Perempuan itu terlihat menganga. Dia pasti tidak menyangka aku yang melakukan ini semua dalam waktu singkat. Tangannya gemetar, tubuhnya terperosok ke bawah. Aku ikut mensejajarkan diri.
"Kamu tidak suka, Din?"
"Kamu yang melakukan ini?" tanya Ardina tidak percaya.
"Iya, aku yang melakukannya! Aku yang menyuruh orang-orang untuk membunuh Yuni dengan menyiksanya selama dua hari ini!" ucapku lantang.
Air matanya berlinang dan jatuh begitu cepat. Dia mendekati Yuni yang mulai pucat. Aku bangga bahkan sangat puas melihat kedua sahabat berpisah. Ardina memegang pipi itu lembut berulang kali berucap maaf.
"Vidia Maida, kamu tidak hanya berusaha memisahkan aku dari Ferdila, tetapi juga sahabatku tercinta. Lantas, siapa lagi targetmu?!" tanya Ardina lantang.
Mendengar itu aku hanya tertawa riang seperti orang gila karena terlampau bahagia. Target selanjutnya tidak usah bertanya, cukup nantikan kelanjutan surprise ini. Kematian Yuni hanyalah permulaa
Vidia menoleh dengan wajah angkuhnya. Aku menarik sudut bibir, kemudian berucap lembut, "Kamu harus baik-baik di sini, Maduku Sayang."Perempuan berambut pirang itu tersulut emosi. Namun, aku harus segera pergi karena Yuni harus di makamkan lepas asar nanti. Genta yang sudah aku hubungi tadi merasa terkejut karena tidak menyangka maduku akan senekat ini.Hanya singgah mengucapkan itu untuk menambah perih dalam hatinya. Sepasang kaki ini menuntunku menjauh, kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah Yuni yang jaraknya lumayan jauh.Pukul 17.00 aku bersama Genta. Air mata jatuh membasahi pipi. Keluarganya sudah datang semua. Ada yang meraung padahal menurut agama itu tidak boleh. Jika ditegur pasti akan berkata, "Yuni bukan keluarga kamu jadi tidak merasa terluka dengan kepergiannya!""Kok, kamu bisa tahu kalau Vidia bunuh Yuni sampai datangin polisi hari itu juga, Din?" tanya Genta sambil mengangkat satu alisnya."Aku liat dari rekaman CCTV dan langau
"Kenapa harus menangis, Fer? Bukannya senang karena Yuni meninggal dan tidak ada yang membantuku menyingkirkan istrimu itu?"Ferdila semakin mengeratkan pelukannya. Untuk sesaat aku tidak tega memenjarakan Vidia, tetapi jika membiarkannya hidup tanpa hukuman apakah akan sepadan?Yuni telah melakukan banyak hal untukku selama dia hidup dan saatnya aku membalas budi. Rasa sakit merebak ke seluruh tubuh, sunyi pun merajai hati dan aku hanya bisa mengembuskan napas kasar berusaha menerima takdir."Maafkan aku, Sayang. Aku menyesal," lirih Ferdila. Aku membalikkan badan dan menatap matanya dalam. Tidak ada kebohongan di sana."Maafkan aku yang selama ini tidak bisa mengawal perasaan bahkan tidak pernah berlaku adil. Sementara Vidia ada dalam penjara, mari kita buka lembaran baru," lanjutnya lagi.Aku terenyuh dengan kalimat Ferdila. Detik selanjutnya dia mendaratkan kecupan di kelopak mata yang perlahan tertutup. Sesuatu yang sudah lama tidak aku rasaka
Rupanya suasana sudah sepi. Ke mana mereka semua? Ini tidak mungkin halusinasi. Tiba-tiba aku terkejut saat ada yang memegang bahuku, saat menoleh...."Fer! Kaget tau!" pekikku dengan suara tertahan."Ke mana mereka, Din?""Entah.""Seperti ada yang menyelamatkan kita," bisiknya.Namun, aku tidak mengindahkan kalimat Ferdila barusan. Sekarang karena situasi sudah aman, maka lebih baik menikmati makan malam khusus.Ini adalah saat yang paling aku nantikan. Makan berdua dengan Ferdila sementara madu yang paling aku cintai harus tinggal di balik jeruji besi. Ah, aku tidak ingin tahu tentangnya lagi karena bisa merusak mood.Di meja makan sudah terhidang beberapa lauk. Betapa menyenangkannya melihat tangan Ferdila terulur. Dia ingin menyuapiku seperti dulu semasa jadi pengantin baru.Senyuman merekah indah di bibir. Dan ... ada sesuatu yang menempel ketika aku menutup mata. Nikmat sekali, hingga jantung berdegup lebih cepat dari bi
Aku melirik jam yang sudah menunjuk angka sembilan malam. Tadi sebenarnya ingin menemui Genta, tetapi Ferdila bilang aku harus pulang cepat karena sudah tidak tahan.Entah bagaimana kabar lelaki itu sekarang. Dia sulit dihubungi bahkan via sosial media sekali pun. Suara pintu kamar mandi terbuka, aku segera meletakkan ponsel agar Ferdila tidak curiga.Dia baru saja selesai mandi dan berdiri dalam keadaan bertelanjang dada. Jujur saja sebagai perempuan normal aku harus menelan saliva karena ingin memeluk erat tubuh jangkung yang dadanya bidang itu.Aroma sampo juga sabun merebak cepat. Tiba-tiba rasa ingin semakin menyeruak menggemuruhkan jiwa. Ferdila menarik sudut bibir menghampiriku yang hanya mengenakan kimono tipis.Kami duduk saling berhadapan. Malam belum terlalu larut, haruskah secepat ini bahkan ketika aku masih sempat memikirkan Genta?"Ardina ... kamu sudah siap?""S-siap apa?" tanyaku pura-pura untuk mengulur waktu. Sialnya
Aku menelan saliva ketika mendapat pesan Whats*pp dari nomor tidak dikenal. Pasalnya itu bukan pesan singkat biasa melainkan foto bug*l seorang lelaki bernama Genta.Dia tidur di hotel dengan seorang perempuan yang tubuhnya berbalut selimut. Sayang sekali wajah itu diblurnya, mungkin tidak ingin malu jika sampai viral di media sosial.Namun, ada sesuatu yang aneh. Ketika aku mencoba mengabari Genta perihal foto itu, dia tidak aktif sama sekali. Ada rasa khawatir yang menguasai jiwa."Ardina!"Aku terkejut. Ternyata sejak tadi diam-diam Ferdila menatapku dengan pandangan curiga. "Lagi mikirin apa?""A-anu ... mikirin kerjaan, Fer." Lagi aku harus berbohong karena baru baikan satu jam yang lalu."Memangnya kenapa dengan pekerjaanmu?"Aku berdiri, mematikan ponsel dan mengisi daya. Untung saja memang sedang lobet jadi tidak menambah kecurigaan Ferdila. Dia melipat kedua tangan di depan dada."Itu ... apa bisa kalau aku diminta bos
Setelah kusebutkan nomor ponsel sekaligus yang terhubung ke akun Whats*pp. Sambil menggulung handuk kecil di kepalanya aku mulai bertanya, "Satu hal apa yang kamu inginkan?" Dia tersenyum. "Nanti saja aku sampaikan via Whats*pp karena kita sedang di salon tempatmu bekerja. Kalau ada yang mendengar gimana?" Aku diam, hanya berusaha menuruti kata Namira. Dia berkata seperti itu membuatku berprasangka bahwa permintaannya sedikit berat. Entah kenapa aku tiba-tiba mengingat foto Genta dengan seorang perempuan. Di mana dia sekarang masih belum kuketahui juga. Harap-harap setelah ketemu Ferdila nanti dia membahas dan aku akan berusaha agar dia cerita tentang kantor. Napas memburu, aku berusaha menguasai diri karena masih jam kerja. "Kamu cantik. Sudah menikah?" tanya Namira lagi. "Iya, terimakasih." "Punya anak berapa?" Deg! Pertanyaan seperti inilah yang paling dihindari pasangan yang tidak lagi muda usia pernikahannya terutama sang
Namira : Aku ingin kamu bekerja sama denganku. Tidak usah disembunyikan lagi, aku perempuan bayaran. Tidak mudah untuk bisa tidur denganku. Apa kamu mau membantuku mencarikan lelaki yang mampu membayar sepuluh juta untuk satu jam pelayanan?Namira yang cantik ternyata kupu-kupu malam. Bagaimana mungkin aku mencarikan lelaki untuknya sementara tidak ada pengalaman sama sekali. Lagi, ada balasan.Namira : Dan jika menemukan lelaki itu, kamu tidak boleh menyebut namaku. Bilang saja kamu yang ingin ditiduri.Aku : Tidak, aku tidak mau!Namira : Kalau begitu, aku tidur dengan suamimu saja.Sejenak aku tertawa renyah. Perempuan jala*g yang tidak tahu malu. Mana mungkin aku akan menyerahkan Ferdila tidur denganmu meski tidak menutup kemungkinan dia mau-mau saja. Dengan bayaran sepuluh juta satu jam, bagaimana jika sampai tiga jam?Uang sebanyak itu lebih baik untuk modal usaha atau disimpan. Hanya lelaku bodoh yang mau menghabiskan uang sebanyak it
Jam weeker berbunyi nyaring. Aku terperanjat dengan napas memburu. Dengan gerak cepat aku meraih ponsel dan mengecek jam. Sudah pukul sebelas siang.Entah kenapa aku sepulas ini. Ternyata tadi hanya mimpi buruk. Aku sampai khawatir Namira benar bekerja sama dengan Shella.Mengingat kejadian dalam mimpi ada sesuatu di akun Facebo*k. Tanpa mengulur waktu lagi aku membuka aplikasi itu dan mencari kabar hari ini.Mulut seketika menganga karena banyak berita tentang kematian seorang lelaki berinisial G di gudang kosong dekat salon tempatku bekerja. Kabarnya dia gantung diri, tetapi ada bekas luka di sekitar wajahnya.Aku menelan saliva sambil terus berusaha memperbaiki perasaan. Lebih baik hari ini absen bekerja dulu untuk memastiakan siapa lelaki itu. Ferdila sudah pergi ke kantor jadi tidak usah meminta izin. Toh, dia juga tidak akan menduga aku pergi ke lain tempat."Tuhan, kenapa aku yang merasa diteror padahal Vidia yang melakukan kesalahan?
POV AUTHOR 💚 "Jangan pergi atau akan semakin menyakitimu." "Tapi, Ferdila–" "Dia khawatir bukan karena cinta, melainkan rasa bersalah karena telah merobek mulut Vidia. Kamu di sini, tunggu kabar di telepon saja," potong Arnila. Dia tidak ingin adik kembarnya khawatir. Masalah Ferdila salah peluk kemarin biar menjadi rahasiaku sendiri selama Naren tidak tahu juga Vidia maka akan baik-baik saja. Adikku harus bahagia, batin Arnila sedih. Ponsel berdering, ada pesan masuk ke aplikasi hijau. Perempuan tempramental itu mengurangi cahaya layar agar tidak ketahuan kalau ada pesan masuk apalagi jika kabar buruk. Benar saja, Naren mengabari bahwa Vidia meninggal. "Mereka kok lama ya? Gak ada kabar lagi," keluh Ardina. Dia memikirkan suaminya. "Gini, Din ...." Arnila menggigit bibirnya, dia menunduk dalam. Sementara di rumah sakit sedang gaduh. Naren mengurus banyak hal termasuk meminta mereka semua tutup mulut. Pasalnya
POV ARDINA💚Selesai makan malam, terdengar deru mobil dari luar. Aku dan Arnila saling berpandangan. Jantung berdegup cepat tak ubahnya pacuan kuda. Beberapa kali aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan."Tenang, Ardina. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku yang akan menjelaskan semua ini. Kamu diam dan hanya menyahut ketika kutanya. Oke?"Enak sekali menjadi Arnila karena dia terlihat seperti tidak memiliki beban hidup. Lagi pula jika ada yang mengusik tentu kalah dengan satu pukulan telak. Aku memaksa senyum.Pintu rumah terbuka lebar. Naren dan Ferdila melangkah beriringan. Begitu sampai di hadapan kami, keduanya bungkam. Aku bisa menangkap raut wajah suamiku menyiratkan kebingungan."Ardina yang mana?" tanyanya setelah hening beberapa saat."Fer, biar aku jelaskan semuanya. Aku Arnila saudari kembar istrimu. Kita berpisah sudah lama bahkan ketika kamu menikah, tidak sempat hadir." Arnila menjeda kalimatnya.D
POV AUTHOR💚Satu minggu pasca operasi, Vidia sudah merasa sehat sekalipun disibukkan dengan mengganti perban. Perawat menyarankan untuk tidak memakai cermin hingga masa penyembuhan selesai, tetapi dia bersikeras."Baiklah," jawab seorang perawat. Dia keluar mengambil cermin.Sementara Vidia dia begitu penasaran dengan bentuk wajahnya setelah digunting Ferdila. Rasa untuk balas dendam semakin membuncah. Dia merasa tidak bisa hidup tenang sampai Ardina merasakan luka yang sama atau bahkan lebih perih.Rambut indahnya pun sudah hilang. Dia memakai rambut palsu sejak kemarin. Tidak ada yang diizinkan masuk menjenguk walau orang itu mengaku sebagai sahabat dekatnya.Orangtua Vidia tidak tahu kabar ini karena Naren menutup mulut semua orang bahkan memalsukan data agar tidak ada yang bisa mengecek keberadaannya.Beberapa menit menunggu, seorang perawat datang dan menyerahkan sebuah cermin. Namun, sebelum itu dia berpesan agar V
"Gimana keadaan Vidia, Ren? Ada yang tahu perkara ini?" tanyaku khawatir.Kami sudah berada di rumah sakit sejak sepuluh menit lalu. Ferdila terus diam menangisi kebodohannya. Aku terus menghibur dengan dalih Vidia yang salah."Dia ditangani dokter. Tenang saja, aku bisa membungkam mulut mereka semua. Sekarang kamu fokus pada diri sendiri. Beruntung di outlet tadi lagi sepi," jelas Naren."Terimakasih, Ren. Kami berhutang budi padamu," ucapku tulus, lalu kembali duduk di samping Ferdila.Suamiku benar-benar menyesali perbuatannya. Sekali lagi aku menghibur dengan mengalihkan pikiran. Alhamdulillah, dia bisa tersenyum ketika kukatakan akan pergi dari sini jika terus murung.Tangan kekar itu sekarang mengelus perutku yang rata. Dia menasihati calon anak kami agar tidak pernah selingkuh jika sudah lahir. Ferdila sadar, yang mendua kelak akan diduakan dan rasanya seratus kali lipat lebih sakit."Anak kita harus jadi salihah, tidak boleh se
Dua hari sejak kejadian itu Vidia belum juga pulang. Mungkin dia tahu kalau Falen meninggal di hari yang sama jadi ada rasa galau. Entah, ini hanya praduga.Naren pun tidak pernah datang, hanya ada aku dan Ferdila di sini. Outlet warna merah muda sudah terpasang rapi di halaman rumah. Senin lalu mulai buka. Beruntung banyak pelanggan sampai Ferdila sedikit kewalahan."Jualan bakso?" tanya Vidia tiba-tiba ketika Naren sedang sibuk meladeni satu pelanggan terakhir. "Makanya aku malu balik ke sini karena gak mau punya suami tukang bakso. Mana jualnya di depan rumah, ogah banget!""Kalau begitu silakan pergi dari sini!" geram Ferdila."Iya, walau tidak kamu minta aku akan pergi! Dasar lelaki miskin!" makinya sambil melangkah masuk rumah.Dia memang tidak punya malu. Sudah mengatai suami sendiri, tapi dengan santainya melangkah masuk rumah. Aku sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan Vidia.Sebenarnya Ferdila ingin membahas masalah abo
"Kamu menang kali ini, Din!" gumam Vidia, tetapi aku masih mampu mendengarnya.Dia berdiri, memungut ponsel itu dan melangkah masuk kamar. Pintu dibanting kasar. Aku sampai mengelus dada berulang kali sambil membaca istigfar. Semoga saja janin dalam kandungan ini kuat dan dilindungi sama Allah.Naren meminta kami istirahat saja dulu kbawatir pikiran semakin kacau. Ferdila setuju, lalu menuntunku masuk kamar. Sabtu besok dia harus ke tukang kayu untuk mengambil outlet karena memang tidak melakukan pengiriman khusus weekend."Besok, kamu jangan keluar kamar. Nanti bisa dikerjain Vidia. Kalau bisa pas lagi makan aja. Oke?" Ferdila mengingatkan."Iya, Sayang."Aku menatap langit-langit kamar. Entah kenapa ada firasat hal buruk akan terjadi. Namun, suamiku selalu mengingatkan bahwa kita harus berprasangka baik agar jika ada petaka, dia akan pergi.***Pagi menyapa, dua jam lalu Ferdila pergi bersama Naren. Jarak rumah tukang kayu itu lumay
Malam menyapa ketika kami bertiga sedang kumpul di depan televisi. Vidia datang dengan senyum merekah dan duduk di dekat kami. Tangannya mengeluarkan ponsel dari saku.Aku cuek saja, lalu meraih gelas dan meneguk isinya. Malam ini tidak boleh stres karena bisa berakibat parah pada janin yang baru saja hadir dalam rahimku."Fer, tidakkah kamu berpikir Ardina mempermainkanmu?" Vidia membuka percakapan. Aku menoleh padanya begitupun Naren, tidak dengan Ferdila."Maksud kamu mempermainkan apa, Vid?" Aku bertanya.Ferdila menatapku dalam. Dia memberi isyarat untuk tidak merespon Vidia. Memang magrib tadi aku juga diperingatkan untuk mendiami perempuan berambut pirang itu agar tidak semakin menjadi atau berbuat sesuka hati.Aku memang setuju, tetapi mendengar kalimat itu membuat darah seketika nendidih dalam hitungan detik. Ingin sekali tangan ini menjambak rambut dan merobek mulutnya. Huh, hidup bersama Vidia memang tidak pernah membawa ketena
POV ARDINA💚Aku baru selesai mandi ketika mendengar suara tawa perempuan di luar rumah. Namun, samar terdengar karena gemericik air mengganggu pendengaran. Setelah mengenakan pakaian rumah serta mengeringkan rambut, aku melangkah ke luar kamar dan menoleh ke kiri. Rupanya ada tamu Vidia."Sini, Din!" panggil Vidia. Aku mendekat karena menghormati tamu dan duduk di samping adik madu.Perempuan ini cantik sekali. Wajah dan postur tubuhnya terpahat sempurna. Kulit putih bersih bahkan mengalahkan Vidia. Aku kagum, entah darimana asalnya. Akan tetapi, semoga hati perempuan itu tidak seburuk Vidia.Aku tersenyum ketika dia memperkenalkan nama. Dia Venny dan aku–"Dia ini kakak maduku, Ven. Namanya Ardina." Vidia mendahuluiku memperkenalkan diri. Sudahlah, tidak mengapa selagi masih wajar.Perempuan itu tersenyum ramah. Hingga detik ini aku merasa masih aman-aman saja. Vidia menjelaskan kalau temannya itu baru tiba dari Jepang. Aku m
POV VIDIA MAIDA💚Mereka terlalu bahagia di dalam sana sehingga membuat muak untuk melihat terlalu lama. Aneh sekali kenapa Ardina bisa hamil. Apakah ini yang dinamakan keajaiban?Huh, aku mengembus napas kasar begitu ingat tentang Ferdila yang tidak lagi bekerja di kantor. Untuk apa bertahan? Pertanyaan itu sesuatu yang konyol, tentu saja ingin mengais harta lelaki itu. Aku sangat yakin dia memiliki tabungan di bank."Sial!" umpatku ketia Ferdila menoleh dan langsung melangkah ke dekat televisi.Ada ide lain, aku harus melakukan sesuatu yang tidak disukai perempuan itu bahkan kalau bisa menyebar fitnah agar dicerai dalam keadaan hamil. Pasti ada cara yang paling jitu.Mudah! Aku akan melakukan satu rencana yang sangat besar. Bahkan sudah ada dalam pikiran. Naren pasti akan sering ke sini karena Ferdila tidak lagi sibuk di kantor. Kelihatannya bakal ada usaha baru yang akan dikerjakan."Vidia?" Suara Ferdila mengagetkanku yang