Setelah kusebutkan nomor ponsel sekaligus yang terhubung ke akun Whats*pp. Sambil menggulung handuk kecil di kepalanya aku mulai bertanya, "Satu hal apa yang kamu inginkan?"
Dia tersenyum. "Nanti saja aku sampaikan via Whats*pp karena kita sedang di salon tempatmu bekerja. Kalau ada yang mendengar gimana?"
Aku diam, hanya berusaha menuruti kata Namira. Dia berkata seperti itu membuatku berprasangka bahwa permintaannya sedikit berat. Entah kenapa aku tiba-tiba mengingat foto Genta dengan seorang perempuan.
Di mana dia sekarang masih belum kuketahui juga. Harap-harap setelah ketemu Ferdila nanti dia membahas dan aku akan berusaha agar dia cerita tentang kantor. Napas memburu, aku berusaha menguasai diri karena masih jam kerja.
"Kamu cantik. Sudah menikah?" tanya Namira lagi.
"Iya, terimakasih."
"Punya anak berapa?"
Deg! Pertanyaan seperti inilah yang paling dihindari pasangan yang tidak lagi muda usia pernikahannya terutama sang
Namira : Aku ingin kamu bekerja sama denganku. Tidak usah disembunyikan lagi, aku perempuan bayaran. Tidak mudah untuk bisa tidur denganku. Apa kamu mau membantuku mencarikan lelaki yang mampu membayar sepuluh juta untuk satu jam pelayanan?Namira yang cantik ternyata kupu-kupu malam. Bagaimana mungkin aku mencarikan lelaki untuknya sementara tidak ada pengalaman sama sekali. Lagi, ada balasan.Namira : Dan jika menemukan lelaki itu, kamu tidak boleh menyebut namaku. Bilang saja kamu yang ingin ditiduri.Aku : Tidak, aku tidak mau!Namira : Kalau begitu, aku tidur dengan suamimu saja.Sejenak aku tertawa renyah. Perempuan jala*g yang tidak tahu malu. Mana mungkin aku akan menyerahkan Ferdila tidur denganmu meski tidak menutup kemungkinan dia mau-mau saja. Dengan bayaran sepuluh juta satu jam, bagaimana jika sampai tiga jam?Uang sebanyak itu lebih baik untuk modal usaha atau disimpan. Hanya lelaku bodoh yang mau menghabiskan uang sebanyak it
Jam weeker berbunyi nyaring. Aku terperanjat dengan napas memburu. Dengan gerak cepat aku meraih ponsel dan mengecek jam. Sudah pukul sebelas siang.Entah kenapa aku sepulas ini. Ternyata tadi hanya mimpi buruk. Aku sampai khawatir Namira benar bekerja sama dengan Shella.Mengingat kejadian dalam mimpi ada sesuatu di akun Facebo*k. Tanpa mengulur waktu lagi aku membuka aplikasi itu dan mencari kabar hari ini.Mulut seketika menganga karena banyak berita tentang kematian seorang lelaki berinisial G di gudang kosong dekat salon tempatku bekerja. Kabarnya dia gantung diri, tetapi ada bekas luka di sekitar wajahnya.Aku menelan saliva sambil terus berusaha memperbaiki perasaan. Lebih baik hari ini absen bekerja dulu untuk memastiakan siapa lelaki itu. Ferdila sudah pergi ke kantor jadi tidak usah meminta izin. Toh, dia juga tidak akan menduga aku pergi ke lain tempat."Tuhan, kenapa aku yang merasa diteror padahal Vidia yang melakukan kesalahan?
Sesampainya di rumah aku tidak langsung merebahkan diri karena penasaran dengan surat tadi. Pintu rumah juga jendela sudah aku kunci rapat agar ketika ada yang datang ke sini mengira rumah ini kosong.Dengan tangan gemetar aku membuka surat itu, kemudian membacanya perlahan."Ardina, aku harap kamu bisa menemukan surat ini. Sebenarnya aku bukan bunuh diri, tetapi dipaksa. Orang yang terlibat adalah Shella, Namira juga Vidia. Perempuan itu memang di penjara, tetapi masih gigih menyuruh Shella melanjutkan misi mereka. Bukan hanya aku juga Yuni, kamu pun bisa menjadi target."Aku menarik napas panjang berusaha menguasai diri, kemudian kembali menatap surat itu. Sebuah tulisan yang sedikit hancur karena tangan yang menulisnya mungkin saja gemetaran."Tentang foto itu, sebenarnya dikirim oleh Shella. Perempuan yang ada di sampingku adalah Namira. Mereka akan menjebakmu juga, hati-hati. Aku ikhlas mati karena sudah disuntikkan virus HIV ke dalam tubuhku.
Dingin begitu menusuk kalbu. Hujan sudah berhenti dan menyisakan genangan di jalan. Aku mengekori Ferdila setelah selesai membayar pesanan tadi.Mobil membawa kami membelah jalan menuju rumah. Debar-debar dalam dada seakan saling berkejaran, mobil seakan melaju lambat melebihi siput.Hening. Sunyi. Sepi. Gamang.Aku terus melirik ke jam tangan, perasaan mulai tidak enak. Semoga saja surat itu masih ada. Kalau saja hilang, aku memang bisa melacak CCTV, tetapi bagaimana jika lampu sengaja dia matikan atau masuk menggunakan topeng?Berkali-kali aku mengusap wajah gusar sementara Ferdila fokus menyetir. Mobil sudah masuk ke pelataran rumah, saat rem diinjak aku melompat ke luar dan berlari cepat ke arah pintu."Fer, pintu rumah terbuka!" teriakku.Mendengar itu Ferdila bergegas melangkah. Dia memandang tidak percaya. Lampu rumah masih dalam keadaan menyala dan saat melangkah masuk dengan langkah hati-hati, tidak ada yang bersepah layaknya
Hari-hari kami lalui dengan penuh warna sekali pun hati terluka karena kasus Genta sudah lama ditutup polisi dengan dalih itu murni keinginan bunuh diri karena masalah pribadi. Saat kuputar rekaman aku dan pelaku bicara lewat telepon, mereka menuding itu rekayasa semata.Juga tentang Namira. Dia tidak lagi muncul setelah aku beri pelajaran. Perempuan mana yang tidak marah ketika mendapati calon pelakor terus mengusik hidup suami. Aku sengaja mengundangnya makan siang bersama dan mencampur sambal dalam minumannya sampai tidak sadarkan diri.Berbicara tentang kehidupan sekarang, aku benar dipecat dari salon tempat bekerja tanpa upah karena Namira. Entah apa yang dikatakan pada bos. Namun, aku tidak ingin mengambil pusing toh Ferdila masih ada di sisiku.Satu bulan yang lalu saat Ferdila ada urusan kantor yang mengharuskannya menginap satu minggu di sebuah hotel di luar kota, aku mengaku keguguran. Semua kepalsuan yang diciptakan sudah selesai meski dengan cara ber
Setelah menutup telepon dan meletakkannya asal, aku menoleh ke arah pintu yang perlahan terbuka. Ferdila masuk sambil membawa kantong kresek berisi tahu goreng."Makan bareng, yuk!" ajaknya. Aku berdiri karena langsung peka kalau Ferdila mengajak makan di depan televisi.Kami menonton tanpa menyimak dengan baik setiap adegannya. Pikiran melayang ke perempuan tadi. Huh, aku yakin pasti dia akan kembali dan membalaskan dendam.Aku memasukkan gorengan ke dalam mulut, mengunyah perlahan sambil terus memikirkan cara bagaimana menguatkan diri ketika dia datang. Perutnya tidak kentara, apakah keguguran?"Sayang, besok jalan-jalan, yuk!" ajak Ferdila tanpa melihat padaku."Ke mana?""Mall."Aku mengangguk sedikit senang. Semoga saja besok dan ke depannya tidak harus bertemu Vidia atau pun Shella. Apa pun yang direncanakan bisa saja batal jika Allah berkehendak.***Aku berusaha lari masuk kamar meski begitu lambat sementar
Saat Ferdila sedang sibuk memilih baju, aku mengedarkan pandangan. Sebenarnya tanpa alasan karena ini murni keinginan hati.Di toko sepatu yang tidak jauh dari tpatku berdiri, terlihat seorang perempuan yang berpakaian sedikit seksi. Dia melingkarkan tangan di lengan lelaki bernama Falen. Mungkin saja mereka pacaran."Sayang, ini bagus gak?" tanya Ferdila tiba-tiba. Sejak baikan dengannya, lelaki itu seakan menjelma sosok hantu yang bisa muncul tiba-tiba.Aku hanya mengangguk."Kamu gak belanja?" tanyanya lagi."Sepatu saja. Lagian aku malas kalau harus belanja dalam keadaan lapar." Aku menjawab asal. Ferdila tersenyum, kemudian pamit ke toilet sebentar. Untung saja ada kursi tunggu, jadi aku bisa menjatuhkan bonot di sana.Tiba-tiba dua orang tadi lewat di depanku dengan mengobrol serius. Dari lekuk tubuh terlihat seperti Vidia, tetapi dia memakai masker."Sayang, mau beli sepatu branded," rengek perempuan itu sambil menyenderk
"Kamu mau nanya apa, Fer? Kayak lagi bingung banget gitu mukanya."Napas kasar diembuskan Ferdila. Aku menunggu masih dengan debar tak menentu di dada. Rasa penasaran membelenggu jiwa. Lelaki itu melangkah mendekat."Kamu jangan tersinggung. Tiba-tiba saja pertanyaan ini muncul dibenak setelah kamu membahas tentang Vidia.""Iya, aku gak akan tersinggung, tapi kamu mau nanya apa, Fer? Jangan lama gitu ini jantung bisa berhenti berdetak nanti.""Santai aja, Din. Ini pertanyaan yang tidak wajib kamu jawab kalau tidak tahu.""Mana bisa santai kalau kamu aja muka bingung gitu. Cepat katakan!" desakku."Kenapa aku bisa kenal bahkan menikah dengan Vidia?"Pertanyaan macam apa ini?"Masalah kenal bahkan menikah aku sama sekali tidak tahu. Satu yang pasti adalah kanu membawa perempuan itu ke sini dalam keadaan lagi hamil anak kamu. Katanya cinta pertama."Ferdila menatapku tidak percaya. Dahinya berkerut bukti pikiran masih
POV AUTHOR 💚 "Jangan pergi atau akan semakin menyakitimu." "Tapi, Ferdila–" "Dia khawatir bukan karena cinta, melainkan rasa bersalah karena telah merobek mulut Vidia. Kamu di sini, tunggu kabar di telepon saja," potong Arnila. Dia tidak ingin adik kembarnya khawatir. Masalah Ferdila salah peluk kemarin biar menjadi rahasiaku sendiri selama Naren tidak tahu juga Vidia maka akan baik-baik saja. Adikku harus bahagia, batin Arnila sedih. Ponsel berdering, ada pesan masuk ke aplikasi hijau. Perempuan tempramental itu mengurangi cahaya layar agar tidak ketahuan kalau ada pesan masuk apalagi jika kabar buruk. Benar saja, Naren mengabari bahwa Vidia meninggal. "Mereka kok lama ya? Gak ada kabar lagi," keluh Ardina. Dia memikirkan suaminya. "Gini, Din ...." Arnila menggigit bibirnya, dia menunduk dalam. Sementara di rumah sakit sedang gaduh. Naren mengurus banyak hal termasuk meminta mereka semua tutup mulut. Pasalnya
POV ARDINA💚Selesai makan malam, terdengar deru mobil dari luar. Aku dan Arnila saling berpandangan. Jantung berdegup cepat tak ubahnya pacuan kuda. Beberapa kali aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan."Tenang, Ardina. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku yang akan menjelaskan semua ini. Kamu diam dan hanya menyahut ketika kutanya. Oke?"Enak sekali menjadi Arnila karena dia terlihat seperti tidak memiliki beban hidup. Lagi pula jika ada yang mengusik tentu kalah dengan satu pukulan telak. Aku memaksa senyum.Pintu rumah terbuka lebar. Naren dan Ferdila melangkah beriringan. Begitu sampai di hadapan kami, keduanya bungkam. Aku bisa menangkap raut wajah suamiku menyiratkan kebingungan."Ardina yang mana?" tanyanya setelah hening beberapa saat."Fer, biar aku jelaskan semuanya. Aku Arnila saudari kembar istrimu. Kita berpisah sudah lama bahkan ketika kamu menikah, tidak sempat hadir." Arnila menjeda kalimatnya.D
POV AUTHOR💚Satu minggu pasca operasi, Vidia sudah merasa sehat sekalipun disibukkan dengan mengganti perban. Perawat menyarankan untuk tidak memakai cermin hingga masa penyembuhan selesai, tetapi dia bersikeras."Baiklah," jawab seorang perawat. Dia keluar mengambil cermin.Sementara Vidia dia begitu penasaran dengan bentuk wajahnya setelah digunting Ferdila. Rasa untuk balas dendam semakin membuncah. Dia merasa tidak bisa hidup tenang sampai Ardina merasakan luka yang sama atau bahkan lebih perih.Rambut indahnya pun sudah hilang. Dia memakai rambut palsu sejak kemarin. Tidak ada yang diizinkan masuk menjenguk walau orang itu mengaku sebagai sahabat dekatnya.Orangtua Vidia tidak tahu kabar ini karena Naren menutup mulut semua orang bahkan memalsukan data agar tidak ada yang bisa mengecek keberadaannya.Beberapa menit menunggu, seorang perawat datang dan menyerahkan sebuah cermin. Namun, sebelum itu dia berpesan agar V
"Gimana keadaan Vidia, Ren? Ada yang tahu perkara ini?" tanyaku khawatir.Kami sudah berada di rumah sakit sejak sepuluh menit lalu. Ferdila terus diam menangisi kebodohannya. Aku terus menghibur dengan dalih Vidia yang salah."Dia ditangani dokter. Tenang saja, aku bisa membungkam mulut mereka semua. Sekarang kamu fokus pada diri sendiri. Beruntung di outlet tadi lagi sepi," jelas Naren."Terimakasih, Ren. Kami berhutang budi padamu," ucapku tulus, lalu kembali duduk di samping Ferdila.Suamiku benar-benar menyesali perbuatannya. Sekali lagi aku menghibur dengan mengalihkan pikiran. Alhamdulillah, dia bisa tersenyum ketika kukatakan akan pergi dari sini jika terus murung.Tangan kekar itu sekarang mengelus perutku yang rata. Dia menasihati calon anak kami agar tidak pernah selingkuh jika sudah lahir. Ferdila sadar, yang mendua kelak akan diduakan dan rasanya seratus kali lipat lebih sakit."Anak kita harus jadi salihah, tidak boleh se
Dua hari sejak kejadian itu Vidia belum juga pulang. Mungkin dia tahu kalau Falen meninggal di hari yang sama jadi ada rasa galau. Entah, ini hanya praduga.Naren pun tidak pernah datang, hanya ada aku dan Ferdila di sini. Outlet warna merah muda sudah terpasang rapi di halaman rumah. Senin lalu mulai buka. Beruntung banyak pelanggan sampai Ferdila sedikit kewalahan."Jualan bakso?" tanya Vidia tiba-tiba ketika Naren sedang sibuk meladeni satu pelanggan terakhir. "Makanya aku malu balik ke sini karena gak mau punya suami tukang bakso. Mana jualnya di depan rumah, ogah banget!""Kalau begitu silakan pergi dari sini!" geram Ferdila."Iya, walau tidak kamu minta aku akan pergi! Dasar lelaki miskin!" makinya sambil melangkah masuk rumah.Dia memang tidak punya malu. Sudah mengatai suami sendiri, tapi dengan santainya melangkah masuk rumah. Aku sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan Vidia.Sebenarnya Ferdila ingin membahas masalah abo
"Kamu menang kali ini, Din!" gumam Vidia, tetapi aku masih mampu mendengarnya.Dia berdiri, memungut ponsel itu dan melangkah masuk kamar. Pintu dibanting kasar. Aku sampai mengelus dada berulang kali sambil membaca istigfar. Semoga saja janin dalam kandungan ini kuat dan dilindungi sama Allah.Naren meminta kami istirahat saja dulu kbawatir pikiran semakin kacau. Ferdila setuju, lalu menuntunku masuk kamar. Sabtu besok dia harus ke tukang kayu untuk mengambil outlet karena memang tidak melakukan pengiriman khusus weekend."Besok, kamu jangan keluar kamar. Nanti bisa dikerjain Vidia. Kalau bisa pas lagi makan aja. Oke?" Ferdila mengingatkan."Iya, Sayang."Aku menatap langit-langit kamar. Entah kenapa ada firasat hal buruk akan terjadi. Namun, suamiku selalu mengingatkan bahwa kita harus berprasangka baik agar jika ada petaka, dia akan pergi.***Pagi menyapa, dua jam lalu Ferdila pergi bersama Naren. Jarak rumah tukang kayu itu lumay
Malam menyapa ketika kami bertiga sedang kumpul di depan televisi. Vidia datang dengan senyum merekah dan duduk di dekat kami. Tangannya mengeluarkan ponsel dari saku.Aku cuek saja, lalu meraih gelas dan meneguk isinya. Malam ini tidak boleh stres karena bisa berakibat parah pada janin yang baru saja hadir dalam rahimku."Fer, tidakkah kamu berpikir Ardina mempermainkanmu?" Vidia membuka percakapan. Aku menoleh padanya begitupun Naren, tidak dengan Ferdila."Maksud kamu mempermainkan apa, Vid?" Aku bertanya.Ferdila menatapku dalam. Dia memberi isyarat untuk tidak merespon Vidia. Memang magrib tadi aku juga diperingatkan untuk mendiami perempuan berambut pirang itu agar tidak semakin menjadi atau berbuat sesuka hati.Aku memang setuju, tetapi mendengar kalimat itu membuat darah seketika nendidih dalam hitungan detik. Ingin sekali tangan ini menjambak rambut dan merobek mulutnya. Huh, hidup bersama Vidia memang tidak pernah membawa ketena
POV ARDINA💚Aku baru selesai mandi ketika mendengar suara tawa perempuan di luar rumah. Namun, samar terdengar karena gemericik air mengganggu pendengaran. Setelah mengenakan pakaian rumah serta mengeringkan rambut, aku melangkah ke luar kamar dan menoleh ke kiri. Rupanya ada tamu Vidia."Sini, Din!" panggil Vidia. Aku mendekat karena menghormati tamu dan duduk di samping adik madu.Perempuan ini cantik sekali. Wajah dan postur tubuhnya terpahat sempurna. Kulit putih bersih bahkan mengalahkan Vidia. Aku kagum, entah darimana asalnya. Akan tetapi, semoga hati perempuan itu tidak seburuk Vidia.Aku tersenyum ketika dia memperkenalkan nama. Dia Venny dan aku–"Dia ini kakak maduku, Ven. Namanya Ardina." Vidia mendahuluiku memperkenalkan diri. Sudahlah, tidak mengapa selagi masih wajar.Perempuan itu tersenyum ramah. Hingga detik ini aku merasa masih aman-aman saja. Vidia menjelaskan kalau temannya itu baru tiba dari Jepang. Aku m
POV VIDIA MAIDA💚Mereka terlalu bahagia di dalam sana sehingga membuat muak untuk melihat terlalu lama. Aneh sekali kenapa Ardina bisa hamil. Apakah ini yang dinamakan keajaiban?Huh, aku mengembus napas kasar begitu ingat tentang Ferdila yang tidak lagi bekerja di kantor. Untuk apa bertahan? Pertanyaan itu sesuatu yang konyol, tentu saja ingin mengais harta lelaki itu. Aku sangat yakin dia memiliki tabungan di bank."Sial!" umpatku ketia Ferdila menoleh dan langsung melangkah ke dekat televisi.Ada ide lain, aku harus melakukan sesuatu yang tidak disukai perempuan itu bahkan kalau bisa menyebar fitnah agar dicerai dalam keadaan hamil. Pasti ada cara yang paling jitu.Mudah! Aku akan melakukan satu rencana yang sangat besar. Bahkan sudah ada dalam pikiran. Naren pasti akan sering ke sini karena Ferdila tidak lagi sibuk di kantor. Kelihatannya bakal ada usaha baru yang akan dikerjakan."Vidia?" Suara Ferdila mengagetkanku yang