Di Rumah Sakit Polisi terjadi kegemparan, karena Vira yang dikabarkan telah siuman, ternyata ditemukan dalam keadaan sekarat oleh perawat yang hendak memeriksanya. Yang membuat terkejut adalah kondisi kritisnya bukan tanpa sebab, tapi ada yang telah melepaskan selang oksigen dan infusnya.Dokter dan perawat pun segera berlarian menuju kamar rawat Vira saat mengetahui hal itu."Bagaimana mungkin ada yang bisa masuk tanpa diketahui polisi, bukankah kamar ini sudah dijaga ketat!" seru Dokter Lingga yang bertugas merawat Vira. Dia segera memasang kembali infus dan oksigen yang terlepas. Namun, kondisi Vira menjadi kritis lagi, bahkan lebih buruk dari kondisi sebelumnya."Pasti ada yang berhasil masuk ke sini, harus segera diselidiki. Cepat periksa CCTV!" perintah Letnan Ardi pada beberapa anak buahnya.Dia belum ingin menghubungi Inspektur Andika sampai dia menyelidiki siapa pelakunya."Gawat! Bisa-bisa Komandan marah besar karena kejadian ini. Pasti ada di antara yang bertugas di sini ya
Letnan Ardi seketika menatap layar monitor dengan mata menyipit.Memperhatikan dengan teliti apa yang sedang di-zoom oleh anak buahnya,Bagian leher perawat itu. Dia masih kurang paham apa yang sedang ingin ditunjukkan oleh Lettu Brama, tapi seketika dia berteriak bersamaan dengan teriakan Lettu Brama."Jakun_!" seru mereka serempak."Sial! Kenapa kita bisa kecolongan seperti ini. Pasti orang yang memakai Hoodie itu yang menyamar menjadi perawat dan masuk ke ruangan Vira!" seru Letnan Ardi sambil menghentakkan jari tangan kanannya ke meja hingga mengeluarkan suara yang cukup keras. Wajahnya membeku karena kekesalan yang memguasai dirinya."Bagaimana mungkin seorang pria bisa masuk ke dalam toilet wanita dan bahkan merebut pakaian perawat? Ini tidak mungkin, kan! Kecuali_," Letnan Ardi dan Lettu Brama saling memandang dengan penuh arti. Lettu Brama segera memutar kembali rekaman CCTV dengan diperlambat hingga selesai di hari itu.Anehnya, orang yang mengenakan hoodie dan rok pendek it
Mendengar teriakannya, spontan Ranti memnuka matanya dengan kaget. Hampir dia terlonjak saat menyadari ada ular kecil berwarna hitam yang mulai merayap di atas pangkuannya."Ssttt!" Andika langsung mengangkat telunjuknya ke bibir saat melihat Ranti akan membuka mulutnya dan berteriak.Gadis itu seketika menutup mulut dengan tangan kanannya. Dia juga menahan napasnya sekuat tenaga agar tidak menimbulkan gerakan sedikitpun.Andika memperhatikan arah gerakan ular berbisa itu. Kalau dilihat dari warna dan bentuk kepalanya yang menyerupai sendok, dapat diduga bahwa ular tersebut dari kenis cobra kecil.Wajah Ranti memucat saat ular itu merayap melalui celana jeans dan menuju pangkuannya. Dia sangat ketakutan, hingga tak berani menggerakkan tangan yang ada di pangkuan dan mulai dirayapi tubuh ular yang licin dan baginya sangat menjijikkan.Saat ular itu mulai membelakangi posisi Andika, secepat kilat dia menyambar kepalanya dan mendekapnya dengan erat agar tidak bisa menyemburkan bisa racun
Spontan Ranti membulatkan matanya yang memang sudah bulat dengan tatapan bingung."Hahaha_!" Dia terbahak sambil menatap aneh ke arah Andika yang juga sedang menatap tepat ke manik matanya, seperti mencari sesuatu dari sorot mata gadis itu."Kenapa tertawa? Aku sedang bicara serius," ucap Andika dengan mimik wajah yang serius dan kurang suka dengan nada tertawa Ranti.Gadis itupun segera menghentikan kekehannya."Aku tidak bersedia menjadi partner kamu menumpas Malaikat Maut Pelakor itu, Pak Inspektur Andika!" jawab Ranti dengan nada tegas dan penuh tekanan."Kenapa? Takut_?" tanya Andika dengan pertanyaan yang menggantung."Saya punya tugas lain yang lebih penting dari sekedar membantu Bapak!" jawab Ranti dengan santai sambil memutar pinggangnya yang terasa pegal."Apa?" tanya Andika penasaran."Mencari nafkah buat keluarga saya, Pak," Masih dengan santai gadis itu menjawab seraya mengambil ponsel dari dalam tasnya karena merasakan ada getaran."Halo_!" sapanya setelah menekan tombol
Ranti segera menjatuhkan pandangan, menatap sepatu sneaker yang membungkus kedua kakinya.Ada perasaan enggan saat bersitatap dengan mata orang yang berstatus ayah tapi berpuluh tahun menelantarkan dia dan adiknya."Baik!" sungut Pak Surya, tak lagi bisa mengelak."Kalau Bapak kooperatif, saya akan membiarkan bapak berjalan dan masuk mobil tanpa diborgol. Tapi, kalau Bapak berusaha mempersulit kami ... maka kami akan bertindak tegas!" ucap Andika dengan nada ancaman.Pak Surya meluruhkan pandangan dan hanya bisa mengangguk. Dia juga tidak ingin menjadi tontonan warga sekitar. Biar bagaimanapun, dia hanya tamu yang menumpang di rumah teman."Apa saya boleh berpamitan dulu pada tuan rumah. Khawatir mereka akan bertanya-tanya kalau saya pergi begitu saja," ucap Pak Surya kepada Andika dengan tatapan memohon."Baik, saya antar Bapak ke dalam!" jawab Andika dengan tegas. Ranti hanya bisa meluruhkan pandangan dengan perasaan yang rumit.Pak Surya pun melangkah masuk diiringi oleh Andika. Di
Di sebuah rumah di sudut Kota Yamon, nampak ramai oleh warga yang sedang berkerumun seperti penasaran dengan sesuatu.Padahal, garis polisi yang berwarna kuning telah terpasang dengan kokoh. Namun, tetap saja ada warga yang nekad ingin menerobos masuk dan melihat secara jelas apa yang terjadi di dalam rumah yang cukup mewah itu.Polisi tampak berjaga dengan ketat di sekitar rumah dan mengusir para warga yang tetap nekad tersebut.Letnan Ardi yang memimpin pihak berwajib nampak sedang memeriksa setiap ruangan yang ada dalam rumah tersebut. Di salah satu sudut ruangan nampak tergeletak sesosok mayat perempuan cantik yang masih muda, usianya kidaran 23 tahun. Tubuhnya terlihat membiru dengan mata yang melotot, terlihat sangat ketakutan dan kehabisan napas sebelum meregang nyawa. Di tangan kanannya masih memegang sebuah pisau lipat kecil. Sementara di dahinya terlihat meradang dan bengkak, seperti bekas benturan keras ke tembok."Cepat buat garis polisi dan pindahkan jenazah korban ke kan
"Selamat siang, Pak Andika!" sapa seorang perwira polisi berpangkat AKP telah menunggu Inspektur Andika dalam ruang kantornya."Siap! Selamat siang, Pak AKP Hendrawan!" jawab Andika tegas sambil memberi hormat ala-ala polisi.Polisi yang disebutkan namanya itu tersenyum ramah. Dia merupakan teman seangkatan Andika saat menempuh pendidikan di kepolisian."Hahaha ... Apa kabar kawan? Jangan terlalu sungkan, aku datang sebagai teman!" ucap AKP Hendrawan lunak. Nampaknya, dia ingin membuat suasana lebih nyaman. Dia memang setingkat di atas Andika dalam kepolisian. Baru tiga bulan ini dia menjabat seorang AKP."Wah! Tidak berani saya, Pak! Bisa kena tegur nanti saya. Oh, ya! Apa kabar keluarga di rumah?" balas tanya Andika. Saat pendidikan dulu, mereka memang cukup dekat, bisa dibilang senasib sepenanggungan. "Bersyukur, istri dan anakku sehat. Kamu ... kapan bawa calon untuk dinikahi?" tanya AKP Hendrawan."Dalam proses, tunggu saja undangannya!" jawab Andika santai yang disambut senyum
Novita merebahkan tubuh indahnya dengan malas di sofa panjang. Terasa empuk dan lembut menyentuh punggungnya yang ramping.Wajah cantiknya terlihat sedikit kesal, tapi tetap memancarkan aura cantik yang alami. Kulit wajahnya begitu bersinar. Gadis cantik itu menarik napas beberapa kali untuk membuat rileks otaknya yang sedang ruwet.Bagaimana tidak! Hari ini dia sudah berdandan secantik mungkin sejak pagi karena Samuel berjanji akan mengajaknya jalan-jalan, mumpung hari libur.Tapi, setelah dua jam menunggu tanpa ada kepastian, bahkan kabar dari Sam pun tidak ada."Lihat aja, sepuluh menit lagi nggak ada kabar, aku akan telepon kamu!" gumam gadis itu dengan nada jengkel.Bibirnya menyunggingkan senyum sinis dan sedikit licik.Samuel sudah menjadi kekasihnya sejak setahun terakhir, bahkan laki-laki itu sudah berjanji untuk menikahinya tahun ini. Tapi sayang, ternyata Samuel telah mempunyai seorang istri yang sedang hamil (gubrakk!).Awalnya, Novi (panggilan Novita) tidak tahu bahwa kek