"Kamu mungkin belum bisa menjawab, tapi dari matamu saja… Papa sudah bisa menebaknya," kata Papa, membuatku semakin terkejut. Papa bisa menebak perasaanku, padahal aku sendiri masih bingung. "Meskipun kamu tidak ingat momen saat menjadi istrinya Calvin, tapi Papa harap kamu jangan pernah menolak jika Calvin menginginkan sesuatu darimu. Karena bagaimanapun, kamu adalah istrinya. Dosa hukumnya jika seorang istri menolak suaminya, Vio."
Bukan hanya Kak Calvin, ternyata Papa juga membahas hal yang sama. Kenapa mereka selalu bicara tentang hubungan intim? Sepenting itukah hal itu dalam rumah tangga? Aku bahkan tak ingat bagaimana rasanya. "Kali ini Papa minta tolong ya, Vio." Papa menambahkan. Sentuhannya lembut di tanganku, tatapannya penuh pengertian. "Laki-laki berbeda dengan perempuan, Vio. Perempuan bisa kuat menahannya meskipun itu sampai bertahun-tahun, tapi laki-laki, seminggu saja sudah kelabakan. Begitu pula dengan Calvin, yang sudah lebih dari sebTubuhnya terasa lemas. Hampir tidak ada reaksi sama sekali. Kepanikan semakin memuncak. "Kak Calvin!" teriakku, kali ini lebih keras, suara nyaris putus-putus karena panik. Aku mencoba memeriksa napasnya. Napasnya masih ada, syukurlah, tapi terasa sangat dangkal dan cepat.Dengan tubuh gemetar, aku berlari keluar kamar dan membangunkan Papa. Mengetuk-ngetuk pintu kamarnya dengen keras."Pa! Buka pintunya, Pa!! Kak Calvin… demamnya semakin tinggi!! Aku takut .…" Suaraku terputus-putus, getaran ketakutan mengguncang tubuhku. Air mata mengancam membanjiri pipiku.Tak lama kemudian, Papa keluar dari kamar, menggendong Kenzie yang masih mengantuk berat. Mata sayu Kenzie dan wajah mengantuk Papa kontras dengan kepanikan yang membuncah dalam diriku."Ada apa, Vio?" Suara Papa terdengar khawatir."Kak Calvin, Pa! Demamnya semakin tinggi, dia juga nggak sadarkan diri! Kita harus bawa dia ke rumah sakit!" Mata Papa melebar, Kenz
"Lemes ya wajar, Cal, kamu 'kan lagi sakit. Nanti juga sembuh, nggak usah cengeng!" Ayah mencoba menyemangati, meskipun kekhawatiran masih terpancar dari suaranya.Aku segera menuangkan air minum, lalu menyodorkannya pada Kak Calvin. Aku teringat dengan kata-kata Dokter yang mengatakan Kak Calvin mengalami dehidrasi. Jadi sekarang dia harus banyak minum. "Ayok minum dulu, Kak. Kakak nggak boleh berpikir yang tidak-tidak. Kakak pasti sembuh," kataku ikut menghiburnya.Kak Calvin menurut, meminum air putih itu perlahan, dengan bantuan tanganku."Dokter bilang aku sakit apa, Yang?" tanyanya lirih, suaranya masih lemah."Kakak terkena parasit pas berenang, selain itu Kakak juga dehidrasi.""Bukannya aku demam, ya?" Dahinya berkerut."Iya, demam itu gejalanya karena parasit yang masuk ke tubuh Kakak." Aku menjelaskan dengan lembut, berusaha meyakinkannya."Tapi kayaknya penyebab aku demam bukan karena parasit deh,
Aku perlahan menarik selimutnya, dan napasku tercekat. Mata membulat sempurna, tak percaya dengan apa yang kulihat di bawah sana. Sebuah kepala gajah, lengkap dengan belalai yang cukup panjang, terpatri di sana. Bukan gajah sungguhan, tentu saja. Kak Calvin mengenakan cela*na dalam motif gajah berwarna biru. Konyol sekali. Kenapa dia memakai sesuatu yang seperti itu? Dan kenapa dia ingin menunjukkannya padaku? "Gajahnya lucu 'kan, Sayang?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit gugup. Aku menatapnya; wajahnya memerah. "Apa kamu suka?" "Tapi itu bukan gajah, Kak, itu—" Ucapanku terputus oleh bibirnya yang tiba-tiba menempel di bibirku. Mata melebar, terkejut oleh serangan mendadak itu. Aku ingin mendorongnya, menghentikan ciuman ini. Namun, pelukannya terlalu erat, mencekikku hingga tak berdaya menolak. Ini konyol, bahkan lebih konyol daripada cela*na dalam yang dia pakai. Bagaimana jika Ayah, Pap
"Kondisi Bapak sudah jauh lebih baik. Besok Bapak sudah boleh pulang," ucap dokter, suaranya lembut namun tegas. Sebuah beban seakan terangkat dari pundakku. Rasa lega bercampur haru memenuhi dada."Terima kasih, Dok," kataku penuh syukur. Tak sabar rasanya ingin segera pulang, supaya bisa memeluk Viona dengan leluasa dan merasakan kehangatan tubuhnya kembali."Kamu kenapa, Vio? Dari tadi kok kamu memegang kepalamu terus?" Suara Papa memecah lamunanku. Pandanganku tertuju pada Viona yang memang terlihat menahan sakit, memegangi kepalanya dengan erat. Wajahnya sedikit pucat."Kepalaku sakit, Pa. Sejak sehabis mandi tadi," jawab Viona lirih, suaranya terdengar lemah. Degup jantungku berdebar kencang. Jangan bilang, Viona sakit kepala karena apa yang telah terjadi semalam. Apakah aku bermain terlalu kasar?"Dokter... tolong periksa istriku juga, Dok," pintaku, suara memohon tersirat dalam ucapanku. Dokter mengangguk, langkahnya tergesa mendek
"Ayah... di mana Bunda?" tanya Kenzie, suara riang bercampur sedikit ragu. Dia masuk ruangan bersama Bunda Dinda, tangan kecilnya menenteng paperbag besar. Bunda sebelumnya memang sudah datang dan tadi mengajaknya membeli mainan."Bundamu lagi diperiksa dokter, Nak. Nanti juga ke sini lagi," jawab Ayah, suaranya tenang berusaha menyembunyikan kekhawatiran."Kamu beli apa itu? Gede banget!" Aku berusaha mengalihkan perhatian, mencoba menutupi kesedihan yang masih membayangi. Kenzie langsung naik ke ranjang, mata berbinar-binar saat membuka paperbag. Sebuah kapal mainan, besar dan berwarna-warni, lengkap dengan remot kontrol."Kapal-kapalan, Ayah! Ini bisa jalan sendiri, lho!" Suaranya penuh semangat. "Waaah... bagus sekali, Sayang. Nanti besok kita mainkan di rumah, ya, setelah Ayah pulang dari rumah sakit," kataku, suara sedikit parau."Memangnya besok Ayah sudah boleh pulang?" Kenzie menatapku. Aku mengangguk cepat. "Yeay!!"
"Ayo, Kak. Makan, ya. Aku bikin semur daging, dagingnya empuk banget, sudah kupresto. Semoga Kakak suka," ujar Viona, suaranya lembut, tapi sedikit gugup. Dia mengambil piring dan hendak menyendok nasi, tapi tanganku cepat menahannya. Viona menatapku, bingung. Namun, alih-alih membiarkannya, aku justru menariknya hingga duduk di pangkuanku. "Lho, Kak? Kenapa—" Pertanyaannya terpotong bisikanku yang hangat di telinganya. "Sepertinya, aku ingin memakanmu dulu, sebelum memakan masakanmu, Sayang," kataku, suara serak menahan ha*srat. Pipi Viona memerah, tubuhnya menegang, menandakan dia merasakan hal yang sama. "Kalau kamu diam saja, artinya setuju, ya? Boleh, kan?" "Masa di sini?" Viona bertanya, suaranya pelan, matanya menatapku malu-malu. "Jangan di sini. Kita ke kamar, oke?" Tanpa menunggu jawaban, aku langsung menggendongnya. Dia tak menolak, malah memelukku erat. Langkahku cepat menuju kamar tamu. Karena mustahil kami melakukannya di kamar utama, Kenzie ada di sana. Meskipun
Sepulang kerja, aku, Viona dan Kenzie langsung berangkat ke restoran tempat janjian. Namun, raut wajah keduanya tampak lesu, tak bersemangat. Apakah mereka menyesal diajak bertemu Papa dan Mama? Seketika, sebuah pertanyaan kecil terlontar dari Kenzie, mengungkapkan kekhawatirannya. "Ayah... Oma Selly galak nggak olangnya?" tanyanya ragu-ragu, sorot mata penuh ketakutan tak mampu disembunyikan. Aku tersenyum lembut, berusaha menenangkannya. "Nggak, Sayang. Oma Selly baik kok orangnya." Aku mengerti mengapa Kenzie tampak takut. Dia memang belum begitu mengenal baik Mama atau Papa. Terakhir kali mereka bertemu, saat aku dan Viona menikah. Setelah itu, tak lama Mama dan Papa langsung pergi ke luar negeri. Kenangan itu mungkin masih sedikit samar baginya. "Benelan, Ayah? Kalau Opa Lobin?" "Opa Lobin itu siapa?" Dahiku berkerut, bingung. "Maksud Kenzie Opa Robin, Kak," sahut Viona.
"Saya kebetulan juga mau makan malam di sini, Pak. Dan bolehkah saya bergabung dengan kalian?" Kurang ajar sekali, dasar tidak tahu malu! Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu dengan tanpa beban sedikitpun. Andai aku di posisinya, rasa malu sudah pasti membanjiri wajahku. "Kamu ini siapa?" Mama tiba-tiba membuka suara. Kulihat matanya sudah melotot tajam pada Yogi. "Kok tidak sopan sekali, tiba-tiba mau minta bergabung? Ini acara keluarga!" Yogi, yang semula tampak ramah, kini terlihat canggung. "Oh begitu, Bu? Maaf, kalau begitu saya pamit. Permisi ...." Yogi membungkuk, lalu pergi meninggalkan kami. Sesak di dadaku perlahan mereda. Sebuah kelegaan yang tak terkatakan. "Calvin... orang tadi itu siapa? Kok bisa kenal kamu dan Viona?" tanya Mama, penasaran. Wajahnya masih dipenuhi ketidakpercayaan. Mama sepertinya tak ingat wajah Yogi, meski namanya sering disebut Ayah dulu. Padahal, Yogi pernah menjadi asistenku. Mungkin Mama sudah lupa. "Dia Yogi, Ma." Mata Mama membulat. Kag
"Zea belum makan apa pun sejak siang tadi, Pak," lapor Akmal lirih, mendekat ke arah Kenzie. Sejak kedatangan Kenzie, dia duduk di depan kamar rawat. Kenzie tersentak lalu menoleh, tubuhnya tampak menegang. "Kok belum makan? Kenapa? Apa suster tidak mengantar makanan?" Suaranya bergetar, kecemasan terpancar jelas dari sorot matanya yang sayu. "Sudah, Pak. Tapi Zea menolaknya." "Harusnya kamu tawarkan makanan lain, Mal," desahnya, nada suaranya terdengar menyalahkan Akmal. Dia telah menitipkan Zea, dan seharusnya Akmal bisa bertanggung jawab sepenuhnya. "Makanan rumah sakit memang tidak seenak makanan rumahan, wajar kalau Zea tidak berselera." "Saya sudah menawarkan makanan dari restoran depan, Pak. Berbagai macam sudah saya belikan, dari makanan berat hingga yang manis. Tapi Zea tetap menolaknya. Lihat saja .…" Akmal menunjuk ke arah jendela. Beberapa bungkus makanan tergeletak tak tersentuh di atas meja. "Itu semua belum d
"Awalnya aku berencana seperti itu, Yah. Aku hanya ingin bertanggung jawab sampai bayi itu lahir, setelah itu aku akan meninggalkannya." Kenzie membeberkan rencana awalnya, baginya itu tak perlu ditutupi. Apalagi Ayah Calvin sudah memberikannya wejangan. "Tapi... sepertinya rencana itu harus aku urungkan." "Kenapa begitu? Apa karena kamu mau mendengarkan kata-kata Ayah?" Ayah Calvin bertanya, sebuah harapan tersirat dalam suaranya. "Banyak faktornya, salah satunya dari kata-kata Ayah juga. Aku akan menuruti." Kenzie mengangguk patuh, menunjukkan kepatuhannya pada ayahnya. "Tapi yang utama, karena Kakek, Yah." "Kakek?" Ayah Calvin mengerutkan dahi, bingung dengan penjelasan Kenzie. "Iya. Kakek Tatang. Dia menyukai Zea, dia kepengen Zea menjadi istriku." Penjelasan Kenzie semakin membuat Ayah Calvin penasaran. "Lho... bukannya kamu nggak bisa melihat hantu Kakekmu, ya?" Ayah Calvin menatap Kenzie dengan heran, bulu kuduknya merinding mengingat penampakan hantu mertuanya yang
"Kamu jangan percaya pada Heru, Yang. Dia berdusta. Anak ini anakmu, bukan anaknya!" Air mata Helen membanjiri wajahnya, tangisnya semakin pecah, suara pilu menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa sempit dan pengap. Dia mencoba menjelaskan, membela diri, menyelamatkan pernikahannya yang sudah berada di ujung tanduk.Namun, Kenzie tetap diam, tatapannya kosong, tak bergeming.Ayah Calvin, dengan wajah yang menggambarkan beban berat yang dipikulnya, akhirnya angkat bicara. Suaranya berat, menahan beban emosi yang tak kalah besarnya. "Pak Janur... Bu Hanum... sepertinya, ikatan keluarga kita harus berakhir sampai di sini. Kita harus menerima keputusan Kenzie." Kata-kata itu, yang keluar pelan namun menusuk, seperti palu yang menghantam dada Papi Janur dan Mami Hanum.Mami Hanum, dengan suara bergetar menahan tangis, menatap besannya dengan tatapan penuh harap. "Kok Bapak malah mendukung perceraian?" suaranya meninggi, mengungka
"Biar aku, Yah," kata Kenzie, suaranya terdengar berat. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai bercerita. "Sebelum menikah, aku berpacaran dengan Helen selama lima tahun. Tiga tahun di antaranya kami bertunangan, bahkan sebelum kami menjalani hubungan jarak jauh. Aku sengaja ingin bertunangan dulu, sebagai bukti keseriusan hubungan kami meskipun jarak memisahkan."Kenzie berhenti sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. "Selama lima tahun pacaran… aku selalu menjaga kehormatan Helen, kami belum pernah berhubungan badan. Tapi ... di malam pengantin kami, aku merasa terkejut saat mengetahui Helem sudah tidak suci lagi.""Tidak suci?!" seruan Ayah Calvin, Bunda Viona, Opa Andre, dan Oma Dinda menggema di ruangan, suara mereka bercampur antara keterkejutan dan kemarahan. Mata mereka melebar tak percaya.Ekspresi terkejut dan tak percaya juga terpancar dari wajah Papi Janur dan Mami Hanum. Suasana tegang mencapai puncakn
"Izinkan aku hidup mandiri. Aku tidak mau tinggal satu atap dengan Bapak. Tapi Bapak tidak perlu khawatir… setelah aku melahirkan, aku akan menyerahkan bayi ini kepada Bapak." Kata-kata itu keluar pelan, mengandung beban berat yang hanya dia sendiri yang mengerti. "Dan sebelum aku melahirkan… Bapak dilarang menemuiku. Biarkan aku hidup dengan bebas, sesuka hatiku." Dia meminta kebebasan, sebuah ruang untuk bernapas dan menenangkan jiwanya yang terluka."Tidak!" Kenzie menggeleng cepat, penolakannya keras dan tegas. Bagi dia, permintaan Zea itu sama saja dengan ditinggalkan. "Kita kan suami istri, Zea. Hal seperti itu tidak boleh dilakukan. Kita harus satu atap, kamu tidak boleh pergi meninggalkanku." Egoisnya terpancar jelas, dia hanya memikirkan keinginannya sendiri."Kalau kita satu atap terus… bisa-bisa semua orang tau kalau kita ada hubungan, Pak," Zea mencoba menjelaskan dengan tenang. "Bapak jangan menyepelekan hal seserius ini, ini sangat beri
Mata Zea perlahan terbuka, berat dan terasa berpasir. Cahaya redup menyilaukan sejenak, sebelum akhirnya dia mampu membiasakan penglihatannya. Ruangan putih bersih mengelilinginya, bau disinfektan khas rumah sakit menusuk hidungnya.Dia memutar kepala perlahan, melihat dinding-dinding yang polos, perlengkapan medis yang terpasang rapi di samping tempat tidur, dan jendela yang tertutup tirai putih tipis. Kejutan menusuk kesadarannya."Eh, ini seperti ruangan rumah sakit, kan??" gumamnya lirih, suaranya serak dan lemah. Dia mencoba duduk, merasakan nyeri menusuk di perut bagian bawah.Ingatannya kembali pada kejadian sebelumnya; sakit perut yang luar biasa, desakan-desakan kambing yang mengerikan di dalam kandang, kehilangan kesadaran... "Ooohh... pasti ini gara-gara aku sakit perut dan kena desak-desakan kambing. Tapi, siapa kira-kira yang bawa aku ke rumah sakit? Jangan bilang kalau ...." Pikirannya melayang, mencoba menebak siap
Air mata Kenzie membanjiri pipinya, deras dan tak terbendung tanpa permisi. Meskipun awalnya dia tak begitu mendambakan kehadiran anaknya, namun kabar tentang kemungkinan kehilangannya telah menusuk kalbu jauh lebih dalam daripada yang pernah dia bayangkan. Sekelebat Kenzie membayangkan wajah mungil anaknya. bayangan kehidupan kecil yang mungkin tak akan pernah ada, menghantamnya dengan kekuatan yang luar biasa. "Tidak, Pak. Anak Anda baik-baik saja." Suara dokter itu seperti bisikan samar dari dunia lain, tak mampu menembus kabut kesedihan yang menyelimuti Kenzie. Matanya membulat, tak percaya, dipenuhi kebingungan yang membingungkan. "Se-serius itu, Dokter? Anak saya… baik-baik saja?" "Ya, Pak." Dokter itu mengangguk pelan, mencoba menyampaikan kabar baik dengan hati-hati, memahami guncangan emosi yang tengah dialami Kenzie. Kata-kata dokter itu perlahan mengurai simpul kesedihan yang mencekik dada Kenzie, seakan melepaskan ikatan yang menghimpit napasnya. Dia segera mengusap
Papi Janur terdiam, matanya menerawang, mencoba mengingat-ingat apakah dia mengenal seseorang bernama Heru. Nama itu terasa asing, namun sebuah rasa gelisah mulai menggelitik."Berhubung Bapak dan Ibu sudah ada tamu... izinkan kami pamit. Urusan saya dan istri juga sudah selesai, tinggal kita rundingan Kenzie dan Helen saja," ujar Ayah Calvin, tangannya sudah meraih gagang kursi. Namun, Papi Janur menahannya dengan tatapan hangat."Silakan minum kopi dan tehnya dulu, Pak, Bu. Baru pulang," pinta Papi Janur, suaranya lembut namun tegas.Ayah Calvin dan Bunda Viona mengangguk, segera menyesap minuman yang telah terasa dingin namun masih nikmat di tenggorokan."Kalau ada informasi tentang Kenzie... mohon segera hubungi saya atau Helen," pinta Papi Janur, seraya menjabat tangan Ayah Calvin. "Saya juga akan ikut mencarinya besok.""Tentu, Pak. Semoga segera ada kabar baik. Assalamualaikum.""Waalaikum salam."Mereka mengant
"Lho... kenapa itu, Pak?" tanya Kenzie, menunjuk kandang kambing dengan jari telunjuknya. Kawanan kambing itu makin menggila, berlarian tak karuan, menggerakkan tubuh mereka dengan panik, menimbulkan suara gaduh yang semakin menambah kekacauan. Fokus Kenzie buyar, teralihkan oleh kekacauan di hadapannya. Pria paruh baya itu, yang sebenarnya adalah ketua RT setempat, langsung berlari menuju kandang, langkah kakinya tergesa-gesa. Dia memeriksa setiap sudut kandang, mencari sumber kegaduhan. Bau kambing yang menyengat menusuk hidungnya, bercampur dengan aroma tanah dan sesuatu yang... aneh. Pandangan matanya terhenti pada sesosok tubuh yang tergeletak di pojok kandang, tersembunyi di balik tumpukan jerami yang berserakan. "Pak! Pak! Ada orang pingsan di dalam!" teriaknya, suara panik tersiar di antara suara kambing yang masih berisik. Dengan tangan gemetar, dia buru-buru membuka pintu kandang yang terbuat dari kayu lapuk. "Ora