kegelisahan melingkupi hati Anggrani saat ini. Gadis itu tak berhenti meremas ujung tuniknya melampiaskan segala rasa tentang hubungan yang kian rumit meskipun, tangan kekar Victor terus mengelus punggung dan menguatkannya dengan sebuah belaian. Kisah yang sudah di ujung tanduk semakin membuat Aini tersesat dalam dilema rasa akan sebuah keputusan.
"Kamu harus yakin, Tuhan akan mempersatukan kita, emn.." ucap Victor meraih kedua tangan Aini dan mengecupnya dalam. Kesedihan mereka di saksikan oleh dedaunan yang bergoyang oleh terpaan angin malam. Entah apa yang membuat Aini hingga ia belum merencanakan untuk pulang ke kosannya. Rasanya enggan meninggalkan Victor saat ini, apalagi ia baru dapat kabar Rafli papanya, juga tidak pulang karena menginap di rumah temannya.Jadi, memanfaatkan kesempatan itu untuk menghabiskan waktu bersama kekasihnya.
Aini menarik nafas panjang seraya memandang bulan purnama yang mulai menerangi langit malam. Ia terkesima dengan sinar indah, namun menatapnya pongah. Sesaat ia menunduk melihat jari manisnya yang kini tersemat cincin permata merah delima pemberian Victor pada malam pelamaran waktu itu. Sebenarnya, cincin itu sudah dikembalikan Aini pada Victor setelah tragedi penghinaan atasnya gara-gara ia pergi dengan laki-laki yang bernama Elang. Dan barusan, Victor menyematkan kembali cincin itu di jari manis Aini sebagai bukti bahwa Aini miliknya sampai kapan pun, walau jurang pemisah kini terbentang di hadapan mereka. Ia mengelus permata itu dengan tubuh berdesir hebat disaksikan Victor. Pria itu memperhatikan wanitanya masih diam tak menjawab sepatahpun membiarkanya dalam kebingungan, apa sebenarnya yang dipikir Aini.
"Vic?"
"Emm.."setelah keheningan beberapa saat, akhirnya Aini mengeluarkan suara yang begitu merdu terdengar di telinga Victor. Darah pria itu berdesir melahirkan kerinduan yang ingin segera ia tumpahkan."Aku lelah. Boleh? malam ini aku beristirahat di rumahmu," ujar Aini bernada berat. Ia menyembunyikan wajahnya dari Victor untuk sekedar menutupi rasa malu atas permintaannya. Victor mengulas senyum bahagia dan meraih lagi tangan gadis pujaannya.
"Aini. Ini rumahmu juga, kamu tidak usah berkata seperti itu, karena setalah menikah nanti? kita akan tinggal di sini membangun mahligai yang indah dan sakral, Insya Allah. Semoga Allah merestui kita," Jawab pria itu sambil melihat sekeliling halaman rumah megahnya yang hanya dihuni oleh dirinya sendiri. Aini menatap sejenak wajah lelaki di depannya dengan rasa bersalah kian menyesakkan dadanya. "Vic. Maafkan aku. Besok aku akan kembali ke orangtuaku."
"Ya, sudah. Sekarang kita masuk ya? ini juga udah mau isya'. Yuk, aku antar ke kamar?" ajak Victor meraih bahu Aini membimbing gadis itu masuk. Dia menangkup posesif pinggang ramping Aini berjalan melewati pohon-pohon buah diiringi pantulan cahaya bulan purnama di langit nan lepas.
"Nah, kamu istirahat di sini aja ya? gak usah sungkan? anggap saja ini kamar kamu, emm.." Victor membawa Aini ke sebuah kamar yang bernuansa biru lembut. Kamar yang di isi oleh perabotan mewah, ranjang king sed yang dilapisi sprai Biru soft tertata rapi tak terjamah. Lemari pakaian berdiri di sebelah kanan rajang berwarna senada serta sebuah lampu tidur kristal di letakkan di atas nakas sedang menyala menerangi remang suasana.
"Vic, emang ini ... kamar siapa? gak apa-apa aku---"
"Gak, sayang. Ini kamar mama aku kok. Dulu, almarhum mama pernah bilang. Kalau suatu saat aku nikah. Mama ingin kamar ini dijadikan sebagai kamar pengantin. Aku juga gak tau, kenapa mama ngomong kek gitu. Padahal, waktu itu mama sehat-sehat aja," Victor mengantungi kedua tangannya sambil menatap ranjang milik almarhum sang ibu yang selalu tertata rapi padahal ia hampir tidak mengunjunginya.
"Ain, sini." pria itu memanggil kekasihnya yang masih berdiri di pintu sementara dirinya sedang membuka lemari pakaian ingin ia tunjukkan pada Aini. Semua pakaian tesusun rapi di dalamnya.
"Kamu ganti baju ya, ini ada baju piama punya mamaku. Kamu pakai aja gak papa." Dia meraih tangan Aini untuk melihat susunan pakaian itu. Sejenak Aini tertegun menatap isi dalam lemari itu. Barang-barang milik ibunya Victor dari perhiasan sampai tas tas branded bermerek masih utuh dan terawat.
"Ain. Kelak, kalau kita sudah menikah nanti ... semua peninggalan mama menjadi milik kamu dan kamu boleh memakai apa saja yang kamu sukai, emm.." ucap Victor menangkup kedua bahu Aini lembut. Laki-laki itu menatap gadis pujaannya dengan senyum tulus menghias bibir tipisnya.
Aini menelan ludah tercekat di kerongkongannya. Ia membalas tatapan itu dengan kosong. Pikiran Aini tersesat dalam lumuran dosa dan kebersalahan atas harapan yang telah ia sematkan di hati Victor hingga kini tenggelam dalam muara yang begitu dalam.
"Hey? kamu gak apa-apa, Ai... "
"Hiya, aku gak gak papa. Sori, aku ... aku ... " pungkas Aini kebingungan. Gadis itu mengulas senyum getir ketika tak ada lagi kata-kata yang ingin ia sampaikan. Victor sudah membuktikan segalanya, bahkan pria itu merelakan semua peninggalan sang bunda untuk Aini sebagai mana itu semua keinginan nyonya Andreas semasa beliau masih hidup."Kamu tau, Ain. Dulu, mama sangat mengharapkan Salsa menjadi menantunya. Tapi---"
"Tapi, kenapa?" jawab Aini cepat. Gadis itu tersentak, "jadi, benar? Salsa mantan tunangnnya, kamu." Batin Aini.
"Dulu. Aku dan Salsa pernah bertukar cincin di depan mama, dan itu kulakukan supaya Salsa percaya kalau aku gak main-main dengan dia." Victor diam sesaat dan melangkah mendekati sebuah jendela yang di tutupi tirai berwarna biru motif bunga-bunga. Ia menyingkap tirai tersebut hingga menampakan pemandangan kolam dikelilingi bunga-bunga yang sedang bermekaran. Aini memperhatikan punggung kekar kekasihnya dengan hati tersentil sakit. Dalam hati ia semakin bersalah karena setelah ini, dia orang pertama yang akan menabur garam di atas luka lama Victor. Tiba-tiba, tubuh Aini berdesir kuat serasa otot-ototnya lemah tak mampu menopang lagi. Ia semakin terpojok dengan situasi saat ini. Berapapun ia berusaha mengontrol diri, namun percuma! Akhirnya gadis itu luruh terduduk di ranjang empuk itu dengan satu tangannya menekan kesesakan di dadanya. Sementara Victor tidak menyadari apa yang dengan Aini di belakangnya, karena ia terus menceritakan kilasan masalalunya dengan Salsa dan sekilas tentang kematian sang bundanya.
"Salsa pergi dengan pria lain, Ain. Sejak itu, aku berpikir tidak ada wanita yang bisa kupercaya selain mama, dan ternyata mama juga pergi ninggalin aku. Waktu itu aku gak sangup lagi menghadapi hidup sendiri. Mamaku meninggal karena serangan jantung mendadak, dan itu gara-gara aku selalu pulang dalam keadaan mabuk. Seandainya--"
"Aini! kamu kenapa," kata Victor ketika membalikkan tubuhnya mendapatkan Aini dalam keadaan terisak sambul meremas area dadanya. Victor meraih bahu Aini mengangkat wajah gadis itu dengan jemarinya, dan terlihat lelahan air mata dibaluti kesedihan yang sulit dijelaskan.
"Ain?" Panggilnya lembut membuat hati Aini mengangga. Victor menyeka air yang terus berjatuhan di pipi wanita bangsawan itu dengan kedua ibu jarinya sambil mengecup kening Aini yang tertutup hijab kemudian membawanya dalam pelukan. Victor baru merasakan degup jantung Aini berserta tubuhnya bergetar hebat. Pria itu mulai panik, ia menangkup wajah Aini menatapnya dalam.
"Ain. Bilang sama aku, kamu kenapa? aku salah ya. Ya udah udah, sekarang kamu istirahat dulu? maafin aku, aku gak bermaksud membuat kamu sedih, sayang. Aku hanya... "
"Vic, aku gak, app appha." Sangga Aini terisak. Ia menarik nafas sesak berusaha menghentikan air mata yang seharian ini begitu mudah keluar dan itu membuatnya kesal.
"Ain, mulai sekarang Kamu janji sama aku," Deg. Jantung Aini berdetak sontak ia menatap Victor bingung
"Maksud, kamu ..." sengau Aini menyeka hidupnya dengan tissu di tangannya. Victor mengulum senyum menawan dan menankup kembali kedua pipi halus Aini membuat jarak yang sangat dekat
"Kamu harus janji tidak akan seperti ini lagi. Kamu harus selalu tersenyum untukku, Ain. Karena kamu penyemangat hidupku, nafasku."
Keduanya terkunci dalam tatapan syahdu saling merasakan degupan jantung yang dipacu mengejar kerinduan tak ingin terpisahkan. Dan, semenit kemudian keadaan berubah menjadi romantis. Victor membawa kedua tangan Aini mengalungi lehernya, juga sebaliknya dia memeluk pinggang ramping Aini dan merapatkan ketubuhnya. Gadis itu berdesir merasakan tonjolan keras di perutnya, namun tidak berusaha menolak. Perlahan, Victor mendekatkan bibirnya pada bibir Aini dan melumatnya lembut. Aini diam menerima setiap sentuhan yang dilakukan Victor dengan lidahnya yang lihai. Remang lampu semakin menambah kesyahduan suasana percintaan mereka tanpa memikirkan apapun lagi. Aini mulai pasrah membiarkan Victor membuka satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya dengan mata terpejam. Ia mulai pasrah, menyerah pada rasa yang menyiksa. Entah apa yang merasuki Aini hingga ia terlena terbawa dalam nafsu yang bergelora.
Nafas keduanya kian diburu, saling memberikan sentuhan-sentuhan yang selama menjadi sebuah pantangan bagi Aini. Namun, malam ini terlalu indah untuk dilewatkan ditambah lagi keengganan untuk berpisah hingga kini tubuh keduanya polos tanpa sehelai benangpun yang menutupinya
"Kamu, yakin sayang? aku gak mau melakukannya kalau kamu tidak menginginkannya, emm.." ujar Victor merapikan rambut Aini yang acak acakan. Dan, Kini hanya tinggal selangkah lagi keduanya akan terbang ke langit yang biru menggapai kenikmatan, menyampaikan ketulusan cinta walaupun itu dalam bentuk dosa yang sulit termaafkan karena mereka belum diikat oleh pernikahan
"I lover you, Vic. Sangat," balas Aini mengelus lembut gerahang Victor yang sedang menindihnya. Ia mengulas senyum pasrah iringan dua butir bening lolos dari mata indahnya.
"I Love you to, Ain. I love you more?" seraya mengecup lama jemari lentik itu, Victor menatap sejenak siluet kepasrahan di wajah Aini membuatnya ragu. Namun, hasratnya terlanjur memuncak, dan kelelakiannya sudah mengacung ingin berlabuh di syurga milik Aini.
Di luar, malam indah diterangi cahaya bulan purnama. Kerlap kerlip lampu kota menambah keindahan kota Medan, kota yang telah berjasa mencetak seorang mahasiswi terpandai tamat dengan prediket cumload pertama. Dia datang dengan segenap harapan dan cita-cita meraih gelar terbaik dan itu telah ia miliki. Namun, ia belum tau. Apakah dia akan kembali ke tanah kelahirannya dengan membawa sebingkai kesuksesan itu? sementara Aini sedang mendesah saat Victor mengecup lembut puncak dadanya. Ia bahkan mengeluarkan suara erangan membuat Victor semakin liar menjamah setiap inci tubuh dara bangsawan itu tanpa ampun. Sungguh yang terjadi sekarang pertama dalam hidup Aini, dan dia hanya bisa pasrah menerima kecupan-kecupan maut Victor di tubuh yang tadinya suci.
"Vic...stop it, please." ucap Aini ingin berhenti namun tubuhnya terus menikmati setiap sentuhan Victor.
"Why? please, Ain. I want you so bad, honny," pinta Victor merangkak keatas tubuh Aini, dan sejenak keduanya saling menatap dalam kabut gairah
"Aku ... aku ... " suara ini terputus karena Victor kembali menghujam ciuman di bibirnya sampai tak ada lagi kata-kata yang dapat dikeluarkan Aini. Pria itu terus melakukan aksinya, dan membuat Aini semakin tenggelam dalam gairah hingga ia pasrah ketika Victor sudah berhasil menembus selaput dara miliknya. Derai air mata membasahi pipinya membuat gadis itu hancur sehancur hancurnya.
Aini merintih merasakan kesakitan akibat tusukan di intinya, namun itu tidak berlangsung lama karena Victor selalu menciumnya untuk meredakan rasa sakit menggantikan dengan kenikmatan dan kepuasan.
Aini menatap hampa langit-langit kamar dengan sisa kenikmatan dan kelelahan setelah dua jam ia cumbu habis-habisan oleh Victor. Mata indah itu mengerjab, sementara Victor terus memeluknya posesif.
"Sayang. maaf, ya? aku janji kita akan segera menikah. Tolong, jangan tinggalin aku, Ain. Aku sengaja melakukan ini, agar kamu tidak pergi dariku, sekali lagi maafkan aku, sayang." Bisik Vicktor sambil menempel bibirnya di antara pipi dan telinga Aini. Aini tersadar kekosongan lalu menoleh menatap kekasihnya tersenyum pasrah.
"Gak apa-apa kok, sayang. Aku ikhlas kok," balas Aini menampakkan kelembutannya hingga membuat dada Victor mengembang. "Maafkan aku, Vic. Cinta kita akan tumbuh, dan aku akan merawatnya untukmu,"
Selang beberapa waktu, merekapun tertidur kelelahan dalam satu selimut di ranjang suci yang kini ternodai. Mereka menutp malam dengan sebuah ciuman lembut penuh kasih sayang seakan mereka telah berhasil meraih impian. Cinta telah membutakan Aini hingga rela menyerahkan mahkota kegadisannya untuk Victor sebagai bukti bahwa dirinya sangat mencintai laki-laki itu. Namun, bukan berarti Aini tidak menyadari akan resiko yang harus ditanggungnya nanti. Tapi, tidak mungkin Aini melakukan ini tanpa alasan, bukan? apa sebenarnya yang direncanakan Ain. Hingga ia begitu tulus ikhlas memberikan segalanya untuk Victor! padahal, ia sendiri meyakini kalau hubungan tidak akan pernah direstui oleh papanya. Tentu hanya Aini yang tau.
Pagi menyapa. Semilir angin berhembus menerpa dedaunan menambah kesejukan suasana di kediaman tuan Andreas seorang pembisnis dan pengusaha sukses di bidang mebel dan elektrikal di mana usahanya itu tersebar di beberapa kota besar selain kota Medan. Salah satunya Batam, dan palembangSecercah cahaya pun masuk dari jendela yang tirainya sudah tersingkap rapi membuat udara pagi masuk menyapa wajah laki-laki tampan sedang terlelap damai tanpa beban sedikit pun. Baru kali ini ia merasakan tidur yang begitu nyenyak dan panjang. Bagaimana tidak? peristiwa semalam sungguh membuatnya puas karena telah berhasil membawa wanita pujaannya menggapai puncak kenikmatan dengan harapan, Aini akan seutuhnya menjadi miliknya.Victor mengerjab menyamai pencahayaan yang menampar begitu menyengat di wajahnya. Laki-laki itu menoleh kiri kanan sambil meraba-raba berharap Aini masih tidur di sampingnya dengan harapan bisa memeluk dan mencium kening gadis itu sebagai ungkapan '
"Pagi-pagi, Aini datang ke rumah aku, Vic. Aku terkejut dan mengajaknya masuk. Namun, Aini menolak katanya dia gak bisa lama,"Flasback On"Aini..? lu, ngapain pagi-pagi, joging?" tanya Farida dengan mimik wajah bingung. Ia meneliti Aini dari bawah sampai ke atas nampak wanita itu pucat dan kelelahan."Bed, sori. Aku boleh ngomong sebentar?" balas Aini memohon dengan kedua tangannya. Farida menaut alis dan sedetik krmudian ia membawa Aini di taman perkarangan rumahnya ada sebuah bangku panjang di bawah pohon jambu keduanya duduk berhadapan."Hey, lu kenapa?" kata farida serius sambil menatap raut wajah Aini yang pucat.Gadis malang itu menarik panjang lalu menghembus dengan menahan nafas yang menyesakkan rongga dada"Gua, mau pamit, Far. pesawat jam 11 aku take off ke Aceh... ""Apa! lu serius? tapi, kenapa buru-buru, kan kuliah lu belum kelar semua, Ain? lu belum... ""Gua tau Far. Gua juga mau minta tolong sama kali
Victor.Aku minta maaf, karena pada saat kamu bangun, aku sudah menjadi wanita penghianat. Bahkan lebih buruk dari itu. Seandainya, bulan semalam bisa menjawab isyarat hatiku, mungkin aku tidak sekerdil sekarang. Meninggalkanmu dan itu hal terberat yang harus kujalani.Vic.Cintamu bersamaku, dan buah cinta kita akan tumbuh. Kuharap, kamu tetap semangat demi itu. Bersamaku ada kamu, dan aku pun, ada bersama kedua orang tuaku. Mereka, pelindungku di akhirat nanti. Aku tidak menyesal apa yang sudah kita lakukan, sebaliknya, aku bangga meskipun harus berlumur dosa.Vic. Jangan patah, atau terpuruk. Aku mencintaimu sampai kapan pun.Aini.Pria itu meremas sekuat tenaga secarik kertas putih yang baru dibacanya dengan air mata terus menetes. Ia luruh ke sofa di kamarnya, dan menjambak kepalanya merasakan kehancuran atas kepergian Aini beberapa jam yang lalu.Setelah menerima surat itu dari Farida. Victor me
***Aku meratapi cinta yang telah sirna bersama puing-puingnya. Begitu banyak lara yang hinggap setelah benih tertanam dalam raga ini***Angin bertiup kencang menerpa dedaunan di perkarangan sebuah rumah megah peninggalan raja Syahbandar. Rumah yang di desain bergaya kolonial Belanda dulu nampak sejuk dan damai karena pepohonan yang rindang. Salah satunya, pohon kelapa gading yang buahnya sangat bermanfaat bagi kesehatan. Pohon yang berupa palem-paleman itu tumbuh berjejer di samping pagar rumah Syahbandar sejak dulu hingga kini telah banyak buah yang dinikmati oleh keluarga dan sanat saudara mereka.Dari balkon lantai 2 tampak seorang gadis bertubuh langsing berkulit putih berdiri termenung menatap hampa jalan hitam yang basah karena guyuran air hujan. Sejak ia tiba di kediamannya, di salah satu kota kecil daerah Nanggroe langit terus menurunkan air hijan hingga sore hari belum juga berhenti. Suasana itupula membuat Aini lebih banyak terme
"Anak bodoh! dia pikir dengan melakukan ini bisa mengubah semuanya." Mata tajam bak silet menatap seonggok tubuh yang terkulai lemas di atas branrkar. Selang lentur transparan menancap di hidup bekerja dua kali lebih cepat mengirimnya oksigen pernafasan. Tubuhnya teebaring lemas tak berdaya.Sosok jangkung berdiri bersedekap di samping branrkar dan terus menatapi wajah sang putri yang kini telah pucat memutih bak mayat hidup. Mata terpejam, yang terdengar hanyalah buih oksigen menderu setiap kali nafas berhembus."Apa maksud, papa. Papa ... bukan bilang untuk kak, Aini kan?" tanya Asril memicing papanya dari samping. Rafli bergeming tak mengubah posisi dan tatapan pada putri sulungnya yang terbaring tak berdaya. Pria paruh baya itu diam tidak pernah berniat untuk menjawab pertanyaan Asril. Selain gak perlu, Rafli juga tidak pernah suka diintrogasi oleh siapapun, termasuk anak-anaknya."Jaga, kakak kamu. Pastikan dia baik-baik saja," titahnya ta
"Heehh ... heehhh..." suara desah kesusahan itu terdengar berat dan serak. Berulang kali nafas terongos sampai dadanya terangkat membusung lalu rapat kembali di tempat tidur. Beberapa kali itu terjadi namun, tidak disadari oleh orang sekelilingnya. Asril yang tertidur dengan memangku di samping Anggraini pun, tak menyadari kalau kakaknya sedang kesusahan dalam mengatur pernafasan. Conon lagi, Annuar yang terbaring pasrah di atas sofa jauh dari Aini.Namun, setelah beberapa kali gadis itu menarik nafas secara teratur, akhirnya sirkulasi air oksigen itu berjalan bergerak normal. Perlahan, kelopak mata lentik itu mengerjab memaksa retina menyamai pencahayaan lampu led yang bersinar terang tepat di bagian atasnya. Ketika dirasa nyaman, ia mulai mengedar pandangan, dan orang yang pertama kali dilihatnya adalah, Asril. Sang adik laki-laki tertidur lelap dengan memangku kepala di bagian pinggir ranjang. Asril yang senantiasa setia menjaga, juga menunggu kakak terci
Keputusan telah di tetapkan, dan itu tidak dapat di ubah meskipun dunia ini runtuh. Memang sepatutnya, manusia harus mempunyai prinsip, safat dan watak yang mencerminkan bagaimana sikap dalam kesehariannya. Cerminan itu juga tidak luput dari respon alam sadar juga alam bawah sadar. Dimana setiap bertindak tentunya pasti ada arah dan ujung dari tindakan itu sendiri.Sama halnya yang dilakukan oleh Victor Walidin saat ini. Pria jenius itu telah memutuskan untuk pergi ke Nanggroe guna mencari kekasihnya yang telah pergi meninggalkannya begitu saja setelah malam panas itu adalah malam terakhir bagi mereka. Bahkan Aini tidak mengucapkan kata pamit sebaitpun. Dan, Victor tidak bisa menerima begitu saja perlakuan Aini terhadapnya. Apapun, jalan siap ditempuh sekalipun nyawa taruhannya. Ia siap terbang membelah langit biru demi sang pujaan hati.Sejam yang lalu, Victor tiba di bandara kuala namu tanpa di temani siapapun. Ia nekat, karena menurutnya itu harus! Ia mengutuk
Sebulan Kemudian..."Sampai kapan abang jadi pengangguran! Siang malam kerja abang hanya keluyuran gak jelas!""Apa kau bilang! kau pikir abang tidak mencari pekerjaan. Kau selalu saja menuduh suamimu—""Aku bukan menuduh! Itu memang kenyataannya?"Perdebatan itu sudah hampir setiap hari terdengar di tengah-tengah keluarga Syahbandar. Seiring waktu berjalan, keharmonisan semakin memudar.Dan, pagi ini. Anggraini gak sengaja lewat kamar Meylan. Kalau beberapa hari yang lalu ia juga pernah melintasi area kamar itu, terus yang terdengar sebuah desah dan jeritan Meylan di atas ranjang? kali ini Aini mendengar alotnya perang mulut. Memang, ini bukan yang pertama kali Meylan dan Halim Kusuma bertengkar gara-gara pria itu tidak punya aktivitas selain keluyuran, pulang tengah malam, itupun dalam keadaan mabuk.Aini berniat berhenti sebentar untuk mendengarkan perdebatan itu. Namun, "Krek." Gadis itu terkejut reflek menatap soso
“Kamu siap. Emm..” Aini melengkung senyuman getir. Ia menunduk setelah menyakinkan hati pria yang kini berdiri gagah di depannya dengan balutan jas dan peci menutup kepalanya. Kisahnya telah selesai di sini, di sebuah desa kecil yang jauh dari kediamannya. Sebuah desa yang telah melahirkan pria berlatar belakang seorang mafia pengedar. Aini menatap diri dalam balutan gaun brokat berwarna putih dengan sisa kesadaran dan nafas terputus. Iya? Aini telah memutuskan untuk menikah siri dengan adik iparnya sendiri karena Halim terus memaksanya, bahkan pria itu mengancam“Dengar, Ain. Kamu setuju menikah denganku, atau rumah ini akan kubumi hanguskan. Aku tidak akan segan-segan melakukan itu.” Hati Aini meringis kesakitan. Yang kedua kalinya ia mendengarkan ancaman Halim, dan kali ini dengan nada yang tidak bisa dianggap enteng. Ya! Tatapan Halim begitu serius memancarkan sinar tajam di mana cukup membuat Aini sadar bahwa Halim bukan lah pria baik-baik yang Cuma menggertak sambel kurang peda
Saat semua orang tau aku ternoda, aku yakin mereka akan melontarku dengan hinaan. Dan saat nanti mereka menghujatku dengan kata itu, aku akan teriak. Hidupku dibelenggu silsilah dan kemargaan. Ketika semua sudah jelas, namun tidak mampu mengembalikan harga diriku, baiklah aku akan menyerah. Menyerahkan diri pada keadaan Andai saja ada sayap, saat ini yang ingin dilakukan Aini adalah mengepak dan terbang ke suatu tempat di mana tidak seorang pun, yang dapat menemukannnya lagi. Ia rela hidup sendiri, demi apapun itu. Di sini, di rumah yang besar ini sudah tidak lagi ada ketenangan apalagi kebahagiaan. Pikiran lain juga hinggap, andai Victor datang menjemput dan membawanya pergi jauh dari orang-orang yang terdekat yang tidak berarti, memahami perasaannya. Aini meremas kuat ujung dress dengan sisa kesadaran setelah mendengar kecaman sang ayahanda barusan, “Bagaimanapun caranya, papa mau kamu menikah dengan Febby. Apa yang kamu pikirkan, umur kamu tidak berjalan ditempat, Aini.” Tatapan
Setelah percintaan panas penuh gairah yang dilakukan Anggraini bersama Halim Kusuma disiang hari ini tuntas, akhirnya mereka terkulai lemah, terlentang menatap langit-langit kamar dengan sisa kenikmatan masih mengalir dalam darah mereka. Aini mengerjab pasrah meratapi arti sentuhan yang lakukan Halim begitu dasyat mengoyak harga dirinya. Tiada henti ia mengutuk diri sendiri ketika Halim melakukan itu, ia enggan menolaknya. Tak henti bibirnya meracau menyebut nama Halim ketika mencapai orgasme yang bertubi-tubi. Bagian vitalnya berdenyut nyeri terus meminta mengemis agar Halim jangan berhenti menusuknya. Sadar akan isyarat itu, Halim tersenyum puas dan semakin memacu adrenalin mengeluarkan seluruh pengalaman fantasi liarnya demi membawa Aini ke puncak kenikmatan.“Aww… therrus, Llimm. Akhuu … m-aauh…”“Bagus sayang, keluarkan, ayoo…”Dua raga yang terbalut selimut putih itu telah kembali ke alam sadar mereka. Aini hendak beranjak dari ranjang, namun Halim mencegahnya. Pria itu merangku
Perputaran waktu kian tajam bak pedang menghunus masa. Kepingan hidup bagai kerak lempeng kian bergeser semakin mengangga. Seiring fakta kian terkuakBerbagai kejadian mengalir di kepalanya, memori demi memori tersimpan rapi dalam bentuk serpihan dosa. Perempuan yang diberi sandangan bangsawan itu semakin terpuruk dan berlumuran dosa. "Stop, Lim. Stop, aku tidak menginginkan ini lagi, tolong berhenti melecehku!" Suara bercampur erangan. Saat ini, Aini sedang berusaha menolak sentuhan Halim, di mana pria itu sudah tidak menjamahnya selama sepekan. Aini meronta, namun lebih mendominasi dalam bentuk desahan. Halim tidak perduli membabi buta menyerang dan menyobek kaus tipis yang dikenakan gadis itu malam ini. Ia tidak menyangka, Halim akan menemuinya lagi setelah sepekan menghilang. Sempat merasa lega. Tapi, lihat kini. Ia dihimpit kuat di dinding kamar dengan rentangan tangan dibawah tekanan lengan kokoh Halim. "Ain, ayolah, bukan kah, kamu juga menikmatinya. Sudah lama kita tidak me
Keadan begitu cepat berubah. Entah sadar atau enggak, gadis bernama Anggraini telah tergelincir oleh waktu. di mana, harga diri tak lagi menjadi pertimbangan baginya sejak Halim terus menerus menggodanya sampai pada titik kehormatan itu jatuh pada laki-laki yang berstatus sebagai adik ipar.Tiada yang tau jalan hidup seseorang. Mirisnya si wanita bangsawan, bukan berjodoh dengan pria sepantaran nya, malah terjebak dalam skandal adik ipar. Tapi kenapa? Aini rela berbuat, bahkan berkhianat pada Meylan adiknya. jawabannya adalah; Aini sendiri juga bingung. Karena ketika ia sadar, semua telah terjadi seperti di luar keinginannya.Mungkin ia prustasi. Atau mungkin buntu dengan kenyataan hidup selama ini. Serba salah, dan mungkin juga karena putus asa. Tapi, pagi ini Halim berniat mengajak Aini ke suatu tempat. Kira-kira apa tanggapan Aini, secara kalau sampai ketahuan Rafli, mungkin nyawa keduanya menja
Dari jauh. Penampakan kediaman Rafli tampak selalu sunyi. Dan, yang orang-orang ketahui! rumah itu tidak berpenghuni bila di siang hari. Namun, siapa yang tau. Di dalam sana ada seorang wanita yang hidupnya telah hancur. Keturunan pertama pasangan Rafli Syahbandar dan Kartini Majid. Mereka sama-sama terlahir sebagai kaum bangsawan terhormat.Dan, hari ini. Anggraini berniat keluar sebebentat untuk menghirup udara segar berjalan-jalan keliling kampung. Gadis itu sangat cantik meskipun sedikit pucat. Mata bulatnya terlihat kelam seakan menyimpan sejuta misteri.Ia berdandan sederhana, namun penampilan sangat memukau. Heran! apapun yang dikenakan Aini, selalu pas dan cocok di tubuhnya. Sekarang, ia memadukan T.shirt dengan Jeans sedikit jombrang, kerudung pashmina ia sangkut gitu aja. Tapi hasilnya sungguh mempesona. Bibir merah bak kelopak mawar hanya diberi lips glouse, bedak seadanya.Aini berjalan keluar, dan waktu ia membuka pintu? sosok pria tampa
Anggraini tiba di rumah megahnya setelah sepekan lamanya gadis itu menemani Reyhan sahabatnya. Ia menaruh motor pada tempatnya, lalu bergegas ke kamarnya di lantai atas.Anggraini juga tidak perduli dengan suasana rumah yang sepi. Ia hanya melihat sekilas melalui celah pintu yang sedikit terbuka, di sana Halim sedang menimang putranya. Aini berhenti sejenak sambil berpikir setelah itu ia mengidik bahu dan naik ke atas.Meniti cepat anak tangga, Aini sudah nggak sabaran sampai di kamar. Sedetik setelah sampai, ia menghempas tubuhnya menelungkup, dan membenamkan seluruh jiwa dan raga. Di sana tumpah ruah air mata membasahi bantal dan spray. Ia hampir lupa cara mengendalikan emosi dalam jiwanya, hingga tangisannya pecah, sepecah-pecahnya.Suaranya akan tersedu ketika mengingat, khabar Victor mencarinya sampai ke Nanggroe. Di bagian itu, Aini di dera rasa bersalah. Bukan soal cinta, tapi perkara janji yang teringkar. Mereka punya janji kuat, pun it
Anggraini menatap cakrawala di atas permukaan air laut. Mematri tanpa batas sampai pandangan tersapu angin. Perputaran arah dari berbagai penjuru menyisir gelombang ke tepi pantai.Satu jam berlalu, dara manis nan rupawan itu telah kembali, namun ia tidak langsung ke rumah Reyhan. Melainkan singgah di pantai beutari. Pantai yang selalu jadi ajang curhatannya."Jadi, ini alasan kamu meninggalkan anak saya? saya pikir ... kamu wanita terakhir untuk Victor. Ternyata, wanita baik-baik juga bisa berhianat."Tuduhan itu terus terngiang di telinga Anggraini. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Sandreas, papanya Victor. Tapi, ada urusan apa papanya ke Nanggroe? Apa segitu luasnya jaringan Beliau? pikir Aini."Huuuf'Nafas panjang dihembus kasar. Desah keluar melalui rongga dada, saking sesak membayangkan masa lalu yang sudah ia kubur terkuak lagi."Kamu tau, anak saya ke sana ke mari mencari kamu. Bahkan, Victor nekat data
Aini menelentangkan tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Matanya sayu menerima jilatan cahaya lampu tepat di atas mukaknya. Gadis itu terhenta, pasrah dan menyerah. Keputusan satu jam yang lalu begitu perih menggores hatinya. Akan kah, ia rela ditunangkan? sementara, Febby saja tidak menginginkan perjodohan ini.Mirisnya, kisah hidup anak-anak cucu Syahbandar karena harus menikah dengan sesama bangsawan yang malah mereka sendiri punya pilihan masing-masing.Terkadang, Aini menyesal telah meninggalkan Victor demi orang tuanya, dan seandainya ia bisa memutar waktu, ia ingin mengulang semuanya dari awal. Lah! penyesalan selalu datang di akhir, pikirnyaSelanjutnya, Aini bangun melepas semua pakaian dan menggantikannya dengan setelan piama. Ia ingin tidur, ingin meneggelamkan semua permasalahan hidup yang tiada akhir. Namun, sebelum itu ia mengetik sesuatu di hanphonenya dan mengirim pada seseorang agar menunggunya esok, setelah i