Matahari siang mulai menyengat lembut di halaman villa, tapi hawa hangatnya tak mampu mencairkan kegugupan yang menggantung di dada Yara sejak kejadian tadi pagi.Bahkan saat Keno dengan semangat seperti anak kecil berteriak, "Ayo kita main truth or dare! Gak jadi berenang. Siang-siang begini lebih seru main game!"Nathan, yang sedang bersandar santai di sofa dekat jendela kaca, hanya mendengus malas. Kayak anak TK aja main ginian siang-siang…""Ayolah, Nat! Jangan kaku!" Keno langsung menyeret tangan Nathan, sementara Linda tak mau kalah, menarik tangan Yara yang baru keluar dari dapur membawa sebotol air dingin."A-aku? Aku nggak mau ikut…," Yara berusaha menolak, namun kalah tenaga. Tubuhnya kecil, tak ada apa-apanya dibanding semangat penuh api Linda yang hampir seperti anak kecil minta permen."Jangan banyak protes, sayang. Ini seru!" Linda terkekeh, menggiring Yara ke arah meja bundar di ruang tengah. Di sana sudah ada sebotol wine di tengah, siap diputar.Sepertinya Keno dan Li
Yara membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, samar-samar. Rasa pening di kepalanya seperti ombak pasang yang menghantam pelan namun berkali-kali. Sekelilingnya gelap, hanya cahaya redup dari sela jendela yang sedikit memberi bentuk pada benda-benda di kamar."Aduh…" gumamnya sambil menutup mata kembali, satu tangan menekan pelipis.Kepalanya berat, perutnya mual, dan tubuhnya serasa tak punya tenaga. Ini semua gara-gara anggur bodoh itu, batinnya.Tak lama, suara pintu berderit terdengar, dan aroma jahe hangat menyusup ke dalam indra penciumannya. Ia membuka mata sedikit, melihat sosok tinggi dengan hoodie abu-abu masuk ke dalam kamar."Nathan?" suaranya serak, nyaris seperti bisikan.Nathan berjalan pelan menuju ranjang, membawakan secangkir teh beruap. "Minum ini. Teh jahe. Biar gak terlalu pusing," katanya, lalu duduk di tepi ranjang.Yara memicingkan mata, mengerang pelan. "Kenapa lampunya gak dinyalain, sih? Gelap banget."Nathan menyandarkan punggungnya ke ranjang, menatap
Setelah malam yang... cukup mendebarkan—dan memalukan—Yara terbangun keesokan paginya dengan kepala yang masih berat, dan dada yang sesak oleh banyak hal. Bukan cuma karena efek anggur sialan itu, tapi juga karena Nathan. Kenapa laki-laki itu tidur di sebelahnya? Kenapa dia memeluk? Kenapa harus membuat jantungnya kerja lembur?Namun pagi itu berlalu begitu saja. Setelah sarapan sekadarnya dan sedikit obrolan canggung, mereka pulang ke apartemen. Nathan menyetir dengan ekspresi datar seperti biasa. Tapi Yara masih merasakan sedikit bekas kehangatan di antara jeda-jeda keheningan mereka.Begitu sampai di apartemen, Nathan langsung melepas jasnya dan menyingsingkan lengan kemejanya."Aku ada rapat setelah ini," katanya sambil berjalan cepat menuju kamar.Yara hanya mengedikkan bahu. Dia berjalan ke arah dapur, mengambil air minum dan makan buah apel.Setengah jam kemudian. Nathan keluar dari kamarnya. Pria itu terlihat rapi dengan setelannya dan rambut di tata rapi."Jangan keluar rumah
Yara mendengus pelan sambil menyimpan ponselnya ke dalam saku hoodie yang kebesaran. Chat dari Nathan tadi masih terngiang di kepalanya."Sudah kubilang jangan keluar sendirian. Jangan terlalu mencolok.""Memangnya aku apa? Anak kecil?" gumamnya, kesal.Langkahnya semakin cepat menuju rak bagian toiletries di supermarket. Sesekali ia menunduk, menarik bagian bawah hoodie-nya untuk menutupi bagian belakang celana legging hitamnya. Ia benar-benar merasa tidak nyaman. Rasanya seperti… bocor."Aduh, semoga enggak ada noda deh..." ocehnya sambil terus menunduk.Setelah menemukan pembalut yang ia cari, ia ambil beberapa bungkus sekaligus, memilih yang panjang dan extra night. "Kalau begini aja aku panik, gimana nanti kalau udah jadi ibu dua anak, ya?" gumamnya sendiri, mencoba bercanda untuk menenangkan dirinya.Namun saat melangkah menuju kasir, ia mulai menyadari sesuatu.Beberapa orang mulai memperhatikannya. Tatapan mereka... bukan tatapan biasa. Ada yang menatap dengan jijik. Ada pula
Langit sore mulai menggelap saat Nathan memarkir mobilnya di basement apartemen. Langkahnya cepat dan terburu-buru. Jas yang tadi rapi sudah disampirkan di lengan, dasi tergantung lepas di lehernya, dan kerutan di dahinya semakin jelas.Adrian tadi mengabari Nathan tentang insiden di supermarket. Nathan yang semula sedang rapat langsung memutuskan untuk pulang. Bukan karena dia peduli—setidaknya begitu yang selalu dia katakan pada dirinya sendiri—tapi karena Yara adalah tanggung jawabnya.Tangannya menekan tombol lift dengan gelisah, dan detik-detik terasa lambat sekali. Begitu sampai di lantai unit apartemen, Nathan langsung melangkah cepat ke kamar Yara. Pintu itu terkunci.Tok. Tok."Yara."Sunyi.Dia mengetuk lagi, lebih keras."Yara, buka pintunya."Tidak ada jawaban.Nathan mendecak. Ponselnya keluar dari saku, cepat-cepat ia kirim pesan.[Nathan: Buka pintunya, atau aku dobrak.]Masih tidak ada balasan. Jantungnya berdetak tak karuan, campuran antara cemas dan kesal. Dia berbal
Suasana ruang makan malam itu terasa... berbeda.Yara duduk di salah satu kursi, tubuhnya lemas tapi tetap berusaha tegak. Di depannya, Nathan tampak sibuk menyajikan makanan di atas meja. Tidak ada ekspresi kesal di wajah pria itu, malah justru terlihat serius, seperti sedang melakukan pekerjaan penting."Aku bantu deh sedikit," ujar Yara pelan, mencoba berdiri."Tetap duduk.""Tapi—""Duduk, Yara."Nada Nathan datar, tapi tegas. Tidak bisa ditawar. Membuat Yara langsung duduk kembali seperti anak sekolah yang tertangkap mau menyontek.Dia hanya bisa mengerucutkan bibir. Ish, galak amat.Tapi kali ini, dia memilih tidak banyak protes. Perutnya memang belum bersahabat. Rasa kram itu muncul lagi dan membuat tubuhnya terasa berat.Biasanya, dia akan berisik. Mengomentari menu makanan, meributkan kenapa Nathan tidak bisa masak yang lebih berwarna, atau sekadar menyelipkan candaan receh soal bentuk nasi. Tapi hari ini… dia hanya diam.Nathan sempat melirik sekilas. Diamnya Yara malam ini
Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menggantung di udara, memantulkan cahaya temaram dari lampu taman yang tertata rapi di sekitar kolam pribadi kediaman keluarga Liu, tepatnya rumah Clara dan suaminya.Clara duduk di kursi santai dengan sandaran empuk berbalut beludru. Baju tidurnya, satin lembut berwarna peach, membungkus tubuh semampainya dengan anggun. Angin malam yang menggoda tak menyurutkan niatnya menikmati seteguk anggur merah yang kini berputar perlahan dalam gelas kristal di tangannya.Langkah hak sepatu terdengar menghampiri, ragu namun tetap mantap. Sang sekretaris, seorang wanita muda berambut hitam dikuncir rapi, datang membawa tablet di tangan dan setumpuk berkas yang sudah disusun rapi. Wajahnya tenang seperti biasa, namun sorot matanya penuh kehati-hatian. Ia tahu betul siapa yang sedang ia hadapi malam ini."Nyonya Clara," ucapnya, membungkuk sedikit dengan sopan. “Laporan yang Anda minta, sudah saya susun sesuai urutan waktu.”Clara hanya
Pagi menyapa dengan cahaya hangat yang menelusup malu-malu dari balik tirai tipis kamar Yara. Udara masih sedikit dingin, menyisakan embun di jendela. Nathan mengerjapkan mata perlahan, membiasakan diri dari rasa kantuk yang masih melekat.Namun, ada sesuatu yang aneh. Tangannya terasa berat. Ia menoleh, dan pandangannya langsung bertemu dengan rambut berantakan Yara yang terurai bebas di atas lengannya—ya, di atas lengannya.Gadis itu, dengan wajah tenang dan napas teratur, tidur berbantalkan lengan Nathan… dan memeluk perutnya erat seperti guling.Nathan menahan napas. Rasanya... absurd. Aneh. Tapi juga... menyenangkan?Dia refleks ingin menarik tangannya agar tidak kesemutan, tapi gerakannya terhenti. Pandangannya tertahan pada wajah Yara. Gadis itu tidur nyenyak sekali, alisnya sedikit berkerut seolah sedang mimpi yang intens, dan bibir mungilnya sedikit terbuka, membuat Nathan menelan ludah tanpa sadar.“Cantik,” bisiknya pelan, hampir seperti gumaman tanpa suara.Dia tak tahu se
Setelah sarapan pagi yang... canggung, dengan sisa rasa ciuman Nathan yang masih membekas di ujung bibir dan pipi Yara yang tak kunjung mendingin, suasana pagi berubah cepat.Nathan menerima telepon dari seseorang—suara laki-laki di seberang terdengar tegang, meski Yara tidak tahu persis siapa. Tak sampai lima menit, Nathan sudah berdiri sambil mengenakan jas dan memasukkan ponsel ke sakunya."Aku harus pergi," katanya cepat.Yara yang masih setengah sadar karena detak jantung yang belum stabil sejak ciuman tadi hanya mengangguk pelan. "O-oh... iya."Nathan sempat meliriknya dari ujung pintu. "Dan Yara… jangan keluar apartemen. Apa pun yang terjadi, tetap di sini."Gadis itu menatap bingung. "Eh? Kenapa?""Tolong, turuti saja. Aku akan jelaskan nanti."Belum sempat Yara membalas, pintu sudah tertutup. Nathan hilang dalam suara langkah cepat dan bunyi lift.Dan... rumah pun sepi.Sangat sepi.Yara berjalan ke wastafel, mencuci bekas makannya. Lalu dia kembali ke ruang tengah apartemen
Pagi menyapa dengan cahaya hangat yang menelusup malu-malu dari balik tirai tipis kamar Yara. Udara masih sedikit dingin, menyisakan embun di jendela. Nathan mengerjapkan mata perlahan, membiasakan diri dari rasa kantuk yang masih melekat.Namun, ada sesuatu yang aneh. Tangannya terasa berat. Ia menoleh, dan pandangannya langsung bertemu dengan rambut berantakan Yara yang terurai bebas di atas lengannya—ya, di atas lengannya.Gadis itu, dengan wajah tenang dan napas teratur, tidur berbantalkan lengan Nathan… dan memeluk perutnya erat seperti guling.Nathan menahan napas. Rasanya... absurd. Aneh. Tapi juga... menyenangkan?Dia refleks ingin menarik tangannya agar tidak kesemutan, tapi gerakannya terhenti. Pandangannya tertahan pada wajah Yara. Gadis itu tidur nyenyak sekali, alisnya sedikit berkerut seolah sedang mimpi yang intens, dan bibir mungilnya sedikit terbuka, membuat Nathan menelan ludah tanpa sadar.“Cantik,” bisiknya pelan, hampir seperti gumaman tanpa suara.Dia tak tahu se
Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menggantung di udara, memantulkan cahaya temaram dari lampu taman yang tertata rapi di sekitar kolam pribadi kediaman keluarga Liu, tepatnya rumah Clara dan suaminya.Clara duduk di kursi santai dengan sandaran empuk berbalut beludru. Baju tidurnya, satin lembut berwarna peach, membungkus tubuh semampainya dengan anggun. Angin malam yang menggoda tak menyurutkan niatnya menikmati seteguk anggur merah yang kini berputar perlahan dalam gelas kristal di tangannya.Langkah hak sepatu terdengar menghampiri, ragu namun tetap mantap. Sang sekretaris, seorang wanita muda berambut hitam dikuncir rapi, datang membawa tablet di tangan dan setumpuk berkas yang sudah disusun rapi. Wajahnya tenang seperti biasa, namun sorot matanya penuh kehati-hatian. Ia tahu betul siapa yang sedang ia hadapi malam ini."Nyonya Clara," ucapnya, membungkuk sedikit dengan sopan. “Laporan yang Anda minta, sudah saya susun sesuai urutan waktu.”Clara hanya
Suasana ruang makan malam itu terasa... berbeda.Yara duduk di salah satu kursi, tubuhnya lemas tapi tetap berusaha tegak. Di depannya, Nathan tampak sibuk menyajikan makanan di atas meja. Tidak ada ekspresi kesal di wajah pria itu, malah justru terlihat serius, seperti sedang melakukan pekerjaan penting."Aku bantu deh sedikit," ujar Yara pelan, mencoba berdiri."Tetap duduk.""Tapi—""Duduk, Yara."Nada Nathan datar, tapi tegas. Tidak bisa ditawar. Membuat Yara langsung duduk kembali seperti anak sekolah yang tertangkap mau menyontek.Dia hanya bisa mengerucutkan bibir. Ish, galak amat.Tapi kali ini, dia memilih tidak banyak protes. Perutnya memang belum bersahabat. Rasa kram itu muncul lagi dan membuat tubuhnya terasa berat.Biasanya, dia akan berisik. Mengomentari menu makanan, meributkan kenapa Nathan tidak bisa masak yang lebih berwarna, atau sekadar menyelipkan candaan receh soal bentuk nasi. Tapi hari ini… dia hanya diam.Nathan sempat melirik sekilas. Diamnya Yara malam ini
Langit sore mulai menggelap saat Nathan memarkir mobilnya di basement apartemen. Langkahnya cepat dan terburu-buru. Jas yang tadi rapi sudah disampirkan di lengan, dasi tergantung lepas di lehernya, dan kerutan di dahinya semakin jelas.Adrian tadi mengabari Nathan tentang insiden di supermarket. Nathan yang semula sedang rapat langsung memutuskan untuk pulang. Bukan karena dia peduli—setidaknya begitu yang selalu dia katakan pada dirinya sendiri—tapi karena Yara adalah tanggung jawabnya.Tangannya menekan tombol lift dengan gelisah, dan detik-detik terasa lambat sekali. Begitu sampai di lantai unit apartemen, Nathan langsung melangkah cepat ke kamar Yara. Pintu itu terkunci.Tok. Tok."Yara."Sunyi.Dia mengetuk lagi, lebih keras."Yara, buka pintunya."Tidak ada jawaban.Nathan mendecak. Ponselnya keluar dari saku, cepat-cepat ia kirim pesan.[Nathan: Buka pintunya, atau aku dobrak.]Masih tidak ada balasan. Jantungnya berdetak tak karuan, campuran antara cemas dan kesal. Dia berbal
Yara mendengus pelan sambil menyimpan ponselnya ke dalam saku hoodie yang kebesaran. Chat dari Nathan tadi masih terngiang di kepalanya."Sudah kubilang jangan keluar sendirian. Jangan terlalu mencolok.""Memangnya aku apa? Anak kecil?" gumamnya, kesal.Langkahnya semakin cepat menuju rak bagian toiletries di supermarket. Sesekali ia menunduk, menarik bagian bawah hoodie-nya untuk menutupi bagian belakang celana legging hitamnya. Ia benar-benar merasa tidak nyaman. Rasanya seperti… bocor."Aduh, semoga enggak ada noda deh..." ocehnya sambil terus menunduk.Setelah menemukan pembalut yang ia cari, ia ambil beberapa bungkus sekaligus, memilih yang panjang dan extra night. "Kalau begini aja aku panik, gimana nanti kalau udah jadi ibu dua anak, ya?" gumamnya sendiri, mencoba bercanda untuk menenangkan dirinya.Namun saat melangkah menuju kasir, ia mulai menyadari sesuatu.Beberapa orang mulai memperhatikannya. Tatapan mereka... bukan tatapan biasa. Ada yang menatap dengan jijik. Ada pula
Setelah malam yang... cukup mendebarkan—dan memalukan—Yara terbangun keesokan paginya dengan kepala yang masih berat, dan dada yang sesak oleh banyak hal. Bukan cuma karena efek anggur sialan itu, tapi juga karena Nathan. Kenapa laki-laki itu tidur di sebelahnya? Kenapa dia memeluk? Kenapa harus membuat jantungnya kerja lembur?Namun pagi itu berlalu begitu saja. Setelah sarapan sekadarnya dan sedikit obrolan canggung, mereka pulang ke apartemen. Nathan menyetir dengan ekspresi datar seperti biasa. Tapi Yara masih merasakan sedikit bekas kehangatan di antara jeda-jeda keheningan mereka.Begitu sampai di apartemen, Nathan langsung melepas jasnya dan menyingsingkan lengan kemejanya."Aku ada rapat setelah ini," katanya sambil berjalan cepat menuju kamar.Yara hanya mengedikkan bahu. Dia berjalan ke arah dapur, mengambil air minum dan makan buah apel.Setengah jam kemudian. Nathan keluar dari kamarnya. Pria itu terlihat rapi dengan setelannya dan rambut di tata rapi."Jangan keluar rumah
Yara membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, samar-samar. Rasa pening di kepalanya seperti ombak pasang yang menghantam pelan namun berkali-kali. Sekelilingnya gelap, hanya cahaya redup dari sela jendela yang sedikit memberi bentuk pada benda-benda di kamar."Aduh…" gumamnya sambil menutup mata kembali, satu tangan menekan pelipis.Kepalanya berat, perutnya mual, dan tubuhnya serasa tak punya tenaga. Ini semua gara-gara anggur bodoh itu, batinnya.Tak lama, suara pintu berderit terdengar, dan aroma jahe hangat menyusup ke dalam indra penciumannya. Ia membuka mata sedikit, melihat sosok tinggi dengan hoodie abu-abu masuk ke dalam kamar."Nathan?" suaranya serak, nyaris seperti bisikan.Nathan berjalan pelan menuju ranjang, membawakan secangkir teh beruap. "Minum ini. Teh jahe. Biar gak terlalu pusing," katanya, lalu duduk di tepi ranjang.Yara memicingkan mata, mengerang pelan. "Kenapa lampunya gak dinyalain, sih? Gelap banget."Nathan menyandarkan punggungnya ke ranjang, menatap
Matahari siang mulai menyengat lembut di halaman villa, tapi hawa hangatnya tak mampu mencairkan kegugupan yang menggantung di dada Yara sejak kejadian tadi pagi.Bahkan saat Keno dengan semangat seperti anak kecil berteriak, "Ayo kita main truth or dare! Gak jadi berenang. Siang-siang begini lebih seru main game!"Nathan, yang sedang bersandar santai di sofa dekat jendela kaca, hanya mendengus malas. Kayak anak TK aja main ginian siang-siang…""Ayolah, Nat! Jangan kaku!" Keno langsung menyeret tangan Nathan, sementara Linda tak mau kalah, menarik tangan Yara yang baru keluar dari dapur membawa sebotol air dingin."A-aku? Aku nggak mau ikut…," Yara berusaha menolak, namun kalah tenaga. Tubuhnya kecil, tak ada apa-apanya dibanding semangat penuh api Linda yang hampir seperti anak kecil minta permen."Jangan banyak protes, sayang. Ini seru!" Linda terkekeh, menggiring Yara ke arah meja bundar di ruang tengah. Di sana sudah ada sebotol wine di tengah, siap diputar.Sepertinya Keno dan Li