Lima belas menit berlalu. Saat ini Adam dan Jiya baru saja selesai mendaftar dan duduk di ruang tunggu di salah satu klinik yang ada di dekat perumahan tempat Raka dan keluarganya tinggal."Sudahlah Mas, ini dikasih obat merah juga bakal sembuh," ucap Jiya yang merasa enggan untuk diperiksa dokter."Jangan bercanda, lukamu itu parah," sahut Adam yang saat ini duduk tepat di samping Jiya.Sesaat kemudian Jiya berdiri. "Sudah kubilang ini tidak apa-apa, aku—" Belum selesai Jiya bicara, Adam langsung menarik tangan Jiya hingga membuat Jiya duduk kembali."Tolonglah Mas, aku bisa mengobati ini sendiri," ujar Jiya yang kini mulai memohon dengan ekspresi memelas di wajahnya.Adam langsung menoleh dan menatap Jiya dengan tajam. "Kamu bukan anak kecil lagi. Apa aku perlu membujukmu seperti anak TK?""Membujuk apa, aku ini hanya tidak mau membuang-buang uang," sahut Jiya dengan ketus, mencoba untuk menutupi alasan yang sebenarnya."Kita ini pernah hidup bersama, Ji. Mana mungkin aku
Jiya kini berada di dalam pelukan Adam. Beberapa saat yang lalu, Jiya yang sedang menggerutu berjalan dengan seenaknya tanpa melihat ke sekitar, dan di saat yang sama sebuah mobil melaju ke arahnya."Hoe! Kalau jalan pakai mata!" teriak sopir mobil tersebut."Maaf," ucap Adam sambil mengangkat tangannya.Sopir kendaraan tersebut pun melengos dan kemudian melanjutkan mengemudi kendaraan itu meninggalkan Adam dan Jiya yang saat ini masih berpelukan di pinggir halaman depan klinik tersebut.Sesaat kemudian Adam pun melepaskan pelukannya. "Kamu tidak apa-apa kan?" tanyanya sambil memegang wajah Jiya.Jiya terdiam, dia menatap mata Adam selama beberapa saat tanpa mengatakan sepatah kata pun. "Kenapa kamu diam saja? Bicaralah!" Pinta Adam yang kini berubah khawatir melihat Jiya yang hanya diam saja."Terima kasih," ucap Jiya sambil mundur selangkah. "Terima kasih sudah membantuku, jika tidak ada kamu mungkin aku sudah tertabrak tadi."Adam terdiam sejenak, dia bisa merasakan kalau saat ini
"Aku tidak mengerti apa maksud kamu," sahut Nyonya Desi yang ada di dalam panggilan itu."Bukankah tadi Jiya datang ke rumah kita?" Raka kembali bertanya.Terdengar helaan napas dari dalam panggilan tersebut. "Oh, ini soal Jiya yang terluka tadi," sahut Nyonya Desi dengan tenang.Raka pun mengerutkan dahinya mendengar sahutan tenang tersebut. "Apa yang terjadi, Ma?""Memangnya apa yang perempuan itu katakan pada kamu?" "Tolong Ma, jangan berbelit-belit. Katakan saja apa yang sebenarnya terjadi?" Raka mulai jengkel dengan percakapan yang tidak ada titik terangnya "Tadi dia memang datang ke sini. Dia ingin melihat Clayton, dan Mama mengizinkannya. Tapi sebelum itu Mama minta tolong ke dia untuk membuatkan minum untuk teman-teman Mama yang tadi berkumpul di rumah karena arisan, memangnya salah?""Lalu kenapa ada luka di tangannya?""Apa sih, Ka. Kenapa kamu seperti anak kecil saja, itu cuma luka tadi saat dia mau menghantar minum. Minuman yang dia bawa jatuh terus tidak sengaja teman M
Jiya, Dila dan penjual mie ayam tersebut terus menatap ke arah dua anak kecil yang kini berjalan perlahan. Mereka yang percaya dengan perkataan Jiya, kini memperhatikan sekitar untuk mencari kamera yang mungkin saja terpasang di sekitar tempat itu.Namun, dua anak kecil tersebut terus melangkah melewati gerobak mie ayam dan akhirnya sampai di jalanan di depan ruko Jiya."Eh Ji, anaknya ke sini," seru Dila."Aku juga tahu, aku kan juga melihatnya," sahut Jiya sambil terus menatap ke arah dua anak kecil tersebut. Hingga akhirnya …."Kenapa kamu tidak mendatangiku, benda ini berat sekali," ucap si anak laki-laki sambil menurunkan buket itu dan menyodorkannya pada Jiya."Hah?" Jiya melongo ketika tahu kalau anak laki-laki pembawa buket berisi puluhan batang coklat itu adalah Bumi.Sesaat kemudian dia dan Dila berganti mengarahkan pandangannya pada anak perempuan yang saat ini sedang membawa buket berisi bunga yang masih berjalan dengan perlahan ke arah Jiya.Dan tentu saja, berbeda
Sepuluh menit berlalu, akhirnya laki-laki yang tadi berlari masuk ke dalam rumah itu tanpa menyapa siapa pun tersebut akhirnya kembali ke ruang tamu."Ah …," desah laki-laki seumuran Adam tersebut sambil duduk di sofa ruang tamu.Adam pun menghela napas melihat tingkah laki-laki sebayanya yang sudah memiliki dua orang anak itu. "Apa yang terjadi?" tanyanya yang tetap duduk di posisinya sejak tadi."Aku kebelet, Dam," jawab laki-laki tersebut sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa dengan lebih santai.Adam menggelengkan kepalanya mendengar hal itu. "Apa kamu tidak bisa lebih konyol lagi?" selorohnya."Ah kamu," sahut laki-laki tersebut dengan sedikit ketus. "Oh iya, ngapain kamu di sini?""Aku sedang membicarakan bisnis dengan adikmu," jawab Adam dengan santai. Laki-laki bernama Andre tersebut mengarahkan pandangannya ke berkas yang masih ada di atas meja. "Oh …," sahutnya sambil manggut-manggut."Kapan kamu kembali dari Manado?" tanya Adam sambil merapikan pakaiannya."A
"Jiya … apakah Dimas yang mengatakan hal ini pada Mama?" tanya Adam yang mencoba mengalihkan pembicaraan."Tidak penting dari siapa, yang jelas aku ingin bicara dengan anak itu," ucap Nyonya Titi dengan tegas.Adam menghela napasnya. "Aku tidak bersama Jiya, Ma.""Lalu dia di mana?" tanya Nyonya Titi dengan cepat."Tentu saja di rumahnya. Aku saat ini sedang berjalan santai bersama dengan Andre, apa Mama ingin—""Berhenti bicara dan segera cari dia! Aku ingin berbicara empat mata dengan dia," ucap Nyonya Titi dan kemudian mematikan panggilan itu begitu saja."Halo, Ma," ucap Adam yang kemudian menyadari kalau panggilan itu sudah diputus.Adam menghela napas sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya."Apakah kalian yakin masih mau menerima wanita itu setelah semua kejadian itu?" tanya Andre yang sedari tadi mendengar percakapan antara Adam dan ibunya."Kalau aku, aku masih akan mengejarnya dan begitu juga Bumi, hanya dia yang bisa menaklukan Bumi. Dan untuk ibuku, ak
Setelah melihat Jiya sudah lebih baik, kemudian Dila pun berpamitan keluar untuk membeli beberapa benda di mini market yang beroperasi selama 24 jam. Dan setelah beberapa menit mengendarai motor, akhirnya Dila pun sampai di taman yang berada tidak jauh dari area ruko tempat tinggalnya dan Jiya."Apa dia belum sampai atau malah sudah pulang ya," gumam Dila sambil mengarahkan pandangannya ke sekitar tempat itu. "Nona Dila," panggil Adam yang saat ini berjalan ke arah Dila dari arah belakang Dila.Dila langsung berbalik badan. "Eh, iya Pak," sahutnya sambil cengengesan. "Anu Pak, kalau masalah Jiya yang tadi tidur di teras itu karena dia ketiduran. Sebenarnya dia sedang tidak enak badan dan tadi duduk-duduk di teras, lalu tiba-tiba dia tidur gitu aja. Nggak ada masalah lain kok Pak, biasanya dia juga di dalam ruko bersama saya," ucap Dila bahkan sebelum Adam bertanya kepadanya."Dia sedang sakit?" Adam mengerutkan dahinya.'Kok fokusnya jadi ke situ,' batin Dila yang sedikit ter
Seketika ekspresi wajah Jiya berubah, yang tadi ceria dan tertawa bersama dengan Dila kini langsung berubah diam dan terlihat tenang. Sikap ini bukan karena Jiya berpura-pura untuk tetap tenang, tetapi saat ini rasa bahagianya menurun drastis, walaupun tidak sampai sedih dan muram."Ji," panggil laki-laki yang baru saja turun dari mobil tersebut sambil membawa sebuah buket bunga di tangannya.Jiya pun bangun dari kursi ketika laki-laki itu sudah hampir sampai di teras toko tersebut. Ekspresi dingin dia tunjukkan dengan jelas di wajahnya."Ji, Apakah kamu sudah makan?" tanya Raka sambil menyerahkan buket bunga itu pada Jiya.Jiya pun menerima bunga tersebut, lalu menghela napas panjang. "Sudah, aku sudah makan. Oh iya, terima kasih buket bunganya yang kemarin sore," ucap Jiya masih dengan ekspresi dingin di wajahnya.Dila yang saat ini masih duduk di kursi pun menyahut, "Iya, dia sudah makan, aku yang membuat makanannya. Kalau bukan karena aku yang membuatkan makanan, dia mana bisa m
“Sudah turunin aku, aku bisa jalan ke kamar sendiri,” ucap Jiya yang juga mendengar panggilan dari lantai satu.“Tidak perlu, biarkan saja orang itu menunggu,” sahut Adam yang mempercepat langkahnya naik ke lantai dua.Jiya pun tersenyum menatap Adam yang sedang membawanya naik tangga. “Lucu,” gumamnya.“Apa?“ tanya Adam yang kini terus menatap ke arah depan.“Nggak ada Mas,” sahut Jiya lalu kembali menunduk.Setelah mengantar Jiya masuk ke dalam kamar mandi, kemudian Adam mengganti pakaiannya dan turun ke lantai satu untuk melihat orang yang bertamu ke rumahnya pagi itu. Dia berjalan ke arah ruang tamu, tetapi dia tidak menemukan siapa pun di sana.“Apakah orangnya sudah pulang?“ gumam Adam karena dia mendengar kalau orang yang bertamu itu memanggil namanya, jadi seharusnya orang itu sudah sangat mengenal dirinya.Sesaat kemudian terdengar langkah kaki yang berasal dari ruangan yang lebih dalam. Adam pun menoleh, menunggu pemilik suara langkah kaki tersebut.“Tuan muda,” ucap pemban
Mata Jiya terbelalak ketika tiba-tiba Adam mencium pipinya. “Apa sih kamu, Mas,” ketusnya.Adam terkekeh karena merasa geli melihat Jiya yang salah tingkah. Merasa kesal dengan tawa Adam, Jiya dengan cepat mengambil sebuah potongan apel dan memasukkannya ke dalam mulut Adam. Dan seketika Adam pun berhenti tertawa.“Bagaimana kalau aku tersedak,” ucap Adam sambil mengunyah apel itu.“Ya habisnya kamu ngeselin sih, Mas,” sahut Jiya sambil cemberut.Adam kemudian tersenyum kembali lalu menggelitiki pinggang Jiya, hingga membuat Jiya tertawa terbahak-bahak. “Aduh, ampun Mas,” ucap Jiya sambil mencoba untuk menjauh dari Adam, tetapi Adam terus menahan dan menggelitiki pinggang Jiya. Hingga akhirnya dia merosot ke lantai karena lemas terlalu banyak tertawa.Namun, tiba-tiba salah satu asisten rumah tangga kiriman Nyonya Titi masuk ke dalam ruangan itu dan membuat Adam berhenti menggelitiki Jiya.“Kenapa kamu ke sini?“ tanya Adam dengan tatapan tajamnya.“Itu … saya, saya ….“ Asisten rumah
Jiya mendesis cukup keras ketika dia akan bangun dari ranjangnya. 'Pinggangku rasane koyo copot,' batin Jiya lalu berpegangan pada pinggiran ranjang itu dan kemudian berdiri.“Apa yang yang kamu lakukan?“ tanya Adam sambil memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Jiya.“Aku ngadek Mas, berdiri.“ Jiya mengucap kata Berdiri dengan pernekanan agar Adam tahu arti istilah jawa yang dia ucapkan. “Masa kamu nggak lihat,” ketusnya.Adam tersenyum kecil. “Lalu kenapa kamu seperti nenek-nenek? Ingin berdiri harus berpegangan kepada sesuatu,” selorohnya.“Pinggangku habis diseruduk truk tronton, puas?“ Jiya masih menyahut dengan ketus. Kini Jiya berjalan ke arah kamar mandi sambil memegangi pinggangnya.“Apa perlu aku bantu?“ Tanya Adam.“Nggak usah Mas, yang ada kamu malah nyusahin bukannya ngebantu,” jawab Jiya sambil masuk ke dalam kamar mandi.Adam pun merebahkan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kamar itu, tak lupa sebuah senyum masih terukir di wajahnya.“Jiya,” gumam Adam.*Keesokan
“Pak Adam,” gumam semua orang sambil berdiri dari kursi mereka, termasuk Nathan yang langsung meletakkan berkas di tangannya.“Berani sekali kalian!“ teriak Adam dengan tatapan tajam yang seolah ingin membakar semua laki-laki yang ada di dalam ruangan itu.Para laki-laki itu saling melirik karena tidak mengerti asal mula kemarahan Adam.Kemudian Adam menoleh ke arah Jiya. “Ke sini!“ Namun Jiya langsung melengos. “Pulanglah, aku bisa pulang sendiri,” sahutnya dengan ketus.Mendengar hal itu Adam mengepalkan tangannya dan kemudian melangkah ke arah Jiya. “Apa yang ingin kamu lakukan di sini?“ tanyanya sambil menggenggam tangan Jiya.“Tunggu Pak,” ucap Nathan yang ingin membela Jiya karena merasa kalau Adam akan memarahi Jiya, walaupun dia juga tidak tahu apa penyebab kemarahan Adam saat ini. “Dia datang ke sini untuk menjemput Leni, dia—”“Siapa kamu berani berbicara mewakili istriku!“ sentak Adam.Mata Nathan pun membulat mendengar kalimat Adam, begitu juga dengan semua orang yang ada
Feni lebih terkejut lagi saat melihat dua orang yang sedang belutut di halaman rumah itu. “Siapa mereka?“ tanya Feni karena saat ini dua orang itu menundukkan kepala mereka.“Angkat kepala kalian!“ teriak Dimas memberikan perintah.Kemudian dua orang tersebut mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Feni.“Dia …,” ucap Feni lalu kembali menatap ke arah Dimas.“Benar, orang yang ada di foto itu adalah dia bukan aku. Ada orang yang sengaja ingin merusak hubungan kita,” sahut Dimas.“Ini benar?“ tanya Feni sambil kembali menatap ke arah laki-laki yang mirip dengan suaminya itu.“Tentu saja. Aku tidak mungkin menghianati kamu dan dua anak kita,” sahut Dimas sambil mengusap perut Feni dengan lembut.Feni pun terdiam dan menundukkan pandangannya. “Maaf,” ucapnya lirih.Dimas kemudian menggenggam tangan Feni. “Kamu tidak perlu minta maaf, ini tidak sepenuhnya kesalahan kamu,” sahutnya sambil mengecup punggung tangan Feni itu.Feni kembali mengangkat pandangannya. “Apakah kamu tahu siapa
Mereka pun cukup lama bersantai di pinggir kolam tersebut sambil terus membicarakan masalah mereka masing masing, dan juga membahas masalah rencana Dimas dan memaltangkan rencana tersebut.Hingga malam menjadi semakin larut, dan mereka pun masuk ke dalam rumah. Mereka memutuskan untuk beristirahat malam itu. Dimas pun memilih menempati salah satu kamar tamu di rumah itu. Dimas juga sempat memperhatikan pelayan yang dibicarakan Adam tadi, dan benar saja pelayan itu ternyata cukup mencurigakan.****3 hari kemudian..Setiap hari Adam menjemput dan mengantar Jiya pulang ke rumah Dimas, tapi dalam beberapa hari itu semua yang mereka bahas hanya seputar masalah Dimas dan Feni tidak ada yang lain.Hingga malam pun tiba...Adam dan Dimas sedang berada di luar sebuah club malam. Anak buah Adam menemukan bahwa wanita itu bekerja di club malam ini sebagai penari striptis. “Gimana, semua udah siap?” tanya Dimas lewat telpon yang ada di genggamannya“Siap Tuan!” suara di dalam telpon
“Ahhkk!” ucap Jiya sambil bangun dari lantai tempatnya terjatuh. Setelah itu Jiya bangun, dan melihat ke arah orang yang sedang memegang daun pintu tersebut.“Astaga Mbak, kamu kenapa?” ucap Jiya terkejut melihat Feni yang kusut, berantakan. Kemudian Jiya segera menggandeng Feni untuk duduk di sofa ruang tamu tersebut. Feni lalu menangis keras “Hiks.. hiks.. huwa…!” “Bagaimana nasibku dan anakku. Kenapa mas Dimas tega seperti ini padaku,” ucap Feni sambil terus menangis memeluk Jiya.Kemudian Jiya pun memeluk sambil mengelus pundak Feni “Sabar mbak, Sabar. Ingat Mbak sedang mengandung, kasihan anak Mbak kalau Mbak menangis seperti ini,” ucap Jiya mencoba menenangkan Feni“Tapi Ji, bagaimana aku bisa tenang saat tahu kalau mas Dimas selingkuh seperti itu,” ucap Feni“Iya Mbak, aku sudah tahu itu dari Mas Dimas,” ucap Jiya“Jadi kamu kesini disuruh Dimas?” ucap Feni langsung melepaskan pelukannya dari dia‘Eh, aku salah bicara,’ batin Jiya kaget“Tentu saja tidak. Aku memang mendenga
Pyarrrr! Brughhh!… Terdengar suara piring pecah dan di ikuti benda jatuh dari dapur.Kemudian Jiya, Lena dan Leni saling menatap sejenak. Lalu, mereka bertiga pun langsung berlari ke arah dapur. Dan saat sampai di pintu dapur, mereka pun kaget melihat Ibu kantin sedang terbaring di lantai dan sebuah piring pecah di sampingnya.Lena yang sampai di dapur duluan, langsung mencoba membangunkan ibu kantin, tapi tidak ada respon“Kita tidak mungkin kuat menggotong dia,” ucap Lena sambil melihat tubuh Ibu kantin yang memang bisa di sebut mengalami obesitas.Lalu Lena meletakkan kepala ibu kantin di pangkuannya, dan terlihatlah ada darah di lantai tepat di bagian bekas tempat kepala ibu kantin terjatuh.“Astaga, darah!” teriak Leni.Lena pun terdiam seketika, wajahnya berubah memucat.. “Len, sabar… Len,” ucap Leni menggoyang-goyangkan tubuh saudara kembarnya tersebut“Astaga!”teriak Jiya “Leni, kamu jaga Lena dan Ibu kantin. Aku cari bantuan,” ucap JiyaKemudian Jiya pun langsung berla
Setelah mengendarai mobil selama 15 menit, kemudian mereka sampai di sebuah kafe langganan Adam dan Dimas.Adam pun segera masuk ke dalam cafe tersebut, dikuti oleh Jiya yang ada di belakangnya.Setelah mereka masuk ke dalam Cafe tersebut. Kemudian Adam dan Jiya melihat ke sekitar, lalu menemukan Dimas yang sedang duduk di salah satu meja yang agak jauh dari mereka. Dimas terlihat tak bergerak sedikitpun, ia teeus menatap ke arah luar jendela kaca di sebelahnya.Kemudian mereka pun mendekat ke arah Dimas. Tapi, Dimas tidak bergeming sedikitpun. Dia tidak sadar dengan kedatangan Jiya dan Adam yang sudah duduk di depannya.“Ehem!” Adam berdehem. Kemudian Dimas pun tersadar dari lamunannya, dan langsung menoleh dan melihat ada Adam dan Jiya yang sudah duduk depannyaLalu Dimas pun kini mengusap-ngusap wajahnya.“Ada apa?” tanya Adam penasaran pada sahabatnya tersebut karena terlihat sangat kacau“Aku sedang pusing, istriku minta cerai,” ucap Dimas“Apa!” ucap Adam dan Jiya bersamaan, kag