Mendengar teriakannya, spontan Ranti memnuka matanya dengan kaget. Hampir dia terlonjak saat menyadari ada ular kecil berwarna hitam yang mulai merayap di atas pangkuannya."Ssttt!" Andika langsung mengangkat telunjuknya ke bibir saat melihat Ranti akan membuka mulutnya dan berteriak.Gadis itu seketika menutup mulut dengan tangan kanannya. Dia juga menahan napasnya sekuat tenaga agar tidak menimbulkan gerakan sedikitpun.Andika memperhatikan arah gerakan ular berbisa itu. Kalau dilihat dari warna dan bentuk kepalanya yang menyerupai sendok, dapat diduga bahwa ular tersebut dari kenis cobra kecil.Wajah Ranti memucat saat ular itu merayap melalui celana jeans dan menuju pangkuannya. Dia sangat ketakutan, hingga tak berani menggerakkan tangan yang ada di pangkuan dan mulai dirayapi tubuh ular yang licin dan baginya sangat menjijikkan.Saat ular itu mulai membelakangi posisi Andika, secepat kilat dia menyambar kepalanya dan mendekapnya dengan erat agar tidak bisa menyemburkan bisa racun
Spontan Ranti membulatkan matanya yang memang sudah bulat dengan tatapan bingung."Hahaha_!" Dia terbahak sambil menatap aneh ke arah Andika yang juga sedang menatap tepat ke manik matanya, seperti mencari sesuatu dari sorot mata gadis itu."Kenapa tertawa? Aku sedang bicara serius," ucap Andika dengan mimik wajah yang serius dan kurang suka dengan nada tertawa Ranti.Gadis itupun segera menghentikan kekehannya."Aku tidak bersedia menjadi partner kamu menumpas Malaikat Maut Pelakor itu, Pak Inspektur Andika!" jawab Ranti dengan nada tegas dan penuh tekanan."Kenapa? Takut_?" tanya Andika dengan pertanyaan yang menggantung."Saya punya tugas lain yang lebih penting dari sekedar membantu Bapak!" jawab Ranti dengan santai sambil memutar pinggangnya yang terasa pegal."Apa?" tanya Andika penasaran."Mencari nafkah buat keluarga saya, Pak," Masih dengan santai gadis itu menjawab seraya mengambil ponsel dari dalam tasnya karena merasakan ada getaran."Halo_!" sapanya setelah menekan tombol
Ranti segera menjatuhkan pandangan, menatap sepatu sneaker yang membungkus kedua kakinya.Ada perasaan enggan saat bersitatap dengan mata orang yang berstatus ayah tapi berpuluh tahun menelantarkan dia dan adiknya."Baik!" sungut Pak Surya, tak lagi bisa mengelak."Kalau Bapak kooperatif, saya akan membiarkan bapak berjalan dan masuk mobil tanpa diborgol. Tapi, kalau Bapak berusaha mempersulit kami ... maka kami akan bertindak tegas!" ucap Andika dengan nada ancaman.Pak Surya meluruhkan pandangan dan hanya bisa mengangguk. Dia juga tidak ingin menjadi tontonan warga sekitar. Biar bagaimanapun, dia hanya tamu yang menumpang di rumah teman."Apa saya boleh berpamitan dulu pada tuan rumah. Khawatir mereka akan bertanya-tanya kalau saya pergi begitu saja," ucap Pak Surya kepada Andika dengan tatapan memohon."Baik, saya antar Bapak ke dalam!" jawab Andika dengan tegas. Ranti hanya bisa meluruhkan pandangan dengan perasaan yang rumit.Pak Surya pun melangkah masuk diiringi oleh Andika. Di
Di sebuah rumah di sudut Kota Yamon, nampak ramai oleh warga yang sedang berkerumun seperti penasaran dengan sesuatu.Padahal, garis polisi yang berwarna kuning telah terpasang dengan kokoh. Namun, tetap saja ada warga yang nekad ingin menerobos masuk dan melihat secara jelas apa yang terjadi di dalam rumah yang cukup mewah itu.Polisi tampak berjaga dengan ketat di sekitar rumah dan mengusir para warga yang tetap nekad tersebut.Letnan Ardi yang memimpin pihak berwajib nampak sedang memeriksa setiap ruangan yang ada dalam rumah tersebut. Di salah satu sudut ruangan nampak tergeletak sesosok mayat perempuan cantik yang masih muda, usianya kidaran 23 tahun. Tubuhnya terlihat membiru dengan mata yang melotot, terlihat sangat ketakutan dan kehabisan napas sebelum meregang nyawa. Di tangan kanannya masih memegang sebuah pisau lipat kecil. Sementara di dahinya terlihat meradang dan bengkak, seperti bekas benturan keras ke tembok."Cepat buat garis polisi dan pindahkan jenazah korban ke kan
"Selamat siang, Pak Andika!" sapa seorang perwira polisi berpangkat AKP telah menunggu Inspektur Andika dalam ruang kantornya."Siap! Selamat siang, Pak AKP Hendrawan!" jawab Andika tegas sambil memberi hormat ala-ala polisi.Polisi yang disebutkan namanya itu tersenyum ramah. Dia merupakan teman seangkatan Andika saat menempuh pendidikan di kepolisian."Hahaha ... Apa kabar kawan? Jangan terlalu sungkan, aku datang sebagai teman!" ucap AKP Hendrawan lunak. Nampaknya, dia ingin membuat suasana lebih nyaman. Dia memang setingkat di atas Andika dalam kepolisian. Baru tiga bulan ini dia menjabat seorang AKP."Wah! Tidak berani saya, Pak! Bisa kena tegur nanti saya. Oh, ya! Apa kabar keluarga di rumah?" balas tanya Andika. Saat pendidikan dulu, mereka memang cukup dekat, bisa dibilang senasib sepenanggungan. "Bersyukur, istri dan anakku sehat. Kamu ... kapan bawa calon untuk dinikahi?" tanya AKP Hendrawan."Dalam proses, tunggu saja undangannya!" jawab Andika santai yang disambut senyum
Novita merebahkan tubuh indahnya dengan malas di sofa panjang. Terasa empuk dan lembut menyentuh punggungnya yang ramping.Wajah cantiknya terlihat sedikit kesal, tapi tetap memancarkan aura cantik yang alami. Kulit wajahnya begitu bersinar. Gadis cantik itu menarik napas beberapa kali untuk membuat rileks otaknya yang sedang ruwet.Bagaimana tidak! Hari ini dia sudah berdandan secantik mungkin sejak pagi karena Samuel berjanji akan mengajaknya jalan-jalan, mumpung hari libur.Tapi, setelah dua jam menunggu tanpa ada kepastian, bahkan kabar dari Sam pun tidak ada."Lihat aja, sepuluh menit lagi nggak ada kabar, aku akan telepon kamu!" gumam gadis itu dengan nada jengkel.Bibirnya menyunggingkan senyum sinis dan sedikit licik.Samuel sudah menjadi kekasihnya sejak setahun terakhir, bahkan laki-laki itu sudah berjanji untuk menikahinya tahun ini. Tapi sayang, ternyata Samuel telah mempunyai seorang istri yang sedang hamil (gubrakk!).Awalnya, Novi (panggilan Novita) tidak tahu bahwa kek
"Manusia-manusia tidak bermoral_!"Pergumulan keduanya terhenti saat tiba-tiba pintu kamar terdorong dari arah luar dan juga suara bentakan yang cukup mengganggu di antara desahan bibir keduanya.Dengan gugup Samuel menyudahi gerakannya dan melompat turun dari atas tubuh Novita. Tatapan kesal dan terkejut nampak jelas di matanya. Bagaimana tidak? Baru saja dia hendak menuntaskan hajatnya, tiba-tiba harus terputus negitu saja menyisakan rasa sakit. Dengan sembarang, dia meraih kain apa saja untuk menutupi tubuhnya dan Novita yang polos."Kurang ajar! Siapa yang berani menrobos masuk tanpa ijin?" teriaknya dengan berang.Sementara Novita berusaha memakai bajunya di bawah selimut dengan asal.Wajah cantiknya terlihat memerah kemudian memucat menahan malu dan emosi secara bersamaan. Seperti halnya sang lelaki, dia merasa tersiksa karena harus kehilangan momen paling nikmat dalam hubungan dengan kekasihnya."Siapa kamu! Berani sekali masuk rumah orang tanpa ijin!" bentak Novita saat melihat
"Rend, jam berapa kamu pulang tadi?" tanya Ranti penasaran."Jam delapan, terus langsung tidur. Kenapa, Kak?" Narendra balik bertanya."Tadi kamu dengar nggak, ada yang buka pintu depan sebelum aku?" Ranti makin penasaran saja."Ya, nggak, Kak. Kak Ranti buka pintu aja aku nggak tahu," jawab Narendra dengan tatapan bingung."Ya, udah! Terusin aja tidur kamu! Kakak juga mau langsung istirahat," ucap Ranti sambil berlalu dari pintu kamar adiknya."Terus siapa yang barusan masuk?" gumam Ranti dengan kening berkerut. Dia pun segera masuk ke dalam kamarnya. Ternyata, Aira tidak ada di kamar, berarti tidur dengan neneknya, begitu pikirnya.Dia pun membuka laci rahasianya dan membolak-balik sepuluh lembar foto yang disimpannya."Masih ada lima target, tapi kenapa semua melenceng dari jalur?" monolog gadis itu, tanpa sadar tangannya yang memegang bolpoin menusuk - nusuk salah satu wajah dalam foto."Siapa sebenarnya yang melakukan ini semua? Seharusnya aku, tapi ...," Ranti menyimpan kembali
Ridho mengernyitkan keningnya samar, baru kemudian menjawab dengan tenang."Mau berapa lagi yang Lu eksekusi, Bro?" tanyanya pelan. Tangannya masih sibuk mengelus kepala Si Jago miliknya. Sesaat kemudian dia berjalan ke arah kandang dan melepaskan ayamnya dalam kandang tersebut.Kukkuruyuuukkk!Terdengar suara lantang ayam tersebut, seolah kembali menantang lawannya.Ridho berjalan ke arah Narendra yang mulai terlihat sinis dengan mata merahnya. Sepertinya, minuman berkonsentrasi alkohol tinggi mulai menguasai dirinya."Hahaha! Kalau perlu gue akan buat semua jenis orang kayak gitu mampus di tangan gue!" ucapnya dengan lantang.Ridho yang menyadari situasi itu segera menutup mulut Narendra dengan tangan kanan dan menyeret tubuh sahabatnya untuk segera masuk ke dalam rumah."Gila, Lu! Jangan teriak-teriak di luar. Lu mau semua orang tahu dan dengerin omongan lu yang mulai ngaco! Udah, mending Lu istirahat dulu, deh. Tar kalau udah sadar gue ajakin liat target!" ucap Ridho, mendorong t
Andika melepaskan tembakan ke udara untuk menghentikan gerakan seseorang yang terlihat sedang berusaha melarikan diri.Polisi segera mengejar ke arah suara itu."Berhenti atau kami tembak!" Kembali Andika berteriak dengan lantang. Namun orang yang berpakaian serba hitam yang baru saja melompat melalui jendela dati kamar bagian belakan rumah Ranti, sama sekali tidak mengindahkan seruan tersebut."Satu ...,""Dua ...,""Ti ... ga!"Dorrr! Dorr!"Aahhhh ...!" terdengar suara teriakan orang tersebut berbarengan dengan jeritan Bu Diah yang menyaksikan langsung peristiwa itu.Seketika, orang berpakaian serba hitam dan memakai penutup wajah yang berwarna hitam pula itu jatuh terduduk sambil memegangi kaki kanannya yang terkena peluru dan mengeluarkan banyak darah.Andika dan anak buahnya segera menghampiri orang tersebut."Siapa kamu!" bentak Andika dan memberi isyarat pada Letnan Ardi untuk membuka penutup kepala orang tersebut.Seketika, mereka semua terkejut melihat wajah yang ada di bali
"Itu ... itu cleaning servis yang ada di depan ... jangan-jangan dia pelakunya!" Suster Murni berseru dengan lantang, telunjuknya menunjuk tepat ke wajah orang yang sedang dizoom oleh Letnan Ardi pada layar monitor.Seketika Inspektur Andika dan Letnan Ardi fokus menatap pada Suster Murni."Maksud Suster ... Anda pernah melihat orang ini juga sebelumnya?" tanya Andika dengan penuh selidik."Iya ... iya, saya yakin bertabrakan dengan cleaning servis ini sesaat sebelum peristiwa itu terjadi," jawab Murni dengan sangat yakin."Tunggu dulu! Di sini kita lihat dia baru berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Ini berarti tiga puluh lima menit sebelum tewasnya Ibu Vira. Kita lihat, dia tidak mengenakan seragam cleaning servis rumah sakit ini. Coba cari gambar orang ini di tempat lain sekitar rumah sakit!" perintah Andika sedikit bersemangat karena mulai menemukan titik terang."Kita zoom dulu wajahnya!" seru Andika lagi, hampir saja terlupa."Gambarnya sedikit blur, Pak. Apalagi dia menggunaka
Murni segera berlari kembali menuju kamar Vira.Apa yang dilihatnya sungguh membuat jantungnya seperti ingin melompat dari tempatnya.Tampak di atas kasur, tubuh Vira yang sedang menggelepar seperti ikan kehabisan air.Posisi kepalanya berada di sisi pembaringan, sementara tubuhnya telentang di atas kasur.Wajahnya membiru dengan mata mendelik. Dari sudut bibirnya keluar busa yang langsung jatuh ke lantai. Tangannya memegangi leher seperti mencekik diri sendiri, padahal mungkin sedang mencari udara untuk bernapas."Ya, Tuhan! Panggil Inspektur Andika ... cepat!" teriak Murni, entah pada siapa. Tersadar, dia langsung memencet bel pemanggil Dokter dengan panik."Kecolongan, Dok! Kita kecolongan. Padahal baru saya tinggal beberapa menit. Saya pikir masih ada polisi yang berjaga di sekitar kamar Ibu Vira!" teriak Murni panik saat Dokter Widya yang menangani Vira saat ini datang. Tanpa banyak bicara Dr. Widya langsung memeriksa kondisi Vira yang masih sekarat, tubuhnya dangat lemah dan n
"Selamat pagi Bu Vira, saya Inspektur Andika dari kepolisian. Bagaimana kondisi Ibu saat ini?" tanya Andika setelah memberi hormat dan berdiri di samping pembaringan Vira.Perlahan, Vira memutar kepalanya yang sedang menatap dinding kamar VIP di rumah sakit kepolisian. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat itu.Sesaat, ia nampak bingung dan mengerutkan keningnya."Saya ada di mana, Pak Polisi? Apa yang terjadi sama saya?" tanyanya dengan linglung, membuat Andika sedikit terhempas, raut wajahnya seketika berubah kelam.'Jangan-jangan dia amnesia?' bisiknya dalam hati."Apa Ibu tidak ingat kejadian apa yang membuat Ibu masuk rumah sakit ini?" tanya Andika masih dengan penuh harapan.Di mana suami saya, Pak, apa dia baik-baik saja?" Kembali pertanyaan Vira membuat Andika mulai kehilangan semangat. Tapi sebagai seorang polisi yang berpengalaman, dia tidak boleh menunjukkan kegelisahannya pada anak buahnya yang ada di ruangan itu."Baiklah, sebaiknya Bu Vira istirahat dulu supaya tenan
"Orang itu siapa, Yah?" Ranti mengernyitkan kening, menunggu ayahnya melanjutkan penuturannya.Namun, tampaknya sulit untuk Pak Surya mengatakan apa yang dia ketahui."Dia ... Ayah juga tidak tahu!"Akhirnya, hanya ucapan itu yang terucap dari bibir tuanya. Lelaki paruh baya itu segera melangkah pergi menuju ruang dalam. Sekilas dia melirik ke arah kamar putranya, Narendra.Langkahnya terlihat gontai, seperti sedang ada yang dipikirkan, tatapan matanya begitu rumit.Krietttt!Tiba-tiba, pintu kamar Narendra terbuka dan muncul sosok tampan itu di depan pintu kamar."Bu, mau sampai kapan laki-laki itu di sini?" tanyanya dengan sinis.Matanya berkilat seperti pedang yang siap menebas punggung Pak Surya yang sempat menghentikan langkahnya sejenak saat mendengar suara putranya."Rend, jangan seperti itu, Nak! Biar bagaimanapun dia tetap ayahmu ... sebenci apapun harus tetap menghormatinya," ucap Bu Diah dengan lembut. Jemarinya menepuk sofa di sampingnya, memberi isyarat agar Narendra dud
..Orang itu melangkah pergi sambil tersenyum miring."Assalamualaikum ...!" Terdengar suara salam di pintu depan rumah Ranti. Ternyata Narendra yang baru pulang, entah dari mana."Wa'alaikummussalam," jawab Bu Diah dan Ranti hampir bersamaan. Mereka menoleh sekilas ke arah pintu."Rend, di kamar belakang ada ayahmu," ucap Bu Diah singkat, memberitahu keberadaan Pak Surya."Biar saja, bukan urusan aku, Bu," jawab Rendra acuh, seakan tak peduli sama sekali."Jangan biarkan dia berlama-lama di sini, Kak! Lagipula apa maksudnya Andika itu menyuruh orang tua itu tinggal di sini!" sambung Narendra dengan sengit."Huss!" Ranti langsung mendelik ke arah adiknya. Narendra berlalu begitu saja, masuk ke dalam kamarnya sendiri.Sementara wajah Bu Diah sekilas terlihat pias, dia menghela napas dengan berat."Maafkan Ibu, Rend. Andai dulu aku bisa membuat Mas Surya bertahan denganku, mungkin kamu nggak akan menanggung kebencian sebesar ini pada ayah kandungmu," bisiknya dalam hati.Akhirnya, wanita
Pak Surya menarik napas berat, kepalanya masih terdongak menatap wajah di balik topeng hitam yang menutupi jambret itu."Sekali lagi aku bilang, keluargamu menjadi taruhan atas setiap tindakanmu, pikirkan itu!" desis orang itu sambil mencampakkan kepala Pak Surya begitu saja hingga orangtua itu terhubung dan hampir jatuh. Mereka sama sekali tidak menyentuh Ranti yang masih tergugu di dekat sepeda motornya, pandangannya tak lepas dari ayahnya. "Ternyata dalam tas butut ini tak ada yang menarik. Nih, aku kembalikan!" teriak orang yang memegang tas Ranti dan merogoh isi tas itu. Dia langsung melemparkan tas kecil itu begitu saja ke atas rerumputan. Dalam sekejap, deru motor mereka yang memekakkan telinga sudah memecah kesunyian, meninggalkan raungan keras. Ranti menutup telinganya sambil melangkah dan memungut harta miliknya di atas rumput."Kalianlah yang terlalu bodoh. Kalau mau jambret orang lihat-lihat dulu dong! Sudah tahu miskin main jambret aja, cari yang pakai mobil mewah sana!"
"Bu, jadi gimana menurut Ibu?" tanya Ranti pada Ibunya melalui sambungan telepon."Ya, sudah! Kalau Pak Andika memang bilang seperti itu. Bawa ayahmu tinggal untuk sementara. Di sebelah dapur, kan masih kosong," jawab Bu Diah setelah berpikir beberapa saat.Ranti menarik napas lega, lalu mengalihkan pandangannya pada Polisi tampan yang ada di depannya.Andika yang sedang menatap wajahnya tanpa berkedip, terkejut dan merasa agak kikuk karena kepergok sedang memperhatikan gadis manis itu.Ranti juga langsung mengalihkan pandangan ke arah lain dengan jantung berdebar."Nhapain, sih, dia perhatiin aku sampai segitunya," pikir gadis itu."Kalau begitu, apa saya boleh bawa ayah saya sekarang, Pak?" tanya Ranti untuk menghilangkan kegugupannya."Oh, ya. Silakan," jawab Andika dan langsung menghubungi anak buahnya melalui aiphone,"Letnan Andi, tolong bawa Pak Surya ke sini! Keluarganya sudah menjemput!" perintahnya tanpa basa-basi."Siap, Pak!" Terdengar jawaban dari seberang telepon.Tak ber