89. Boneka Santet
"Iya, Fer. Apa jangan-jangan kamu tidak tahu kalau istri tercintamu ini punya saudari kembar?"
Ferdila menggeleng. "Tidak."
"Sayang sekali, padahal mereka sangat mirip hanya saja beda sikap. Saudari kembar Ardina lah yang menculikku kemarin bahkan dia terlampau kejam menganggap aku, Falen dan Shella adalah bin*tang!" ungkap Vidia. Ardina hanya bisa menelan saliva sambil terus memutar otak mencari alasan.
Ferdila menutup pintu kamar Vidia kasar, kemudian menarik tangan sang istri ke kamar. Mereka saling menatap dengan napas seakan saling berkejaran. "Jelaskan!"
"A-aku ... anu ...." Jantung Ardina semakin berdegup cepat. Dia tidak tahu cara menyampaikan pada suaminya.
Memang Arnila dulu tidak ada di rumah ketika saudarinya menikah karena ada di luar kota. Baru-baru ini dia kembali setelah mendengar masalah rumah tangga sang adik. Keluarga yang tertutup menjadikan Ferdila tidak tahu hal itu.
Jika menjelaskan sekar
Pukul delapan pagi, Ferdila menuntun istrinya ke mobil untuk menemui ustaz berharap ada jawaban dari teka-teki mereka mengingat semalaman Ardina terus meraung sambil menyebut nama Vidia.Jika dilihat sekilas, perempuan berparas ayu itu seperti orang gila. Tadi malam saja dia berteriak histeris mengaku melihat kepala tanpa tubuh di jendela kamar. Sebenarnya Ferdila sedikit tidak percaya, tetapi wajah Ardina pucat pasi.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, Ferdila terus memohon kepada Allah agar istrinya dilindungi. Bagaimana tidak karena perempuan itu melotot setiap lima menit. Dia meraung kesakitan dengan sesekali tergelak mengaku melihat bayangan hitam yang menertawakan mereka bertiga.Sementara Naren, dia mengembus napas kasar berusaha menebak apa yang terjadi dengan Ardina. Ada kemungkinan seseorang mengirim santet atau azab karena memperlakukan ketiga orang jahat itu seperti bin*tang."Berapa lama lagi, Ren?" Ferdila akhirnya membuka suara."S
POV ArdinaSetelah sampai di rumah, aku merebahkan diri di tempat tidur. Hati sedikit lega karena tidak lagi merasakan luka di sekujur tubuh sekali pun masih ada sedikit hal mengusik pikiran. Seribu tanya tentang Naren yang tiba-tiba pergi tadi.Pintu kamar terketuk keras, mungkin saja itu Ferdila karena sejak tadi ke luar dengan alasan ditelepon rekan kerja. "Masuk saja, Fer!" pintaku dengan suara sedikit keras.Ketika daun pintu terbuka lebar, betapa terkejutnya aku melihat Vidia muncul dengan seringai tajam. Oh, perempuan ini kenapa harus mengganggu ketenangan? Dia melangkah mendekat sambil membawa dompet kecil di tangan kanannya."Besok, aku pastikan rencanamu akan gagal total, Ardina!" tegas perempuan berambut pirang itu dengan mata melotot. "Kamu akan kembali merasakan luka dan kali ini pasti lebih perih," lanjut Vidia lagi masih dengan seringai yang sama."Apa yang kamu bicarakan, Vid?""Kamu akan mengerti jika sudah terjadi. Ini keju
Setelah mencuci piring, aku langsung masuk kamar karena jam pun sudah menunjuk angka sembilan malam. Seharian ini benar-benar lelah terlebih magrib tadi beradu mulut dengan Vidia.Perempuan berambut pirang itu memang sengaja menumpahkan dua gelas kopi di depan kamar, kemudian menuduhku membuang kulit pisang sembarangan hingga dia terpeleset. Ferdila langsung percaya pada Vidia tanpa memberiku sedikit saja kesempatan untuk mengelak.Dia lihai dan pandai bersilat lidah. Perempuan model seperti itulah yang paling aku takutkan. Seandainya saja kemarin-kemarin dia benar sudah pergi daru sini, pasti tidak akan ada kejadian yang mengharuskan aku makan hati.Ferdila duduk di tempat tidur dengan menyandarkan kepala di headboard. Kepalanya menunduk dalam dengan kedua tangan saling terkepal."Kenapa, Fer?" tanyaku setelah duduk di sampingnya. Lelaki itu menoleh dengan mata sendu. Helaan napasnya terdemgar berat seakan memikul beban."Apa ... apa kamu m-
Biar bagaimana pun aku juga yang membereskan serpihan kaca tadi. Tidak ada yang mengerti bahkan aku takut jika harus melibatkan orang tua dalam hal ini. Mereka sudah tua dan tidak seharusnya memikirkan banyak hal.Pintu terketuk begitu keras dan berulang kali. Tidak lama, Naren muncul di baliknya setelah aku suruh masuk saja. Tidak ada Arnila yang menyusul. Aku semakin gamang."Gimana, Din? Vidia sudah pergi?""Sudah, Ren. Dia pergi bareng Ferdila tadi.""Loh, diantar Ferdila?""Mereka bakal menikah sabtu nanti." Aku menjawab lirih meskipun tidak sesuai apa yang ditanyakan lelaki itu.Kedua matanya membulat tanda terkejut. Tentu saja karena beberapa hari kemarin Ferdila nekat mengusir Vidia, sangat marah ketika melihat wajahnya dan kini minta menikah kembali.Akan tetapi, keterkejutannya semakin menjadi ketika tahu aku setuju dengan pernikahan mereka."Kenapa, Din?""Dengan syarat Vidia memeluk Islam. Aku aka
Waktu terus berputar, Naren sudah pergi. Aku lagi-lagi sendiri di rumah. Dia ditelepon asisten rumah tangga untuk Arnila tadi. Sengaja lelaki itu tidak mau membawaku karena alasan tertentu.Jika ditebak, mungkin karena kami sama-sama merasakan luka. Jika terus larut, maka sulit menyelesaikan masalah. Aku termangu dalam kamar sambil memikirkan bagaimana cara menghibur hati sendiri agar bisa damai dengan luka.Dengan langkah tertatih aku menuju kamar. Rapuh semakin terasa karena sendirian. Tidak ada sesiapa yang bisa diajak meluahkan rasa.Pada keadaan sekarang aku butuh seseorang yang telah tiada dan sangat mustahil untuk ketemu. Yuni dan Genta. Merekalah yang selama ini menyokong untuk terus berdiri."Ardina!" Aku yang sedang menghadap ke jendela terperanjat, kemudian menoleh dan mendapati Vidia di ambang pintu. Dia melangkah masuk tanpa kuminta."Apa?""Mulai sekarang kita harus akur karena akan kembali menjadi madu. Aku terima Ferdil
Pukul lima sore aku menelepon Naren dan langsung diangkat setelah menunggu panggilan ke lima. Napasnya terdengar memburu. "Arnila sudah mulai sehat, cuma butuh istirahat penuh dua hari," jelasnya."Alhamdulillah. Aku mau bertemu Arnila, tapi ada satu hal yang harus kamu tahu, Ren.""Apa itu?" Suara Naren sudah mulai santai seperti biasa.Aku pun menceritakan perihal Vidia yang tiba-tiba mendadak baik bahkan menangis minta diajari Islam. Tidak hanya itu bahkan siang tadi dia memasak begitu banyak lauk dan rasanya nikmat.Sedikit aneh memang, tetapi aku merespon dengan baik pula bahkan sangat ramah dengan membantu mencuci piring. Jika dikata terkena sihir, entahlah. Aku sulit berprasangka ke sana."Dia pura-pura, Din. Kamu jangan terlalu percaya sama dia. Aku tidak pantas cerita siapa Vidia karena kita sama-sama tahu bagaimana busuknya perempuan itu," tegur Naren."Gimana kalau dia benar sudah berubah, Ren? Gak ada yang mustahil kalau Al
Setelah membantu Vidia membersihkan dapur, aku gegas masuk kamar menemui Ferdila yang sudah kembali sibuk memainkan jemari di keyboard laptopnya. Dia duduk di ranjang dan terlihat serius sampai tidak sadar akan kehadiranku."Sibuk gak?""Kenapa?" tanya Ferdila balik tanpa mengalihkan pandangan."Aku ada sesuatu yang penting, Fer."Lelaki di depanku menghentikan aktivitasnya. Laptop masih berada di paha, tetapi mungkin akan bisa mencerna apa yang kusampaikan nanti. Dia mengukir senyum. "Apa?""Kamu yakin tindakan menikahi Vidia benar?"Kedua alis Ferdila saling bertaut. Raut wajahnya tidak bisa ditebak. Aku deg-degan takut mendapat pukulan."Yakin dan tidak ada salahnya rujuk dengan Vidia. Memang sudah dicerai, tetapi kan bisa menikah lagi."Aku menarik napas panjang. Sebenarnya ada perasaan ragu yang menyelimuti jiwa untuk menyampaikan semuanya. Magrib tadi sempat browsing di internet kalau rujuk setelah talak tiga."Ada
Pagi-pagi sekali aku menyiapkan sarapan karena Vidia belum juga ke luar dari kamar. Mungkin dia lelah atau masih memikirkan perkara tadi malam.Hanya butuh tiga puluh menit semua sudah siap bersamaan dengan datangnya Ferdila dengan kemeja biru muda. Dia tampan dan aku sangat ingin memeluk jika saja tidak bau bawang."Harum banget baunya, pasti enak, nih!" puji Ferdila, kemudian menarik kursi untuk didudukinya."Coba aja." Aku senyum-senyum menahan malu. Seorang istri akan sangat bahagia jika suaminya memuji masakan sekali pun tidak enak. Sangat mudah membahagiakan mereka bukan?"Enak banget masakan istriku." Ferdila kembali memuji setelah menikmati masakan itu. Aku bahagia hingga senyum merekah sempurna, lalu duduk di depannya.Akan tetapi, itu hanya berlangsung beberapa menit saja ketika Ferdila kembali membuka suara. "Besok aku tetap akan menikahi Vidia. Janji itu harus ditepati."Aku terhenyak dalam diam mendengarnya. Makanan terasa hamba