Setelah Sean menjalani perawatan, ia diperbolehkan pulang sore harinya oleh dokter Ryan. Tentu saja Zia sangat bahagia. Ia menyiapkan semua barang-barang Sean sebelum pak Sadin menjemputnya.“Paman, sudah cukup main ponselnya!” pinta Zia seraya membuka telapak tangannya di hadapan Sean yang tengah duduk di sofa.“Sebentar lagi boleh? Saya harus membalas email dari kolega saya.” Sean memohon.Zia menggelengkan kepalanya, isyarat penolakannya. Sean tersenyum memohon. “Satu menit saja!” pinta Sean meyakinkan.“Lihat jamnya, sebentar lagi pak Sadin datang! Lagi pula ini sudah lewat jam kerja, Paman bisa membalasnya besok besok pagi saat jam kerja atau nanti setelah istirahat di rumah!” tegas Zia seraya menunjuk jam kerja.Sean menghela napas berat. Hidupnya dikendalikan oleh Zia, tetapi tak bisa menolaknya. Lelaki itu pun menyerahkan ponselnya pada gadis kecilnya dan langsung dibalas senyuman manis Zia.“Hanya senyuman saja?” tanya Sean sedikit menggoda.Zia mengerutkan dahinya. “Memangny
“Kenapa kamu diam, Sean? Apa pertanyaan ayah terlalu sulit untukmu?” cecar tuan Alan sedikit memaksa.Sean menghela napas panjang. Lelaki itu lalu meraih gelas berisi air putih. Ia menegaknya sekali tegak saja untuk membasahi tenggorokannya yang terasa panas.“Apa yang sedang Ayah cari tahu tentang Zia?” Sean balik bertanya tanpa berniat menjawab semua pertanyaan ayahnya. Lelaki itu pun meletakkan kembali gelas minumnya. “Saya tahu Ayah sedang ragu. Apa yang membuat Ayah meragukan pilihan saya?” tebak Sean dengan tatapan tak suka.Tuan Alan terdiam sebentar. Anak lelakinya memang lebih cerdas darinya. Ia tahu kalau Sean tak menyukai tindakannya. “Jangan salah paham, Sean! Ayah hanya ingin memastikan kalau kamu tidak salah pilih seperti ayahmu. Kamu tahu ‘lah kalau ayah menyesali keputusan ayah yang tak mendengarkanmu dulu,” terangnya dengan tatapan meyakinkan.Tentu saja tuan Alan tidak akan jujur jika tuan David lah yang mempengaruhi keraguannya pada Zia. Sekali lagi, Sean menghela n
“Eum ....”Suara parau Zia diikuti kedua bola matanya yang membuka sempurna. Wajah kantuknya masih terlihat jelas, tetapi tangannya merasa samping kasurnya. Gadis itu langsung bangkit dari pembaringannya setelah beberapa kali menyasar sebelah kasurnya.“Paman ke mana?” tanyanya seraya mengedarkan pandangannya.Gadis itu terbangun di ranjang empuknya Sean. Wajahnya langsung berubah cemas saat tak menemukan lelaki yang dicintainya tak ada di sampingnya. “Paman?” panggil Zia seraya mengedarkan pandangannya pada seluruh ruangan kamar Sean.Tak berapa lama pintu kamar mandi terbuka dan membuat gadis itu lega. Namun, tatapan leganya berubah heran dan sedikit tersentak. Zia langsung turun dari ranjangnya dan menghampiri Sean yang sudah memakai kemeja hijau sage terang dan celana kain.“Mau ke mana?” tanya Zia langsung dengan nada sedikit kesal.Sean mengerutkan dahinya. “Saya harus berangkat ke kantor, Gadis Kecil. Memangnya mau ke mana lagi?” timpalnya.“Siapa yang ngasih izin Paman berangk
Sean langsung mengajak Zia menuju studio foto sesuai rencana lelaki itu. Mereka menggunakan sopir pribadi demi keselamatan dan kesehatan Sean. Studio foto milik salah satu teman dekat lelaki itu yang tak jauh dari hotel miliknya.Tentu saja keduanya langsung disambut hangat oleh pemilik studionya langsung. Seorang wanita yang menjadi teman kuliahnya Sean. “Finally! Aku bisa melihatmu berjalan dengan seorang gadis,” sahut wanita pemilik studio seraya melirik pada Zia yang berada dalam genggaman Sean.“Stop it, Citra! Saya ke sini untuk urusan pekerjaan,” sahut Sean menyadari gadis kecilnya memasang wajah cemas. “Gadis Kecil, dia Citra, teman saya sewaktu sekolah dan pemilik studio ini,” Sean memperkenalkannya pada Zia.Wanita di hadapan mereka menaikan satu alisnya saat Sean mengenalkan dirinya. Ia lalu menoleh pada Zia yang langsung mengulurkan tangan padanya. “Zia, aku ke sini sebagai penulis tuan Sean,” ucapnya diakhiri senyuman ramahnya.“Oh, aku Citra. Kalau begitu silakan masuk!
"Aku memintamu baik-baik demi kebaikan Sean, karena aku tahu anak itu tidak akan mau melepaskan kamu, Nona Zia."Air mata Zia mendadak berhenti mendengar ucapan lelaki tua di hadapannya. Ia terlalu syok hingga bukan hanya air mata saja yang terhenti, tetapi napas dan jantungnya terasa berhenti. Zia menatap tak percaya pada tuan Alan.“Aku minta maaf jika harus berkata seperti ini, Nona Zia. Aku tahu kalau aku sangat egois, tetapi hanya Sean lah yang aku miliki. Kamu pasti tahu ‘kan kalau aku sendiri menjebloskan Felicia dan Niko ke penjara. Itu semua karena rasa sayangku pada Sean, jadi aku mohon padamu, Nona Zia!” Tuan Alan menautkan kedua tangannya di depan dada.Lelaki tua itu memohon diikuti air matanya yang menetes. Air mata Zia langsung membanjiri lagi. Ia tak akan tega melihat seorang ayah yang memohon padanya. Zia dilema.“Tuan Alan,” suara Zia parau dan lirih.Sakit hati dan tak tega. Tuan Alan terus menatapnya dengan air matanya yang banjir seperti dirinya. Sesak rasanya, te
“Nona Zia melewatkan sarapannya dan juga wajahnya sembam setelah tuan Alan menemuinya. Maafkan saya Tuan Sean, saya hanya cemas pada nona Zia.” Bi Asti menjelaskan dengan nada berat dan sedih dari balik panggilan telepon.“Tuan Alan? Ayahku datang ke mansion? Kapan ayahku datang?” tanya Sean mencoba tenang.Lelaki tampan itu memastikan ia tak salah menangkap penjelasan bi Asti sembari mengatur napasnya agar tidak panik. Sean menatap jam tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat makan siang.“Sekitar 15 menit setelah tuan Sean berangkat kerja. Nona Zia bahkan mengunci pintu kamarnya,” lapor bi Asti makin membuat Sean cemas.
“Tuan David, polisi menunggu di luar,” lapor anak buahnya tuan David saat menemuinya di ruang kerja.Baru saja lelaki tua itu menoleh. Istri dan anaknya langsung memasuki ruang kerjanya yang berada di rumah. Wajah mereka tampak cemas dan panik serta ketakutan.“Papi, ada apa ini? Kenapa polisi bilang Papi terlibat dalam kasus pembunuhan dan mafia tanah?” cecar Agnes dengan tatapan tak percaya.Tuan David tak langsung menjawab. Ia lalu menghampiri anak perempuannya dan tersenyum wibawa. Lelaki tua nan gagah itu pun menghapus air matanya lembut.“Sepertinya Papi salah memilih lawan, Sayang. Papi titip Mami, ya! Yang nurut sama Mami dan jadilah anak yang baik! Mulai saat ini Papi sudah tidak lagi bisa melindungimu, Sayang. Maafkan, Papi,” ucapnya lembut diakhiri tetes air mata pilunya.Agnes langsung menghambur pada pelukan ayahnya. Begitu juga dengan istri tuan David, ia menghambur pilu. Puas memeluk anak dan istri tercintanya, tuan David langsung melepaskan pelukan keduanya. “Papi har
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.