Hujan deras kembali menguyur kota Medan. Berkubik air jatuh membasahi bumi. Udara dingin berhembus menyelimuti kediaman Victor Walidin sang dosen jenius di salah satu universitas ternama di kotanya.
Jutaan percikan air menerpa dingding kaca membuat kabut menghalau pandangan. Pemuda jenius itu berdiri di depan jendela besar dalam kamarnya di lantai dua. Ia memperhatikan air hujan membasahi balkon dengan tatapan kosong. Secangkir kopi di tangannya yang masih mengeluarkan asap. Tubuhnya dibaluti dengan sweteer celana training berwarna hitam tidak lupa sehelai syall melilit lehernya.
Victor menyeruput kopi yang rasanya sangat nikmat dengan mata terpejam. Seketika ia mengerjab mendengar suara pintu terbuka. Namun pria itu tidak menggubris. Ia melanjutkan perhatiannya pada air yang berjatuhan tanpa henti membasahi lantai balkon
"Vic, kamu yakin tidak mau ke dokter? apa gak sebaiknya kita chek up dulu?" kata sosok yang berdiri segan di belakangnya.
V
Arloji berdetak di tangan Aini. Dara berdarah Aceh itu duduk tenang di sudut ruangan memperhatikan papan tulis di depannya.Keterkejutan yang tidak bisa dianggap biasa. Dia merasa belum pikun, atau lupa diri. Jelsa-jelas dia masuk di gedung A. Tapi, dia sempat ragu. Bagaimana tidak? ke mana pak Ismuha, bukannya hari ini beliau ya? pikir Aini bingung.Aini menepis segala perasaan aneh dalam dirinya. Ia memusatkan perhatian belajarnya karena itu tujuan ia datang ke kampus. Aini juga tau? siapa Victor di kampus ini. Semua bisa dilakukan pria itu. Mungkin, sebaiknya enjoy saja? toh, bukan urusannya lagi?Satu jam telah berlalu, Aini duduk tenang mendengar setiap baik kata penjelasan tentang hukum public. Ia mendatarkan pandangan setiap kali Victor menatap canggung. Kepribadian cuek dan gak perduli seorang Syahbandar telah mengalir dalam darah Aini. Ia tak tergoyahkan meskipun Victor berkali-kali lewat di sampingnya sambil menjelaskan tentang materi terse
"Jadi, lu gak mau maafin dia, Ain?"suara Sonya di tengah keramaian suasana kantin. Gadis itu meneliti wajah Aini yang dirundung pilu.Aini menarik nafas panjang seraya merapatkan tubuhnya ke dingding kursi. Sesak, itu yang dirasakannya saat ini."Mungkin, lu butuh waktu, Ain. Coba, lu tenanngin pikiran dulu? memang ini rumit, apalagi, lu ngerasa ... Victor gak ngehargai, ellu," tambah Farida menenangkan Aini. Ia mengelus bahu Aini lembut."Yeah... mybe," lirih pasrah.Memang tidak mudah bagi siapapun, ketika harga dirinya di lecehkan. Apalagi, Aini merasa dirinya bukanlah perempuan gampangan seperti yang dikatakan Victor. Terlebih, dirinya menyandang gelar kebangsawanannya yang begitu kental. Meskipun, tidak semua orang menganggap itu suatu kehormatan. Namun, bagaimana pun, siapapun, berhak menjaga kehormatan marga masing-masing.Sonya mendengus melihat kerapuhan sahabatnya, ia merasa ikut terhanyut dalam problema Aini saat
Azan magrib terdengar lantang dari toa mesjid dekat rumah Victor. Aini bingung. Ia duduk gelisah dalam kamar itu. Belum lagi tubuhnya gerah karena belum mandi."Son, lu gak sholat gitu? masak, aku harus ninggalin sih?" Aini mendengus prustasi mendekati Sonya sedang duduk mengotak ngatik hanphonenya. dia melirik Aini sekilas,"Ya, mau gimana, Ain.. gua juga bingung? ya udah, lu sholatnya besok aja," jawab Sonya santai. Gadis itu masih menyibukkan diri dengan ponselnya, hingga membuat Aini kesal."Apah. Lu gila, apa.." Aini mengacak pinggang di depan Sonya. Namun, gadis berambut gelombang itu tidak perduli malah fokus dengan tontonan tiktoknya.Aini menyerah, lalu mendarat kembali di sofa panjang itu dengan posisi menjulur kaki merebahkan badannya.Baru, ia akan merenggangkan otot-ototnya, suara Victor terdengar disaat dirinya hendak memejam mata. Aini bangun bergerak ke arah ranjang di mana lelaki malang itu tidur."Ain.."
Dreet.. dreet..."Ya, Assalamualaikum, Ma..""Apa kamu, sudah sholat subuh Ain? jam berapa di sana,""Iya, Ma.. ini mau sholat," Tidak menyadari, kalau dirinya sedang berkata bohong pada Kartini ibunya yang menelphon dari Aceh."Kenapa, Ma. Kok pagi amat telphonnya?" tanya Aini mengucek kedua matanya. Sekilas ia melihat Sonya terbaring membungkus di atas sofa."Engga, nak. Ini, mama mau kasih kabar. Adik kamu baru saja melahirkan bayi laki-laki. Dia sehat. Kamu gak berniat pulang menjenguk keponakan?" suara lembut dalam ponsel membuat Aini terperanjat."Apa? Jadi, Meylan lahiran, ma. Wah, aku punya keponakan sekarang,"Kartini terkekeh terdengar bahagia di telinga Aini."Iya, sayang? namanya Hendra Saputra.""Oh, Ya sudah, ntar kapan-kapan, Aini pulang Ma, ya?""Ya sudah? mama tutup ya. Assalamu'alaikum?"Aini menarik nafas panjang. Ia meletakkan kembali ponselnya di atas meja, dan ngak se
Ain..? selamat ya beb." pekik Sonya dari luar gedung pasca sarjana tepatnya di ruang persidangan tesis Aini saat ini. Sonya berjalan cepat memeluk Aini dan mereka saling menyatu pipi masing-masing."Makasih, sayang. Berkat lu juga." Jawab Aini bahagia. Tubuh langsing itu merangkul bahu Sonya yang lebih pendek darinya"Yah, tapi lu tega ninggalin gua. Lu ingkar, kan. Janji dulu barengan. Lu mau cepat-cepat back ke Aceh?" Sonya melepas diri dari rangkulan Aini dan berdiri berhadapan. Aini menaut alis dengan sedikit merapikan hijabnya."Ngomong apa sih, lu? gua kan belum 100 % kellas, Son. Tesis gua banyak yang harus direvisi,"Mereka bergerak bersama-sama ke arah kantin tanpa melirik kiri kanan saking renyah percakapan."Selamat ya, yang udah dapat cumlaod," bariton itu menghentikan keduanya, sama-sama berbalik ke arah sumber suara. Sosok gagah dan tampan berdiri tinggi menjulang di depan Sonya dan Aini. Aini memicing memperha
Hari semakin sore. Matahari akan segera kembali keperaduan. Setelah menghabiskan waktu hampir setengah hari bersama kekasih, akhirnya Aini pulang ke kosan diantar Victor.Gadis itu bersemu bahagia terlihat jelas dari wajah manisnya. Seharian ini, Victor memuja dan mencumbunya dengan kasih sayang. Sampai Aini menyadari satu hal dalam hati bahwa dirinya benar-benar mencintai Victor lebih dari segalanya. Rasa itu seakan baru lahir hingga terbesit merencanakan nikah siri dengan Victor. Dan, itu sudah menjadi tekadnya. Aini tidak lagi memikirkan dirinya dari mana, dan lahir dari rahim siapa. Persetan dengan silsilah. Sekarang, Aini hanya memikirkan kebahagiaannya dengan Victor."Kalau Meylani bisa, kenapa aku enggak. Pa.. maafkan, Aini. Aini gak bisa hidup tanpa Victor." Aini berbicara sendiri ketika hendak membuka pintu kos-kosannya."Assalamualaikum..." ucapan salam dari seseorang membuat Aini tidak jadi membuka pintu rumahnya. Gadis itu membalikkan tub
Pagi menyapa dalam kerisauan. Gadis itu terbangun saat azan subuh terdengar dan segera menunaikan ibadah sholat subuh juga membangunkan papanya untuk melakukan hal yang sama. Selang beberapa menit, Aini disibukkan dengan penyajian sarapan dan secangkir kopi panas untuk sang papa. Di samping itu, ia juga menyempatkan diri berolah raga sejenak dengan melompat tali di halaman rumah yang sudah menjadi rutinitas paginya selama ini. Jarum jam sudah menunjukkan 7 pagi. Aini mulai gelisah memikirkan Victor, takut pria itu datang menjemputnya. Maka sebelum itu terjadi, Aini mengambil ponselnya di atas nakas lalu mengirim pesan singkat untuk kekasihnya. Dia berdiri di teras dengan gasture gelisah dalam pandangan Rafli. Pria paruh paruh baya itu memperhatikan Aini yang sedari tadi tampak gelisah. Rafli memilih diam karena beliau ingin melihat apa yang terjadi dengan putri kesayangannya itu. "Ekhem," beliau berdehem sengaja sambil membaca sebuah koran di tangannya, dan sesekali
Papa datang untuk menjemput gua, Son--""What! lu seriiius? Emangnya, lu mau dijodoin? Ya, ampun Aini.. lu mikir donk? tu si tuan petruk lu kemanain? lu gak mikir dia tu bakalan gila kalau sampai lu tinggalin?" keget Sonya gak habis pikir. Gadis itu melihat Aini yang sedang menunduk menyembunyikan ekspresinya. "Gua tau, Son. Maka dari itu, aku ngajak sharing sama ellu. Lu, pasti bisa bantu gua, Son." lirih Aini melihat Sonya dengan tatapan memohon. Sonya memicing mengerutkan wajah bingung atas apa yang baru saja dikatakan sahabatnya. "Hey? apa-apaan ellu, Ain? jelas-jelas ini masalah privasi ellu, lantas gua bisa bantu apa, say? ngaco banget, sih." Sanggah Sonya melambai tangan di depan Aini. Sonya belum mengerti apa maksud kata 'tolong' yang dimaksud Aini. Lagi-lagi Aini menarik nafas berat. Ia melempar pandangan pada hamparan alam yang terbentang di hadapanya dengan sejuta kegalauan. Hembusan angin menerpa wajah cantiknya. Gadis bangsawan itu sedan
“Kamu siap. Emm..” Aini melengkung senyuman getir. Ia menunduk setelah menyakinkan hati pria yang kini berdiri gagah di depannya dengan balutan jas dan peci menutup kepalanya. Kisahnya telah selesai di sini, di sebuah desa kecil yang jauh dari kediamannya. Sebuah desa yang telah melahirkan pria berlatar belakang seorang mafia pengedar. Aini menatap diri dalam balutan gaun brokat berwarna putih dengan sisa kesadaran dan nafas terputus. Iya? Aini telah memutuskan untuk menikah siri dengan adik iparnya sendiri karena Halim terus memaksanya, bahkan pria itu mengancam“Dengar, Ain. Kamu setuju menikah denganku, atau rumah ini akan kubumi hanguskan. Aku tidak akan segan-segan melakukan itu.” Hati Aini meringis kesakitan. Yang kedua kalinya ia mendengarkan ancaman Halim, dan kali ini dengan nada yang tidak bisa dianggap enteng. Ya! Tatapan Halim begitu serius memancarkan sinar tajam di mana cukup membuat Aini sadar bahwa Halim bukan lah pria baik-baik yang Cuma menggertak sambel kurang peda
Saat semua orang tau aku ternoda, aku yakin mereka akan melontarku dengan hinaan. Dan saat nanti mereka menghujatku dengan kata itu, aku akan teriak. Hidupku dibelenggu silsilah dan kemargaan. Ketika semua sudah jelas, namun tidak mampu mengembalikan harga diriku, baiklah aku akan menyerah. Menyerahkan diri pada keadaan Andai saja ada sayap, saat ini yang ingin dilakukan Aini adalah mengepak dan terbang ke suatu tempat di mana tidak seorang pun, yang dapat menemukannnya lagi. Ia rela hidup sendiri, demi apapun itu. Di sini, di rumah yang besar ini sudah tidak lagi ada ketenangan apalagi kebahagiaan. Pikiran lain juga hinggap, andai Victor datang menjemput dan membawanya pergi jauh dari orang-orang yang terdekat yang tidak berarti, memahami perasaannya. Aini meremas kuat ujung dress dengan sisa kesadaran setelah mendengar kecaman sang ayahanda barusan, “Bagaimanapun caranya, papa mau kamu menikah dengan Febby. Apa yang kamu pikirkan, umur kamu tidak berjalan ditempat, Aini.” Tatapan
Setelah percintaan panas penuh gairah yang dilakukan Anggraini bersama Halim Kusuma disiang hari ini tuntas, akhirnya mereka terkulai lemah, terlentang menatap langit-langit kamar dengan sisa kenikmatan masih mengalir dalam darah mereka. Aini mengerjab pasrah meratapi arti sentuhan yang lakukan Halim begitu dasyat mengoyak harga dirinya. Tiada henti ia mengutuk diri sendiri ketika Halim melakukan itu, ia enggan menolaknya. Tak henti bibirnya meracau menyebut nama Halim ketika mencapai orgasme yang bertubi-tubi. Bagian vitalnya berdenyut nyeri terus meminta mengemis agar Halim jangan berhenti menusuknya. Sadar akan isyarat itu, Halim tersenyum puas dan semakin memacu adrenalin mengeluarkan seluruh pengalaman fantasi liarnya demi membawa Aini ke puncak kenikmatan.“Aww… therrus, Llimm. Akhuu … m-aauh…”“Bagus sayang, keluarkan, ayoo…”Dua raga yang terbalut selimut putih itu telah kembali ke alam sadar mereka. Aini hendak beranjak dari ranjang, namun Halim mencegahnya. Pria itu merangku
Perputaran waktu kian tajam bak pedang menghunus masa. Kepingan hidup bagai kerak lempeng kian bergeser semakin mengangga. Seiring fakta kian terkuakBerbagai kejadian mengalir di kepalanya, memori demi memori tersimpan rapi dalam bentuk serpihan dosa. Perempuan yang diberi sandangan bangsawan itu semakin terpuruk dan berlumuran dosa. "Stop, Lim. Stop, aku tidak menginginkan ini lagi, tolong berhenti melecehku!" Suara bercampur erangan. Saat ini, Aini sedang berusaha menolak sentuhan Halim, di mana pria itu sudah tidak menjamahnya selama sepekan. Aini meronta, namun lebih mendominasi dalam bentuk desahan. Halim tidak perduli membabi buta menyerang dan menyobek kaus tipis yang dikenakan gadis itu malam ini. Ia tidak menyangka, Halim akan menemuinya lagi setelah sepekan menghilang. Sempat merasa lega. Tapi, lihat kini. Ia dihimpit kuat di dinding kamar dengan rentangan tangan dibawah tekanan lengan kokoh Halim. "Ain, ayolah, bukan kah, kamu juga menikmatinya. Sudah lama kita tidak me
Keadan begitu cepat berubah. Entah sadar atau enggak, gadis bernama Anggraini telah tergelincir oleh waktu. di mana, harga diri tak lagi menjadi pertimbangan baginya sejak Halim terus menerus menggodanya sampai pada titik kehormatan itu jatuh pada laki-laki yang berstatus sebagai adik ipar.Tiada yang tau jalan hidup seseorang. Mirisnya si wanita bangsawan, bukan berjodoh dengan pria sepantaran nya, malah terjebak dalam skandal adik ipar. Tapi kenapa? Aini rela berbuat, bahkan berkhianat pada Meylan adiknya. jawabannya adalah; Aini sendiri juga bingung. Karena ketika ia sadar, semua telah terjadi seperti di luar keinginannya.Mungkin ia prustasi. Atau mungkin buntu dengan kenyataan hidup selama ini. Serba salah, dan mungkin juga karena putus asa. Tapi, pagi ini Halim berniat mengajak Aini ke suatu tempat. Kira-kira apa tanggapan Aini, secara kalau sampai ketahuan Rafli, mungkin nyawa keduanya menja
Dari jauh. Penampakan kediaman Rafli tampak selalu sunyi. Dan, yang orang-orang ketahui! rumah itu tidak berpenghuni bila di siang hari. Namun, siapa yang tau. Di dalam sana ada seorang wanita yang hidupnya telah hancur. Keturunan pertama pasangan Rafli Syahbandar dan Kartini Majid. Mereka sama-sama terlahir sebagai kaum bangsawan terhormat.Dan, hari ini. Anggraini berniat keluar sebebentat untuk menghirup udara segar berjalan-jalan keliling kampung. Gadis itu sangat cantik meskipun sedikit pucat. Mata bulatnya terlihat kelam seakan menyimpan sejuta misteri.Ia berdandan sederhana, namun penampilan sangat memukau. Heran! apapun yang dikenakan Aini, selalu pas dan cocok di tubuhnya. Sekarang, ia memadukan T.shirt dengan Jeans sedikit jombrang, kerudung pashmina ia sangkut gitu aja. Tapi hasilnya sungguh mempesona. Bibir merah bak kelopak mawar hanya diberi lips glouse, bedak seadanya.Aini berjalan keluar, dan waktu ia membuka pintu? sosok pria tampa
Anggraini tiba di rumah megahnya setelah sepekan lamanya gadis itu menemani Reyhan sahabatnya. Ia menaruh motor pada tempatnya, lalu bergegas ke kamarnya di lantai atas.Anggraini juga tidak perduli dengan suasana rumah yang sepi. Ia hanya melihat sekilas melalui celah pintu yang sedikit terbuka, di sana Halim sedang menimang putranya. Aini berhenti sejenak sambil berpikir setelah itu ia mengidik bahu dan naik ke atas.Meniti cepat anak tangga, Aini sudah nggak sabaran sampai di kamar. Sedetik setelah sampai, ia menghempas tubuhnya menelungkup, dan membenamkan seluruh jiwa dan raga. Di sana tumpah ruah air mata membasahi bantal dan spray. Ia hampir lupa cara mengendalikan emosi dalam jiwanya, hingga tangisannya pecah, sepecah-pecahnya.Suaranya akan tersedu ketika mengingat, khabar Victor mencarinya sampai ke Nanggroe. Di bagian itu, Aini di dera rasa bersalah. Bukan soal cinta, tapi perkara janji yang teringkar. Mereka punya janji kuat, pun it
Anggraini menatap cakrawala di atas permukaan air laut. Mematri tanpa batas sampai pandangan tersapu angin. Perputaran arah dari berbagai penjuru menyisir gelombang ke tepi pantai.Satu jam berlalu, dara manis nan rupawan itu telah kembali, namun ia tidak langsung ke rumah Reyhan. Melainkan singgah di pantai beutari. Pantai yang selalu jadi ajang curhatannya."Jadi, ini alasan kamu meninggalkan anak saya? saya pikir ... kamu wanita terakhir untuk Victor. Ternyata, wanita baik-baik juga bisa berhianat."Tuduhan itu terus terngiang di telinga Anggraini. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Sandreas, papanya Victor. Tapi, ada urusan apa papanya ke Nanggroe? Apa segitu luasnya jaringan Beliau? pikir Aini."Huuuf'Nafas panjang dihembus kasar. Desah keluar melalui rongga dada, saking sesak membayangkan masa lalu yang sudah ia kubur terkuak lagi."Kamu tau, anak saya ke sana ke mari mencari kamu. Bahkan, Victor nekat data
Aini menelentangkan tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Matanya sayu menerima jilatan cahaya lampu tepat di atas mukaknya. Gadis itu terhenta, pasrah dan menyerah. Keputusan satu jam yang lalu begitu perih menggores hatinya. Akan kah, ia rela ditunangkan? sementara, Febby saja tidak menginginkan perjodohan ini.Mirisnya, kisah hidup anak-anak cucu Syahbandar karena harus menikah dengan sesama bangsawan yang malah mereka sendiri punya pilihan masing-masing.Terkadang, Aini menyesal telah meninggalkan Victor demi orang tuanya, dan seandainya ia bisa memutar waktu, ia ingin mengulang semuanya dari awal. Lah! penyesalan selalu datang di akhir, pikirnyaSelanjutnya, Aini bangun melepas semua pakaian dan menggantikannya dengan setelan piama. Ia ingin tidur, ingin meneggelamkan semua permasalahan hidup yang tiada akhir. Namun, sebelum itu ia mengetik sesuatu di hanphonenya dan mengirim pada seseorang agar menunggunya esok, setelah i