Gilbert memutar ulang kejadian tempo dulu, saat orang tuanya mengalami sebuah kecelakaan yang merenggut nyawanya.Saat itu dirinya masih kecil dan berada di rumah La Rossa untuk menyelamatkan La Rossa dari kobaran api yang mengepung rumahnya.Untuk itulah kenapa sebelah dari wajahnya rusak, dan saat itu ia di diagnosa lumpuh, semata-mata hanya untuk mengelabuhi orang yang ingin mencelakai keluarganya.Gilbert mengalami luka bakar di sisi sebelah wajahnya sehingga nampak seperti seorang monster.Dari sejak kejadian itu, Gilbert mengurung diri di Mansionnya, sebuah rumah besar bekas milik orang tuanya yang ada di pinggiran kota.Kali ini gambar kejadian kecelakaan mobil milik orang tuanya diputar ulang. Semua orang memandang ke layar yang sedang menampilkan sebuah adegan di mana mobil tergelincir dari badan jalan dan menabrak pembatas jalan hingga berguling-guling beberapa kali dan mobil itu ringsek hancur tak berbentuk.Mobil yang membawa orang tuanya Gilbert itu hancur, dan orang tu
Alfredo tercengang, ia tak menyadari kesalahannya. Rupanya Gilbert telah menjebaknya.Ia terlihat begitu canggung, apa lagi, saat para tamu undangan mulai saling berbisik mengguncingkan dirinya."Hentikan!" teriak Sisca sekuat tenaga.Ia tak ingin suaminya jatuh miskin apa lagi sampai di penjara.Tayangan tentang kecelakaan kedua orang tua Gilbert itu terus berlanjut hingga pada sebuah tayangan pemakaman.Di sana terpampang jelas peti jenazah masuk ke dalam lubang kuburan, makam kedua orang tua Gilbert bersisian. Awalnya Ayah Gilbert akan di makamkan dekat dengan istri pertamanya, namun, entah kenapa justru ayahnya di makamkam bersisian dengan istri keduanya, yaitu Magdalena.Saat acara pemakaman berlangsung di sana terlihat ada seseorang yang tidak begitu jelas. Ia memakai setelan jas hitam dengan memakai kaca mata hitam juga.Wajahnya tak terlihat, hanya saja ada sebuah lambang di bagian lehernya. Lambang itu adalah sebuah tato bergambar Mawar Hitam.La Rossa yang sedang melihat tay
Ternyata kejadian itu terjadi hampir bersamaan dengan tragedi kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tua Gilbert.La Rossa teringat kembali, potongan-potongan kejadian kala itu bak sebuah puzzle yang bergerak di benaknya.Kepingan-kepingan potongan kejadian waktu itu kembali diputar di memory otaknya.Bagaimana kedua orang tuanya di bantai dan di habisi, lalu semua isi rumah juga tak luput dari kekejian mereka.La Rossa, teringat kala itu pengasuhnyalah yang menyembunyikannya di atas loteng tempat ia bermain.Dan dengan kejamnya, orang-orang itu menghabisi nyawa pengasuhnya.Tubuh La Rossa bergetar hebat, ia menahan gejolak emosi dalam dirinya. Tangannya mengepal erat hingga kukunya menembus kulit ari telapak tangannya. Rasa sakit tak ia hiraukan.Perasaannya berkecamuk tak karuan, dari potongan-potongan gambar yang terekam di layar CCTV ternyata ia di selamatkan oleh seseorang yang ia kenal.Saat La Rossa baru saja keluar dari kobaran api yang mengepung rumahnya. Ia langsung di t
Pihak berwajib memang menutup kasusnya hingga berpuluh tahun lamanya, bahkan mereka yang tak tahu diri ini dengan sangat bebas menikmati semua harta hasil dari jerih payah Papanya Gilbert.Tapi, tidak dengan Gilbert. Ia terus mencari bukti dari kebenaran kejadian itu.Selain itu, ia juga berjuang untuk menjadi kuat agar bisa melawan Pamannya yang licik dan jahat itu.Gilbert terus mengumpulkan bukti sedikit demi sedikit dan pada akhirnya ia menemukan sebuah fakta yang mengejutkan."Bagaimana dengan yang ini, Paman? Apa ini juga hasil karya darimu?" Gilbert menyorot dingin ke arah Alfredo."Tidak! Aku tak melakukan semua itu?" elak Alfredo sembari menggelengkan kepalanya, berusaha keras menyangkal.Layar proyektor terus memutar kejadian saat tragedi di rumah La Rossa.La Rossa tak mengedipkan mata demi untuk mengetahui kebenarannya. Ada sebuah adegan di mana ia di tarik oleh seorang pria dewasa menjauh dari sana.La Rossa mengenalinya, "bukankah itu Jhonny?""Tunggu, jadi semua itu ...
Alfredo yang sedang mengendap-endap mendapatkan kejutan dari La Rossa di bagian kakinya. La Rossa melemparkan senjata rahasianya tepat di paha belakang Alfredo, seketika ia ambruk tersungkur di lantai.La Rossa menyorot dengan dingin ke arah Alfredo lalu, memerintahkan pada anak buahnya untuk mengikat mereka bertiga sekaligus. Alfredo, Sisca dan Abraham. Mereka bertiga di amankan. Sementara Gilbert ia turun dari podium dengan melompat, ia mengangkat dagu sniper itu dan baru saja ia akan menginterogasinya, tiba-tiba darah merembes mengalir dari sudut bibirnya dengan retina mata juling ke atas lalu meredup dan bruk! sniper itu ambruk.Gilbert termundur selangkah, ia tak percaya ternyata di dunia nyata ada kisah seperti di film film kerajaan kuno. Gilbert menggelengkan kepalanya tak percaya, La Rossa yang melihat sniper itu mati begitu saja langsung maju kedepan.Ia melihat sniper itu mati dalam keadaan mata melotot dan darah keluar dari setiap lubang di tubuhnya, bahkan dari pori-poriny
Kedua lawan sama-sama kuat dan tangguh.Semua proferti rusak, mayat bergelimpangan memenuhi ruangan itu, hanya beberapa tamu yang berhasil keluar menyelinap menyelamatkan nyawanya dari pertarungan.Selebihnya yang tertinggal hanyalah mayat, La Rossa melawan seorang wanita yang sama tangguhnya.Wanita itu meninju bagian dada La Rossa, tapi, di tangkis oleh La Rossa. Wanita itu mengeluarkan dua buah senjata berupa sejenis belati bergerigi dari balik bajunya.Kini kedua tangannya menggenggam belati itu, ia memainkannya dengan memutar-mutarkannya, La Rossa tersenyum tipis, ia pun melakukan hal yang sama.Mereka berdua kembali bertarung dengan sengit, sret! sebuah luka sayatan mendarat tepat di wajah cantik wanita itu. Ia menyapu darah yang mengalir dari luka yang baru saja ia dapatkannya. Wanita itu menjilat darah yang ada di tangannya, tatapan matanya menyorot tajam menusuk masuk ke dalam retina La Rossa.La Rossa merasakan aura membunuh yang begitu kuat dari wanita itu."La Rossa, nama
La Rossa terkena tusukan di punggungnya, belati itu melayang menembus punggung La Rossa. Arrgghh! Teriak La Rossa saat belati itu menembus punggungnya. Gilbert yang ada di sampingnya terkejut. Ia menangkap tubuh La Rossa yang akan ambruk. Matanya nyalang, ia mencabut belati itu dari punggung La Rossa dan melemparkannya kembali kepada si empunya.Wanita yang dilukai oleh La Rossa itu menyeringai, ia puas dengan hasil yang di perolehnya meski taruhannya nyawanya."Ros, kamu baik-baik saja 'kan?" Gilbert panik tatkala melihat La Rossa terkulai lemah."Aku ...," ucapan La Rossa terputus, ia tak sadarkan diri.Wajah La Rossa memucat, bibirnya mulai membiru. Gilbert merasakan ada yang salah dengan La Rossa, seharusnya jika hanya terkena tusukan biasa saja La Rossa akan baik-baik saja.Apa lagi La Rossa terkenal dengan sebutan wanita tangguh yang sulit dilumpuhkan. La Rossa terkena racun."Lagi?" gumam Gilbert kesal ketika mendapati La Rossa kembali terkena racun.Dengan sigap, Gilbert memba
Jhonny, Anisa dan Profesor Huang berlari tergopoh-gopoh menghampiri Gilbert. Ia mendekat dan tanpa basa basi lagi ia langsung menanyakan keadaan La Rossa."Bagaimana keadaannya? Apa yang terjadi?" berondong Jhonny tanpa jeda."Ia dalam keadaan kritis," ucap Gilbert dengan nada lemah. Ia sangat sedih dan terlihat sangat kacau.Profesor Huang langsung masuk kedalam ruang penanganan La Rossa. Ia menghampiri tubuh La Rossa yang terlihat begitu lemah dan tak berdaya."Mau apa kamu, Pak Tua?" tanya Lucas yang sedang berada didekat La Rossa.Profesor Huang tak menjawab, ia memeriksa La Rossa dengan seksama. Ia menggeleng lalu mengangguk, Profesor Huang lalu terlihat sedang berpikir keras. Dahinya mengerut hingga menghitam, mata tuanya menyipit yang memang sudah sipit tambah sipit saja hingga tak terlihat bola matanya.Lalu ia keluar, "Jhon, bawa ia ke Laboratoriumku di Singapura, aku akan menelitinya!"perintah Profesor Huang."Apa maksudmu dengan menelitinya? Dia bukan bahan penelitian apa l
Gilbert semalaman menggempur La Rossa sampai ia kesulitan bangun. "Sstthh! Tubuhku seperti mau remuk," desis La Rossa. "Kenapa dia begitu kuat? Apa yang membuatnya seperti itu?" gumam La Rossa. La Rossa beringsut berusaha untuk turun dari ranjang tempatnya semalam di gempur habis-habisan oleh Gilbert. "Duh, kenapa kakiku berasa lunglai begini ya?" ujar La Rossa mengeluh dalam hati. La Rossa berjalan dengan tertatih menuju ke kamar mandi, sejak membuka matanya La Rossa tak menemukan Gilbert di mana pun. "Ke mana perginya Gilbert?" "Apa mungkin ia sedang berjalan di tepi pantai?" "Ish!" desis La Rossa kesal saat membayangkan suaminya malah tengah asyik menikmati suasana pagi dengan berjalan-jalan di tepi pantai sambil memandang matahari terbit. La Rossa keluar dari kamarnya, perutnya terasa lapar. Ia pun pergi menuju dapur dan ternyata Gilbert tengah asyik memasak. "Kamu di sini?" tanya La Rossa heran. "Berarti tuduhanku tadi salah," gumam La Rossa dalam hati. Gilbert menol
"Stop di sana!" perintah Gilbert."Perbesar!" Lanjut Gilbert.Gilbert tersenyum penuh kemenangan."Jo, bawa wanita sialan itu! Kita berangkat sekarang!" perintah Gilbert pada Jonathan.Jonathan tak mengerti dengan perintah yang Gilbert berikan."Wanita mana? Pergi ke mana?" tanya Jonathan.Gilbert yang sudah bersiap meninggalkan ruangan itu langsung menghentikan langkahnya "Jo, sejak kapan kamu berubah menjadi bodoh?" tanya Gilbert dengan nada kesal."Wanita yang telah berani menggodaku dan kita akan pergi menemui La Rossaku!" tegas Gilbert.Lalu, ia kembali berjalan menuju ke pintu dan ke luar dari ruangan itu. Yang kemudian di susul oleh Jonathan.Malam itu juga, Gilbert langsung pergi menyusul La Rossa dengan menggunaksn pesawat pribadi.Gilbert duduk dengan tenang, kali ini tak ada kecemasan dalam raut wajahnya.'Aku menemukanmu, Ros. Kamu tak akan bisa pergi jauh dariku,' batin Gilbert senang.Sementara itu, di belakangnya ada seorang wanita yang tengah memperhatikannya dengan s
Gilbert frustasi, ia benar-benar tak tahu lagi harus mencari La Rossa ke mana?Sudah sejak siang hingga malam hari Gilbert mencari La Rossa. Ia sudah mendatangi banyak tempat. Namun, tak ada satu pun tempat yang ia kunjungi menandakan adanya La Rossa di sana."Aaarrrrggghhh!" Gilbert berteriak kencang.Wajahnya sudah lecek dengan penampilan yang kusut. Otaknya tiba-tiba terasa buntu. Ia tidak lagi bisa berpikir dengan jernih.Gilbert menyugar rambutnya kasar. Ia memaki dirinya sendiri."Sial!" makinya.Gilbert melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya."Sudah larut malam," ucapnya pada diri sendiri.Gilbert memutuskan untuk pulang. Sesampainya di dalam kamarnya. Gilbert menatap ranjang besar tempatnya semalam menghabiskan waktu bersama La Rossa.Ia mengusap ranjang itu dengan telapak tangannya."Ros," panggilnya lirih.Akibat kelelahan lama kelamaan mata Gilbert menutup. Ia terlelap tidur.Pagi pun menjelang, pintu depan rumah Gilbert di gefor sangat keras.Took! Toook!P
La Rossa menenteng rantang yang berisi masakan hasil buatannya sendiri dengan arahan koki di rumahnya.La Rossa memeluk rantang di tangannya sembari tersenyum bahagia."Gilbert pasti suka," ucap La Rossa bergumam lirih. Ia terus mengulas senyum di bibirnya.La Rossa pergi ke kantornya Gilbert dengan diantar supir.Mobil memasuki area parkir dan kemudian La Rossa turun dari mobil. Ia masuk ke dalam gedung perusahaan milik Gilbert dan gegas pergi menuju lift.La Rossa berjalan dengan langkah lebar dan hati yang riang gembira, ia begitu tak sabar ingin menunjukan hasil masakannya pada Gilbert."Pasti dia sangat senang," gumam La Rossa.Para karyawan yang berpapasan dengan La Rossa menyapanya ramah. Dulu sekali, ia pernah menjadi pengganti Gilbert di kantor itu, sehingga banyak karyawan yang mengenalnya.La Rossa hanya mengangguk lirih menanggapi sapaan mereka.La Rossa berjalan di koridor, ia menenteng rantangnya.Begitu sampai di depan kantor Gilbert, La Rossa langsung masuk ke dalam ta
La Rossa dan Gilbert terlelap tidur setelah mereka bermandi peluh. Rasa lelah setelah bergumul membuat mereka tertidur.Malam pun berlalu dengan syahdunya.Keesokan harinya mereka langsung cek out dari hotel. Gilbert membawa La Rossa ke sebuah rumah yang sangat megah dan mewah.Mereka turun dari mobil yang membawa mereka ke sana.Setelah menapaki teras rumah La Rossa dan Gilbert langsung di sambut oleh para pelayan yang berbaris rapi dengan seragam khas maid."Selamat datang, Tuan, Nyonya," sapa mereka serempak.La Rossa berusaha bersikap ramah dengan mengulum senyum.Sementara Gilbert hanya mengangguk pelan.Gilbert membawa La Rossa ke atas melewati tangga satu demi satu.Gilbert membuka kamar itu dan mempersilahkan La Rossa untuk masuk terlebih dahulu."Kamarnya sangat luas," ucap La Rossa."Kenapa kita harus tinggal di rumah sebesar ini? Padahal kita hanya tinggal berdua saja," ujar La Rossa."Apa kamu tak menyukainya?" tanya Gilbert."Suka. Hanya saja aku lebih nyaman tinggal di r
Gilbert dan La Rossa meresmikan hubungan mereka di depan penghulu dengan wali hakim karena La Rossa tak memiliki saudara.Pernikahan mereka di gelar di KUA dan di saksikan oleh Jonny, Profesor Huang, Anisa, Lucas, Jonathan dan Susan.Mereka menjadi saksi keabadian cinta mereka.La Rossa menggelayut manja di lengan Gilbert yang kokoh."Terima kasih. Aku bahagia sekali," ucap La Rossa mengungkapkan rasa bahagianya."Tidak, sayang. Aku lah yang seharusnya berterima kasih padamu karena telah menerimaku apa adanya meski wajahku ini awalnya buruk rupa bagai monster, tapi kamu tetap menerimaku," ungkap Gilbert.La Rossa mencium punggung tangan Gilbert setelah ijab qobul diikrarkan dan Gilbert mencium kening La Rossa.Jonny menghampiri mereka berdua."Selamat ya, Ros," ucap Jonny, "Kini dia aku serahkan padamu. Jaga dia dengan baik," Lanjut Jonny sambil menepuk pundak Gilbert.Gilbert menepuk dadanya bangga, "Serahkan saja padaku. Aku akan menjaganya melebihi diriku sendiri," ucapnya."Hm," J
"Sudah jangan menangis, semoga kita bertemu lagi," ucap Profesir Huang ambigu."Apa maksud ucapanmu itu?" tanya La Rossa."Tidak ada," jawab Profesor Huang."Apa kamu lapar?" tanya Profesor Huang."Iya, aku lapar. Apa kamu punya makanan?" jawab La Rossa sekaligus bertanya."Sebentar, aku lihat dulu di dapur," jawab Profesor Huang.La Rossa mengangguk, "baik."Profesor Huang keluar ia pergi menuju dapur, di sana ia melihat Anisa dan dibantu oleh Lucas sedang memasak. Aroma wangi masakan tercium oleh hidung Profesor Huang, ia terus memgendus aroma itu, "hmmm ... wanginya. Bikin perutku semakin lapar saja.""Apa semuanya sudah siap di sajikan dan di santap?" tanya Profesor Huang sambil melangkah mendekati mereka berdua."Sudah, sisa ini saja yang belum matang. Tunggu sebentar lagi ya?" ucap Anisa sambil tersenyum.Lucas justru mendengkus, "huh, enak saja datang-datang langsung minta makan."Anisa memperingati Lucas, "hust! Jangan begitu, biar bagaimanapun dapur ini miliknya begitu pun de
Lucas menatap Gilbert kesal, ia selalu kalah cepat dengan Gilbert sahabatnya sekaligus rekan bisnisnya itu."Kenapa wajahmu di tekuk begitu? Jangan kesal begitu, dari pada kesal melihatku akan segera menikah, sebaiknya kamu mencari pacar dan segera lamar dia lalu nikahi. Umurmu sudah tak muda lagi, jangan sampai seperti mereka yang kadaluwarsa," ucap Gilbert sambil melirik ke arah Jhonny dan Profesor Huang.Profesor Huang acuh, sedangkan Jhonny merasa tersindir oleh ucapan Gilbert, ia pun melemparkan botol kaca yang ada di dekatnya.Dengan gesit Gilbert menangkap botol itu sambil tersenyum mengejek pada Jhonny karena ia telah berhasil menangkap botol itu.Jhonny mendengkus kesal, "jangan menghinaku. Kalau masih tetap kamu lakukan aku akan menarik kembali restuku padamu," ancam Jhonny."Memangnya bisa?" tanya Gilbert."Tentu saja bisa!" ucap Jhonny dengan nada kesal sekaligus geram."Kalian mau sampai kapan berdebat terus! Kalau masih panjang sebaiknya kalian lakukan di luar, aku mau i
Jhonny begitu terharu melihat La Rossa di lamar oleh laki-laki yang dicintainya.Jhonny menyeka air matanya yang hampir jatuh, ia memalingkan wajahnya demi untuk menyembunyikan keharuannya.Apa kata dunia ketika melihat seorang Jhonny menangis? Ia buru-buru menghapus genangan air yang menggantung di pelupuk matanya.Profesor Huang dan Lucas keluar dari ruang Laboratorium kecil milik Profesor Huang itu.Profesor Huang melihat saat Jhonny menyeka air matanya, ia pun bertanya, "ada apa ini?""Apa aku melewatkan sesuatu yang menarik? Sampai-sampai seorang Jhonny harus meneteskan air matanya," Profesor Huang bertanya dengan sedikit mengejek sahabatnya itu."Siapa yang menangis?" tanya La Rossa."Jhonny, lihat hidungnya sampai memerah," ledek Profesor Huang."Diamlah Huang! Jaga bicaramu," sentak Jhonny dengan nada sedikit marah."Kata-kata mana yang harus aku jaga?" Profesor Huang kembali mengejek Jhonny."Dasar tua bangka, tudak bisakah kamu menjaga mulutmu, ha?!" Jhonny semakin geram den