“Halo! Bu Resa ....”
Wajah Sean panik. Ia jelas mendengar suara Resa dari balik telepon berteriak. Zia yang berada di sampingnya mengguncang lengannya dengan tatapan lebih panik.
“Paman, ada apa?” tanya Zia dengan tatapan cemas.
Sean tak menjawab. Ia menatap layar ponselnya dan detik waktunya masih berjalan, tetapi tidak ada suara Resa di balik telepon tersebut. Sunyi tak ada suara lagi, hingga membuat Sean kebingungan dan makin panik.
“Tidak ada suara lagi. Aku mendengar tadi ibumu menjerit,” ucap Sean makin membuat Zia cemas.
“Apa terjadi sesuatu pada ibuku?” tanya Zia. Kedua bola matanya berembun. “Coba telepon lagi, Paman!” pinta Zia panik.
Zia masih mempertahankan kedua bola matanya untuk tak menambah gelembung embunnya. Sementara Sean mencoba menghubungi nomor Resa. Tak ada jawaban. Lelak
Zia menurut dan mengikuti langkah Sean. Dalam keadaan gelapnya malam, mereka menembus jalanan malam yang sepi. Wajah Zia yang cemas dan ketakutan terus menatap jalanan di hadapannya.Sean bahkan seperti kehabisan kata-kata. Ia tak mampu bersuara hanya untuk sekedar berkata menenangkan gadis kecilnya. Lelaki itu memilih fokus pada laju mobilnya yang sudah di luar batas kecepatannya dalam mengemudi.Mungkin karena dini hari jalanan kota masih sepi, hingga ia berani ngebut. Tidak! Sean juga diliputi cemas dan takut. Seharusnya ia mendengarkan dulu laporan dari anak buahnya tentang kondisi Resa.Namun, rasa penasarannya sedikit berkurang saat ia sudah melihat lampu tanda rumah sakit yang ia tuju. Wajah Zia yang sedari tadi diliputi cemas dan ketakutan, berubah bingung saat Sean melambatkan kemudi mobilnya dan bergerak menuju parkiran rumah sakit.“Kenapa kita ke rumah sakit, Paman?” tan
Gadis itu hanya mengangguk dan memasuki ruangan tersebut. Sean langsung menutup pintunya setelah yakin Zia sudah masuk ke dalam. Kemudian ia langsung menatap kedua orang kepercayaannya dengan tatapan penuh tanya.“Sekitar jam satu dini hari, nona Agnes menemuinya dan membawanya keluar dari rumah bordil. Kami hampir kehilangan jejaknya karena nona Agnes membawanya berkeliling ke arah yang tak terduga. Lalu saat kamu berhasil menemukan jejaknya, bu Resa sudah diturunkan di trotoar, saat itu datanglah motor yang melaju kencang ke arahnya dan memukul bu Resa hingga pingsan. Tampaknya mereka sengaja mencelakai bu Resa,” jelas Nugi, lelaki yang menyambutnya tadi.“Sebenarnya, saya curiga kalau mereka hanya berniat mencelakainya saja, Tuan,” sambung lelaki berpakaian hitam sebelahnya.“Maksudmu apa, Aldi?” tanya Sean cemas.Lelaki yang bernama Aldi terdiam. Ia seperti ten
Air mata Zia mengalir deras menyaksikan ibunya terbaring di ranjang rumah sakit. Gadis itu langsung meraih tangan ibunya seraya membawa bobot tubuhnya berlabuh pada kuris di samping ranjang tersebut. Perlahan air matanya berkurang, menyadari Resa baik-baik saja saat ia merasakan hangat tangan yang sedang ia genggam.Ya, dia memang membenci ibunya karena masih menjalani pekerjaanya menjadi wanita malam dan mucikari. Namun, sebesar apapun rasa bencinya, Resa tetaplah ibunya yang sudah membesarkannya dulu dengan penuh cinta. Zia yakin ibunya pasti bisa menyadari kalau perbuatannya salah dan mau ke jalan yang benar.Zia menghapus sisa air matanya saat menyadari kelopak mata wanita paruh baya itu bergerak terbuka. Mungkin suara isaknya mengganggu tidurnya, tetapi biarlah. Setidaknya dengan cara itu ia bisa memastikan kalau ibunya tak terluka parah.“Zia?” suara pertama yang terucap dari bibir Resa.“Iya, Bu. Aku Zia,” jawabnya lembut dan halus diakhiri senyumannya.Air mata haru Resa mener
“Ibu, lebih baik sekarang Ibu fokus pada kesehatanmu saja! Nanti aku tanyakan pada anak buahnya tuan Sean uang dan ponselmu,” pinta Zia sedikit memohon. Wanita paruh baya yang kini mengenakan baju pasien langsung mengatupkan mulutnya. Sepertinya ia harus menurut pada anak gadisnya. Benar saja, Zia langsung memberikan senyuman manisnya. Resa lantas memandangi anak gadisnya dengan senyuman bangga. Ia bahkan membelai lembut pipi gadis cantiknya. “Anak ibu makin cantik saja,” pujinya dengan senyuman makin bangga. Zia tersenyum malu. Ia menggenggam tangan ibunya yang berada di pipinya. Tergambar jelas rasa rindu mata kedua sorot mata gadis itu. Rindu akan belaian lembut ibunya sebelum ia tahu kalau ibunya adalah wanita malam. Ya, Zia rindu saat ia tertidur dalam pangkuan ibunya setiap menunggu kepulangan ayahnya. Kemudian ayahnya tiba-tiba menghilang tanpa kabar meninggalkan dirinya dan ibunya. It
Resa menoleh pada anak gadisnya yang menatapnya nanar. Ia mengerutkan dahinya dan memasang wajah menyesal. “Tenang saja, Zia! Ibu tidak menerima uang pemberian Agnes ... ibu hanya menyelipkan satu gepok saja tanpa sepengetahuan model sombong itu,” ucapnya diakhiri tawa kecilnya.Air mata Zia menetes. Ia benar-benar tak kuasa menahan rasa sedih dan kecewanya. Rasa benci dan marahnya makin tinggi.“Kenapa Ibu tidak mati saja!” geramnya.“Apa? Kamu bilang apa, Zia?” tanya Resa seraya menoleh.Tampaknya wanita paruh baya itu tak mendengar suara geraman Zia. Gadis itu langsung menghapus air matanya. Sepertinya sia-sia mengkhawatirkan ibunya. Ia langsung membuang wajahnya dari tatapan ibunya.“Zia, kamu tenang saja! Ibu akan menuruti permintaan CEO tampan yang sudah tergila-gila padamu. Ibu akan tutup mulut dan tak akan ada yang tahu kala
Zia menatap dalam pada kedua netra lelaki yang tengah berlutut di hadapannya. Ia mencoba menerawang sedalam-dalamnya mencari celah kebohongan atau tipuannya, tetapi tidak ia temukan. Sean benar-benar tulus padanya, hingga tak terasa air mata harunya menerobos keluar dari kedua sudut dalam netranya.“Apa yang kamu ragukan dari saya?” tanya Sean seraya mengusap air mata gadis kecilnya, seolah tahu arti tatapannya.“Aku tidak ragu, Paman. Aku percaya padamu,” jawabnya seraya mengakhiri tangis harunya.Gadis itu mengukir senyuman tulus, kemudian Zia meraih bahu lelaki di hadapannya dan membawanya duduk di sebelahnya. Gadis itu lalu menggelayut manja dan melabuhkan kepalanya pada kanan Sean, sementara jari tangannya langsung menyelusup pada jari jemari pamannya. Lelaki itu tak protes dan memilih tersenyum.“Paman!” panggil Zia pelan tanpa melepaskan kepalanya dari bahu
Sean langsung mengangguk. Memang tak perlu ada yang ditutupi dari gadis kecilnya. Zia berhak terlibat dengan kejadian yang dialami ibunya.Mereka berdua langsung disambut senyuman lebarnya Resa, ketika pintu ruangannya terbuka. Tentu saja Sean membalas senyuman calon ibu mertuanya. Ia langsung duduk di kursi samping ranjang rawatnya Resa.“Bagaimana keadaan Bu Resa?” tanya Sean berbasa basi.“Ya seperti inilah, Tampan,” jawabnya seraya memasang wajah sedih.Zia menatapnya sebal. Ia tahu betul ibunya sengaja memasang ekspresi sedih. Alasan itu juga ia berada di ruangan tersebut, berjaga-jaga kalau ibunya berbuat macam-macam pada Sean.“Tidak apa-apa, nanti juga pasti akan segera pulih lagi. Dokter bilang kalau bahu Bu Resa mengalami cedera ringan dan harus menjalani beberapa pengobatan serta terapi agar segera pulih,” jelas Sean mencoba menenang
“Bu Resa, bolehkan saya bertanya sebagai seorang anak pada ibunya?” tanya Sean setelah wanita paruh baya di hadapannya melepaskan jabatan tangannya.Resa memutar kedua bola matanya dan menatap Sean sedikit curiga. Kemudian ia menatap ke arah pintu di depan ranjangnya. “Kamu ingin bertanya tentang Zia?” tanyanya.“Bukan tentang Zia, tetapi tentang Anda?” jawab Sean lugas.Wanita paruh baya itu terdiam sebentar. Ia lantas memasang wajah berpikir. Kemudian ia menatap raut wajah Sean yang tampak serius menunggu jawabannya.“Oke, silahkan tanyakan saja! Tapi aku nggak yakin kalau nanti jawabanku akan membuatmu puas,” sahutnya santai, tetapi Sean dapat menangkap jelas garis kecemasan di wajahnya Resa.Sean menarik napas sebentar. Ia melemaskan otot tubuhnya dengan mengatur posisi duduknya senyaman mungkin. Sepertinya pembicaraan mereka nantinya akan sedikit berat.“Jika lima tahun lalu, Zia mengetahui pekerjaanmu, bagaimana perasaan Bu Resa saat itu?” tanya Sean pelan.Resa menoleh. Pertan
Bukan hal yang mudah untuk memancing tuan David menghampiri Resa. Wanita itu bahkan sengaja memilih kembali ke rumah bordil untuk melancarkan aksinya. Tentu saja ia sudah memikirkan segala konsekuensinya.Resa sengaja menyebar rumor kalau dirinya pernah bercinta dengan tuan David hingga diancam oleh Agnes, putrinya tuan David. Untungnya Resa mempunyai bukti pertemuannya dengan Agnes dan kebersamaannya dengan lelaki tua itu, hingga banyak yang percaya dengan rumornya.“Jadi selama ini Mami menghilang karena diancam sama Agnes, anaknya tuan David?” tanya salah satu wanita berpakaian minim seperti dirinya di antara kumpulan wanita lainnya saat menunggu para pengunjung datang.“Mau gimana lagi, aku harus cari aman ‘kan?” jawab Resa memasang wajah sedih.Tiba-tiba fokus para wanita itu berpindah pada laki-laki berpakaian rapi di belakang Resa. Lelaki itu berdehem keras hingga membuat Resa memutar tubuhnya. Wanita itu lantas tersenyum tipis si lelaki itu. Tentu saja, Resa mengenalnya.Tanpa
Resa menerima panggilan telepon dari Nania, temannya yang dulu sama-sama bekerja di rumah bordil. Nania memberi info kalau ia mempunyai informasi tentang tuan David yang menjadi dalang kecelakaan Sean. Tentu saja ia memilih menemuinya, berharap mendapatkan informasi tentang lelaki itu dan membuat tuan David dipenjara.Sebelum Resa menemui Nania, ia mengintai wanita itu dari jauh. Ia harus memastikan kalau dirinya tidak dijebak. Ya, ini bukan kali pertamanya Resa melarikan diri dari rumah bordil, hingga ia tahu betul bagaimana orang-orang yang berada di balik rumah bordil. Para pemilik rumah bordil pastinya tak akan tinggal diam jika karyawannya yang menjajakan tubuhnya melarikan diri.“Kenapa suasananya tampak sepi, yah?” guman Resa saat mengawasi Nania yang berdiri di depan minimarket seberang jalan tempat dirinya berada. Resa terus mengawasi setiap sudutnya hingga ia menemukan keganjalan. Nania terlihat gelisah dan terus melirik ke arah kiri jalan. Resa pun menelusur ke arah terseb
Sean langsung dilarikan ke ruang operasi. Ia terlalu syok hingga jantungnya lemah dan terlalu memaksakan bergerak, membuat tulang rusuknya yang sudah retak bertambah banyak. Dokter memutuskan untuk memasang gips sementara pada tulang rusuknya sampai tulang rusuknya kembali pulih.Akan tetapi pasca operasi, lelaki itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membuka matanya, padahal sudah enam jam berlalu. Tuan Alan hanya bisa termenung memandangi tubuh anak lelakinya yang kini terpasang berbagai alat untuk memantau perkembangannya. Ada rasa bersalah pada dirinya karena sudah membuat Sean bertambah parah, tetapi lelaki tua itu masih tetap pada prinsipnya menjaga anak lelakinya dari Zia.“Tuan Alan, apa tidak sebaiknya membawa nona Zia kemari. Saya yakin sebenarnya tuan Sean sudah sadar, hanya saja ia menanti nona Zia,” saran pak Sadin yang masih mengenakan baju pasien pada tuan Alan.“Jangan sebut nama gadis itu! Sean hanya harus terbiasa hidup tanpa gadis itu! Lagi pula pertemuan mereka si
“Zia, dengarkan Ibu! Lelaki itu sangat mencintai kamu, Ibu yakin dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima kamu. Apa kamu tega meninggalkan lelaki itu, padahal kamu juga sangat mencintainya, ‘kan?” suara Resa terdengar lembut mencoba meyakinkan Zia.Namun, anak gadisnya menatapnya penuh curiga, padahal ia menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Entah mengapa, Zia tak percaya dengan ekspresi ibunya. Gadis itu lalu tersenyum tipis dan kecut.“Apa ini rencana Ibu juga?” tanya Zia datar membuat Resa sedikit bingung.“Rencana apa?” Resa berbalik tanya.“Ibu berharap aku terus di sisi Sean agar dia terus menjamin kehidupan Ibu? Begitu ‘kan? Ibu sengaja membantu Sean dengan dalih berbagi informasi, padahal dia sangat melindungi dan menjaga keselamatan Ibu, karena dia tahu kamu adalah ibu dari gadis yang dicintainya.” Zia menduga pikiran wanita di hadapannya yang sudah melahirkan dirinya.Resa terkejut. Bibirnya sedikit gemetar dan wajahnya mulai pucat. Zia tersenyum ketir.“Ternyata benar. Ibu b
“Zia, maafkan Ibu, Nak.” Resa menghampiri putrinya yang duduk bersimpuh di depan teras rumah sakit. Air mata Zia mendadak terhenti saat melihat Resa meraih pundaknya dan ikut duduk bersimpuh di hadapannya. Marah, kesal dam emosi menyelimuti dirinya, tetapi gadis itu tengah tak berdaya untuk meluapkan semua rasanya. Tubuhnya bahkan terasa lemas hingga Resa dapat menarik punggungnya ke depan dan memeluknya erat. “Kenapa harus Ibu yang menjadi alasan aku dan paman Sean terpisah,” lirih Zia diikuti air matanya yang makin banjir. “Aku benci kamu, Bu,” ucapnya tanpa sadar. Namun, Zia tak kuasa melawan Resa yang justru makin memeluknya erat. Wanita itu terus terisak dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Sementara Zia makin terlihat limpung dan tak bisa berpikir jernih, hingga Resa melepaskan pelukannya dan menatapnya pilu. “Ibu puas ‘kan? Hidupku hancur dan benar-benar hancur, Bu. Baru kali ini aku merasa hidup karena paman Sean, tapi Ibu membuatnya celaka dan aku yang disalahkan, Bu,”
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.
“Tuan David, polisi menunggu di luar,” lapor anak buahnya tuan David saat menemuinya di ruang kerja.Baru saja lelaki tua itu menoleh. Istri dan anaknya langsung memasuki ruang kerjanya yang berada di rumah. Wajah mereka tampak cemas dan panik serta ketakutan.“Papi, ada apa ini? Kenapa polisi bilang Papi terlibat dalam kasus pembunuhan dan mafia tanah?” cecar Agnes dengan tatapan tak percaya.Tuan David tak langsung menjawab. Ia lalu menghampiri anak perempuannya dan tersenyum wibawa. Lelaki tua nan gagah itu pun menghapus air matanya lembut.“Sepertinya Papi salah memilih lawan, Sayang. Papi titip Mami, ya! Yang nurut sama Mami dan jadilah anak yang baik! Mulai saat ini Papi sudah tidak lagi bisa melindungimu, Sayang. Maafkan, Papi,” ucapnya lembut diakhiri tetes air mata pilunya.Agnes langsung menghambur pada pelukan ayahnya. Begitu juga dengan istri tuan David, ia menghambur pilu. Puas memeluk anak dan istri tercintanya, tuan David langsung melepaskan pelukan keduanya. “Papi har
“Nona Zia melewatkan sarapannya dan juga wajahnya sembam setelah tuan Alan menemuinya. Maafkan saya Tuan Sean, saya hanya cemas pada nona Zia.” Bi Asti menjelaskan dengan nada berat dan sedih dari balik panggilan telepon.“Tuan Alan? Ayahku datang ke mansion? Kapan ayahku datang?” tanya Sean mencoba tenang.Lelaki tampan itu memastikan ia tak salah menangkap penjelasan bi Asti sembari mengatur napasnya agar tidak panik. Sean menatap jam tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat makan siang.“Sekitar 15 menit setelah tuan Sean berangkat kerja. Nona Zia bahkan mengunci pintu kamarnya,” lapor bi Asti makin membuat Sean cemas.
"Aku memintamu baik-baik demi kebaikan Sean, karena aku tahu anak itu tidak akan mau melepaskan kamu, Nona Zia."Air mata Zia mendadak berhenti mendengar ucapan lelaki tua di hadapannya. Ia terlalu syok hingga bukan hanya air mata saja yang terhenti, tetapi napas dan jantungnya terasa berhenti. Zia menatap tak percaya pada tuan Alan.“Aku minta maaf jika harus berkata seperti ini, Nona Zia. Aku tahu kalau aku sangat egois, tetapi hanya Sean lah yang aku miliki. Kamu pasti tahu ‘kan kalau aku sendiri menjebloskan Felicia dan Niko ke penjara. Itu semua karena rasa sayangku pada Sean, jadi aku mohon padamu, Nona Zia!” Tuan Alan menautkan kedua tangannya di depan dada.Lelaki tua itu memohon diikuti air matanya yang menetes. Air mata Zia langsung membanjiri lagi. Ia tak akan tega melihat seorang ayah yang memohon padanya. Zia dilema.“Tuan Alan,” suara Zia parau dan lirih.Sakit hati dan tak tega. Tuan Alan terus menatapnya dengan air matanya yang banjir seperti dirinya. Sesak rasanya, te