La Rossa membeliakkan matanya tak percaya, ia benar-benar tak menyangka kalau Gilbert berani menciumnya. Lama Gilbert memagut bibir La Rossa, sementara itu jantung La Rossa berdegup kencang. Ini adalah ciuman pertamanya yang di renggut paksa oleh Gilbert tanpa seizinnya.La Rossa mendorong dada Gilbert, nafasnya tersengal-sengal. Gilbert melepaskan pagutannya. Ia menangkup wajah La Rossa dengan kedua tangannya, ia menatap mata La Rossa."Apa yang terjadi?" tanya Gilbert."Maksudmu?" La Rossa balik bertanya."Dua puluh tahun yang lalu?" sambung Gilbert, ia penasaran dengan tragedi yang menimpa La Rossa."Entahlah, aku pun tak tahu! Yang aku ingat hanyalah tato yang ada di punggung lengan orang itu," angan La Rossa melayang mengingat kejadian dua puluh tahun yang lalu.Tiba-tiba kepala La Rossa sakit. Ia menahan rasa sakit dikepalanya dengan meremas kuat rambutnya dengan kedua tangannya. La Rossa menjenggut rambutnya, wajahnya meringis m
Lamunan Gilbert buyar seketika. Ketika ia mendengar sebuah jeritan, La Rossa menjerit dalam tidurnya. Ia mengalami mimpi buruk lagi. Bajunya basah kuyup oleh keringat, wajahnya pucat pasi dengan bibir yang bergetar. Tubuhnya menggigil. Gilbert bangun seketika dan langsung menghampiri La Rossa, ia membangunkan La Rossa secara perlahan. Dengan tersentak kaget dan bangun seketika La Rossa langsung terduduk. Nafasnya memburu, dengan dahi yang berkeringat padahal AC-nya menyala. La Rossa menangis tersedu, dan Gilbert memeluknya. La Rossa menangis dalam dekapan Gilbert. Sudah sejak lama ia selalu mengalami mimpi buruk itu. "Menangislah agar jauh lebih tenang, aku akan selalu ada di sisimu selamanya," janji Gilbert. La Rossa menangis dalam pelukan Gilbert, selama ini tak ada yang tahu kesedihan dan perasaannya kecuali Jhonny yang selalu ada di sampingnya. La Rossa pandai menyimpan kesedihannya. Isak tangis La Rossa terdengar begitu menyayat hati, ia terisak hingga sesenggukan. Belum per
Brak! Sebuah suara dentuman keras telah mengejutkan mereka berdua. Gilbert dan La Rossa saling pandang. La Rossa bersiap siaga dengan mengambil pistol dan senjata tajam dari dalam ranselnya. Gilbert segera mengenakan kembali topeng peraknya. Ada lima orang bertubuh kekar menerobos masuk ke dalam kamar hotel La Rossa, mereka adalah anak buah dari Komrad. Mereka semua membawa senjata tajam. "Di sini rupanya kamu? Wanita laknat!" "Sudah jangan basa basi kita langsung habisi saja," "Sebaiknya memang begitu," Mereka tanpa menunggu langsung menyerang La Rossa dan Gilbert. Serangan mereka begitu brutal, La Rossa menangkis setiap serangan dari mereka dengan cepat dan gesit. Senjata tajam yang mereka gunakan sesekali mengenai proferti yang ada di dalam kamar hotel. Tempat yang sempit tidak menghalangi gerakan La Rossa dan Gilbert. Perpaduan yang begitu epik antara La Rossa dan Gilbert. Mereka berkolaborasi dalam menyerang dan menangkis serangan dari anak buah Komrad. sungguh sebuah pem
La Rossa masuk ke dalam kamar, ia mengedarkan pandangannya menelisik isi kamar itu. Dan ternyata kamarnya bersih, bahkan tidak terlihat seperti kamar yang lama tak dihuni.“Siapa yang menempati kamar ini?” batin La Rossa.Ia lalu berkeliling sembari menyentuh setiap perabotan yang ada di dalamnya. “Tak ada debu, benar-benar bersih,” gumam La Rossa.Ia duduk di pinggiran ranjang, matanya terus berkeliling. Pandangan mata La Rossa terkunci pada sebuah foto usang berbingkai kayu berwarna hitam yang terpampang di atas nakas yang ada di samping ranjang.Ia bangkit dan berjalan mendekati nakas, mengambil foto itu dan mengamatinya dengan penuh saksama. Ia mengerutkan keningnya, wajahnya terasa familiar. Tapi, ia tak pernah melihatnya.Ia terus mengamati foto itu. Seorang wanita yang cantik dengan mata biru dan hidung mancung persis seperti milik Gilbert. “Ah! Ya Gilbert, ia mirip Gilbert,” gumam La Rossa.“Mata dan hid
Keesokan harinya La Rossa bangun ketika ada yang menyentuh pundaknya. Ia tersentak kaget dengan gerakan yang sangat cepat, ia menangkap tangan itu dan memelintirnya.Tinjunya melayang menghantam perutnya. BUGH! “Ah ...!” pekik dan teriaknya.“Gilbert?!” La Rossa menatap wajah Gilbert yang tengah meringis menahan sakit di perutnya.La Rossa menggaruk tengkuk kepalanya canggung, ia tak terbiasa ada orang lain di dekatnya. Bahkan Jhonny saja sangat jarang, bahkan hampir tak pernah membangunkan dengan menyentuh atau mengguncangnya.“M-maaf ...,” La Rossa dengan suara lirih meminta maaf.“Tak apa. Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” Gilbert tersenyum manis pada La Rossa. "Jauh lebih baik," La Rossa turun dari tempat tidurnya. "Aku menunggumu untuk sarapan bersama," Gilbert lalu keluar dari kamar. La Rossa membersihkan dirinya dan berganti pakaian, setelah rapi ia keluar dari kamar menuju ke ruang makan. Semalam ia belum sempat melihat-lihat seluruh ruangan dalam rumah ini. Lebih tepatnya temp
La Rossa memandang Gilbert dengan tatapan penuh menyelidik. Rasa tak percaya kalau Gilbert memiliki kekuatan begitu besar. Bagaimana mungkin, bukankah Gilbert selama ini tak pernah keluar dari mansionnya? Lalu mulai kapan Gilbert menyusun dan membangun kekuatannya? Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benak La Rossa.Gilbert merasakan tatapan menyelidik dari La Rossa. Tapi, ia berpura-pura tak mengetahuinya. Gilbert kembali menawari La Rossa untuk ikut bersamanya."Ikutlah bersamaku Ros!" pinta Gilbert."Tidak! Aku tidak bisa, maafkan aku," La Rossa kembali menolak tawaran dari Gilbert."Baiklah. Aku tak akan memaksamu. Tapi, tunggulah sampai aku kembali, baru kamu menyelidiki kematian kedua orang tuamu," Gilbert mengalah dan tak memaksa La Rossa untuk ikut bersamanya."Tapi ...,""Aku mohon!""Baiklah!"Akhirnya La Rossa yang mengalah. La Rossa beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Gilbert dan teman-temannya. Ia kembali k
"Cari tahu kebenarannya!" Gilbert memerintah dengan dingin.Sungguh ia tak pernah mengira jika Magdalena masih hidup, jelas-jelas ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau jasad Magdalena di semayamkan bersanding dengan Papanya Abyakta."Baik bos!" jawab Jonathan.Tangan Gilbert terangkat ke atas, dan mereka semua yang ada di sana pun pergi satu per satu meninggalkan meja makan. Menyisakan Gilbert seorang diri. Ia menopang kepalanya menggunakan kedua tangannya, alisnya berpaut satu sama lain.Gilbert berpikir keras mengenai kematian Magdalena, ternyata ada banyak teka teki mengenai kematian orang tuanya. Abyakta Aditama seorang pengusaha nomor satu di Indonesia. Ia merupakan pemilik perusahaan Aditama Company, perusahaan terbesar Se-Asia Tenggara.Namun, sayang penyebab kematiannya sampai detik ini belum terungkap. Gilbert menyakini kematian mereka akibat ulah dari paman tiri satu-satunya, yaitu Alfredo Aditama. Gilbert menghempaskan amplop coklat itu ke atas meja hingga isinya
Gilbert tak beranjak sejengkal pun dari sisi La Rossa. Ia dengan sabar menemaninya, tiba-tiba tangan La Rossa menggapai-gapai di udara seolah sedang meminta tolong. Keringat dingin mengucur dari pelipis turun ke pipinya. Gilbert dengan penuh kasih sayang menggenggam tangan La Rossa, ia juga mengelap keringat yang ada di dahi dan pipi La Rossa lembut. "Jangan pergi! Kumohon! Jangan pergi!" igau La Rossa. "Jangan tinggalkan aku. Aku mohon!" La Rossa terus mengigau. Gilbert dengan penuh kasih sayang membisikan sebuah kalimat yang menenangkan untuk La Rossa. "Aku tidak akan meninggalkanmu. Jangan takut! Ada aku di sini yang akan melindungi dan menyayangimu," bisik Gilbert tepat di telinga La Rossa. "Jangan pergi!" semakin lama suara La Rossa semakin lirih. Lalu tubuh La Rossa menggigil hebat, Gilbert menjadi semakin khawatir melihatnya. Ia meraba keningnya, panasnya masih tinggi. "Dingin!" lirih La Rossa dengan mata yang masih terpejam. Gilbert naik ke atas ranjang, ia masuk ke da
Gilbert semalaman menggempur La Rossa sampai ia kesulitan bangun. "Sstthh! Tubuhku seperti mau remuk," desis La Rossa. "Kenapa dia begitu kuat? Apa yang membuatnya seperti itu?" gumam La Rossa. La Rossa beringsut berusaha untuk turun dari ranjang tempatnya semalam di gempur habis-habisan oleh Gilbert. "Duh, kenapa kakiku berasa lunglai begini ya?" ujar La Rossa mengeluh dalam hati. La Rossa berjalan dengan tertatih menuju ke kamar mandi, sejak membuka matanya La Rossa tak menemukan Gilbert di mana pun. "Ke mana perginya Gilbert?" "Apa mungkin ia sedang berjalan di tepi pantai?" "Ish!" desis La Rossa kesal saat membayangkan suaminya malah tengah asyik menikmati suasana pagi dengan berjalan-jalan di tepi pantai sambil memandang matahari terbit. La Rossa keluar dari kamarnya, perutnya terasa lapar. Ia pun pergi menuju dapur dan ternyata Gilbert tengah asyik memasak. "Kamu di sini?" tanya La Rossa heran. "Berarti tuduhanku tadi salah," gumam La Rossa dalam hati. Gilbert menol
"Stop di sana!" perintah Gilbert."Perbesar!" Lanjut Gilbert.Gilbert tersenyum penuh kemenangan."Jo, bawa wanita sialan itu! Kita berangkat sekarang!" perintah Gilbert pada Jonathan.Jonathan tak mengerti dengan perintah yang Gilbert berikan."Wanita mana? Pergi ke mana?" tanya Jonathan.Gilbert yang sudah bersiap meninggalkan ruangan itu langsung menghentikan langkahnya "Jo, sejak kapan kamu berubah menjadi bodoh?" tanya Gilbert dengan nada kesal."Wanita yang telah berani menggodaku dan kita akan pergi menemui La Rossaku!" tegas Gilbert.Lalu, ia kembali berjalan menuju ke pintu dan ke luar dari ruangan itu. Yang kemudian di susul oleh Jonathan.Malam itu juga, Gilbert langsung pergi menyusul La Rossa dengan menggunaksn pesawat pribadi.Gilbert duduk dengan tenang, kali ini tak ada kecemasan dalam raut wajahnya.'Aku menemukanmu, Ros. Kamu tak akan bisa pergi jauh dariku,' batin Gilbert senang.Sementara itu, di belakangnya ada seorang wanita yang tengah memperhatikannya dengan s
Gilbert frustasi, ia benar-benar tak tahu lagi harus mencari La Rossa ke mana?Sudah sejak siang hingga malam hari Gilbert mencari La Rossa. Ia sudah mendatangi banyak tempat. Namun, tak ada satu pun tempat yang ia kunjungi menandakan adanya La Rossa di sana."Aaarrrrggghhh!" Gilbert berteriak kencang.Wajahnya sudah lecek dengan penampilan yang kusut. Otaknya tiba-tiba terasa buntu. Ia tidak lagi bisa berpikir dengan jernih.Gilbert menyugar rambutnya kasar. Ia memaki dirinya sendiri."Sial!" makinya.Gilbert melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya."Sudah larut malam," ucapnya pada diri sendiri.Gilbert memutuskan untuk pulang. Sesampainya di dalam kamarnya. Gilbert menatap ranjang besar tempatnya semalam menghabiskan waktu bersama La Rossa.Ia mengusap ranjang itu dengan telapak tangannya."Ros," panggilnya lirih.Akibat kelelahan lama kelamaan mata Gilbert menutup. Ia terlelap tidur.Pagi pun menjelang, pintu depan rumah Gilbert di gefor sangat keras.Took! Toook!P
La Rossa menenteng rantang yang berisi masakan hasil buatannya sendiri dengan arahan koki di rumahnya.La Rossa memeluk rantang di tangannya sembari tersenyum bahagia."Gilbert pasti suka," ucap La Rossa bergumam lirih. Ia terus mengulas senyum di bibirnya.La Rossa pergi ke kantornya Gilbert dengan diantar supir.Mobil memasuki area parkir dan kemudian La Rossa turun dari mobil. Ia masuk ke dalam gedung perusahaan milik Gilbert dan gegas pergi menuju lift.La Rossa berjalan dengan langkah lebar dan hati yang riang gembira, ia begitu tak sabar ingin menunjukan hasil masakannya pada Gilbert."Pasti dia sangat senang," gumam La Rossa.Para karyawan yang berpapasan dengan La Rossa menyapanya ramah. Dulu sekali, ia pernah menjadi pengganti Gilbert di kantor itu, sehingga banyak karyawan yang mengenalnya.La Rossa hanya mengangguk lirih menanggapi sapaan mereka.La Rossa berjalan di koridor, ia menenteng rantangnya.Begitu sampai di depan kantor Gilbert, La Rossa langsung masuk ke dalam ta
La Rossa dan Gilbert terlelap tidur setelah mereka bermandi peluh. Rasa lelah setelah bergumul membuat mereka tertidur.Malam pun berlalu dengan syahdunya.Keesokan harinya mereka langsung cek out dari hotel. Gilbert membawa La Rossa ke sebuah rumah yang sangat megah dan mewah.Mereka turun dari mobil yang membawa mereka ke sana.Setelah menapaki teras rumah La Rossa dan Gilbert langsung di sambut oleh para pelayan yang berbaris rapi dengan seragam khas maid."Selamat datang, Tuan, Nyonya," sapa mereka serempak.La Rossa berusaha bersikap ramah dengan mengulum senyum.Sementara Gilbert hanya mengangguk pelan.Gilbert membawa La Rossa ke atas melewati tangga satu demi satu.Gilbert membuka kamar itu dan mempersilahkan La Rossa untuk masuk terlebih dahulu."Kamarnya sangat luas," ucap La Rossa."Kenapa kita harus tinggal di rumah sebesar ini? Padahal kita hanya tinggal berdua saja," ujar La Rossa."Apa kamu tak menyukainya?" tanya Gilbert."Suka. Hanya saja aku lebih nyaman tinggal di r
Gilbert dan La Rossa meresmikan hubungan mereka di depan penghulu dengan wali hakim karena La Rossa tak memiliki saudara.Pernikahan mereka di gelar di KUA dan di saksikan oleh Jonny, Profesor Huang, Anisa, Lucas, Jonathan dan Susan.Mereka menjadi saksi keabadian cinta mereka.La Rossa menggelayut manja di lengan Gilbert yang kokoh."Terima kasih. Aku bahagia sekali," ucap La Rossa mengungkapkan rasa bahagianya."Tidak, sayang. Aku lah yang seharusnya berterima kasih padamu karena telah menerimaku apa adanya meski wajahku ini awalnya buruk rupa bagai monster, tapi kamu tetap menerimaku," ungkap Gilbert.La Rossa mencium punggung tangan Gilbert setelah ijab qobul diikrarkan dan Gilbert mencium kening La Rossa.Jonny menghampiri mereka berdua."Selamat ya, Ros," ucap Jonny, "Kini dia aku serahkan padamu. Jaga dia dengan baik," Lanjut Jonny sambil menepuk pundak Gilbert.Gilbert menepuk dadanya bangga, "Serahkan saja padaku. Aku akan menjaganya melebihi diriku sendiri," ucapnya."Hm," J
"Sudah jangan menangis, semoga kita bertemu lagi," ucap Profesir Huang ambigu."Apa maksud ucapanmu itu?" tanya La Rossa."Tidak ada," jawab Profesor Huang."Apa kamu lapar?" tanya Profesor Huang."Iya, aku lapar. Apa kamu punya makanan?" jawab La Rossa sekaligus bertanya."Sebentar, aku lihat dulu di dapur," jawab Profesor Huang.La Rossa mengangguk, "baik."Profesor Huang keluar ia pergi menuju dapur, di sana ia melihat Anisa dan dibantu oleh Lucas sedang memasak. Aroma wangi masakan tercium oleh hidung Profesor Huang, ia terus memgendus aroma itu, "hmmm ... wanginya. Bikin perutku semakin lapar saja.""Apa semuanya sudah siap di sajikan dan di santap?" tanya Profesor Huang sambil melangkah mendekati mereka berdua."Sudah, sisa ini saja yang belum matang. Tunggu sebentar lagi ya?" ucap Anisa sambil tersenyum.Lucas justru mendengkus, "huh, enak saja datang-datang langsung minta makan."Anisa memperingati Lucas, "hust! Jangan begitu, biar bagaimanapun dapur ini miliknya begitu pun de
Lucas menatap Gilbert kesal, ia selalu kalah cepat dengan Gilbert sahabatnya sekaligus rekan bisnisnya itu."Kenapa wajahmu di tekuk begitu? Jangan kesal begitu, dari pada kesal melihatku akan segera menikah, sebaiknya kamu mencari pacar dan segera lamar dia lalu nikahi. Umurmu sudah tak muda lagi, jangan sampai seperti mereka yang kadaluwarsa," ucap Gilbert sambil melirik ke arah Jhonny dan Profesor Huang.Profesor Huang acuh, sedangkan Jhonny merasa tersindir oleh ucapan Gilbert, ia pun melemparkan botol kaca yang ada di dekatnya.Dengan gesit Gilbert menangkap botol itu sambil tersenyum mengejek pada Jhonny karena ia telah berhasil menangkap botol itu.Jhonny mendengkus kesal, "jangan menghinaku. Kalau masih tetap kamu lakukan aku akan menarik kembali restuku padamu," ancam Jhonny."Memangnya bisa?" tanya Gilbert."Tentu saja bisa!" ucap Jhonny dengan nada kesal sekaligus geram."Kalian mau sampai kapan berdebat terus! Kalau masih panjang sebaiknya kalian lakukan di luar, aku mau i
Jhonny begitu terharu melihat La Rossa di lamar oleh laki-laki yang dicintainya.Jhonny menyeka air matanya yang hampir jatuh, ia memalingkan wajahnya demi untuk menyembunyikan keharuannya.Apa kata dunia ketika melihat seorang Jhonny menangis? Ia buru-buru menghapus genangan air yang menggantung di pelupuk matanya.Profesor Huang dan Lucas keluar dari ruang Laboratorium kecil milik Profesor Huang itu.Profesor Huang melihat saat Jhonny menyeka air matanya, ia pun bertanya, "ada apa ini?""Apa aku melewatkan sesuatu yang menarik? Sampai-sampai seorang Jhonny harus meneteskan air matanya," Profesor Huang bertanya dengan sedikit mengejek sahabatnya itu."Siapa yang menangis?" tanya La Rossa."Jhonny, lihat hidungnya sampai memerah," ledek Profesor Huang."Diamlah Huang! Jaga bicaramu," sentak Jhonny dengan nada sedikit marah."Kata-kata mana yang harus aku jaga?" Profesor Huang kembali mengejek Jhonny."Dasar tua bangka, tudak bisakah kamu menjaga mulutmu, ha?!" Jhonny semakin geram den