Pov Riska
Namaku Riska Amalia, seorang sekretaris bos di sebuah perusahaan. Pak Hafiz namanya. Ia adalah seorang bos yang sangat disegani oleh karyawannya, termasuk diriku. Meskipun telah berumur, namun usia tak melunturkan ketampanannya. Ia juga tengah merintis karirnya agar bisa naik jabatan lagi.
Seiring dengan seringnya kita bertemu, ada debaran yang tak biasa dalam hati untuk bosku itu. Hingga pada suatu kesempatan, aku bisa mempromosikan Pak Hafiz pada atasan kami. Dan ternyata jabatan Pak Hafiz diangkat setelah itu, membuatnya lebih memperhatikanku. Karena berkat diriku lah kini ia bisa menduduki jabatan itu.
Tanpa kusadari, ternyata Pak Hafiz pun juga menyimpan rasa yang sama denganku. Ia mengungkapkan perasaannya ketika kami selesai rapat suatu siang. Dan juga memintaku untuk menjadi istri keduanya. Hatiku bimbang, akankah aku harus menjadi istri kedua untuknya.
Namun, rasa cinta dalam hatiku mengalahkan segalanya. Aku rela menjadi istri si
Zahra menginjak pedal rem secara tiba-tiba. Membuat badanku terjerembab kedepan. Ia mengumpat kasar ketika tahu ada seseorang yang menghadang mobil yang kami tumpangi.Dia ... Mantan Ibu mertuaku."Turun! Aku ada urusan dengan mantan menantuku yang tak tahu diri itu!" Teriaknya dari luar mobil."Keluar! Dasar wanita tidak tahu diri!" umpatnya dari luar sana.Membuat suasana hatiku hancur seketika. Aku yang semula ingin memperbaiki suasana hatiku, kini justru hancur berantakan sebelum aku memperbaikinya. Sial!Aku lantas keluar dan menemui mantan ibu mertuaku yang kini tengah berkacak pinggang di depan mobil Zahra. Sedang Zahra memilih tetap di dalam mobil untuk menungguku menyelesaikan masalahku dengan mantan mertuaku itu."Ada apa lagi, Bu?" tanyaku malas."Heh ... Kamu menjual semua aset Hafiz dan kini malah membeli mobil baru? Jadi semua harta anakku kamu gunakan untuk kesenanganmu sendiri?""Kesenanganku sendi
Pagi ini aku telah dibuat geram oleh Riska. Ia menghadangku yang tengah menutup pagar rumah saat akan pergi ke kedai."Wah, sekarang kamu jadi pelakor, ya?" ucapnya mengagetkanku.Aku memicingkan mata kearahnya. Apa maksudnya? Pagi-pagi begini sudah membuat moodku rusak."Kamu pura-pura bodoh atau memang bodoh?" Ia tersenyum miring, "bukankah sekarang kamu menjalin hubungan dengan Kak Ryan?"Kedua mataku membeliak seketika."Kalau memang pada dasarnya sudah miskin, tak perlulah kamu menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Apalagi sampai menyuruhnya untuk menjual mobilnya," lanjutnya."Sudah pandai ceramah, ya? Kamu tidak ingat siapa yang lebih dulu menjadi duri dalam rumah tangga orang lain? Dan kamu pun menikahi Mas Hafiz juga cuma karena hartanya, kan?"Riska yang semula menggebu-gebu terlihat menciut akibat perkataanku."Tak usahlah kamu mengataiku miskin dan merebut suami orang, sekarang kita buktikan saja
Aku melangkah gontai masuk ke dalam rumah setelah gagal mencari bukti bahwa Riskalah dalang dari semua keonaran ini. Zahra berusaha menenangkan dan menyuruhku untuk memikirkan rencana berikutnya. Cepat atau lambat aku harus segera membuktikan bahwa Riska yang tengah menjalin hubungan dengan Kak Ryan.Sejak tragedi beberapa hari yang lalu, Bapak terlihat lebih mendiamkanku. Itulah yang menjadi beban pikiranku, aku tidak bisa terus menerus seperti ini. Riska harus menanggung semua yang ia lakukan."Bu, sungguh aku tidak ada hubungan dengan Kak Ryan. Bagaimana bisa aku menjalin hubungan dengannya, sedang aku sangat membencinya." Aku menghampiri Ibu yang tengah memasak di dapur.Beliau menghentikan aktivitasnya, lalu duduk menemaniku. Hanya beliaulah yang mengerti perasaanku selama ini. Memang ikatan batin antara Ibu dan anak sangatlah erat."Ibu percaya padamu, Nak. Tidak mungkin anak Ibu ini akan berbuat seperti itu," ucap ibu menenangkanku.
Bel rumah berbunyi ketika aku hendak masuk ke dalam kamar. Ibu menyuruhku untuk membukakan terlebih dahulu karena beliau tengah sibuk bersama Mak Nining.Kedua mataku membeliak ketika melihat Mas Hafiz berdiri tepat di depan pintu rumahku. Wajahnya terlihat sangat marah."Ada apa?" tanyaku singkat tanpa mempersilahkan masuk terlebih dahulu.Kulihat dari ekor mataku kedua tangannya mengepal, wajahnya merah dengan geraham yang gemerutuk. Jika tujuannya datang kemari hanya untuk mengajakku ribut, baiklah akan aku ikuti."Maksudmu apa memberikan foto itu pada Ibu dan Kak Hani?""Oh, karena itu kamu datang kemari? Ya supaya mereka tahu tentang kebusukan istri mudamu itu, lah." Aku tersenyum miring kepadanya yang terlihat sangat marah denganku."Sudah cukup wanita tak tahu diri itu merusak hidupku berulang kali. Kini, giliran aku yang akan merusak hidupnya!" Lanjutku dengan tatapan nyalang.Mas Hafiz terlihat membusungkan dada
Tak menunggu waktu lama, Mas Hafiz pun telah datang di Hotel yang aku sebutkan. Kami lantas masuk ke dalam kamar tujuh puluh dua sesuai yang aku sebutkan sebelumnya. Matanya membeliak ketika melihat Riska, istri tercintanya itu tengah mencumbui Kak Ryan yang tengah tertidur pulas.Aku tersenyum lebar dengan pemandangan ini. Akhirnya kamu tertangkap basah juga, sundal!Dengan beringasnya Mas Hafiz memukuli kepala Kak Ryan tanpa ampun, sedang Riska hanya bisa berteriak dan menangis tergugu. Wajah Mas Hafiz penuh dengan amarah, ia tak menyangka bahwa istri mudanya itu dengan teganya berselingkuh dengan Kakak Iparnya sendiri.Kulihat kedua mata Kak Ryan mengerjap setelah berkali-kali Mas Hafiz memukulinya. Ia terlihat bingung dengan apa yang terjadi, ada begitu banyak orang di dalam kamar ini. Padahal sebelum ia tertidur hanya ada aku dan dirinya."Laknat! Ternyata seperti ini kelakuanmu di belakangku." hardik Mas Hafiz."Tak kusangka, ka
Ibuku yang sejatinya ada seorang madu, namun beliau bisa hidup berdampingan dengan madunya yang sangat baik dan tulus. Tak sekalipun aku melihat Ibu dan Ma Nining berselisih pendapat seperti diriku dan Riska dulu. Bahkan tak jarang Mak Nining mengedepankan Ibu dalam hal apapun.Aku bangga mempunyai ibu tiri sepertinya, karena beliau bisa menjadi contoh yang baik untuk semua orang."Nduk," panggil Bapak mengagetkanku yang masih termenung di depan pintu masuk.Aku tersenyum lantas menghampiri ketiga orang tuaku. Dan ikut duduk bersama mereka. Ibu mengelus pundakku lembut, seperti ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan dariku"Ada apa, Pak?""Tadi ada seorang pria datang kemari, ia mencarimu. Dan ia bilang ingin melamarmu,"Jantungku keakan berhenti berdetak. Seorang pria? Melamarku? Siapa? Bukankah akhir-akhir ini aku tak sedang dekat dengan siapapun.Kedua mataku mengerjap, seakan semua ini seperti mimpi. Hari i
Untuk apa membanggakan kekayaan dari orang lain? Lebih baik penghasilan sedikit namun dari kerja keras sendiri,""Bilang saja kamu iri kalau sekarang kamu pun tetap tidak bisa menyaingi kekayaanku, bagaimanapun juga aku tetap lebih kaya darimu." Perkataannya membuatku muak, semua itu bukan urusanku. Tapi kenapa wanita itu terus-terusan merendahkanku."Akan aku buktikan kepadamu siapa aku sesungguhnya. Kamu telah salah bermain-main denganku hingga Mas Hafiz meninggalkanku!"Aku mencebik, lalu meninggalkannya sendiri yang masih berdiri mematung sembari memakiku tiada habis. Mungkin kini dia sudah gila, karena terlalu sering menjadi wanita simpanan.Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam kedai tanpa memperdulikannya. Berdebat dengannya sungguh tak akan pernah ada habisnya. Lebih baik aku fokus untuk menata hidupku kembali, agar lebih baik lagi. Apalagi malam nanti Mas Reihan akan datang lagi kerumah dan menanyakan tentang jawabanku atas lamarannys
Detak jantungku seakan berhenti berdetak, ketika melihat mantan ibu mertuaku bersama Kak Hany."Em ... Ada apa, Bu, Kak?" tanyaku dari ambang pintu."Duduk dulu, Nduk. Tidak baik bicara dengan tamu sambil berdiri," ucap Ibu dengan menggandengku untuk duduk di samping Bapak.Aku berjalan tanpa melihat kearah mereka, luka yang mereka torehkan begitu dalam."Kami ... Kami ingin minta maaf denganmu, Hum." Kak Hany berkata dengan wajah yang menunduk.Kulihat dari ekor mataku, mantan ibu mertuaku itu mengusap buliran bening disudut matanya. Hatiku sedikit tersentuh dengan sorot ketulusan dari keduanya, karena nyatanya aku bukanlah seorang yang pendendam."Iya, Hum. Kami berdua minta maaf, begitu juga dengan Bapak dan ibu sekalian. Maaf atas sifat buruk kami kemarin," lanjut Ibu dengan menatap ketiga orang tuaku secara bergantian."Sudahlah, Bu. Kami semua sudah memaafkan, sekarang marilah kita memulai hidup kita yang baru deng
Part 9"Sah ...."Suara seluruh orang yang menghadiri acara pernikahanku menggema dalam masjid kecil yang menjadi tempatku mengikat janji sehidup semati dengan Arfan. Seorang lelaki yang bisa menarikku dari kubangan air hitam yang kian menarikku ke dasarnya.Kucium punggung tangan lelaki yang baru beberapa detik yang lalu sah menjadi suamiku. Kemudian, ia mendaratkan sebuah kecupan hangat dikeningku. Hatiku berdesir, mengingat bahwa sosok lelaki yang dulu pernah kukagumi ini hari ini menjadi suamiku.Ucapan demi ucapan selamat kudapatkan dari beberapa anggota keluarga yang hadir saat pernikahan kami. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari hari ini ketika Arfan meminangku dengan surah Ar-Rahman sebagai maharnya. Begitu banyak gadis yang menatapku iri karena aku bisa bersanding dengan jejaka pandai, alim dan berwibawa yang selalu mereka gandrungi. Apalagi statusku yang hanya sebagai seorang janda.***"Terimakasih, ya. Kamu sudah
Part 8Kujatuhkan tubuhku di atas kasur empuk di dalam kamar, rasanya tubuhku ringan tak berdaya. Semua sendi-sendiku bagaikan lepas tak berfungsi, ketika aku harus berusaha menerima kenyataan bahwa dua kedaiku mulai mengalami kebangkrutan. Untuk bulan ini pun Anisa tidak tahu harus membayar semua karyawan dengan apa, karena pemasukan lebih sedikit dibandingkan pengeluaran.Kubenamkan kepalaku di atas bantal, lalu berteriak sekencang-kencangnya agar semua rasa dalam hatiku sedikit berkurang. Aku rasa, Tuhan begitu tidak adil kepadaku. Begitu banyak ujian yang Dia berikan, hingga tak jarang membuatku jatuh tersungkur tak berdaya.Mas Hafidz pergi, dan usahaku bangkrut. Entah harus bagaimana lagi aku menghadapi dunia yang sangat kejam ini. Ini semua tidak adil bagiku, Tuhan begitu jahat."Aarrgghh ...." teriakku kencang dengan melempar kaca riasku dengan ponsel yang tergeletak di samping bantal, hingga menimbulkan sebuah suara pecahan yang sangat nyar
Part 7Hatiku bimbang, ketika beberapa hari yang lalu Bu Santika dan Kak Hany mengabari kalau Mas Hafidz pergi. Ya, pergi ... Dan kami semua tidak tahu kemana.Kutatap foto kami berdua di layar ponselku nanar, senyum mengembang dengan indah di setiap sudut bibir kami masing-masing. Dan kini, untuk kesekian kalinya aku harus kehilangannya lagi. Entah, kemana ia pergi sekarang, dan karena apa ia pergi. Aku pun tak pernah tau alasannya.Nomor teleponnya pun sama sekali tak bisa kuhubungi. Semua teman kerjanya juga tidak tahu dimana keberadaannya. Aku benar-benar kehilangan jejaknya. Mas Hafidz hilang bak ditelan bumi.Kusandarkan tubuhku di atas kursi teras, satu jam sudah aku duduk termenung disini. Menatap dengan indahnya warna jingga yang terpancar di ufuk barat. Namun tidak dengan hatiku yang kini tengah hampa, dan kembali kosong."Nduk," ucap Ibu mengagetkanku.Aku tersentak, lalu menoleh kearahnya. Kulihat Ibu pun ikut sedih dengan
Part 6Pov HafizSinar mentari semakin meninggi, ketika sudah kuputuskan untuk pergi menjauh dari Humaira. Wanita yang dulu adalah istriku yang kusia-siakan demi wanita lain, dan kini telah memantapkan hatinya untuk rujuk kembali denganku.Bukan karena aku tak cinta, ataupun aku terlalu menggantung perasaannya. Namun, aku rasa akan ada seseorang yang akan lebih bisa membahagiakannya dibanding diriku. Kini aku bangkrut, dan hanya bekerja sebagai cleaning service. Itu semua juga karena ulahku sendiri, terlalu memanjakan gundik dan ibu kandungku sehingga sekarang semua hartaku telah habis.Kuhembuskan nafas perlahan, menatap nanar pada kedai Huma yang ramai pengunjung itu. Dari kejauhan kulihat Ibuku, yang dulu adalah wanita yang menginginkan perpisahanku dengan Huma kini malah bekerja padanya. Juga Kak Hany, yang sekarang sudah benar-benar berubah dan ikut serta mencari uang di kedai Huma.Entah terbuat dari apa hatinya, hingga mampu memaafkanku,
Part 5Nafasku terengah-engah ketika kulihat Arfan berdiri di belakang kerumunan orang-orang yang sedang melihatku berkelahi dengan Riska. Ia tetap dengan tatapannya yang teduh, tak sedikitpun terlihat sorot amarah di dalam manik matanya.Ia datang bak seorang pujangga yang menyejukkan siapapun yang mendengar suaranya. Bahkan Riska pun berhenti berteriak ketika mendengar suara lembutnya. Aku yakin dia pasti juga sangat terkagum dengan sosok Arfan.Kulepaskan cengkeraman tanganku dari tubuh Riska, lalu beranjak berdiri dan menjauhinya. Sedang kulihat Mas Hafiz juga masih sama tercengangnya dengan Riska."A-arfan," ucapku lirih.Terlihat dari ekor mataku Mas Hafiz beralih menatapku, lalu mendekat kearahku. Sedang aku memilih merapikan baju gamis yang sedikit sobek akibat ulah Riska."Hentikan. Tidak baik berkelahi di depan umum, malu dilihat orang. Selain itu memang tidak ada manfaatnya jika harus berkelahi." Arfan menasehati kami dengan
Season 2Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 4Suara deru mobilku memecah keheningan di antara aku dan Mas Hafiz yang tengah bersama menuju rumahnya untuk mengunjungi Bu Santika yang belum juga sembuh. Kami bertemu setelah jam kerja Mas Hafiz selesai dengan menjemputnya di tempatnya bekerja.Kutatap awan yang seolah bergerak mengikutiku dan Mas Hafiz, seakan tak rela jika saat ini aku tengah berduaan dengan mantan suamiku ini. Mas Hafiz menekan tombol audio, lalu memutar sebuah lagu yang tak asing di telingaku.Tersadar didalam sepikuSetelah jauh melangkahCahaya kasihmu menuntunkuKembali dalam dekap tanganmuTerima kasih cinta untuk segalanyaKau berikan lagi kesempatan ituTak akan terulang lagiSemua kesalahankuYang pernah menyakitimuTanpamu tiada berartiTak mampu lagi berdiriCahaya kasihmu menuntunkuKembali dalam dekap tanganmuTerima kasih cinta untuk segalanyaKau berikan lagi
Part 3"R-riska," pekikku ketika seseorang yang dulu sempat menjadi musuhku menghadang jalanku.Ia tersenyum miring dan menatapku nyalang. Entah sejak kapan ia bebas dari penjara, akhir-akhir ini memang tak kudengar kabar lagi tentangnya. Tapi ternyata secara tiba-tiba ia malah sudah datang lagi di depanku."Ya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" ucapnya sinis.Kuatur nafasku yang hampir saja habis ketika melihatnya, persis seperti bertemu hantu menyeramkan ketika tengah berhadapan dengannya."Tidak, kenapa harus kaget?" ucapku mencebik, "jadi rupanya penjahat ini sudah bebas, ya?" Lanjutku lagi.Ia melotot ke arahku, lalu menyibakkan rambutnya ke samping. Hingga terlihatlah beberapa perhiasan yang ia kenakan di tubuhnya. Anting, kalung, cincin dan juga gelang terpasang pada tubuhnya, membuatku jengah untuk menatapnya. Ternyata setelah di penjara pun tak membuatnya berubah."Ya beginilah orang kaya, bisa bebas kapanpun. Karena aku ma
Part 2Kusibak gorden yang menutupi jendela kamar, sinar mentari perlahan menerobos masuk ke dalam kamar. Kehangatan yang dibawa turut sertanya perlahan mulai memenuhi kamar yang telah kutinggali hampir dua tahun ini.Kupandangi rumah besar yang berdiri tegak di seberang sana, rumah yang dulu menjadi tempatku melepas penat serta tempatku berbagi kebahagiaan dengan orang tercintaku. Kini, mulai ditumbuhi rumput ilalang yang mulai meninggi.Taman bunga kesayanganku yang kini telah berganti menjadi taman rumput lebih tepatnya. Mang Ade yang aku percaya menjaga rumah itu, serta merawatnya sudah dua bulan ini tak bisa bekerja karena harus merawar istrinya yang tengah sakit.Ah ... Mang Ade. Pria tua yang sangat setia kepada istrinya dalam keadaan apapun, membuatku iri dengan sikapnya yang selalu mengedepankan kepentingan keluarganya, terlebih istrinya. Beliau selalu setia kepada istrinya meski kini istrinya seperti hanya menjadi beban untuknya.Ak
Maduku Tak Tahu Aku KayaSeason 2Part 1"Aww ...." Pekikku ketika bertabrakan dengan seseorang di pelataran masjid agung tak jauh dari kedaiku."M-maaf," ucap pria yang telah menabrakku dengan lembut.Kulihat pria muda yang baru saja menabrakku itu tengah tergesa-gesa masuk ke dalam masjid untuk membantu seorang Ustadz yang kutaksir seusia bapak yang akan keluar dari masjid. Ustadz itu terlihat sedikit pincang, hingga butuh bantuan seseorang untuk membantunya berjalan. Dan tak lama kemudian kulihat kaki kanan beliau ada sebuah perban kecil di betisnya, mungkin sebab itu beliau tidak bisa jalan dengan sempurna.Tanpa memperdulikannya lagi, aku lantas melanjutkan langkahku menuju depan masjid untuk menunggu Mas Hafiz menjemputku. Karena aku berpamitan untuk sholat ashar terlebih dahulu sebelum ia menjemputku.Namun netraku kembali tertuju pada seorang pemuda yang beberapa saat yang lalu tak sengaja menabrakku. Dia duduk di atas troto