawatir. Ia tahu betul betapa Billy mencintai Vivian dan seberapa besar kebenciannya pada Bryan. "Tuan, dia sudah terang-terangan melawan Anda, Apakah kita masih diam?" tanya Jhones, berusaha memberikan dukungan kepada Billy. Billy menatap tajam ke arah Jhones, matanya bersinar penuh kebencian dan keinginan untuk membalas
Billy berjalan menuju apartemen Vivian dengan langkah berat. Setibanya di depan pintu, ia menghela napas sejenak sebelum mengetuknya. "Tuk! Tuk!" suara ketukan pintu terdengar jelas. Kunci pintu terbuka dengan suara "Klek!" dan Vivian muncul di balik pintu dengan tatapan sayu yang menghiasi wajahnya. "Billy," sapanya lembut. "Apakah kamu ada waktu?" tanya Billy dengan nada berharap. "Silakan masuk!" ajak Vivian sambil tersenyum tipis. Ia lantas berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman di kulkas. Billy pun mengikuti langkah Vivian masuk ke dalam apartemen. "Apakah kamu sibuk hari ini?" tanya Billy dengan sedikit sedih. Ia masih ingat pelukan Vivian dengan mantan suaminya. Rasa cemburu mulai menyelimuti hati Billy. "Seperti biasa, tidak ada yang istimewa," jawab Vivian sambil menghela napas. Ia kemudian mengambil dua gelas minuman dari kulkas dan mengulurkan salah satunya kepada Billy. Keduanya lantas duduk di sofa sambil menyesap minuman mereka. Di tengah percakapan, terliha
Billy mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia melintasi jalan-jalan di kota, tanpa henti. Suasana hati Billy sangat buruk karena kehilangan yang ia rasakan saat ini. Rasa emosi dan keputusasaan merasuki hatinya. Di tengah kecewa, ia memutuskan Vivian demi perasaan wanita itu yang masih mencintai Bryan Anderson. "Pa, sudah saatnya aku bertindak. Kita akan segera bertemu di sana," gumam Billy sambil memijat pelipisnya. Di sisi lain, prajurit Bryan Anderson dalam perjalanan menuju perbukitan tempat markas organisasi Billy berada. Sekitar puluhan mobil dengan lampu sorot menyala terang, mengambil langkah yang tegas dan sigap, menembus kegelapan malam menuju tempat itu. Mereka memiliki satu misi: menyerbu markas Billy, menghancurkan organisasi yang telah melakukan penyeludupan senjata dan narkotika.Di markas Billy, suasana hening dan tegang seolah meresapi setiap sudut ruangan. Anggota geng itu berjaga-jaga, siap menghadapi ancaman yang mungkin datang. Tiba-tiba, langkah kaki
Bryan mengangkat tangan kanannya, memberi isyarat kepada prajuritnya yang berdiri di belakangnya dengan senjata siap dipegang. Tanpa ragu, mereka menyusun diri, mengelilingi markas yang mereka incar, memastikan tidak ada jalan keluar untuk musuh mereka."Jangan bergerak!" teriak Murfy dengan suara lantang dan keras, menunjukkan wibawa yang dimilikinya. Dia mengarahkan senjatanya ke arah anggota yang menjaga pintu markas itu, membuat mereka terperanjat dan mundur beberapa langkah. Anggota markas Billy, berusaha tidak melawan karena tidak memiliki pilihan lain selain menaati perintah. Mereka berdiri dengan kedua tangan terangkat, tak berdaya. Tiga orang yang terlihat di depan Bryan, Murfy, dan prajurit mereka, menunjukkan rasa takut dan kebingungan yang mendalam. "Geledah!" perintah Bryan dengan tatapan tajam dan dingin, seolah menembus jiwa setiap orang yang berada di depannya. Para prajuritnya segera melaksanakan perintah itu, menggeledah setiap sudut markas tersebut untuk mencari
Bryan yang dalam perjalanan pulang, Tanpa disadari, ia sedang menjadi incaran musuhnya yang telah mengawasinya dari kejauhan. Di beberapa titik strategis, beberapa pembunuh bayaran bersembunyi sambil membawa senjata tajam dan senjata api, menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Bryan, yang tidak tahu akan bahaya yang mengintainya, melanjutkan perjalanan pulang dengan tenang. Namun, saat ia melewati persimpangan jalan besar, tiba-tiba sebuah peluru roket meluncur ke arah mobilnya. Bryan hanya sempat melihat kilatan cahaya sebelum ledakan besar mengguncang udara. "Duar! Duar!" suara ledakan menggelegar, menghancurkan tiga mobil yang berjalan berderetan di belakang mobil Bryan. Serpihan kaca dan logam berserakan di jalan, sementara asap hitam mengepul dari reruntuhan kendaraan yang terbakar."Gawat! Saudara kita," teriak Murfy yang melihat prajuritnya tewas akibat ledakan."Cepat tinggalkan tempat ini! Mereka mengunakan peluru roket. Bukan hanya membunuh kita. Tapi, juga membunuh wa
Pintu mobil terbuka, dan beberapa orang berjas hitam keluar sambil berjalan cepat menuju pembunuh Jepang itu. Mereka mengeluarkan senjata dan mengarahkannya ke arah Yamamoto dan temannya"Jenderal, maaf, kami terlambat!" ucap salah seorang prajurit Bryan, yang baru saja datang untuk membantu. "Tahan mereka semua!" perintah Bryan tegas. Yamamoto, pembunuh Jepang yang menjadi sasaran, melihat kedatangan bantuan Bryan dan pasukannya dengan tatapan sinis. "Bryan Anderson, kau menggunakan cara ini untuk mengalahkan kami? Sungguh tidak profesional. Setahu ku, kamu bukan orang yang takut mati," cetus Yamamoto dengan nada kesal. Bryan menatap Yamamoto dan menjawab dengan suara tenang, "Sasaranku adalah Billy Maxwel, bukan kamu. Aku tidak berminat denganmu sama sekali." "Kau meremehkan aku," ujar Yamamoto dengan wajah merah padam. "Bukan meremehkan, Tapi, kalian tidak penting bagiku. Kalian hanya pembunuh bayaran yang menerima uang dari Billy Maxwel. Sedangkan orang yang aku incar orang a
Tak disangka, sosok yang berdiri di luar ternyata Bryan, mantan suaminya. Klek! Vivian membuka pintu dengan ekspresi kaget dan heran. "Bryan?" sapa Vivian, penasaran dengan kedatangan pria tersebut. "Apakah aku menganggumu?" tanya Bryan dengan senyum yang menggantung di bibirnya, seolah ada sesuatu yang ingin dia sampaikan."Masuklah!" ucap Vivian sambil menggeser tubuhnya untuk memberi jalan. "Apa kamu sudah makan?" tanyanya lagi.Mereka berjalan menuju ruang tamu, dan Bryan melirik ke meja makan yang hanya ada satu piring bekas makan mie instan. "Kamu hanya makan mie instan?" tanya Bryan."Iya, aku baru pulang, dan makanan paling gampang adalah mie," jawab Vivian yang menuju ke di dapur untuk memgambil minuman."Kamu pasti lelah mengurus hotel sebesar itu," ucap Bryan yang merasa tidak tega. "Tidak juga! Aku suka dengan pekerjaanku sekarang," jawab Vivian."Vivian, ada yang ingin aku beritahu padamu, sesuatu yang harus kamu tahu," ujar Bryan.Vivian terdiam menatapnya dan sediki
Beberapa saat kemudian Komandan Heinrich dan Luis tiba di markas militer Jerman.Luis cemas dan gemetar mendatangi tempat itu, di dalam ruangan kantor Komandan Heinrich terlihat Bryan sedang menunggu di sana.Bryan berdiri dengan tatapan tajam pada Luis. "Jenderal Bryan, Anda sudah datang. Maaf, saya sedikit terlambat," sapa Komandan Heinrich dengan ramah."Tidak apa-apa! Saya juga baru tiba. Terima kasih atas kerja samanya!" ucap Bryan dengan sopan.Luis berdiri di depan Bryan dengan senyum paksa yang terpampang di wajahnya. "Saya tidak menyangka hari ini bisa bertemu dengan Jenderal Bryan Anderson," ucapnya dengan suara yang sedikit gemetar. "Komandan Luis, demi mengamankan jabatanmu, kami butuh keteranganmu. Kalau Anda menolak maka kami yang akan bertindak sendiri," ujar Bryan dengan nada peringatan yang tajam. "Saya tidak mengerti apa maksud Anda," jawab Luis dengan wajah pucat dan bibir yang bergetar. Di dalam ruangan luas yang sepi itu, Jenderal Bryan dan Komandan Militer mu
Justin yang melihat dirinya dikepung semakin yakin akan segera ditahan oleh mereka.Justin berdiri tegak di hadapan Bryan, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, namun ia tetap bersikeras untuk menuntut balas. "Kau membunuhnya sama saja membunuhku, Bryan Anderson," bisik Justin dengan suara parau. "Di saat itu juga, aku ingin mati bersamamu." Para prajurit mengarahkan senjata ke arah Justin, namun tiba-tiba Bryan mengangkat tangannya dan memberi perintah. "Kalian semua tahan! Jangan menembak tanpa perintah dariku!" Semua prajurit segera menurunkan senjata mereka, tak berani melawan perintah dari pemimpin mereka. Bryan menatap Justin dengan tatapan tajam, Bryan mengangkat senjatanya dan menodongkannya ke arah Justin. "Bukankah ini yang kau inginkan, Justin?" tantang Bryan, suaranya terdengar tenang namun tajam. "Kita akan saling menembak dan menguji kecepatan. Siapa yang kalah, dia yang mati!" Mereka saling menatap, matanya beradu, menunggu siapa yang akan
Salah satu anggota Justin, melangkah cepat menuju ruangan Justin dan memberi laporan dengan nafas terengah-engah, "Tuan, berita buruk. Bryan Anderson memimpin sekelompok prajuritnya mengepung kawasan kita. Bukan hanya dari dekat, mereka juga mengawasi dari jauh. Teman-teman kita tidak bisa berkutik." Justin tersentak kaget, wajahnya memerah oleh kegemasan yang mulai memuncak. Ia segera membuka jendela ruangannya dan melihat ke arah luar sana. Matanya melihat banyak prajurit yang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya, mereka bersiap dengan senjata di tangan dan tatapan yang tajam. "Sialan, Bryan Anderson, aku belum bertindak. Mereka sudah menyerang dulu," desis Justin dengan marah, mengepal tangan hingga knuckle-nya memutih. "Lawan mati-matian! Walau tidak ada jalan keluar, kita harus tetap lawan hingga pertumpahan darah!" perintah Justin.Anggotanya mengangguk, kemudian berlari keluar ruangan untuk mengumpulkan anggota lainnya. Sementara itu, Justin berdiri tegak, menatap luar jen
Bryan mencium bibir istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya memeluk tubuh ramping Vivian dengan penuh perhatian. Di tengah kehangatan pelukan itu, Bryan menatap dalam-dalam mata istrinya dan berkata dengan suara lembut, "Aku ingin mengandeng tanganmu hingga akhir hayatku! Tidak peduli dalam kondisi apa pun. Aku akan tetap menjadi suami yang baik dan setia. biarkan aku yang menjadi kakimu di saat kamu ingin berjalan!" Mendengar ucapan tulus Bryan, hati Vivian terenyuh. Seulas senyum bahagia menghiasi bibirnya dan ia merasa semangat hidupnya kembali membara. "Terima kasih!" ucap Vivian sambil memeluk Bryan balik, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh suaminya. Bryan kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap istrinya dengan tatapan penuh harapan. "Vivian, setelah urusan di sini selesai, kita akan ke China menjumpai tabib untuk menyembuhkan kakimu," kata Bryan dengan penuh keyakinan. Mendengar kata 'tabib', Vivian terkejut dan penasaran. "Tabib?" tanyanya
Rysa berdiri dengan gemetar, menatap Bryan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa terpojok, tak tahu harus berkata apa untuk membela diri. "Tuan, Aku tidak mengerti maksudmu, Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ujar Rysa yang ketakutan dan berusaha membela diri. Bryan menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. Ia melempar foto dan data ke wajah Rysa sehingga berterbangan dan jatuh berserakan di lantai. Rysa menunduk, merasa terhina, dan memungut foto-foto tersebut dengan tangan gemetar. "Kalau bukan karena kau pergi ke rumah mewah itu, Aku masih tidak tahu ternyata kamu adalah utusan Lion, yang sebelumnya menyamar sebagai pekerja di toko bunga. Apa kau masih tidak mengaku?" tanya Bryan dengan suara keras dan penuh kemarahan. "Tuan, aku...," ucap Rysa terdiam, ketakutan. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya terus gemetar. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Bryan bahwa ia tidak bersalah, namun terasa sulit. Bryan melangkah mendekat, membuat Rysa mu
Vivian menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, lalu mengeluarkan lembaran laporan medis milik Bryan dari amplop besar itu. Dia membacanya dengan seksama, dan hampir tidak percaya dengan laporan tersebut. Menurut laporan itu, Bryan telah melakukan vesektomi, prosedur pembedahan yang dilakukan untuk membuatnya mandul secara permanen.Bryan melihat kebingungan di wajah Vivian dan menghela napas sebelum berbicara, "Sebelum Hanz meninggal, aku meminta bantuannya. Aku tahu...melakukan ini tanpa sepengatahuanmu adalah salahku. Saat itu kamu baru keguguran. Aku tidak ingin kamu semakin tertekan." Mata Vivian membelalak, tak menyangka suaminya menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. "Kamu selalu berharap bisa memiliki seorang anak denganku. Tapi aku bukan tidak mau. Aku tidak ingin anak kita sama menderitanya denganku. Cukup aku saja yang menderita!" ungkap Bryan dengan suara bergetar."Lalu, untuk apa kamu memberitahu aku sekarang?" tanya Vivian yang memasukan kembali laporan tersebut.
Malam itu, langit diliputi awan tebal dan rembulan menyembunyikan diri. Bryan terbaring di atas kasurnya dengan pikiran yang kalut, merenung tentang permasalahan dalam rumah tangganya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan dan sosok Rysa muncul dari baliknya. Dalam diam, Rysa menghampiri Bryan yang tampak lelah dan terlelap. Setiap langkahnya begitu hati-hati, tak ingin membangunkan pria itu. Begitu dekat dengannya, Rysa mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, menampakkan tubuh putih mulusnya yang begitu menggoda. Dua gundukan besar di dada Rysa terlihat menonjol, dan bagian bawah tubuhnya juga terbuka lebar, memancarkan aura yang memikat. Rysa menatap Bryan dengan tatapan penuh nafsu, lalu berbisik dalam hati, "Bryan Anderson, malam ini juga aku akan membuatmu melupakan istrimu itu." Perlahan, Rysa mencium wajah Bryan yang masih terlelap, namun tiba-tiba pria itu terbangun dan menatap Rysa dengan ekspresi terkejut. Dia segera menahan tangan wanita itu dan bertanya dengan nada ke
Lily kemudian memberitahu apa saja yang dia ketahui selama ini," Nyonya, mengetahui setiap larut malam Rysa mendatangi ruangan pribadi Anda. Nyonya hanya diam dan tidak ingin menganggu. Walau pun begitu sebenarnya nyonya selalu menangis di setiap malam. Saya juga selalu melihat nyonya menolak bantuan dari Rysan. Walau pun nyonya sudah tidak nyaman dengan keberadaan Rysa. Tapi nyonya tetap diam dan bungkam. Tidak tahu apa yang dipikirkan nyonya!" Bryan semakin merasa bersalah terhadap istrinya, Ia mengingat kembali permintaan Vivian yang tidak membutuhkan Rysa. Akan tetapi Bryan bersikeras menolak permintaannya."Ternyata karena kesalahpahaman sehingga Vivian meminta dia pergi, kenapa aku tidak bisa membaca pikiran istriku sendiri," sesal Bryan sambil mengusap wajahnya."Vivian, Aku akan membuktikan padamu, bahwa aku sama sekali tidak mengkhianatimu. Secantik apa pun atau sesempurna apa pun wanita lain. Mereka tidak sebandingmu di mataku," batin Bryan.Di sisi lain, Rysa melangkah den
Vivian kembali ke kamarnya, matanya terasa sembab setelah sepanjang hari menangis. Begitu memasuki kamar, ia segera mengambil semua botol obat yang ada di atas meja. Ia membuka tutup botol-botol itu satu per satu, dan menggenggam butiran obat yang beraneka warna dalam tangannya. Dengan mengunakan kursi roda, ia menuju ke kamar mandi dan membuang semua obat tersebut ke dalam toilet. Vivian menatap pil-pil yang hanyut di dalam air, kemudian menekan tombol siram. Butiran obat langsung tenggelam, seakan membawa perasaan putus asa yang melanda dirinya. Dada Vivian sesak saat ia merenungkan betapa suaminya, Bryan, ternyata telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Baginya, kondisi tubuhnya yang cacat kini sudah tidak penting sama sekali. Ia merasa sudah kehilangan segalanya, dan tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan tersebut. Ia duduk di kursi roda dan masih berada di kamar mandi, menangis sambil menahan suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Kemarahan dan kekes
Keesokan harinya.Vivian hanya duduk sambil menatap Rysa yang merapikan kamarnya. Ia masih berbayang suaminya yang begitu peduli pada wanita itu."Nyonya, air sudah saya sediakan, Saya akan mengambil pakaian Anda sekarang," kata Rysa yang membuka pintu lemari dan mengambil pakaian Vivian.Tanpa beralih pandangan, Vivian memperhatikan Rysa dari atas hingga ujung kaki. Ia merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki wanita itu. Dibandingkan dirinya yang sama sekali bukan tandingannya.Vivian hanya bisa kecewa pada dirinya, yang tidak mampu melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri. Walau ia sangat cemburu dengan Rysa yang kini telah menjadi perhatian suaminya. Akan tetap ia tetap memilih diam."Aku akan mandi sendiri, Kamu pergilah lakukan pekerjaanmu yang lain!" perintah Vivian."Nyonya, Saya harus membantu Anda mandi. Kalau tidak akan bahaya kalau Anda sendiri berada di kamar mandi," kata Rysa.Vivian menatap wanita itu dengan senyum paksa," Aku ingin melakukannya sendiri, Supaya