Hujan mengguyur Nanggroe sejak pesawat mendarat di bandara Sultan Iskandar Muda. Berkubik air berjatuhan, tumpah dari langit angkasa, seolah enggan berhenti. Suhu udara menjadi dingin, namun tak sedingin kota bersalju. Akan tetapi, iklim tropis yang sesekali diguyur hujan sepanjang hari, juga akan merubah hawa udara menjadi sejuk.
Aini melangkah ke luar dari lobi mencari tempat beristirahat untuk meminum kopi supaya dapat menghangatkan tubuhnya. Ia menjatuhkan pilihan pada sebuah kedai kecil yang berisi makanan dan minuman.
"Selamat siang, Kakak? mari silakan duduk, mau pesan apa?" baru Aini mendaratkan tubuhnya, seorang pelayan toko datang menyapanya.
"Sanger arabica panas," jawab Aini singkat dan ramah.
"Baik, itu saja kakak?" tambah pelayan berwajah pas-pasan, namun berpenampilan keren.
Aini tersenyum sambil mengangguk, dan dimengerti oleh laki-laki keren itu.
Ia duduk menempelkan tubuhnya pada dingding kursi lalu menatap ruas-ruas jalan yang basah akibat air hujan. Mobil berlalu lalang melakukan penjemputan, sementara pejalan kaki bisa dihitung dengan jari bergegas mencapai perteduhan. Pepohonan yang tumbuh di pelataran parkiran bergoyang karena terpaan angin kencang, membuat suasana kian dingin.
Aini tersenyum ketika pelayan datang membawa secangkir kopi khas Nanggroe dengan gumpalan asap menawarkan aroma biji kopi pilihan yang dapat menenangkan saraf-sarafnya.
Pria keren itu memperhatikan Aini, dan itu dirasakan olehnya. Dia modar-mandir seperti setrikaan di hadapan Aini, sedang melayani pengunjungnya. Lalu, seorang pria paruh baya datang menyapanya, "Dia Akmal, peracik kopi sekaligus barista di kedai ini," suara bapak tua yang ternyata pemilik kedai sederhana tempat Aini singgah datang menjelaskan. Gadis itu mengkerut kening sambil berfikir, aku tidak bertanya, apakah engkau harus menyampaikan, bapak?
Pria tua itu berkata sambil menyodorkan sepiring kue kering ke hadapan Aini. Lalu, dengan lancang ia mengulur tangannya untuk Aini. Gadis itu melihat sejenak sebelum menjabat tangan yang dipenuhi kerutan dikulitnya, "Burhan, orang-orang di bandara ini memanggil saya dengan nama lain, pak cek. Kamu bebas, boleh mengikuti orang disini, atau Burhan saja,"
Aini menganguk anguk, namun fikirannya masih dipenuhi tanda tanya. Matanya menatap kosong pada wajah yang sudah mulai menua di depannya, mencoba menelusuri aura keramah tamahan yang amat taramat kentara.
"Bapak pemilik kedai ini?" kata Aini mencoba bertanya, ia merasa beban setelah beberapa menit si bapak berbicara padanya, namun tak sepatah pun ia balas.
Burhan terkekeh, melebarkan mulutnya hingga menampakkan jejeran gigi yang sudah menguning, "Milik bapak sementara, milik Allah selamanya," jawabnya ambigu. Aini mengerut kening, tapi, dia mengurungkan niatnya untuk bertanya lagi. Ia memandang jauh ke luar dan terlihat hujan mulai reda. Perlahan gadis itu merogoh tasnya mengambil hanphone untuk menghubungi jemputan.
"Apa kamu menunggu jemputan? berapa lama kamu di sini, apa kamu akan memesan satu cangkir lagi?" tanya Burhan serius. Ia merapikan gelas dari meja lain, sementara Akmal menyimak perbincangan antara Aini dan Pak Cek-nya.
Aini mengangkat bahu, "Saya sedang menunggu jemputan, dan ini surplus untuk bapak," Aini tersenyum ramah dengan memberikan uang senilai lima puluh ribu, padahal harga kopi tidak sampai segitu
"Baik, lah? semoga kamu mendapat luahan rezeki nona? dan jodoh terbaik sejagat raya," Aini menghentikan langkahnya, dan berusaha tersenyum. Sebenarnya ia bingung atas sikap pria bernama Burhan si pemilik kedai. Selain itu, Aini juga heran kenapa tiba-tiba ia terjebak di kedai yang pemiliknya aneh.
"Anda pelanggan pertama saya yang sangat pemurah. Jarang yang memberi tips seperti ini, apa anda pewaris suatu keturunan?" tebaknya tak beralasan. Aini hanya menghadiahi paruh baya itu dengan seulas senyum, kemudian memohon diri melenggang pergi dari kedai Burhan.
Aini melangkah di pinggir menunggu jemputan taxi online. Dia memesannya tadi sewaktu sedang berbicara pada Burhan.
Tak lama deringan ponselnya berbunyi menampilkan panggilan nomor asing. Ia yakin itu sang ojek, dan ternyata sudah berhenti tepat di depannya, "Dengan Anggraini?" tanya seorang pria berambut tipis, berwajah sedikit petak setelah menurunkan kaca mobilnya.
"Ya, benar. ojek?" jawab Aini mendekat pada taxi itu, dan segera naik ke dalamnya. Duduk tenang tanpa berbicara, sekelebat kejadian pagi tadi berputar dalam benaknya. Di mana Victor menyerangnya buas. Bahkan sekarang tubuh dan lehernya dipenuhi kiss mark milik Victor. Gadis itu menyenderkan kepalanya pada dingding jok mobil. Fikiran dipenuhi oleh kisah dua puluh empat jam yang telah mengikat hatinya pada Victor Walidin, laki-laki yang selama ini mengejar dan memohon cintanya. Di luar dugaan, semua terjadi begitu saja, dan itu sungguh alot kelanjutannya. Ia menarik nafas, mencoba menenangkan firasat ke depan yang belum tentu terjadi, dengan memejam mata membayangkan setiap sentuhan Victor, gadis itu tersenyum merona.
"Mbak, sudah sampai?" suara supir ojek menyadarkan Aini. Ia bergegas turun setelah membayar ongkos.
Berdiri sejenak memandang sebuah bangunan tua berlantai dua. Halaman luas ditumbuhi pohon-pohon buah, dan bunga-bunga dari berbagai jenis. Aini mendorong pintu pagar besi, melangkah kaki dengan menyeret koper di tangannya. Suasana tampak sepi, sepertinya penghuninya sedang pergi. Apa mungkin ibu juga pergi? bathinnya.
mengetuk dua kali pintu dengan pentilasi berbentuk masjid, namun tak kunjung di buka. Aini bergerak ke samping mendongokkan wajahnya mencari sesuatu, akan tetapi tidak ada tanda-tanda apa pun. Akhirnya Dara manis itu memilih duduk di kursi besi yang terpajang di teras rumah. Menyilang kaki panjangnya sambil memainkan hanphone-nya.
sebuah notifikasi di inbox wa, dan nama Victor tertera di sana.
"Aku butuh khabar sesibuk apa pun kamu, atau besok pagi kamu akan melihatku di tengah pernikahan adik kamu, Aini," Aini mengelus layar bening itu dengan senyum menghias wajahnya. Sulit ia percaya, kalau ternyata Victor seposesif ini.
"Nak ... Aini? kamu kah itu?" bariton itu mengalihkan pandangan Aini pada sebaris kata dari chat Victor. Ia tertegun melihat sosok yang sudah menua menghampirinya dengan pakaian lusuh.
"Pak Mamad!" sebutnya pada sosok tua telah berdiri di depannya. Aini menjabat tangan kotor itu tanpa memikirkan telapak tangannya juga ikut kotor.
"Pak Mamad, sehat?" tanya Aini ramah. Ia menatap wajah puluhan tahun yang sudah mengabdi pada keluarganya menjadi seorang tukang kebun.
"Bahkan bapak lebih kuat dari kamu, Nak," Mamad yang jalannya saja sudah renta, tapi masih menganggap dirinya binaraga. Pak tua itu menampakkan kesehatanya dengan memutar badan di depan Aini.
Aini tertawa gelik menyaksikan aksi konyol pak Mamad situkang kebun,
"Bapak sungguh menyebalkan!" kata Aini mendengus kesal, namun bahagia.
Pak Mamad adalah mantan pria perkasa yang bekerja menjadi tukan kebun dari sepuluh tahun telah berlalu di keluarga Syahbandar. Ia membersih kebun dan perkarangan rumah besar itu. Ia tergolong rajin dan ulet. Karena kesetiaanya, Pak Mamad mendapat penghargaan dalam bentuk tempat tinggal dari Syahbandar di ujung lahan 7 meter jarak dengan istana Syahbandar. Dia pria miskin yang tidak banyak berbicara, patuh, sopan dan penyayang terhadap anak-anak dan cucu Syahbandar. salah satunya Aini sendiri. Gadis itu kerap kali ditinggal Rafli ayahnya ketika pergi ke luar kota. Perawakannya sederhana, sedikit botak, dan berhidung pesek.
Melihat pak Mamad, menurut Aini seperti memandang tokoh abdi pada kerajaannya, karena bekerja adalah sebuah pengabdian bukan sebuah tuntutan atau profesi, apalagi sebagai ladang penghasil uang. Syahbandar mengangkatnya menjadi bagian dari keluarganya sehingga mengharuskan Mamad terus mengabdi sampai sekarang.
"Kamu pasti kangen sama bapak, bukan?" Mamad duduk melantai diikuti Aini. Gadis itu sangat menghargai dan rendah hati. Mereka terlibat obrolan sampai membawa pak Mamad pada titik kesedihan.
"Jadi, bapak punya anak?" tanya Aini iba, dan di angguk pelan oleh pak Mamad
Pak Mamad meninggalkan keluarganya di kampung pedalaman selama 10 tahun telah berjalan. Ia jarang pulang hanya mengirim uang dan keperluan lainnya. laki-laki tua itu berniat mengajukan pensiun pada Rafli, namun sama sekali belum berani ia ungkapkan. Aini mengelus lembut pundak ringkih milik pak Mamad, dalam hati ia akan membantu pak Mamad agar bersatu dengan keluarganya.
Waktu telah menjemput senja, akan tetapi Aini masih betah berselonjoran di depan pak Mamad sambil menunggu penghuni rumah pulang. Bercerita, serta menghibur, keduanya tergelak tiada henti. Melewati waktu yang jarang terjadi, membuat Aini menemukan pemikiran baru tentang arti sebuah kehidupan. Bahwa, "Kebersamaan itu jauh lebih berharga dari sebongkah berlian apapun, karenanya, jangan pernah kau sia-siakan itu,"
Mega merah mulai menampakkan siluetnya, remang senja memancar sendu dari balik celah dedaunan. Setelah seharian diguyur hujan, namun suasana itu tidak mampu menyentuh atmosfir menawan dalam sebuah rumah megah dengan ornamen khas bangsawan raja Syahbandar di tengah-tengah Desa bernama Riung Gunung. Desa yang terkenal dengan panorama alam nan indah. Di sebuah kamar bernuansa biru laut, seorang wanita berparas jelita dengan ornamen wajah bangsawan sedang merapikan pakaian dan membersihkan debu-debu bertebaran akibat terlalu lama tidak di tempati. Kamar yang terletak di lantai dua tepatnya menghadap balkon menjadi pilihan Aini diantara kamar-kamar lain. Dari dulu Aini memang memilh kamar itu karena bisa menikmati view alam dari lantai dua. Nyaman, dan jauh jankauan orang-orang yang ada di rumahnya. Aini menghempas tubuhnya setelah semua barang-barangnya rapi. Perempuan itu melepaskan jepitan rambutnya, dan membiarkan rambut panjangnya indah tergerai. Melirik sejenak ke a
"Saya terima nikahnya? Maylani binti Rafli Syahbandar dengan seperangkat alat sholat beserta 30 gram emas mulia dibayar tunai!" Ucap Halim lantang. "Bagaimana saksi? sah!" "Sah!!!" Suara itu menggema seisi masjid Babussalam tempat Meylani melakukan akad nikah dengan seorang pria pilihan hatinya. Pria yang terlahir dari rahim seorang ibu biasa, dan hidup sederhana tanpa gemerlap harta dan embel-embel silsilah Dengan lugas dan mantap. Halim mengucapakan kalimat yang sudah mengikatnya dengan keluarga Syahbandar. Hati kedua mempelai bergemuruh bak ombak menerjang kekokohan lautan hati keduanya. Senyum menghias, diiringi rona pipi memerah karena mengulum kebahagiaan. Namun, disegelintir dari mereka, ada hati yang tergores begitu dalam. Penerus Bangsawan yang sudah berpindah dari koridornya, membuat Rafli dihantam kehancuran. Ia tersenyum tipis berdiri di sisi kanan kedua mempelai untuk menerima ucapan selamat dari para tamu yang datang
Alunan musik mengalun kian sendu, para tamu sedang menikmati hidangan sederhana yang disediakan keluarga Syahbandar. Bliz kamera masih menyilau bak kilat menyambar. Senyum kedua mempelai semakin lebar, tanpa terlihat rasa lelah sedikit pun. Tiada henti tamu berdatangan mengantri memberi semangat naik di singgahsana di mana Meylani dan Halim bersanding penuh bahagia. Di halaman samping kanan, seorang wanita yang berpenampilan ellegan dengan gaun panjang bermotif bunga-bunga membungkus tunuhnya. Ia berdiri di antara para tamu yang sedang menyantap makanannya masing-masing. Kursi berlapis kain putih tertata rapi. Gadis yang telah dilangkahi oleh adiknya itu asik menyaksikan acara malam yang begitu syahdu, hingga melupakan malam semakin larut. Secangkir kopi kesepian di genggamannya masih penuh tak tersentuh secuilpun. "Cantik." sapa seseorang memujinya, "Kamu cantik malam ini, seperti dia," sambungnya lagi memandang jauh ke atas langit di mana rembulan b
"Katakan sesuatu yang kau ketahui tentang, Aini," Victor menatap datar wajah sonya yang berdiri di depannya. Victor Walidin yang terkenal cuek pada semua gadis di kampusnya, kini berdiri di hadapan Sonya Felida, teman sekaligus orang terdekat dengan Aini kekasihnya. Sebagai seorang asisten Dosen, Victor hampir setiap saat menjaga sikapnya, terlebih pada mahasiswa dan mahasiswi kelas Hukum Komunikasi. Penampilannya sulit dibaca oleh Sonya, Victor yang selalu tampil rapi dengan kemeja dilapisi jas, namun hari ini, rambutnya acak-acakan, pakaian seadanya, Sonya berfikir ada apa dengan Victor, kenapa dia menanyakan Aini. "Apa maksud kau, Vic," tanya Aini mengadah meneliti Victor yang menjulang tinggi di depannya. Victor mendengkus menghentak tangannya tak tentu arah. "Kau tau. Aini tidak membalas chat dari aku, apa lagi menjawab telphon aku, Sonya.. aku ... Agghhrrr.... kenapa Son, kenapa?" Victor berkata dengan nada menekan frustasi, pria itu mondar-mand
Di luar sudah gelap. Victor tidak mengingat apapun, setelah miras meracuni jiwanya. Memang ada sedikit ketenangan, namun dirinya oleng menyetir mobil dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Dengan sisa kesadaran yang ia kumpulkan akhirnya ia sampai di rumah dengan selamat. Berbagai macam upaya ia lakukan untuk mengalihkan ingatannya pada Aini, sampai menghabiskan waktu hingga larut malam di sebuah diskotik. Keluar dari mobil seketika kedinginan menyergap tubuhnya. Pria itu memeluk dirinya sendiri dan terus berjalan masuk ke dalam kamarnya di lantai dua. Kesunyian melingkupi hari-harinya tanpa ada yang menemani. Kisah hidupnya yang teramat perih, membuat Victor melumpuhkan diri dari segala keseriusan hidup. Sampai akhirnya ia bertemu Aini secara tidak terencana. Semenjak itu semangatnya pulih, dan terus mengejar cinta wanita berdarah Aceh itu. Hakikat rasa adalah penjelmaan. Di mana setiap di sentuh akan memberikan sensasi kenormalan yang dapat menstimulasi reaks
"Papa harap, kamu menempatkan dirimu di lingkungan yang lebih baik. Hindarilah bergaul dengan laki-laki yang tidak sepantaran dengan kita," Rafly berkata disela hembusan asap rokok bergulung dari mulutnya. Jantung Aini bergemur bak ombak menghantam batu karang di lautan. Dadanya sesak serasa penuh di rongga."Ya, yah.. Aini akan menjaga diri," lirih Aini pelan nyaris tek terdengar. Gadis itu duduk menegakkan tubuhnya sambil memijid ujung pakaiannya. Semakin kesini, ia semakin tertekan dengan keadaan. Rasa bersalah menghantui dirinya, mengingat Victor sedang menunggunya diujung rindu."Papa tidak punya harapan lagi selain denganmu, nak. Papa ingin melihat kamu bahagia dengan lelaki baik-baik dari keturunan kita. Papa yakin, kamu akan mendapatkan, bila kamu yakin.. berdoalah, InsyaAllah." Rafli menarik nafas panjang yang kian sesak menyiksa alam sadarnya.Anggraini adalah sandaran terakhir bagi Rafli, saat ini beliau sedang terpukul membayangkan sehari telah berla
“Khabar keluarga kamu sehat, nak..” Aini mengunyah kerupuk di tangannya sambil mendengar nek Ijah.“Alhamdulillah, Nek? Meraka semua sehat,” Jawab Aini santun. Gadis itu duduk bersila di tengah Reyhan dan nek Ijah. Reyhan meminta Aini untuk menginap semalam di rumahnya, karena besok lusa Aini berencana balik ke Medan untuk melanjutkan perjuangannya, disamping masa cutinya telah habis, Aini ingin segera menyelesaikan masalah dengan Victor. Meskipun saat ini dia bingung, masalah apa yang harus ia selesaikan. Namun gadis itu ngotot berniat mengakhiri hubungannya dengan Victor yang baru saja jadian. Kedengarannya sangat menyedihkan, tapi mau tidak mau, Aini harus melakukan itu sebelum Victor terlalu jauh mencintainya.“Ain.. bawakanlah seseorang untuk Reyhan. Dia sudah sangat berurmur? Bukan kah kalian seumuran? Apa lagi yang kalian pikirkan!” celoteh nek Ijah di tengah suasana makan malam yang lezat. Aini dan Reyhan saling melihat. Mere
Anggraini tiba di kos-kosannya tepat jam 9 pagi, karena perjalanan dari dari Nanggroe ke Medan memakan waktu hingga 13 jam perjalanan. Berhubung menempuh perjalanan pada malam hari maka siang ini Aini ingin beristirahat seharian. Belum lagi tubuhnya yang remuk redam akibat bus yang ditumpangi Aini berlari menggila di atas rata-rata.Memangkas rasa lelah di jiwa karena perjalanan yang ditempuhnya, pikiran Aini mulai padat dengan kisahnya dengan Victor yang makin memasuki area dilema. Ia berusaha menenangkan kepalanya yang penat oleh berbagai masalah. Namun, Aini menghela nafas. Rasa lega itu musnah setelah sesaat ia menghidupkan hp-nya dipenuhi dengan chat dari Victor.“Jadi, selama ini kamu mengabaikanku, karena kamu berketurunan Bangsawan. Alasan itu juga kamu tidak pernah membalas chat aku? Segitu cuman kedewasaan kamu, Ain..” Aini menatap poselnya dan mengansurnya sampai ke bawah. Chat berisi umpatan terhadap dirinya yang sudah bersikap seperti anak keci
“Kamu siap. Emm..” Aini melengkung senyuman getir. Ia menunduk setelah menyakinkan hati pria yang kini berdiri gagah di depannya dengan balutan jas dan peci menutup kepalanya. Kisahnya telah selesai di sini, di sebuah desa kecil yang jauh dari kediamannya. Sebuah desa yang telah melahirkan pria berlatar belakang seorang mafia pengedar. Aini menatap diri dalam balutan gaun brokat berwarna putih dengan sisa kesadaran dan nafas terputus. Iya? Aini telah memutuskan untuk menikah siri dengan adik iparnya sendiri karena Halim terus memaksanya, bahkan pria itu mengancam“Dengar, Ain. Kamu setuju menikah denganku, atau rumah ini akan kubumi hanguskan. Aku tidak akan segan-segan melakukan itu.” Hati Aini meringis kesakitan. Yang kedua kalinya ia mendengarkan ancaman Halim, dan kali ini dengan nada yang tidak bisa dianggap enteng. Ya! Tatapan Halim begitu serius memancarkan sinar tajam di mana cukup membuat Aini sadar bahwa Halim bukan lah pria baik-baik yang Cuma menggertak sambel kurang peda
Saat semua orang tau aku ternoda, aku yakin mereka akan melontarku dengan hinaan. Dan saat nanti mereka menghujatku dengan kata itu, aku akan teriak. Hidupku dibelenggu silsilah dan kemargaan. Ketika semua sudah jelas, namun tidak mampu mengembalikan harga diriku, baiklah aku akan menyerah. Menyerahkan diri pada keadaan Andai saja ada sayap, saat ini yang ingin dilakukan Aini adalah mengepak dan terbang ke suatu tempat di mana tidak seorang pun, yang dapat menemukannnya lagi. Ia rela hidup sendiri, demi apapun itu. Di sini, di rumah yang besar ini sudah tidak lagi ada ketenangan apalagi kebahagiaan. Pikiran lain juga hinggap, andai Victor datang menjemput dan membawanya pergi jauh dari orang-orang yang terdekat yang tidak berarti, memahami perasaannya. Aini meremas kuat ujung dress dengan sisa kesadaran setelah mendengar kecaman sang ayahanda barusan, “Bagaimanapun caranya, papa mau kamu menikah dengan Febby. Apa yang kamu pikirkan, umur kamu tidak berjalan ditempat, Aini.” Tatapan
Setelah percintaan panas penuh gairah yang dilakukan Anggraini bersama Halim Kusuma disiang hari ini tuntas, akhirnya mereka terkulai lemah, terlentang menatap langit-langit kamar dengan sisa kenikmatan masih mengalir dalam darah mereka. Aini mengerjab pasrah meratapi arti sentuhan yang lakukan Halim begitu dasyat mengoyak harga dirinya. Tiada henti ia mengutuk diri sendiri ketika Halim melakukan itu, ia enggan menolaknya. Tak henti bibirnya meracau menyebut nama Halim ketika mencapai orgasme yang bertubi-tubi. Bagian vitalnya berdenyut nyeri terus meminta mengemis agar Halim jangan berhenti menusuknya. Sadar akan isyarat itu, Halim tersenyum puas dan semakin memacu adrenalin mengeluarkan seluruh pengalaman fantasi liarnya demi membawa Aini ke puncak kenikmatan.“Aww… therrus, Llimm. Akhuu … m-aauh…”“Bagus sayang, keluarkan, ayoo…”Dua raga yang terbalut selimut putih itu telah kembali ke alam sadar mereka. Aini hendak beranjak dari ranjang, namun Halim mencegahnya. Pria itu merangku
Perputaran waktu kian tajam bak pedang menghunus masa. Kepingan hidup bagai kerak lempeng kian bergeser semakin mengangga. Seiring fakta kian terkuakBerbagai kejadian mengalir di kepalanya, memori demi memori tersimpan rapi dalam bentuk serpihan dosa. Perempuan yang diberi sandangan bangsawan itu semakin terpuruk dan berlumuran dosa. "Stop, Lim. Stop, aku tidak menginginkan ini lagi, tolong berhenti melecehku!" Suara bercampur erangan. Saat ini, Aini sedang berusaha menolak sentuhan Halim, di mana pria itu sudah tidak menjamahnya selama sepekan. Aini meronta, namun lebih mendominasi dalam bentuk desahan. Halim tidak perduli membabi buta menyerang dan menyobek kaus tipis yang dikenakan gadis itu malam ini. Ia tidak menyangka, Halim akan menemuinya lagi setelah sepekan menghilang. Sempat merasa lega. Tapi, lihat kini. Ia dihimpit kuat di dinding kamar dengan rentangan tangan dibawah tekanan lengan kokoh Halim. "Ain, ayolah, bukan kah, kamu juga menikmatinya. Sudah lama kita tidak me
Keadan begitu cepat berubah. Entah sadar atau enggak, gadis bernama Anggraini telah tergelincir oleh waktu. di mana, harga diri tak lagi menjadi pertimbangan baginya sejak Halim terus menerus menggodanya sampai pada titik kehormatan itu jatuh pada laki-laki yang berstatus sebagai adik ipar.Tiada yang tau jalan hidup seseorang. Mirisnya si wanita bangsawan, bukan berjodoh dengan pria sepantaran nya, malah terjebak dalam skandal adik ipar. Tapi kenapa? Aini rela berbuat, bahkan berkhianat pada Meylan adiknya. jawabannya adalah; Aini sendiri juga bingung. Karena ketika ia sadar, semua telah terjadi seperti di luar keinginannya.Mungkin ia prustasi. Atau mungkin buntu dengan kenyataan hidup selama ini. Serba salah, dan mungkin juga karena putus asa. Tapi, pagi ini Halim berniat mengajak Aini ke suatu tempat. Kira-kira apa tanggapan Aini, secara kalau sampai ketahuan Rafli, mungkin nyawa keduanya menja
Dari jauh. Penampakan kediaman Rafli tampak selalu sunyi. Dan, yang orang-orang ketahui! rumah itu tidak berpenghuni bila di siang hari. Namun, siapa yang tau. Di dalam sana ada seorang wanita yang hidupnya telah hancur. Keturunan pertama pasangan Rafli Syahbandar dan Kartini Majid. Mereka sama-sama terlahir sebagai kaum bangsawan terhormat.Dan, hari ini. Anggraini berniat keluar sebebentat untuk menghirup udara segar berjalan-jalan keliling kampung. Gadis itu sangat cantik meskipun sedikit pucat. Mata bulatnya terlihat kelam seakan menyimpan sejuta misteri.Ia berdandan sederhana, namun penampilan sangat memukau. Heran! apapun yang dikenakan Aini, selalu pas dan cocok di tubuhnya. Sekarang, ia memadukan T.shirt dengan Jeans sedikit jombrang, kerudung pashmina ia sangkut gitu aja. Tapi hasilnya sungguh mempesona. Bibir merah bak kelopak mawar hanya diberi lips glouse, bedak seadanya.Aini berjalan keluar, dan waktu ia membuka pintu? sosok pria tampa
Anggraini tiba di rumah megahnya setelah sepekan lamanya gadis itu menemani Reyhan sahabatnya. Ia menaruh motor pada tempatnya, lalu bergegas ke kamarnya di lantai atas.Anggraini juga tidak perduli dengan suasana rumah yang sepi. Ia hanya melihat sekilas melalui celah pintu yang sedikit terbuka, di sana Halim sedang menimang putranya. Aini berhenti sejenak sambil berpikir setelah itu ia mengidik bahu dan naik ke atas.Meniti cepat anak tangga, Aini sudah nggak sabaran sampai di kamar. Sedetik setelah sampai, ia menghempas tubuhnya menelungkup, dan membenamkan seluruh jiwa dan raga. Di sana tumpah ruah air mata membasahi bantal dan spray. Ia hampir lupa cara mengendalikan emosi dalam jiwanya, hingga tangisannya pecah, sepecah-pecahnya.Suaranya akan tersedu ketika mengingat, khabar Victor mencarinya sampai ke Nanggroe. Di bagian itu, Aini di dera rasa bersalah. Bukan soal cinta, tapi perkara janji yang teringkar. Mereka punya janji kuat, pun it
Anggraini menatap cakrawala di atas permukaan air laut. Mematri tanpa batas sampai pandangan tersapu angin. Perputaran arah dari berbagai penjuru menyisir gelombang ke tepi pantai.Satu jam berlalu, dara manis nan rupawan itu telah kembali, namun ia tidak langsung ke rumah Reyhan. Melainkan singgah di pantai beutari. Pantai yang selalu jadi ajang curhatannya."Jadi, ini alasan kamu meninggalkan anak saya? saya pikir ... kamu wanita terakhir untuk Victor. Ternyata, wanita baik-baik juga bisa berhianat."Tuduhan itu terus terngiang di telinga Anggraini. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Sandreas, papanya Victor. Tapi, ada urusan apa papanya ke Nanggroe? Apa segitu luasnya jaringan Beliau? pikir Aini."Huuuf'Nafas panjang dihembus kasar. Desah keluar melalui rongga dada, saking sesak membayangkan masa lalu yang sudah ia kubur terkuak lagi."Kamu tau, anak saya ke sana ke mari mencari kamu. Bahkan, Victor nekat data
Aini menelentangkan tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Matanya sayu menerima jilatan cahaya lampu tepat di atas mukaknya. Gadis itu terhenta, pasrah dan menyerah. Keputusan satu jam yang lalu begitu perih menggores hatinya. Akan kah, ia rela ditunangkan? sementara, Febby saja tidak menginginkan perjodohan ini.Mirisnya, kisah hidup anak-anak cucu Syahbandar karena harus menikah dengan sesama bangsawan yang malah mereka sendiri punya pilihan masing-masing.Terkadang, Aini menyesal telah meninggalkan Victor demi orang tuanya, dan seandainya ia bisa memutar waktu, ia ingin mengulang semuanya dari awal. Lah! penyesalan selalu datang di akhir, pikirnyaSelanjutnya, Aini bangun melepas semua pakaian dan menggantikannya dengan setelan piama. Ia ingin tidur, ingin meneggelamkan semua permasalahan hidup yang tiada akhir. Namun, sebelum itu ia mengetik sesuatu di hanphonenya dan mengirim pada seseorang agar menunggunya esok, setelah i