"Apa maksud kamu?" tanya Raka sambil mengerutkan dahinya."Iya Mas, aku ingin kita pisah rumah dari ibumu setelah kita menikah. Kamu pasti tahu sendiri kalau kamu tidak perlu khawatir aku akan menyakiti Clayton karena aku sangat menyayangi dia. Hanya saja untuk masalah bersama dengan ibumu, kamu tahu sendiri itu tidak mungkin untukku. Lebih baik kita membicarakannya sekarang dari pada kita terlanjur jauh dan akan menyesal nantinya." Jiya bersikap tegas.Raka terdiam mendengar permintaan Jiya ini. Dia adalah anak terakhir dan sudah digadang-gadang akan tinggal di rumah itu dan mengurus ibunya sampai tua.Setelah beberapa saat tidak mendengar sahutan dari Raka, Jiya pun tersenyum sinis. "Jadi benar kan kalau kamu tidak bisa membawaku pergi dari rumah itu setelah kita menikah? Baiklah, jadi sudah jelas semuanya," ucap Jiya sambil berbalik badan.Tapi dengan cepat Raka menahan tangan Jiya. "Kamu tahu sendiri kalau aku tidak punya masalah untuk membeli rumah baru bagi kamu, tapi aku tidak
Sementara itu saat ini Adam yang baru saja turun dari mobilnya berjalan dengan santai ke arah pintu utama rumahnya. Rumah besar itu masih sama dengan satu setengah tahun yang lalu, yang berubah dari rumah itu hanyalah pohon mangga dan rambutan yang Jiya tanam di taman depan rumah, kini dua pohon itu sudah berbuah."Jiya," gumam Adam ketika berhenti melangkah dan menatap ke arah dua pohon tersebut. Dua pohon yang buahnya tidak pernah dipetik oleh siapa pun karena Adam melarangnya.Saat Adam mengingat semua kenangannya dengan Jiya ketika menanam pohon itu, tiba-tiba dering ponselnya membuatnya tersadar dari lamunannya."Halo," ucap Adam ketika baru saja mengangkat panggilan tersebut."Halo Mas, kamu ada di mana?" Adam mengerutkan dahinya ketika mendengar suara yang sudah lama tidak melewati speaker ponselnya. Sebuah senyum kecil terukir di bibir Adam. "Aku baru saja sampai di rumah, ada apa?""Rumah mana?""Tentu saja Jakarta," jawab Adam dengan santai."Tunggu … tunggu sebentar, aku m
"Tante lupa padaku?" tanya wanita dengan tubuh tinggi, langsing bak model tersebut.Nyonya Titi tersenyum lembut. "Maaf, Tante sudah lama tidak ke sini, jadi lupa," jawabnya."Aku Natasya, Te. Dulu aku kuliah satu angkatan dengan Adam," ucap wanita bernama Natasya tersebut."Oh, yang waktu itu datang ke rumah bersama dengan Andre dan Raka, ya?" sahut Nyonya Titi yang mulai teringat dengan wanita di depannya itu.Senyum pun merekah di wajah Natasya. "Iya Tante, itu aku. Tante kok masih ingat sih, padahal itu waktu kami masih SMA loh," sahutnya sambil tersenyum hangat."Astaga, kamu benar-benar berubah, Tante sampai tidak mengenali kamu lagi," ucap Nyonya Titi dengan santai."Tentu saja Tante. Dulu aku masih 17 tahun, kalau sekarang aku sudah 30 lebih, jadi wajar kalau terlihat makin tua," sahut Natasya sambil terkekeh.Nyonya Titi pun ikut terkekeh. "Oh iya, lalu apakah Desi ada di dalam?""Ada Tante. Tante Desi dan Raka ada di dalam, aku baru saja selesai membicarakan pekerjaan deng
Satu hari berlalu. Setelah telepon dari Adam, Jiya tidak lagi tersenyum. Bahkan Bumi dan Dila pun merasa penasaran dengan apa yang terjadi karena Jiya tak mengatakan apa pun. Ya, sejak pagi dia bangun dan melakukan semuanya seperti biasanya, hanya saja tak ada sedikit pun senyum atau tawa terlihat dari bibir Jiya sejak semalam."Ada apa dengan dia, Tante?" bisik Bumi pada Dila yang saat ini sedang duduk di sampingnya.Dila yang saat ini sedang menguleni adonan pun melirik arah Jiya yang saat ini sedang diam menunggui mixer duduk sambil memasukkan pewarna ke dalam adonan yang sedang di mixer."Aku juga tidak tahu, apa mungkin dia kesambet saat kita pergi cari makan," jawab Dila yang juga berbisik pada Bumi.'Apa benar hal itu terjadi?' batin Bumi sambil menatap ke arah Jiya."Kamu coba deh tanya Mamamu," bisik Dila lagi.Bumi mengalihkan pandangannya pada Dila, tetapi Dila langsung menggerak-gerakkan alisnya tanda dia serius menyuruh Bumi melakukan hal itu.Pada akhirnya Bumi me
Langkah kaki Jiya seketika terhenti ketika mendengar suara tersebut. Dia yang sudah kepalang basah berdiri di tengah pintu penghubung antara ruang depan dan ruang belakang kini terdiam ketika tatapan matanya beradu dengan mantan ibu mertuanya."Jiya," ucap Nyonya Titi dengan mata yang berkaca-kaca.Melihat hal itu hati Jiya terenyuh, langsung saja air matanya tak bisa dibendung. Dia pun segera berjalan melewati bumi dan kemudian melangkah dengan cepat keluar dari pintu etalase. "Maafkan aku Ma, Maafkan aku," ucap Jiya sambil bersimpuh di kaki Nyonya Titi.Nyonya Titi terdiam sesaat melihat tingkah mantan menantunya tersebut. Dia pernah berpikir kalau Jiya akan meminta maaf ketika bertemu dengannya, tetapi dia tidak pernah mengira kalau Jiya akan berlutut seperti itu. "Sayang bangunlah," ucap Nyonya Titi sambil mencoba membantu Jiya untuk bangun.Sesaat kemudian, Bi Sumi yang berjalan dari arah jalanan di depan ruko itu langsung berlari kecil. "Nyonya jangan seperti itu, hati-hati," uca
Jiya terdiam saat mendengar pertanyaan tersebut. Tangannya yang tadi terus memijit kaki Nyonya Titi berhenti bergerak."Tidak 'kan?" Kembali Nyonya Titi bertanya."Maafkan saya, Ma," ucap Jiya yang kini masih menundukkan kepalanya."Mama sudah mendengar dari Adam alasan kamu yang sebenarnya meninggalkan rumah. Dari dulu aku juga tidak percaya kalau kamu meninggalkan rumah karena ingin bersama orang lain, tapi sayangnya saat itu kamu menghilang saat Mama ingin berbicara," sahut Nyonya Titi lalu menghela napas panjang.Jiya langsung mendongakkan kepalanya, dia menatap langsung mata mantan ibu mertuanya tersebut.Nyonya Titi melepas kacamatanya dan kemudian mengusap air mata yang sempat menetes. "Setidaknya kalau kamu memang sudah tidak mau bersama dengan Adam, kamu seharusnya tidak menghilangkan. Karena akan ada mantan suami tapi tidak akan ada mantan ibu," ucapnya.Seketika Jiya kembali memeluk kaki Nyonya Titi. Tangis Jiya pun kembali pecah, rasa penyesalan di hati Jiya benar-benar l
"Ada apa?" tanya Jiya yang kini sudah sampai di dapur sambil menatap kedua orang itu dengan panik."Ini." Tiba-tiba Bumi menyodorkan tangannya ke arah Jiya.Jiya pun langsung mengamati telapak tangan anak laki-laki di hadapannya itu. "Kok kamu aneh-aneh toh," gerutu Jiya sambil langsung mengambil botol obat dan plaster dari dalam kotak obat.Setelah itu dengan cepat Jiya berlutut, lalu mengobati jari tangan Bumi yang terluka karena pisau. "Kamu mau membuat apa? Seharusnya kamu ngomong ke Mama, biar Mama yang buatin. Kamu itu kan tidak pernah ke dapur," omel Jiya.Bumi mengerucutkn bibirnya mendengar omelan tersebut."Dia ingin membuat telur goreng untuk kamu," sahut Dila yang saat ini sedang mencetak adonan kue.Jiya langsung mendongakkan kepalanya dan menatap mata Bumi. "Kenapa kamu nggak bilang? Mama kan bisa ngajarin kamu," ucapnya.Bumi yang mengira kalau Jiya akan melarangnya ke dapur lagi pun langsung mengangkat alisnya karena terkejut. "Jadi kamu tidak akan melarangku ke dapur?
Satu jam berlalu. Saat ini Bumi dan Dila sedang duduk di tikar dengan makanan yang ada di depan mereka. Sedangkan Jiya saat ini masih sibuk di dapur. Ekspresi muram terus diperlihatkan oleh Bumi sejak mendengar kata-kata Dila tadi. Sedangkan Dila yang merupakan penyebab hal itu terus saja menahan tawa melihat tingkah anak laki-laki di depannya yang biasanya tengil."Nih Dil, tadi Mas Iwan bawain kopi ijo," ucap Jiya sambil menurunkan dua gelas kopi yang di bawanya.Kemudian Jiya melirik ke arah Bumi yang saat ini hanya diam saja dengan bibir mengerucut dan juga tatapan tajam ke arah kopi yang sudah ada di lantai."Ada apa kamu mau?" tanya Jiya sambil menyodorkan kopi miliknya."Kopi seperti itu apa enaknya," sahut Bumi dengan ketus.Jiya mengerutkan dahinya. 'Kenapa lagi anak ini,' batinnya sambil melirik ke arah Dila yang saat ini sibuk menatap ke arah terong goreng yang berada di atas cobek."Kamu ingin sesuatu?" tanya Jiya lagi yang mengira Bumi tidak puas dengan makanan yang
“Sudah turunin aku, aku bisa jalan ke kamar sendiri,” ucap Jiya yang juga mendengar panggilan dari lantai satu.“Tidak perlu, biarkan saja orang itu menunggu,” sahut Adam yang mempercepat langkahnya naik ke lantai dua.Jiya pun tersenyum menatap Adam yang sedang membawanya naik tangga. “Lucu,” gumamnya.“Apa?“ tanya Adam yang kini terus menatap ke arah depan.“Nggak ada Mas,” sahut Jiya lalu kembali menunduk.Setelah mengantar Jiya masuk ke dalam kamar mandi, kemudian Adam mengganti pakaiannya dan turun ke lantai satu untuk melihat orang yang bertamu ke rumahnya pagi itu. Dia berjalan ke arah ruang tamu, tetapi dia tidak menemukan siapa pun di sana.“Apakah orangnya sudah pulang?“ gumam Adam karena dia mendengar kalau orang yang bertamu itu memanggil namanya, jadi seharusnya orang itu sudah sangat mengenal dirinya.Sesaat kemudian terdengar langkah kaki yang berasal dari ruangan yang lebih dalam. Adam pun menoleh, menunggu pemilik suara langkah kaki tersebut.“Tuan muda,” ucap pemban
Mata Jiya terbelalak ketika tiba-tiba Adam mencium pipinya. “Apa sih kamu, Mas,” ketusnya.Adam terkekeh karena merasa geli melihat Jiya yang salah tingkah. Merasa kesal dengan tawa Adam, Jiya dengan cepat mengambil sebuah potongan apel dan memasukkannya ke dalam mulut Adam. Dan seketika Adam pun berhenti tertawa.“Bagaimana kalau aku tersedak,” ucap Adam sambil mengunyah apel itu.“Ya habisnya kamu ngeselin sih, Mas,” sahut Jiya sambil cemberut.Adam kemudian tersenyum kembali lalu menggelitiki pinggang Jiya, hingga membuat Jiya tertawa terbahak-bahak. “Aduh, ampun Mas,” ucap Jiya sambil mencoba untuk menjauh dari Adam, tetapi Adam terus menahan dan menggelitiki pinggang Jiya. Hingga akhirnya dia merosot ke lantai karena lemas terlalu banyak tertawa.Namun, tiba-tiba salah satu asisten rumah tangga kiriman Nyonya Titi masuk ke dalam ruangan itu dan membuat Adam berhenti menggelitiki Jiya.“Kenapa kamu ke sini?“ tanya Adam dengan tatapan tajamnya.“Itu … saya, saya ….“ Asisten rumah
Jiya mendesis cukup keras ketika dia akan bangun dari ranjangnya. 'Pinggangku rasane koyo copot,' batin Jiya lalu berpegangan pada pinggiran ranjang itu dan kemudian berdiri.“Apa yang yang kamu lakukan?“ tanya Adam sambil memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Jiya.“Aku ngadek Mas, berdiri.“ Jiya mengucap kata Berdiri dengan pernekanan agar Adam tahu arti istilah jawa yang dia ucapkan. “Masa kamu nggak lihat,” ketusnya.Adam tersenyum kecil. “Lalu kenapa kamu seperti nenek-nenek? Ingin berdiri harus berpegangan kepada sesuatu,” selorohnya.“Pinggangku habis diseruduk truk tronton, puas?“ Jiya masih menyahut dengan ketus. Kini Jiya berjalan ke arah kamar mandi sambil memegangi pinggangnya.“Apa perlu aku bantu?“ Tanya Adam.“Nggak usah Mas, yang ada kamu malah nyusahin bukannya ngebantu,” jawab Jiya sambil masuk ke dalam kamar mandi.Adam pun merebahkan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kamar itu, tak lupa sebuah senyum masih terukir di wajahnya.“Jiya,” gumam Adam.*Keesokan
“Pak Adam,” gumam semua orang sambil berdiri dari kursi mereka, termasuk Nathan yang langsung meletakkan berkas di tangannya.“Berani sekali kalian!“ teriak Adam dengan tatapan tajam yang seolah ingin membakar semua laki-laki yang ada di dalam ruangan itu.Para laki-laki itu saling melirik karena tidak mengerti asal mula kemarahan Adam.Kemudian Adam menoleh ke arah Jiya. “Ke sini!“ Namun Jiya langsung melengos. “Pulanglah, aku bisa pulang sendiri,” sahutnya dengan ketus.Mendengar hal itu Adam mengepalkan tangannya dan kemudian melangkah ke arah Jiya. “Apa yang ingin kamu lakukan di sini?“ tanyanya sambil menggenggam tangan Jiya.“Tunggu Pak,” ucap Nathan yang ingin membela Jiya karena merasa kalau Adam akan memarahi Jiya, walaupun dia juga tidak tahu apa penyebab kemarahan Adam saat ini. “Dia datang ke sini untuk menjemput Leni, dia—”“Siapa kamu berani berbicara mewakili istriku!“ sentak Adam.Mata Nathan pun membulat mendengar kalimat Adam, begitu juga dengan semua orang yang ada
Feni lebih terkejut lagi saat melihat dua orang yang sedang belutut di halaman rumah itu. “Siapa mereka?“ tanya Feni karena saat ini dua orang itu menundukkan kepala mereka.“Angkat kepala kalian!“ teriak Dimas memberikan perintah.Kemudian dua orang tersebut mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Feni.“Dia …,” ucap Feni lalu kembali menatap ke arah Dimas.“Benar, orang yang ada di foto itu adalah dia bukan aku. Ada orang yang sengaja ingin merusak hubungan kita,” sahut Dimas.“Ini benar?“ tanya Feni sambil kembali menatap ke arah laki-laki yang mirip dengan suaminya itu.“Tentu saja. Aku tidak mungkin menghianati kamu dan dua anak kita,” sahut Dimas sambil mengusap perut Feni dengan lembut.Feni pun terdiam dan menundukkan pandangannya. “Maaf,” ucapnya lirih.Dimas kemudian menggenggam tangan Feni. “Kamu tidak perlu minta maaf, ini tidak sepenuhnya kesalahan kamu,” sahutnya sambil mengecup punggung tangan Feni itu.Feni kembali mengangkat pandangannya. “Apakah kamu tahu siapa
Mereka pun cukup lama bersantai di pinggir kolam tersebut sambil terus membicarakan masalah mereka masing masing, dan juga membahas masalah rencana Dimas dan memaltangkan rencana tersebut.Hingga malam menjadi semakin larut, dan mereka pun masuk ke dalam rumah. Mereka memutuskan untuk beristirahat malam itu. Dimas pun memilih menempati salah satu kamar tamu di rumah itu. Dimas juga sempat memperhatikan pelayan yang dibicarakan Adam tadi, dan benar saja pelayan itu ternyata cukup mencurigakan.****3 hari kemudian..Setiap hari Adam menjemput dan mengantar Jiya pulang ke rumah Dimas, tapi dalam beberapa hari itu semua yang mereka bahas hanya seputar masalah Dimas dan Feni tidak ada yang lain.Hingga malam pun tiba...Adam dan Dimas sedang berada di luar sebuah club malam. Anak buah Adam menemukan bahwa wanita itu bekerja di club malam ini sebagai penari striptis. “Gimana, semua udah siap?” tanya Dimas lewat telpon yang ada di genggamannya“Siap Tuan!” suara di dalam telpon
“Ahhkk!” ucap Jiya sambil bangun dari lantai tempatnya terjatuh. Setelah itu Jiya bangun, dan melihat ke arah orang yang sedang memegang daun pintu tersebut.“Astaga Mbak, kamu kenapa?” ucap Jiya terkejut melihat Feni yang kusut, berantakan. Kemudian Jiya segera menggandeng Feni untuk duduk di sofa ruang tamu tersebut. Feni lalu menangis keras “Hiks.. hiks.. huwa…!” “Bagaimana nasibku dan anakku. Kenapa mas Dimas tega seperti ini padaku,” ucap Feni sambil terus menangis memeluk Jiya.Kemudian Jiya pun memeluk sambil mengelus pundak Feni “Sabar mbak, Sabar. Ingat Mbak sedang mengandung, kasihan anak Mbak kalau Mbak menangis seperti ini,” ucap Jiya mencoba menenangkan Feni“Tapi Ji, bagaimana aku bisa tenang saat tahu kalau mas Dimas selingkuh seperti itu,” ucap Feni“Iya Mbak, aku sudah tahu itu dari Mas Dimas,” ucap Jiya“Jadi kamu kesini disuruh Dimas?” ucap Feni langsung melepaskan pelukannya dari dia‘Eh, aku salah bicara,’ batin Jiya kaget“Tentu saja tidak. Aku memang mendenga
Pyarrrr! Brughhh!… Terdengar suara piring pecah dan di ikuti benda jatuh dari dapur.Kemudian Jiya, Lena dan Leni saling menatap sejenak. Lalu, mereka bertiga pun langsung berlari ke arah dapur. Dan saat sampai di pintu dapur, mereka pun kaget melihat Ibu kantin sedang terbaring di lantai dan sebuah piring pecah di sampingnya.Lena yang sampai di dapur duluan, langsung mencoba membangunkan ibu kantin, tapi tidak ada respon“Kita tidak mungkin kuat menggotong dia,” ucap Lena sambil melihat tubuh Ibu kantin yang memang bisa di sebut mengalami obesitas.Lalu Lena meletakkan kepala ibu kantin di pangkuannya, dan terlihatlah ada darah di lantai tepat di bagian bekas tempat kepala ibu kantin terjatuh.“Astaga, darah!” teriak Leni.Lena pun terdiam seketika, wajahnya berubah memucat.. “Len, sabar… Len,” ucap Leni menggoyang-goyangkan tubuh saudara kembarnya tersebut“Astaga!”teriak Jiya “Leni, kamu jaga Lena dan Ibu kantin. Aku cari bantuan,” ucap JiyaKemudian Jiya pun langsung berla
Setelah mengendarai mobil selama 15 menit, kemudian mereka sampai di sebuah kafe langganan Adam dan Dimas.Adam pun segera masuk ke dalam cafe tersebut, dikuti oleh Jiya yang ada di belakangnya.Setelah mereka masuk ke dalam Cafe tersebut. Kemudian Adam dan Jiya melihat ke sekitar, lalu menemukan Dimas yang sedang duduk di salah satu meja yang agak jauh dari mereka. Dimas terlihat tak bergerak sedikitpun, ia teeus menatap ke arah luar jendela kaca di sebelahnya.Kemudian mereka pun mendekat ke arah Dimas. Tapi, Dimas tidak bergeming sedikitpun. Dia tidak sadar dengan kedatangan Jiya dan Adam yang sudah duduk di depannya.“Ehem!” Adam berdehem. Kemudian Dimas pun tersadar dari lamunannya, dan langsung menoleh dan melihat ada Adam dan Jiya yang sudah duduk depannyaLalu Dimas pun kini mengusap-ngusap wajahnya.“Ada apa?” tanya Adam penasaran pada sahabatnya tersebut karena terlihat sangat kacau“Aku sedang pusing, istriku minta cerai,” ucap Dimas“Apa!” ucap Adam dan Jiya bersamaan, kag