Membuka matanya perlahan, Dini merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya. Ia lalu menunduk dan melihat pada bagian atas tubuhnya, terdapat beberapa jejak merah yang Bagas tinggalkan. Senyum malu-malu tersungging di bibirnya. Ia lalu membenamkan diri dalam dekapan Bagas yang juga menyambutnya dengan mempererat dekapannya. Baru beberapa detik, Dini kemudian terperanjat dan meronta."Ada apa, Din?" tanya Bagas membuka mata."Sudah pagi, Gas. Sudah jam delapan lewat," kata Dini menunjuk jam yang berada tepat di depan kasur mereka."Yaudah lah, tidur lagi aja," sahut Bagas santai."Aku kerja, Gas. Kamu enak bisa masuk kerja sesuka kamu," bantah Dini. Baru akan menyibakkan selimut, Bagas kembali menarik tangan istrinya."Gas, aku harus kerja," ucap Dini."Kamu sudah terlambat. Mau nyampe kantor jam berapa?""Ya aku bisa ngasih alasan sama orang kantor nanti," kata Dini."Ambil ponsel kamu sini," pinta Bagas pada Dini."Buat apa?""Ambil aja dulu," tukas Bagas dengan sebelah tangan menenga
Menyajikan teh untuk Hendri, Mira masih kepikiran dengan apa yang ia lihat kemarin malam. Seingatnya setelah mencampakkan Bagas, wanita itu pindah keluar kota ikut dengan atasannya yang tajir untuk menikah. Setelah sekian lama kenapa wanita itu kembali lagi ke kota dimana Bagas berada."Mikirin apa sih, Mama?" tanya Hendri meminum teh yang Mira sajikan."Mama kemarin lihat Prita, Pa.""Prita? Mantan pacar Bagas?" Hendri memperjelas."Iya, Pa. Mama juga kaget lihatnya," ucap Mira masih tak percaya."Mama lihat di mana? Salah liat kali.""Nggak salah liat, Pa. Mama liat dia kemarin. Kita keluar dari restoran, dia baru datang sendiri.""Sudah gak usah dipikirin. Bagas juga sudah menikah. Papa lihat dia juga bahagia sama Dini. Mama push mereka aja, tanyain kapan mau punya anak. Papa sudah pengen gendong cucu. Teman-teman Papa semuanya kalau ketemu yang dibahas cucu, bukan kerjaan lagi.""Iya nanti Mama coba ajak ngobrol mereka berdua, Pa. Mama juga sama.
Mengeringkan rambutnya, Dini bersiap untuk pergi ke kantor. Ia kemudian menyiapkan pakaian yang akan Bagas kenakan lalu bergegas menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya itu.Senyum tak lepas dari bibirnya mengingat bagaimana Bagas memperlakukannya begitu lembut dan mesra."Tehnya dong, Din," kata Bagas tiba di ruang makan."Bentar, Gas," sahut Dini mendekatkan piring berisi dua lembar roti yang telah diolesi dengan selai coklat. Tak berapa lama Dini segera menghidangkan segelas teh untuk Bagas. Ia lalu kembali ke kamar dan mengambil tasnya.***Dini tiba di kantor tepat lima menit sebelum jam absen lewat. Begitu tiba di ruangan, ia merasa ada yang kurang. Tak ada yang berubah tapi suasana ada yang berbeda."Oh iya, Tiara hari ini cuti," ucap Dini melengos. Itu artinya selama Tiara cuti, ia hanya sendiri di ruangan ini. Sebenarnya tak sendiri juga, kadang ada anak magang yang menemaninya saat pekerjaan sedang banyak-banyaknya. Meletakkan tasn
Pesan yang dibalas dan telepon yang diangkat oleh Bagas, kini menjadi senjata tuan baginya. Hampir setiap jam Prita mengirimkan pesan dan foto-foto kenangan mereka di masa lalu. Kalau Bagas tak merespon, Prita akan langsung menerornya dengan panggilan yang bertubi-tubi.“Ada apa sih, Prita?” tanya Bagas sambil mengacak-ngacak rambutnya. Ia benar-benar terganggu tapi tak tahu kenapa ia juga tak bisa berkata kasar pada wanita dari masa lalunya itu.Di seberang sana, Prita tersenyum bahagia mendengar Bagas kembali menyebut namanya. Sejak Bagas kembali menghiraukannya, baru kali ini namanya Bagas sebut.“Aku seneng banget kamu sebut nama aku lagi, Gas. Rasanya, aku ...”“Ya kamu mau apa? Aku lagi sibuk kerja,” ucap Bagas dengan nada sedikit naik. Hanya sedikit.“Kamu lagi sibuk kerja? Aku kirimin kue yang ke kantor kamu? Kue kesukaan kamu, supaya kamu tambah semangat kerjanya,” ucap Prita penuh harap.“Gak usah, Prita. Kamu jangan ganggu aku, itu sudah cukup,” ucap Bagas lagi.“Aku ganggu
Aditya tak mengeluarkan sepatah katapun. Sebenarnya ia sedih melihat Dini yang seperti itu. Namun ia juga tak bisa serta merta berkomentar.Mengerjap-ngerjap matanya, Dini berusaha agar air matanya tidak terus menerus mengalir. Tangannya menyeka pipi yang telah basah."Ini," ucap Aditya memberikan tisu."Makasih, Dit. Gak tahu nih kenapa jadi kelilipan," dusta Dini sambil tertawa. Tawa yang sangat dipaksakan.Aditya hanya tersenyum."Dit, aku kayaknya turun di depan aja. Aku baru ingat mau ke rumah Mama," pinta Dini pada Aditya."Biar aku antar aja, Din.""Gak usah, Dit. Agak jauh nanti aku ngerepotin kamu," tolak Dini.Aditya tau apa yang sedang Dini rasakan, tak mungkin membiarkan wanita itu sendirian."Tadi kan awalnya kamu setuju untuk aku antar pulang. Kalau gitu aku antar kamu pulang ke apartemen aja. Kalau setelah itu kamu mau ke rumah orang tua kamu, itu terserah. Yang jelas aku sudah ngantar kamu sesuai dengan kesepakatan di awal," dalih Aditya.Dini hanya terdiam. Ia kembali
Dini tak sengaja melihat layar ponsel Bagas yang menyala. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.‘Ay’ gumam Dini membaca isi pesan yang muncul di layar ponsel Bagas. Pikirannya mulai berkecamuk. Saat Bagas datang dari dapur, tanpa basa basi Dini langsung menanyakan perihal isi pesan itu.“Orang salah kirim kali, Din,” sahut Bagas santai seraya menikmati cemilan yang Dini buatkan.“Salah kirim? Tapi kenapa terdengar seperti panggilan kesayangan?” tanya Dini lagi.“Ya aku gak tahu, Din. Namanya juga orang salah kirim,” jawab Bagas.“Kalau gitu kamu buka lalu kamu balas pesannya,” kata Dini sedikit ngotot sambil menyodorkan ponsel milik suaminya.“Ngapain? Gak usah lah. Capek-capekin aja.” Bagas menerima ponselnya dari tangan Dini namun langsung meletakkannya kembali di atas meja.“Capek apanya? Cuma buka, lalu kamu balas. Kalau kamu capek, biar aku yang balas,” ucap Dini kembali mengambil ponsel milik Bagas dan memberikannya pada Bagas. “Gak usah.
Mengambil kemeja Bagas dari keranjang pakaian kotor, entah mengapa muncul keinginan Dini untuk membaui kemeja yang telah suaminya itu pakai. Aroma parfum yang biasa Bagas pakai tercium jelas di hidung Dini telah tercampur dengan aroma parfum lain. Berkali-kali ia membaui, tetap sama. Aroma parfum yang tertinggal di kemeja Bagas itu bukan milik Bagas.“Kamu ganti parfum?” tanya Dini dengan nada rendah. Masih pagi dan Dini tak ingin ribut dengan Bagas.“Nggak. Parfumku masih yang itu. Parfum yang kamu belikan waktu itu. Kenapa?” tanya Bagas mendelik.“Baunya beda,” kata Dini menyodorkan kemeja itu.Bagas langsung membaui kemeja bekas pakainya. “Sama kok. Ini baunya sama kaya parfum yang biasa aku pakai.”“Beda, Gas. Kamu gak bisa cium?” Dini kembali menyodorkan kemeja berwarna biru itu.“Sama. Kamu yang gak bisa cium, Din.” Bagas bersikeras.“Gas,” lirih Dini.“Sama, Din. Kamu gak bisa cium?” Bagas naik pitam.“Gas, aku cuma nanya. Kamu kenapa marah
Duduk bersandar di kursi kerjanya, Bagas memandang layar laptop dengan pikiran yang berkelana kemana-mana. Kadang ia teringat ekspresi wajah Dini saat menangis, lalu berganti dengan gaya manja Prita. Bagas sendiri sebenarnya tak tahu apa yang mendorongnya mau untuk meladeni Prita. Ada rasa puas saat ia melihat sikap Prita yang membutuhkannya, namun ia juga tak bisa melihat istrinya menangis. Seketika ia langsung merasa bersalah. Ia memainkan pulpen di jemari tangannya. Mulai memikirkan cara agar bisa terus meladeni Prita namun tidak melukai Dini. Ia masih ingin melihat Prita mengemis untuk kembali padanya.***Setelah beberapa hari berturut-turut Bagas menunjukkan gelagat yang tak biasa. Hari ini ia kembali seperti Bagas yang Dini kenal. Sepanjang malam hingga pagi menjelang, ia tak membiarkan Dini jauh darinya.“Kemana? Kan hari ini kamu gak kerja?” Bagas memeluk erat Dini.“Aku mau ke kamar mandi, Gas. Sakit perut,” ucap Dini masih berusaha melepaskan diri dari Bagas.“Kamu ih. Haru
Menuruti keinginan Dini yang meminta untuk lebih lama menginap di rumah Mama, Bagas harus rela bolak balik apartemen untuk mengambilkan keperluan istrinya itu. Kalau dihitung, ini sudah hampir dua minggu mereka menginap di rumah Mama. Dan selama itu juga Bagas harus terima kalau tempat tidurnya masih di lantai.“Hati-hati di jalan ya,” pesan Papa dan Mama mengantarkan mereka pergi bekerja.Mengemudikan mobil merah milik Dini, Bagas mengantarkan istrinya ke kantor terlebih dulu.“Mobil kamu mana?”“Masih di bengkel,” sahut Bagas.“Bengkel?”“Iya. Penyok gara-gara ditabrak truk dari belakang,” sahut Bagas.Dini syok mendengar ucapan Bagas namun berusaha untuk menutupinya. “Terus?”“Ya masih di perbaiki. Kalau sudah kembali seperti semula, mobil itu mau aku jual.”“Kenapa kamu jual?” tanya Dini dengan senyum sinis.“Kamu kan gak mau lagi pakai mobil itu. Jadi buat apa? Tunggu mobil itu laku baru aku beli mobil baru lagi. Sementara kita pakai mobi
Papa dan Mama sedikit menaruh curiga pada Dini, pasalnya saat Mama masuk ke dalam kamar Dini, Mama melihat sobekan bungkus obat tergeletak di atas meja.“Din,” panggil Mama.“Eh, Mama ngapain di kamar?” tanya Dini sedikit gelagapan. Ia tak mengira Mama akan masuk ke dalam kamarnya.“Kamu sakit? Ini bungkus obat apa?” tanya Mama sambil menunjukkan bungkus obat yang ia pegang.“Oh itu obat sakit perut, Ma. Dini kebanyakan makan sambel,” jawab Dini asal dengan wajah meyakinkan sambil mengambil bungkusan obat itu dan membuangnya ke tempat sampah.“Yang bener? Jadi kamu ini kamu gak masuk kerja?” tanya Mama lagi.“Iya, Ma. Dini izin sakit beberapa hari,” sahut Dini kemudian mengajak Mama keluar dari kamarnya.“Ya sudah kalau gitu. Mama mau mandi dulu.”“Mau makan malam apa, Ma? Biar Dini masak,” ucap Dini sebelum Mama masuk ke dalam kamar.“Gak usah. Nanti Bagas yang bawain makanan,” sahut Mama.“Bagas?” ulang Dini bingung.“Iya. Bagas sua
Terbangunkan karena merasakan keram di kakinya, Bagas mendengar suara agak berisik dari arah dapur. Meregangkan otot-ototnya, Bagas perlahan berjalan menuju sumber suara. Tampak Dini tengah mempersiapkan sarapan pagi.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Bagas memeluk Dini dari belakang.“Jangan dekat-dekat, Gas. Hubungan kita sedang tidak baik-baik saja,” kata Dini mengacungkan sebilah pisau dapur yang sedang ia pegang.“Kalau itu yang kamu mau, aku pasrah,” kata Bagas tak melepaskan pelukannya.“Aku gak main-main, Gas,” ucap Dini masih mengacungkan pisau ke hadapan Bagas.“Aku juga gak main-main, Din. kalau hal itu bisa menebus semua kesalahan aku, aku rela,” kata Bagas.Tak main-main, Dini benar menusukkan ujung pisau itu ke tangan Bagas hingga menyebabkan luka kecil dan berdarah.“Lepas atau ini akan tambah dalam,” kata Dini dalam hati sudah mulai khawatir dengan Bagas.Perlahan Bagas mengurai pelukannya dan Dini melepaskan pisau itu dan melemparkannya ke
Mengemasi barang-barangnya, Dini sudah diperbolehkan pulang sore ini. Ia menghubungi Mira hendak memberitahu kalau ia akan pulang ke rumah orang tuanya."Kamu sudah benar-benar sehat kan, Sayang? Mama gak bisa kesana sekarang, Papa kamu tiba-tiba aja gak enak badan," kata Mira asal. Ia sebenarnya bisa ke rumah sakit dari tadi, tapi Hendri melarang dengan alasan agar Bagas dan Dini bisa menyelesaikan masalahnya sendiri."Sudah enakan kok, Ma. Gapapa, Mama temenin Papa aja. Cepat sembuh ya buat Papa, Ma," kata Dini masih memberi perhatian padahal ia sendiri juga sedang tidak enak badan.“Iya, Sayang. Nanti Mama juga datang jengukin kamu,” kata Mira.“Iya, Ma. Dini tutup dulu ya,” ucap Dini mengakhiri panggilannya.“Kita pulang sekarang?” tanya Bagas yang juga sudah siap meninggalkan kamar rumah sakit.“Aku bisa pulang sendiri.”“Aku yang antar kamu, Din. Apa kata Mama nanti kalau kamu datang sendirian. Bawa barang banyak kayak gini lagi,” ucap Bagas.“Y
Sepanjang malam Bagas menunggu di luar kamar karena Mira tak memperbolehkan ia masuk. Begitu melihat dokter dan beberapa perawat hendak masuk ke dalam, Bagas langsung beranjak dan mengikuti mereka masuk. Melihat itu, Mira tak mungkin langsung mengusir Bagas di depan dokter dan perawat.“Saya periksa dulu ya,” kata dokter itu ramah meminta izin untuk mengecek perut Dini.Meski sedikit tak enak, Dini tetap pasrah.“Masih ada keluhan?” tanya dokter itu lagi.“Gak ada sih, Dok,” sahut Dini dengan senyum tipis di bibirnya. Wajahnya sudah mulai cerah tidak pucat seperti kemarin.“Kalau gitu, nanti sore sudah bisa pulang ya,” ucap dokter itu sambil berjalan meninggalkan kamar Dini bersama satu perawat, sementara perawat yang lain memberikan obat untuk Dini.Begitu dokter dan perawat tadi telah keluar, Mira langsung berkacak pinggang menatap Bagas. Siap untuk menerkam anaknya itu.“Keluar,” kata Mira dengan jari telunjuk menunjuk ke arah pintu.“Ma,” lirih B
Seorang dokter lain yang melihat dokter yang menangani Dini tadi, menghampiri."Dok, pasien tadi siapa?""Dokter Wina," ucap dokter Ningsih, dokter yang menangani Dini tadi. "Pasien, ibu muda. Baru selesai kuret dan pengangkatan kista. Kenapa? Dokter Wina kenal?""Mirip sama menantu temen saya, Dok. Namanya siapa?""Andini Wijaya kalau gak salah. Dia kesini gak sama suaminya, diantar sama teman kerjanya. Saya duluan ya, Dok," ucap dokter Ningsih."Ia, Dok." Dokter Wina kemudian menghubungi Mira. Ia yakin benar kalau pasien yang dilihatnya sekilas tadi, adalah menantu dari Mira, teman arisannya.Alunan lagu legend yang dibawakan oleh penyanyi internasional kelas atas terdengar memenuhi setiap sudut ruangan kamar."Ma, ada telepon." Teriakan kecil Hendri yang tengah serius menatap layar ponselnya membuat Mira yang sedang berada di depan meja rias, sedikit terkejut."Angkat dong, Pa. Mama lagi tanggung nih," kata Mira dengan jari yang masih memoles cream malam ke wajahnya."Gak bisa, Ma.
Hari ini, Dini terpaksa lembur karena harus menyelesaikan laporan keuangan. Laporan yang akan disampaikan di rapat awal bulan yang jatuh di hari esok. Setelah menyimpan file dalam bentuk pdf dan mengirimkannya ke email atasannya, Dini bersiap pulang. Setelah hampir seminggu suasana di antara Bagas dan Dini tidak kondusif, kemarin mereka mulai kembali berbaikan. Dini merasa Bagas yang ia kenal dulu sudah kembali.Dini tetap memberi kabar pada suaminya akan pulang terlambat, seperti permintaan Bagas tadi pagi, meski tak ada balasan dari Bagas. Karena posisi akhir bulan, mungkin ia juga tengah lembur di kantor, pikirnya. Tak jauh dari kantornya, Dini menepikan mobil, dan berniat hendak membeli martabak kesukaan Bagas. Baru beberapa langkah meninggalkan mobilnya, Dini melihat mobil Bagas menepi.'Ih, sehati gitu' ucapnya dalam hati senang. Ia melangkah kaki lebih cepat agar bisa mengejutkan Bagas. Tangannya meraih pundak Bagas dan tersenyum. Namun senyum di bibir merahnya tak bertahan lam
Bagas begitu terkejut saat terbangun dan tak melihat Dini di sampingnya. Mengenakan pakaiannya, ia segera keluar kamar dan mengecek keberadaan Dini."Kenapa dia malah tidur di sini?" tanya Bagas bingung melihat istrinya tidur di sofa. Ia berjongkok dan menatap wajah Dini dari dekat. Wajahnya terlihat sembab dengan mata yang sedikit bengkak."Din… Dini, kamu sakit, Sayang?" tanya Bagas memegang kening istrinya itu.'Gak demam kok' ucap Bagas dalam hati. "Din," kata Bagas membangun Dini. Ia menggoyang-goyangkan bahu Dini pelan.Membuka mata perlahan, Dini merasakan pedas pada matanya karena terlalu lama menangis semalam."Kamu kenapa tidur di sini?""Gapapa, Gas. Aku nonton film kemarin. Aku mandi dulu ya, Gas," ucap Dini tak semangat. Ia benar-benar tak tahu harus bersikap apa setelah tahu Bagas dulu melakukan hal itu dengan mantan pacarnya. Yang sekarang kembali lagi dan Bagas masih menemuinya. Mungkin saja hal itu akan Bagas ulangi lagi.Bagas
Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya mobil yang Bagas belikan untuk Dini datang juga. Bagas sengaja meminta pada pihak showroom untuk mengantarkan mobil itu di hari sabtu, saat mereka sama-sama sedang libur. “Cantik banget,” goda Bagas saat melihat Dini telah siap dengan pakaian casual nya.“Ya udah ayo, nanti supermarketnya penuh. Ini kan akhir pekan,” kata Dini.Bagas sengaja mengajak Dini untuk keluar dengan alasan membeli beberapa bahan makanan, padahal ia ingin memberikan kejutan pada Dini. Mobil miliknya yang sudah terparkir di basement.“Buka mobilnya, Gas,” kata Dini siap untuk masuk ke dalam mobil Bagas.“Buka sendiri. Ini kuncinya,” ucap Bagas sambil menekan tombol yang ada pada kunci itu.Terdengar bunyi yang bukan berasal dari mobil Bagas.“Mobil punya kamu, Sayang,” kata Bagas memeluk Dini.“Yang bener” Dini bertanya balik tak percaya. Mata berkaca-kaca saking senangnya.Bagas mengangguk.Begitu semangatnya, Dini langs