"Rend, jam berapa kamu pulang tadi?" tanya Ranti penasaran."Jam delapan, terus langsung tidur. Kenapa, Kak?" Narendra balik bertanya."Tadi kamu dengar nggak, ada yang buka pintu depan sebelum aku?" Ranti makin penasaran saja."Ya, nggak, Kak. Kak Ranti buka pintu aja aku nggak tahu," jawab Narendra dengan tatapan bingung."Ya, udah! Terusin aja tidur kamu! Kakak juga mau langsung istirahat," ucap Ranti sambil berlalu dari pintu kamar adiknya."Terus siapa yang barusan masuk?" gumam Ranti dengan kening berkerut. Dia pun segera masuk ke dalam kamarnya. Ternyata, Aira tidak ada di kamar, berarti tidur dengan neneknya, begitu pikirnya.Dia pun membuka laci rahasianya dan membolak-balik sepuluh lembar foto yang disimpannya."Masih ada lima target, tapi kenapa semua melenceng dari jalur?" monolog gadis itu, tanpa sadar tangannya yang memegang bolpoin menusuk - nusuk salah satu wajah dalam foto."Siapa sebenarnya yang melakukan ini semua? Seharusnya aku, tapi ...," Ranti menyimpan kembali
"Bu, jadi gimana menurut Ibu?" tanya Ranti pada Ibunya melalui sambungan telepon."Ya, sudah! Kalau Pak Andika memang bilang seperti itu. Bawa ayahmu tinggal untuk sementara. Di sebelah dapur, kan masih kosong," jawab Bu Diah setelah berpikir beberapa saat.Ranti menarik napas lega, lalu mengalihkan pandangannya pada Polisi tampan yang ada di depannya.Andika yang sedang menatap wajahnya tanpa berkedip, terkejut dan merasa agak kikuk karena kepergok sedang memperhatikan gadis manis itu.Ranti juga langsung mengalihkan pandangan ke arah lain dengan jantung berdebar."Nhapain, sih, dia perhatiin aku sampai segitunya," pikir gadis itu."Kalau begitu, apa saya boleh bawa ayah saya sekarang, Pak?" tanya Ranti untuk menghilangkan kegugupannya."Oh, ya. Silakan," jawab Andika dan langsung menghubungi anak buahnya melalui aiphone,"Letnan Andi, tolong bawa Pak Surya ke sini! Keluarganya sudah menjemput!" perintahnya tanpa basa-basi."Siap, Pak!" Terdengar jawaban dari seberang telepon.Tak ber
Pak Surya menarik napas berat, kepalanya masih terdongak menatap wajah di balik topeng hitam yang menutupi jambret itu."Sekali lagi aku bilang, keluargamu menjadi taruhan atas setiap tindakanmu, pikirkan itu!" desis orang itu sambil mencampakkan kepala Pak Surya begitu saja hingga orangtua itu terhubung dan hampir jatuh. Mereka sama sekali tidak menyentuh Ranti yang masih tergugu di dekat sepeda motornya, pandangannya tak lepas dari ayahnya. "Ternyata dalam tas butut ini tak ada yang menarik. Nih, aku kembalikan!" teriak orang yang memegang tas Ranti dan merogoh isi tas itu. Dia langsung melemparkan tas kecil itu begitu saja ke atas rerumputan. Dalam sekejap, deru motor mereka yang memekakkan telinga sudah memecah kesunyian, meninggalkan raungan keras. Ranti menutup telinganya sambil melangkah dan memungut harta miliknya di atas rumput."Kalianlah yang terlalu bodoh. Kalau mau jambret orang lihat-lihat dulu dong! Sudah tahu miskin main jambret aja, cari yang pakai mobil mewah sana!"
..Orang itu melangkah pergi sambil tersenyum miring."Assalamualaikum ...!" Terdengar suara salam di pintu depan rumah Ranti. Ternyata Narendra yang baru pulang, entah dari mana."Wa'alaikummussalam," jawab Bu Diah dan Ranti hampir bersamaan. Mereka menoleh sekilas ke arah pintu."Rend, di kamar belakang ada ayahmu," ucap Bu Diah singkat, memberitahu keberadaan Pak Surya."Biar saja, bukan urusan aku, Bu," jawab Rendra acuh, seakan tak peduli sama sekali."Jangan biarkan dia berlama-lama di sini, Kak! Lagipula apa maksudnya Andika itu menyuruh orang tua itu tinggal di sini!" sambung Narendra dengan sengit."Huss!" Ranti langsung mendelik ke arah adiknya. Narendra berlalu begitu saja, masuk ke dalam kamarnya sendiri.Sementara wajah Bu Diah sekilas terlihat pias, dia menghela napas dengan berat."Maafkan Ibu, Rend. Andai dulu aku bisa membuat Mas Surya bertahan denganku, mungkin kamu nggak akan menanggung kebencian sebesar ini pada ayah kandungmu," bisiknya dalam hati.Akhirnya, wanita
"Orang itu siapa, Yah?" Ranti mengernyitkan kening, menunggu ayahnya melanjutkan penuturannya.Namun, tampaknya sulit untuk Pak Surya mengatakan apa yang dia ketahui."Dia ... Ayah juga tidak tahu!"Akhirnya, hanya ucapan itu yang terucap dari bibir tuanya. Lelaki paruh baya itu segera melangkah pergi menuju ruang dalam. Sekilas dia melirik ke arah kamar putranya, Narendra.Langkahnya terlihat gontai, seperti sedang ada yang dipikirkan, tatapan matanya begitu rumit.Krietttt!Tiba-tiba, pintu kamar Narendra terbuka dan muncul sosok tampan itu di depan pintu kamar."Bu, mau sampai kapan laki-laki itu di sini?" tanyanya dengan sinis.Matanya berkilat seperti pedang yang siap menebas punggung Pak Surya yang sempat menghentikan langkahnya sejenak saat mendengar suara putranya."Rend, jangan seperti itu, Nak! Biar bagaimanapun dia tetap ayahmu ... sebenci apapun harus tetap menghormatinya," ucap Bu Diah dengan lembut. Jemarinya menepuk sofa di sampingnya, memberi isyarat agar Narendra dud
"Selamat pagi Bu Vira, saya Inspektur Andika dari kepolisian. Bagaimana kondisi Ibu saat ini?" tanya Andika setelah memberi hormat dan berdiri di samping pembaringan Vira.Perlahan, Vira memutar kepalanya yang sedang menatap dinding kamar VIP di rumah sakit kepolisian. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat itu.Sesaat, ia nampak bingung dan mengerutkan keningnya."Saya ada di mana, Pak Polisi? Apa yang terjadi sama saya?" tanyanya dengan linglung, membuat Andika sedikit terhempas, raut wajahnya seketika berubah kelam.'Jangan-jangan dia amnesia?' bisiknya dalam hati."Apa Ibu tidak ingat kejadian apa yang membuat Ibu masuk rumah sakit ini?" tanya Andika masih dengan penuh harapan.Di mana suami saya, Pak, apa dia baik-baik saja?" Kembali pertanyaan Vira membuat Andika mulai kehilangan semangat. Tapi sebagai seorang polisi yang berpengalaman, dia tidak boleh menunjukkan kegelisahannya pada anak buahnya yang ada di ruangan itu."Baiklah, sebaiknya Bu Vira istirahat dulu supaya tenan
Murni segera berlari kembali menuju kamar Vira.Apa yang dilihatnya sungguh membuat jantungnya seperti ingin melompat dari tempatnya.Tampak di atas kasur, tubuh Vira yang sedang menggelepar seperti ikan kehabisan air.Posisi kepalanya berada di sisi pembaringan, sementara tubuhnya telentang di atas kasur.Wajahnya membiru dengan mata mendelik. Dari sudut bibirnya keluar busa yang langsung jatuh ke lantai. Tangannya memegangi leher seperti mencekik diri sendiri, padahal mungkin sedang mencari udara untuk bernapas."Ya, Tuhan! Panggil Inspektur Andika ... cepat!" teriak Murni, entah pada siapa. Tersadar, dia langsung memencet bel pemanggil Dokter dengan panik."Kecolongan, Dok! Kita kecolongan. Padahal baru saya tinggal beberapa menit. Saya pikir masih ada polisi yang berjaga di sekitar kamar Ibu Vira!" teriak Murni panik saat Dokter Widya yang menangani Vira saat ini datang. Tanpa banyak bicara Dr. Widya langsung memeriksa kondisi Vira yang masih sekarat, tubuhnya dangat lemah dan n
"Itu ... itu cleaning servis yang ada di depan ... jangan-jangan dia pelakunya!" Suster Murni berseru dengan lantang, telunjuknya menunjuk tepat ke wajah orang yang sedang dizoom oleh Letnan Ardi pada layar monitor.Seketika Inspektur Andika dan Letnan Ardi fokus menatap pada Suster Murni."Maksud Suster ... Anda pernah melihat orang ini juga sebelumnya?" tanya Andika dengan penuh selidik."Iya ... iya, saya yakin bertabrakan dengan cleaning servis ini sesaat sebelum peristiwa itu terjadi," jawab Murni dengan sangat yakin."Tunggu dulu! Di sini kita lihat dia baru berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Ini berarti tiga puluh lima menit sebelum tewasnya Ibu Vira. Kita lihat, dia tidak mengenakan seragam cleaning servis rumah sakit ini. Coba cari gambar orang ini di tempat lain sekitar rumah sakit!" perintah Andika sedikit bersemangat karena mulai menemukan titik terang."Kita zoom dulu wajahnya!" seru Andika lagi, hampir saja terlupa."Gambarnya sedikit blur, Pak. Apalagi dia menggunaka
Ridho mengernyitkan keningnya samar, baru kemudian menjawab dengan tenang."Mau berapa lagi yang Lu eksekusi, Bro?" tanyanya pelan. Tangannya masih sibuk mengelus kepala Si Jago miliknya. Sesaat kemudian dia berjalan ke arah kandang dan melepaskan ayamnya dalam kandang tersebut.Kukkuruyuuukkk!Terdengar suara lantang ayam tersebut, seolah kembali menantang lawannya.Ridho berjalan ke arah Narendra yang mulai terlihat sinis dengan mata merahnya. Sepertinya, minuman berkonsentrasi alkohol tinggi mulai menguasai dirinya."Hahaha! Kalau perlu gue akan buat semua jenis orang kayak gitu mampus di tangan gue!" ucapnya dengan lantang.Ridho yang menyadari situasi itu segera menutup mulut Narendra dengan tangan kanan dan menyeret tubuh sahabatnya untuk segera masuk ke dalam rumah."Gila, Lu! Jangan teriak-teriak di luar. Lu mau semua orang tahu dan dengerin omongan lu yang mulai ngaco! Udah, mending Lu istirahat dulu, deh. Tar kalau udah sadar gue ajakin liat target!" ucap Ridho, mendorong t
Andika melepaskan tembakan ke udara untuk menghentikan gerakan seseorang yang terlihat sedang berusaha melarikan diri.Polisi segera mengejar ke arah suara itu."Berhenti atau kami tembak!" Kembali Andika berteriak dengan lantang. Namun orang yang berpakaian serba hitam yang baru saja melompat melalui jendela dati kamar bagian belakan rumah Ranti, sama sekali tidak mengindahkan seruan tersebut."Satu ...,""Dua ...,""Ti ... ga!"Dorrr! Dorr!"Aahhhh ...!" terdengar suara teriakan orang tersebut berbarengan dengan jeritan Bu Diah yang menyaksikan langsung peristiwa itu.Seketika, orang berpakaian serba hitam dan memakai penutup wajah yang berwarna hitam pula itu jatuh terduduk sambil memegangi kaki kanannya yang terkena peluru dan mengeluarkan banyak darah.Andika dan anak buahnya segera menghampiri orang tersebut."Siapa kamu!" bentak Andika dan memberi isyarat pada Letnan Ardi untuk membuka penutup kepala orang tersebut.Seketika, mereka semua terkejut melihat wajah yang ada di bali
"Itu ... itu cleaning servis yang ada di depan ... jangan-jangan dia pelakunya!" Suster Murni berseru dengan lantang, telunjuknya menunjuk tepat ke wajah orang yang sedang dizoom oleh Letnan Ardi pada layar monitor.Seketika Inspektur Andika dan Letnan Ardi fokus menatap pada Suster Murni."Maksud Suster ... Anda pernah melihat orang ini juga sebelumnya?" tanya Andika dengan penuh selidik."Iya ... iya, saya yakin bertabrakan dengan cleaning servis ini sesaat sebelum peristiwa itu terjadi," jawab Murni dengan sangat yakin."Tunggu dulu! Di sini kita lihat dia baru berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Ini berarti tiga puluh lima menit sebelum tewasnya Ibu Vira. Kita lihat, dia tidak mengenakan seragam cleaning servis rumah sakit ini. Coba cari gambar orang ini di tempat lain sekitar rumah sakit!" perintah Andika sedikit bersemangat karena mulai menemukan titik terang."Kita zoom dulu wajahnya!" seru Andika lagi, hampir saja terlupa."Gambarnya sedikit blur, Pak. Apalagi dia menggunaka
Murni segera berlari kembali menuju kamar Vira.Apa yang dilihatnya sungguh membuat jantungnya seperti ingin melompat dari tempatnya.Tampak di atas kasur, tubuh Vira yang sedang menggelepar seperti ikan kehabisan air.Posisi kepalanya berada di sisi pembaringan, sementara tubuhnya telentang di atas kasur.Wajahnya membiru dengan mata mendelik. Dari sudut bibirnya keluar busa yang langsung jatuh ke lantai. Tangannya memegangi leher seperti mencekik diri sendiri, padahal mungkin sedang mencari udara untuk bernapas."Ya, Tuhan! Panggil Inspektur Andika ... cepat!" teriak Murni, entah pada siapa. Tersadar, dia langsung memencet bel pemanggil Dokter dengan panik."Kecolongan, Dok! Kita kecolongan. Padahal baru saya tinggal beberapa menit. Saya pikir masih ada polisi yang berjaga di sekitar kamar Ibu Vira!" teriak Murni panik saat Dokter Widya yang menangani Vira saat ini datang. Tanpa banyak bicara Dr. Widya langsung memeriksa kondisi Vira yang masih sekarat, tubuhnya dangat lemah dan n
"Selamat pagi Bu Vira, saya Inspektur Andika dari kepolisian. Bagaimana kondisi Ibu saat ini?" tanya Andika setelah memberi hormat dan berdiri di samping pembaringan Vira.Perlahan, Vira memutar kepalanya yang sedang menatap dinding kamar VIP di rumah sakit kepolisian. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat itu.Sesaat, ia nampak bingung dan mengerutkan keningnya."Saya ada di mana, Pak Polisi? Apa yang terjadi sama saya?" tanyanya dengan linglung, membuat Andika sedikit terhempas, raut wajahnya seketika berubah kelam.'Jangan-jangan dia amnesia?' bisiknya dalam hati."Apa Ibu tidak ingat kejadian apa yang membuat Ibu masuk rumah sakit ini?" tanya Andika masih dengan penuh harapan.Di mana suami saya, Pak, apa dia baik-baik saja?" Kembali pertanyaan Vira membuat Andika mulai kehilangan semangat. Tapi sebagai seorang polisi yang berpengalaman, dia tidak boleh menunjukkan kegelisahannya pada anak buahnya yang ada di ruangan itu."Baiklah, sebaiknya Bu Vira istirahat dulu supaya tenan
"Orang itu siapa, Yah?" Ranti mengernyitkan kening, menunggu ayahnya melanjutkan penuturannya.Namun, tampaknya sulit untuk Pak Surya mengatakan apa yang dia ketahui."Dia ... Ayah juga tidak tahu!"Akhirnya, hanya ucapan itu yang terucap dari bibir tuanya. Lelaki paruh baya itu segera melangkah pergi menuju ruang dalam. Sekilas dia melirik ke arah kamar putranya, Narendra.Langkahnya terlihat gontai, seperti sedang ada yang dipikirkan, tatapan matanya begitu rumit.Krietttt!Tiba-tiba, pintu kamar Narendra terbuka dan muncul sosok tampan itu di depan pintu kamar."Bu, mau sampai kapan laki-laki itu di sini?" tanyanya dengan sinis.Matanya berkilat seperti pedang yang siap menebas punggung Pak Surya yang sempat menghentikan langkahnya sejenak saat mendengar suara putranya."Rend, jangan seperti itu, Nak! Biar bagaimanapun dia tetap ayahmu ... sebenci apapun harus tetap menghormatinya," ucap Bu Diah dengan lembut. Jemarinya menepuk sofa di sampingnya, memberi isyarat agar Narendra dud
..Orang itu melangkah pergi sambil tersenyum miring."Assalamualaikum ...!" Terdengar suara salam di pintu depan rumah Ranti. Ternyata Narendra yang baru pulang, entah dari mana."Wa'alaikummussalam," jawab Bu Diah dan Ranti hampir bersamaan. Mereka menoleh sekilas ke arah pintu."Rend, di kamar belakang ada ayahmu," ucap Bu Diah singkat, memberitahu keberadaan Pak Surya."Biar saja, bukan urusan aku, Bu," jawab Rendra acuh, seakan tak peduli sama sekali."Jangan biarkan dia berlama-lama di sini, Kak! Lagipula apa maksudnya Andika itu menyuruh orang tua itu tinggal di sini!" sambung Narendra dengan sengit."Huss!" Ranti langsung mendelik ke arah adiknya. Narendra berlalu begitu saja, masuk ke dalam kamarnya sendiri.Sementara wajah Bu Diah sekilas terlihat pias, dia menghela napas dengan berat."Maafkan Ibu, Rend. Andai dulu aku bisa membuat Mas Surya bertahan denganku, mungkin kamu nggak akan menanggung kebencian sebesar ini pada ayah kandungmu," bisiknya dalam hati.Akhirnya, wanita
Pak Surya menarik napas berat, kepalanya masih terdongak menatap wajah di balik topeng hitam yang menutupi jambret itu."Sekali lagi aku bilang, keluargamu menjadi taruhan atas setiap tindakanmu, pikirkan itu!" desis orang itu sambil mencampakkan kepala Pak Surya begitu saja hingga orangtua itu terhubung dan hampir jatuh. Mereka sama sekali tidak menyentuh Ranti yang masih tergugu di dekat sepeda motornya, pandangannya tak lepas dari ayahnya. "Ternyata dalam tas butut ini tak ada yang menarik. Nih, aku kembalikan!" teriak orang yang memegang tas Ranti dan merogoh isi tas itu. Dia langsung melemparkan tas kecil itu begitu saja ke atas rerumputan. Dalam sekejap, deru motor mereka yang memekakkan telinga sudah memecah kesunyian, meninggalkan raungan keras. Ranti menutup telinganya sambil melangkah dan memungut harta miliknya di atas rumput."Kalianlah yang terlalu bodoh. Kalau mau jambret orang lihat-lihat dulu dong! Sudah tahu miskin main jambret aja, cari yang pakai mobil mewah sana!"
"Bu, jadi gimana menurut Ibu?" tanya Ranti pada Ibunya melalui sambungan telepon."Ya, sudah! Kalau Pak Andika memang bilang seperti itu. Bawa ayahmu tinggal untuk sementara. Di sebelah dapur, kan masih kosong," jawab Bu Diah setelah berpikir beberapa saat.Ranti menarik napas lega, lalu mengalihkan pandangannya pada Polisi tampan yang ada di depannya.Andika yang sedang menatap wajahnya tanpa berkedip, terkejut dan merasa agak kikuk karena kepergok sedang memperhatikan gadis manis itu.Ranti juga langsung mengalihkan pandangan ke arah lain dengan jantung berdebar."Nhapain, sih, dia perhatiin aku sampai segitunya," pikir gadis itu."Kalau begitu, apa saya boleh bawa ayah saya sekarang, Pak?" tanya Ranti untuk menghilangkan kegugupannya."Oh, ya. Silakan," jawab Andika dan langsung menghubungi anak buahnya melalui aiphone,"Letnan Andi, tolong bawa Pak Surya ke sini! Keluarganya sudah menjemput!" perintahnya tanpa basa-basi."Siap, Pak!" Terdengar jawaban dari seberang telepon.Tak ber