"Kamu mau nanya apa, Fer? Kayak lagi bingung banget gitu mukanya."
Napas kasar diembuskan Ferdila. Aku menunggu masih dengan debar tak menentu di dada. Rasa penasaran membelenggu jiwa. Lelaki itu melangkah mendekat.
"Kamu jangan tersinggung. Tiba-tiba saja pertanyaan ini muncul dibenak setelah kamu membahas tentang Vidia."
"Iya, aku gak akan tersinggung, tapi kamu mau nanya apa, Fer? Jangan lama gitu ini jantung bisa berhenti berdetak nanti."
"Santai aja, Din. Ini pertanyaan yang tidak wajib kamu jawab kalau tidak tahu."
"Mana bisa santai kalau kamu aja muka bingung gitu. Cepat katakan!" desakku.
"Kenapa aku bisa kenal bahkan menikah dengan Vidia?"
Pertanyaan macam apa ini?
"Masalah kenal bahkan menikah aku sama sekali tidak tahu. Satu yang pasti adalah kanu membawa perempuan itu ke sini dalam keadaan lagi hamil anak kamu. Katanya cinta pertama."
Ferdila menatapku tidak percaya. Dahinya berkerut bukti pikiran masih
Kami duduk saling berhadapan di ruang tengah. Vidia melirik sinis sekilas padaku kemudian menyandarkan kepala di bahu Ferdila. Pandai sekali perempuan itu memporak-porandakan hatiku."Aku kembali demi suami dan jika Ardina tidak setuju ...." Pelakor itu seperti sengaja menggantung kalimatnya."Jika tidak setuju kenapa?" Ferdila mewakili pertanyaan. Sontak wajah Vidia dibuat seimut mungkin."Aku mengerti." Lelaki itu berdiri. Netra kami saling beradu. "Jika kamu tidak mau menerima kehadiran Vidia, siap-siap menanggung akibatnya!"Bagai disambar petir, hati terluka begitu dalam. Tidak lagi kutemukan sosok lembut sejakntiga bulan terakhir bahkan baru pagi tadi kami belanja bersama dengan bahagia.Selama perempuan itu berdiri di sisi suamiku, dia akan berlaku kasar. Tidak akan ada lagi ketenangan dalam rumah ini bahkan mungkin setiap detik hanya akan berlalu bersama luka."Satu lagi, jika kamu ada niat jahat untuk Vidia, maka tepis karena aku ak
Sepagi ini aku mengemasi beberapa lembar pakaian dan memasukkannya ke dalam koper berwarna hitam bergambar kucing. Dada bergemuruh hebat karena ini adalah sehari sebelum pergulatan cantik berlangsung.Ketika mendengar suara Ferdila yang memanggilku makan, aku ke luar sambil menyeret koper. Pandangannya fokus padaku dengan raut sedikit bingung."Kamu mau ke mana, Din?""Ke rumah bibi, beliau minta ditemani dua atau tiga hari ke depan.""Yah, aku kesepian dong!" lirih Vidia sambil memanyunkan bibir. Meski berkata begitu tetap saja tidak bisa menembunyikan binar bahagia di matanya.Sementara Ferdila, dia sama sekali tidak bertanya lebih jauh atau mungkin sekadar menawari tumpangan. Dia hanya bergeming di tempat. Aku dengan perasaan sedih meraih tangan itu, kemudian mencium takzim."Gak makan dulu? Ini sudah matang, loh." Suara Ferdila terdengar berat. Aku hanya bisa menggeleng lemah, kemudian kaki melangkah ke luar.Sekilas aku melihat b
"Mudah sekali melukai hati perempuan malang itu. Aku bahkan tidak usah berpikir seribu kali agar dia pergi dari sini!"—Vidia Maida."Hari ini gak usah ke klinik dulu, aku butuh istirahat.""Ya sudah, kalau begitu aku pamit."Setelah mobil Ferdila benar-benar pergi meninggalkan rumah, aku tertawa kecil mengingat kejadian sebelumnya tepat saat mengirim foto pada Ardina. Sebenarnya tidak berniat seperti itu, hanya saja suamiku mengirim pesan yang tidak seharusnya ada.Kepergian perempuan itu dari rumah ini adalah awal yang baik dan aku bisa bebas bertemu Falen. Ya, Falen adalah kekasihku yang pernah menjamah Ardina.Jujur saja saat itu aku merasakan cemburu luar biasa, tetapi demu menghancurkan perempuan itu serta merebut harta suaminya, aku harus mengalah.Kehamilan kemarin juga terjadi karena ulah Falen. Jadi, semua itu jebakan agar Ferdila gegas menikahiku. Bagaimana mungkin lelaki mandul bisa memiliki keturunan?Tentang kegugur
Aku Vidia Maida. Jangan sebut nama itu jika tidak memiliki nyali yang kuat apalagi ada niat bermain denganku. Bukan maksud menyombongkan diri karena siapa pun yang telah masuk perangkap akan sulit melepaskan diri.Falen sudah harus pulang setelah menyusun banyak sekali rencana. Lagi pula hari ini Ferdila akan kembali lebih cepat. Dia sedang dalam perjalanan.Kalung emas dengan hiasan membentuk huruf F dilengkapi tiga permata indah sudah ada dalam genggaman. Aku mengenakannya sambil terus mengingat aktivitas kami tadi.Satu jam sebelumnya..."Apa rencana kita, Sayang?" tanyaku dengan raut penasaran.Falen tersenyum. Saking manisnya ingin segera kubabat habis. Namun, sekarang bukan saatnya bercumbu rayu.Falen memperbaiki posisi duduk, lantas berkata, "Pertama, kita harus menjebak Ardina agar Ferdila semakin benci padanya. Aku akan menggodanya, kamu tidak boleh cemburu.""Benar, aku juga tidak bisa terlalu memanfaatkan mbah yang memelet
Mobil sudah terparkir di depan rumah. Aku diantar seseorang yang bisa diajak kerja sama untuk menyingkirkan perempuan tidak tahu diri itu. Rumah yang lumayan besar ini tidak seharusnya ditempati pezina.Aku melangkah masuk seraya menyeret kasar koper hitam bergambar kucing sementara mobil yang dikemudi seorang lelaki itu sudah pergi menjauh. Aku tersenyum kecut menyadari tidak ada mobil Ferdila di sini."Kita akan lihat siapa yang menjadi pecundang!" gumamku dengan nada mengejek.Aku mengetuk pintu rumah. Saat melirik jam masih pukul setengah delapan pagi. Belum ada respon. Kembali aku mengetuk dengan emosi. "Vidia, buka pintunya!" teriakku.Tidak lama kemudian daun pintu terbuka, seorang perempuan ke luar dari sana. Dia memandang tidak suda, aku membalas dengan seringai menakutkan. "Kenapa buka pintu aja pake lama, hah? Kamu dandan dulu apa buat jebakan?" omelku sambil mendorong kasar bahunya.Karena merasa tidak terima, Vidia mencekal lenganku er
Langkahku terhenti ketika ingat belum memakai jaket kesayangan yang warnanya hitam. Kembali kubuka pintu rumah pelan, masuk dengan memakai sepatu sambil mengintip apa yang dilakukan perempuan itu.Dia masih di dapur, aku gegas masuk kamar mengenakan jaket dan kembali ke luar dengan mengendap-endap."Falen, gimana sekarang?" tanya Vidia dengan suara manja."Aku memang masih menyimpan rekaman video kalian malam itu meski hati perih," jawab Vidia lagi."Baiklah, aku akan menyebarkannya setelah ini." Selesai mengucapkan itu aku langsung merampas ponsel Vidia dan membawanya ke luar. Dia mengejarku, tetapi tidak berhasil.Tepat di depan rumah, dia berteriak lantang. "Berhenti atau aku akan melakukan sesuatu!""Melakukan apa?""Menyebar videomu yang terjamah lelaki lain!""Selain di ponsel ini apa ada salinannya?"Perempuan itu diam, dari matanya sudah jelas memikirkan sesuatu. Aku membanting kasar ponsel itu kemudian menginjak
Lelaki yang sedang duduk di kursi setir bernama Naren. Dia adalah sahabat yang selalu membantuku jika ada masalah. Akan tetapi, baru hari ini dia ikut andil karena kesibukan yang mengharuskannya fokus.Sudut bibirnya terangkat tipis sementara aku masih diam menunggu ide apa yang akan diutarakan Naren."Idenya mudah menurutku, tetapi mungkin sedikit berat kamu lakukan.""Apa, Ren?""Bujuk Ferdila agar mau mempekerjakanku sebagai supir pribadimu. Ini akan mempermudah kerja kita, Din!"Aku ikut tersenyum sambil menatap lurus ke depan. Mobil terus membawa kami membelah jalan tanpa tujuan. Mungkin baiknya disebut hanya mutar-mutar saja.Sebelum pukul lima sore aku sudah tiba di rumah. Vidia yang berdiri di ruang tengah langsung menatapku tajam. Dia melontarkan banyak pertanyaan sampai aku tidak tahu harus menjawab apa."Kamu budeg, ya?!"Sekali lagi aku tidak peduli, malah langsung masuk kamar untuk mandi. Urusan masak b
POV VidiaBagaimana pun caranya harus aku yang menang kali ini! batinku sambil melotot pada Ardina.Ferdila menarik napas panjang, kemudian mengembuskan kasar. Aku melingkarkan tangan di lengannya agar dia luluh. Jika Keyra tidak bisa masuk rumah ini, sulit untuk memperhatikan gerak-gerik Ardina apalagi perempuan itu kembali dalam keadaan berbeda.Bahkan bisa dikata 180°. Dia semakin cerdas, tangkas bahkan bisa dibilang kasar. Tidak ada lagi Ardina yang lugu dan aku penasaran sebenarnya kemarin dia pergi ke mana?"Aku setuju jika kita punya supir pribadi sekalipun laki-laki. Dia bisa mengantar kamu atau Ardina ke luar. Jadi, aku tidak usah khawatir. Namun, orang itu harus bisa dipercaya tidak akan melepaskan hasrat bersama kalian."Keputusan Ferdila membuat hatiku panas seketika. Namun, ada sisi lain yang membahagiakan. Aku bisa merekam perbuatan mereka jika saja Ardina bermain bersama lelaki yang akan menjadi supir itu.Baiklah, kita ik
POV AUTHOR 💚 "Jangan pergi atau akan semakin menyakitimu." "Tapi, Ferdila–" "Dia khawatir bukan karena cinta, melainkan rasa bersalah karena telah merobek mulut Vidia. Kamu di sini, tunggu kabar di telepon saja," potong Arnila. Dia tidak ingin adik kembarnya khawatir. Masalah Ferdila salah peluk kemarin biar menjadi rahasiaku sendiri selama Naren tidak tahu juga Vidia maka akan baik-baik saja. Adikku harus bahagia, batin Arnila sedih. Ponsel berdering, ada pesan masuk ke aplikasi hijau. Perempuan tempramental itu mengurangi cahaya layar agar tidak ketahuan kalau ada pesan masuk apalagi jika kabar buruk. Benar saja, Naren mengabari bahwa Vidia meninggal. "Mereka kok lama ya? Gak ada kabar lagi," keluh Ardina. Dia memikirkan suaminya. "Gini, Din ...." Arnila menggigit bibirnya, dia menunduk dalam. Sementara di rumah sakit sedang gaduh. Naren mengurus banyak hal termasuk meminta mereka semua tutup mulut. Pasalnya
POV ARDINA💚Selesai makan malam, terdengar deru mobil dari luar. Aku dan Arnila saling berpandangan. Jantung berdegup cepat tak ubahnya pacuan kuda. Beberapa kali aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan."Tenang, Ardina. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku yang akan menjelaskan semua ini. Kamu diam dan hanya menyahut ketika kutanya. Oke?"Enak sekali menjadi Arnila karena dia terlihat seperti tidak memiliki beban hidup. Lagi pula jika ada yang mengusik tentu kalah dengan satu pukulan telak. Aku memaksa senyum.Pintu rumah terbuka lebar. Naren dan Ferdila melangkah beriringan. Begitu sampai di hadapan kami, keduanya bungkam. Aku bisa menangkap raut wajah suamiku menyiratkan kebingungan."Ardina yang mana?" tanyanya setelah hening beberapa saat."Fer, biar aku jelaskan semuanya. Aku Arnila saudari kembar istrimu. Kita berpisah sudah lama bahkan ketika kamu menikah, tidak sempat hadir." Arnila menjeda kalimatnya.D
POV AUTHOR💚Satu minggu pasca operasi, Vidia sudah merasa sehat sekalipun disibukkan dengan mengganti perban. Perawat menyarankan untuk tidak memakai cermin hingga masa penyembuhan selesai, tetapi dia bersikeras."Baiklah," jawab seorang perawat. Dia keluar mengambil cermin.Sementara Vidia dia begitu penasaran dengan bentuk wajahnya setelah digunting Ferdila. Rasa untuk balas dendam semakin membuncah. Dia merasa tidak bisa hidup tenang sampai Ardina merasakan luka yang sama atau bahkan lebih perih.Rambut indahnya pun sudah hilang. Dia memakai rambut palsu sejak kemarin. Tidak ada yang diizinkan masuk menjenguk walau orang itu mengaku sebagai sahabat dekatnya.Orangtua Vidia tidak tahu kabar ini karena Naren menutup mulut semua orang bahkan memalsukan data agar tidak ada yang bisa mengecek keberadaannya.Beberapa menit menunggu, seorang perawat datang dan menyerahkan sebuah cermin. Namun, sebelum itu dia berpesan agar V
"Gimana keadaan Vidia, Ren? Ada yang tahu perkara ini?" tanyaku khawatir.Kami sudah berada di rumah sakit sejak sepuluh menit lalu. Ferdila terus diam menangisi kebodohannya. Aku terus menghibur dengan dalih Vidia yang salah."Dia ditangani dokter. Tenang saja, aku bisa membungkam mulut mereka semua. Sekarang kamu fokus pada diri sendiri. Beruntung di outlet tadi lagi sepi," jelas Naren."Terimakasih, Ren. Kami berhutang budi padamu," ucapku tulus, lalu kembali duduk di samping Ferdila.Suamiku benar-benar menyesali perbuatannya. Sekali lagi aku menghibur dengan mengalihkan pikiran. Alhamdulillah, dia bisa tersenyum ketika kukatakan akan pergi dari sini jika terus murung.Tangan kekar itu sekarang mengelus perutku yang rata. Dia menasihati calon anak kami agar tidak pernah selingkuh jika sudah lahir. Ferdila sadar, yang mendua kelak akan diduakan dan rasanya seratus kali lipat lebih sakit."Anak kita harus jadi salihah, tidak boleh se
Dua hari sejak kejadian itu Vidia belum juga pulang. Mungkin dia tahu kalau Falen meninggal di hari yang sama jadi ada rasa galau. Entah, ini hanya praduga.Naren pun tidak pernah datang, hanya ada aku dan Ferdila di sini. Outlet warna merah muda sudah terpasang rapi di halaman rumah. Senin lalu mulai buka. Beruntung banyak pelanggan sampai Ferdila sedikit kewalahan."Jualan bakso?" tanya Vidia tiba-tiba ketika Naren sedang sibuk meladeni satu pelanggan terakhir. "Makanya aku malu balik ke sini karena gak mau punya suami tukang bakso. Mana jualnya di depan rumah, ogah banget!""Kalau begitu silakan pergi dari sini!" geram Ferdila."Iya, walau tidak kamu minta aku akan pergi! Dasar lelaki miskin!" makinya sambil melangkah masuk rumah.Dia memang tidak punya malu. Sudah mengatai suami sendiri, tapi dengan santainya melangkah masuk rumah. Aku sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan Vidia.Sebenarnya Ferdila ingin membahas masalah abo
"Kamu menang kali ini, Din!" gumam Vidia, tetapi aku masih mampu mendengarnya.Dia berdiri, memungut ponsel itu dan melangkah masuk kamar. Pintu dibanting kasar. Aku sampai mengelus dada berulang kali sambil membaca istigfar. Semoga saja janin dalam kandungan ini kuat dan dilindungi sama Allah.Naren meminta kami istirahat saja dulu kbawatir pikiran semakin kacau. Ferdila setuju, lalu menuntunku masuk kamar. Sabtu besok dia harus ke tukang kayu untuk mengambil outlet karena memang tidak melakukan pengiriman khusus weekend."Besok, kamu jangan keluar kamar. Nanti bisa dikerjain Vidia. Kalau bisa pas lagi makan aja. Oke?" Ferdila mengingatkan."Iya, Sayang."Aku menatap langit-langit kamar. Entah kenapa ada firasat hal buruk akan terjadi. Namun, suamiku selalu mengingatkan bahwa kita harus berprasangka baik agar jika ada petaka, dia akan pergi.***Pagi menyapa, dua jam lalu Ferdila pergi bersama Naren. Jarak rumah tukang kayu itu lumay
Malam menyapa ketika kami bertiga sedang kumpul di depan televisi. Vidia datang dengan senyum merekah dan duduk di dekat kami. Tangannya mengeluarkan ponsel dari saku.Aku cuek saja, lalu meraih gelas dan meneguk isinya. Malam ini tidak boleh stres karena bisa berakibat parah pada janin yang baru saja hadir dalam rahimku."Fer, tidakkah kamu berpikir Ardina mempermainkanmu?" Vidia membuka percakapan. Aku menoleh padanya begitupun Naren, tidak dengan Ferdila."Maksud kamu mempermainkan apa, Vid?" Aku bertanya.Ferdila menatapku dalam. Dia memberi isyarat untuk tidak merespon Vidia. Memang magrib tadi aku juga diperingatkan untuk mendiami perempuan berambut pirang itu agar tidak semakin menjadi atau berbuat sesuka hati.Aku memang setuju, tetapi mendengar kalimat itu membuat darah seketika nendidih dalam hitungan detik. Ingin sekali tangan ini menjambak rambut dan merobek mulutnya. Huh, hidup bersama Vidia memang tidak pernah membawa ketena
POV ARDINA💚Aku baru selesai mandi ketika mendengar suara tawa perempuan di luar rumah. Namun, samar terdengar karena gemericik air mengganggu pendengaran. Setelah mengenakan pakaian rumah serta mengeringkan rambut, aku melangkah ke luar kamar dan menoleh ke kiri. Rupanya ada tamu Vidia."Sini, Din!" panggil Vidia. Aku mendekat karena menghormati tamu dan duduk di samping adik madu.Perempuan ini cantik sekali. Wajah dan postur tubuhnya terpahat sempurna. Kulit putih bersih bahkan mengalahkan Vidia. Aku kagum, entah darimana asalnya. Akan tetapi, semoga hati perempuan itu tidak seburuk Vidia.Aku tersenyum ketika dia memperkenalkan nama. Dia Venny dan aku–"Dia ini kakak maduku, Ven. Namanya Ardina." Vidia mendahuluiku memperkenalkan diri. Sudahlah, tidak mengapa selagi masih wajar.Perempuan itu tersenyum ramah. Hingga detik ini aku merasa masih aman-aman saja. Vidia menjelaskan kalau temannya itu baru tiba dari Jepang. Aku m
POV VIDIA MAIDA💚Mereka terlalu bahagia di dalam sana sehingga membuat muak untuk melihat terlalu lama. Aneh sekali kenapa Ardina bisa hamil. Apakah ini yang dinamakan keajaiban?Huh, aku mengembus napas kasar begitu ingat tentang Ferdila yang tidak lagi bekerja di kantor. Untuk apa bertahan? Pertanyaan itu sesuatu yang konyol, tentu saja ingin mengais harta lelaki itu. Aku sangat yakin dia memiliki tabungan di bank."Sial!" umpatku ketia Ferdila menoleh dan langsung melangkah ke dekat televisi.Ada ide lain, aku harus melakukan sesuatu yang tidak disukai perempuan itu bahkan kalau bisa menyebar fitnah agar dicerai dalam keadaan hamil. Pasti ada cara yang paling jitu.Mudah! Aku akan melakukan satu rencana yang sangat besar. Bahkan sudah ada dalam pikiran. Naren pasti akan sering ke sini karena Ferdila tidak lagi sibuk di kantor. Kelihatannya bakal ada usaha baru yang akan dikerjakan."Vidia?" Suara Ferdila mengagetkanku yang