"Ganti! Ini sama sekali tidak sesuai dengan kriteria perusahaan."
Sebuah map berisi desain sofa yang dibuat Gian, dilempar asal. Darren menatapnya dengan sorot remeh. Jantung si wanita nyaris berhenti berdetak tatkala mendapat tindakan dadakan yang kesannya sedikit kasar. Mengatur irama napas, Gian pun mencoba menarik udara dalam-dalam."Tapi menurut saya ....""Klien kita kali ini bukan diperuntukkan warung kaki lima, kamu paham itu? Hotel kelas berbintang lima. Dan barusan yang aku lihat hasil yang kamu buat sama sekali tidak bergengsi. Kamu bisa kerja apa nggak?"Wajah Darren sedikit memerah kala Giandra masih berani menyahutinya. Sang atasan belum pernah menemukan sikap yang sama dari karyawan lain. Rata-rata semua bawahannya akan menunduk dan mangut jika dia sedang merevisi atau mengomel.Merasakan aura otoriter Darren, wanita itu memilih membuang pandang ke arah jendela kaca di mana langsung menampilkan gedung Jakarta yang lebih mirMendengar penuturan Karina, bulu kuduk Gian merinding. Diam-diam dia pun membenarkan ucapannya. Apalagi dia tahu betul bagaimana sikap sang atasan terhadapnya. Tidak ada manis-manisnya, sikap Darren dingin yang siap membekukan seluruh pembuluh darahnya. Tatapan Darren selalu tajam kecuali saat peristiwa malam itu terjadi kala sang suami palsu tersebut merenggut kesuciannya. Darren terlihat berbeda dari biasanya. Berg@irah, tatapan sayu dan tutur kata yang lembut sambil mengucapkan maaf berulang kali.Sebuah dehaman mengalihkan perhatian dan pandangan Karina dan Gian ke sumber. Darren dengan melipat tangan di dada, menyoroti seluruh ruang khusus anak desain sebelum memerintahkan. Karina tampak menggigit bibir, khawatir apa yang diucapkan Gian tentang atasan tadi, terdengar olehnya. "Masih banyak yang belum sesuai kriteria dan saya harap kalian tidak patah semangat untuk mencari ide-ide baru. Ingat, proyek kita kali ini bukan untuk kelas bawah. Hotel bintang lima ka
"Apa kamu nggak tahu, arti bahaya yang akan selalu mengintai saat kita lengah?" tanya Darren, dengan mata setengah melotot ke arah Gian yang duduk di hadapannya.Wanita itu hanya menunduk, nyalinya menciut kala mendengar suara penuh penekanan tengah menginterogasinya. Seolah saraf otak sebagian putus, ia kehilangan kemampuan berbicara. Ingin membela diri tetapi ia rasa percuma. Lantaran setiap kali ia mencoba mengangkat kepala dan membuka mulut, pria itu langsung menyela, seakan-akan tak memberi kesempatan untuknya mengutarakan isi hati."Apa kamu tidak berpikir panjang, betapa besar nyali yang kamu punya, membawa pria asing masuk ke dalam sini? Berduaan dengan pakaianmu seperti itu."Gian memejamkan mata, mencoba meredam kekesalan sebab pria itu kembali mengingatnya tentang pakaian yang dikenakan. Memang letak kesalahannya ada di mana? Toh, dia menutup semua bagian vital tubuhnya. Belahan di dada pun tak tampak sama sekali meski lekuk tubuh memang kentara
Darren pun turun tangan sendiri mengecek keadaan mesin tersebut. Rupanya hanya kabel yang terputus karena tergigit oleh semut merah. Lalu, dia mencoba menyambung kembali dan hasilnya mesin itu kembali beroperasi dengan baik."Lain kali kalau ada kerusakan apa pun yang ada di apartemen ini, jangan sembarangan menyuruh orang memperbaikinya. Kamu paham?"Nada itu terdengar sedikit lembut. Darren harus menguasai diri dan menyadari bahwa wanita di depan bukanlah Jasmine seperti dugaannya. Kedua wanita itu mirip wajahnya saja. Sikap dan akhlak jauh berbeda. Baginya, Jasmine itu lembut dan beritikad baik. Giandra sedikit kasar dan terlalu berani. Namun, ada satu yang nyaris tak berbeda yaitu cara Gian bertatap sama dengan mata wanita masa lalunya."Ya, sudah. Kamu mandi dan istirahat."Pria itu memutar badan dan keluar kamar lalu menutup pintu. Gian merasa sedikit heran dengan perubahan sikap itu, pun bisa mengelus dada, lega. Lantaran si atasan tidak me
Mungkin, Darren kecewa dengan jawaban singkat tersebut. Air muka itu berubah sangat kentara. Sikapnya masih terlihat acuh dan masa bodoh. Namun siapa tahu, jika hati dan otaknya menolak untuk menerima kenyataan yang baru diakui Giandra."Sebenarnya kamu tak perlu membuat hidupmu menjadi serumit ini. Demi uang, kamu rela menjatuhkan harga diri lalu diinjak seenaknya ...."Kali ini, gantian Giandra memotong pembicaraan dengan cepat. Dia tak terima dengan kata menjatuhkan harga diri demi uang yang dinobatkan untuknya."Rumit? Setiap orang mempunyai definisi rumit yang berbeda-beda. Jika kutanya, apakah ada kehidupan yang mudah tanpa hambatan? Jika ada, bisakah Bapak tunjukkan jalannya kepadaku?"Nada penuh penekanan yang sengaja dibumbui dengan sapaan hormat 'Bapak'. Dada Gian terlihat naik turun saat mengucapkan apa yang dirasakan sekarang. Belum puas menghardik, dia pun melanjutkan sebelum Darren berhasil membuka mulut dengan salah satu alis yang t
Usai mendengar nada ketus dan kepergian Gian di meja makan tadi pagi, Darren merasa sedikit bersalah. Pria itu merasa khilaf karena tak pandai memilah kata dengan benar. Si wanita pasti sakit hati dengan kalimat yang tak sengaja diucapkannya. Niat bukan meremehkan. Dia hanya ingin mengingatkan, betapa besar harga diri seorang wanita dan tidak perlu melakukan hal seperti itu. Namun, siapa sangka cara penyampaiannya disalahartikan wanita tersebut.Diam-diam sang atasan sempat melirik ruangan Gian sebelum melangkah masuk ke ruangannya. Tentu saja, wanita tersebut tak tahu karena posisi duduknya menyamping dan tampak serius dengan layar yang ada di depannya. Begitu pula waktu jam istirahat, Darren melihat Gian keluar dari ruangan dengan wajah murung. Lalu, dia pun ingin tahu apa yang akan dilakukannya. Dengan langkah pelan, si lelaki tampan membuntuti kaki Gian berjalan. Aneh, wanita itu sepertinya tak tahu kalau ada yang sedang mengikuti dirinya.Namun, Dar
"Bentar, Mas. Itu kayaknya Gian, deh. Ke kiri bentar."Emma yang sudah berada di mobil Darren sore jam lima lewat, melihat si adik madu sedang berdiri di halte dekat kantor. Gian seperti sedang menunggu seseorang, lantaran matanya tampak menoleh ke kanan dan kiri dengan tangan menggenggam ponsel."Gi, kamu mau ke mana?"Kaca jendela diturunkan setelah mobil menepi tepat di mana Gian berdiri. Di sana lumayan ramai, orang-orang sedang menunggu mobil angkutan umum atau mungkin menunggu jemputan. Jam segitu memang sedang rawan macet. Kini mobil mereka berada di jalur khusus yang akan berhenti di halte."Aku mau ke supermarket, Bu."Setelah mendekati mobil, Gian sedikit menunduk dan menjawab pertanyaan Emma. Tak sengaja matanya bertemu dengan mata Darren di balik kemudi. Namun, dia buru-buru mengalihkan ke belakang jok, ada sosok Puspa yang duduk di sana. Gian tahu wanita itu adalah ibu Emma. Hanya beberapa detik saja, pemilik rambut cokelat i
"Kamu biasa di supermarket ini?"Wajah Emma terlihat sumringah ketika bertemu dengan teman yang bisa diajak belanja bersama. Darren memilih menunggu di kafe kawasan sekitar karena tidak suka menghabiskan waktu untuk berkeliling di tempat itu."Iya, Bu. Biasanya supermarket ini suka ada diskon besar-besaran. Kemarin aku dapat iklan kalau ayam panggangnya diskon 50% di jam tujuh nanti."Gian dan Emma menaikkan tangan dan melirik jam serempak. "Tapi, ya, gitu deh, Bu. Siapa cepat dia dapat." Si pemilik hobi menggambar komik itu pun cengar-cengir sambil melempar pandangan ke sekeliling tempat perbelanjaan. Dia berharap pelanggan hari itu tidak begitu ramai sehingga bisa menjadi salah satu orang yang beruntung mendapatkan barang super murah tanpa berebutan.Bukan sok kaya, Emma tidak suka dengan kaidah tersebut yang akan membuatnya saling berdesakan dengan para calon pemenang barang diskon. Dia juga belum terbiasa dengan sistem siap
"Kamu nggak apa-apa, maksud aku pacarmu nggak masalah kalau kamu pernah jadi istri orang?" tanya Emma kala mereka sampai ke apartemen setelah mengantar Puspa pulang terlebih dahulu."Pacar?" Gian yang merapikan barang belanjaannya di lemari, masih belum paham maksudnya."Iya, lelaki yang sering aku lihat mengantarmu pulang. Dia pacar kamu, kan?"Setelah mengerti arti pacar tersebut, Gian tertawa sumbang sembari melirik ke arah Darren yang sedang duduk, berpura-pura fokus dengan ponselnya. Tadi, pria itu tidak mau naik ke apartemen karena khawatir jebakan Emma terulang lagi. Namun, dia harus siaga dan tak akan meminum apa pun yang akan disuguhkan sang istri."Oh, kalau untuk masalah itu, bukankah kita sudah sepakat untuk merahasiakannya? Tidak boleh ada yang tahu. Bu Emma masih ingat, kan?""Iya, tapi kalau nanti di malam pertama kalian, dia tahu kalau kamu sudah tidak virgin lagi. Bagaimana kamu menjelaskannya?"Emma tampak tak p
Gian menghentakkan tangan Darren yang menggenggam tangannya saat mereka sudah menginjak lantai kantor."Kenapa?" Tanpa melepasnya, dia menoleh ke arah Gian sambil terus berjalan menuju lift."Nggak enak dilihat anak-anak. Aku jadi grogi."Tersenyum lebar, Darren malah mengganti posisi tangan, merangkul bahu wanita yang jalan bersisian dengannya."Mas!" Mata Gian semakin melotot."Kamu istri sah sekarang. Kenapa malu? Ini kamu lihat apa yang aku bawa?"Gian menggeserkan bola mata menuju ke arah tangan yang memegang setumpuk kartu undangan. Dia mengerutkan kening lalu mendongak kepala mencari jawaban."Karyawan di sini harus kenal dengan nyonya Lesmana yang baru dan aku akan mengundang mereka semua.""What?"Tanpa memberi kesempatan Gian melayangkan protes, Darren membawanya masuk ke dalam lift bersama karyawan lain yang menyembunyikan rasa ingin tahu. Darren tampak tak peduli sedangkan Gian ber
Pria itu Agung Wirawan yang kebetulan bertemu dengan Lidya di London dan berkenalan. Sudah lama dia tak pulang ke Indonesia sampai akhirnya dia menemukan flash disk rekaman CCTV. Entah siapa yang memindahkan rekaman itu ke dalam flash disk yang tak sengaja dia temukan di meja kerja sang papa.Di sana terlihat jelas Puspa memasukkan sesuatu ke dalam minuman si suami di dapur. Lalu, tak lama pria itu mendatangi meja makan dan meminumnya setelah disuguhkan Puspa. Hanya butuh sepuluh detik, papa Agung kejang dan mengeluarkan buih dari mulutnya. Sementara Puspa melipat tangan ke depan dada dan tak terlihat panik sama sekali. Sampai akhirnya, tubuh suaminya lemas dan melosot ke lantai."Mama membunuh papa?"Setelah menyaksikan sepotong cuplikan di layar laptop, mulut Emma membeo dengan pelan."Jangan panggil dia Mama. Dia bukan mama kita. Mama kita sudah tenang di surga. Wanita keji itu tak lain adalah seekor binatang yang kejam. Demi menguasai semua ha
"Jangan bunuh anakku! Pergi kalian! Pergi!"Suara keras memenuhi ruangan 3x3 meter. Dengan tangan yang terikat, terselip di baju khusus rumah sakit jiwa, Puspa meronta. Terkadang dia tertawa tak jelas ketika melihat sesuatu yang lucu baginya."Apa lihat-lihat? Belum pernah lihat wanita kaya dan cantik seperti aku?" Tawa di akhir kalimat itu membuat bulu kuduk Gian dan Emma merinding. Mereka tak diperbolehkan masuk karena khawatir Puspa akan melukai dan bertindak kasar. Mereka berdiri di depan pintu dengan jendela kaca di tengahnya. Hanya dengan cara ini, mereka bisa melihat wanita yang sudah divonis menderita gangguan jiwa oleh dokter.Seminggu lalu, saat melihat darah mengalir keluar dari perut Irvan, Puspa merasa sangat menyesal. Tidak sengaja telah menghilangkan nyawa darah dagingnya sendiri. Tak lama kejadian itu, beberapa polisi serta Darren masuk ke dalam ruang yang beraroma amis dan tak menemukan Gian.Emma. Wanita itu duduk sambi
Mendengar kabar duka itu, Gian sangat terpukul. Dia tak menyangka bayi dalam perutnya tidak bisa bertahan sampai dia dilahirkan. Namun, dia tahu rasa nyeri di perut semalaman itu sudah memberi isyarat bahwa kondisi si janin sedang tidak baik-baik saja. Tidak ada yang bisa disesali, bukan kesalahan Darren karena terlambat datang menolongnya. Keesokkan harinya, Gian terpaksa menjalankan tindakan kuret yang ditemani Darren. Dokter mengizinkan lantaran wanita itu butuh pendamping yang menguatkannya. Dia bisa tiba-tiba menangis jika mengingat sesuatu hal sedih yang baru terjadi. Suasana hatinya tak menentu dan belum stabil.***"Bagaimana akhirnya Mas bisa menemukan aku di kota itu?"Setelah seminggu keadaannya sudah stabil, Gian memberanikan diri untuk bertanya hal yang ingin diketahui. Dia sudah bisa menerima apapun yang telah menimpa pada calon bayinya. Ikhlas dan pasrah."Selama ini diam-diam aku menautkan GPS di ponselmu dan aku bisa lel
Namun jika dipikir kembali, Gian bisa mengambil semua hikmah yang terjadi. Dengan semua rangkaian permasalahan yang rumit itu, dia bisa kembali ke kehidupan masa lalunya. Bertemu Darren dan menjadi istrinya yang memang tak disengaja. Benar kata orang, skenario Tuhan tidak ada yang tahu bagaimana ending-nya. Akan tetapi dia percaya, semua akan indah pada waktunya.Entah apa yang dijawab Hardi, Gian tak bisa mendengarkannya. Nyeri menjalar di seluruh kepala ketika dia berhasil mengingat kejadian demi kejadian. Menutup mata, dia larut dalam mimpi. Lelah hati dan fisik membuatnya hanya bisa pasrah apa yang akan terjadi selanjutnya. Haus, lapar, sakit di sekujur tubuhnya bergabung menjadi satu paket. Deru napasnya terlihat berirama dan kesadaran itu menghilang.***"Sayang, kamu bisa mendengarkan aku? Bagaimana kabarmu? Apakah kamu membaik?"Perlahan, orang yang dipanggil membuka mata dengan mengerjapkan berkali-kali. Aroma obat khas rumah sakit menero
Kebetulan tadi di jam saat Puspa, Irvan dan Emma mau mengunjungi Gian, Hardi dan Jaka yang bertugas. Di dalam sana, dia melihat Gian terikat tali dan berniat melepaskannya jika ada kesempatan yang tepat. Tak lama, dia merasa alam telah merestui hajatnya. Aksi rebutan senjata tadi benar-benar memuluskan niatnya."Gian, ayo turun!"Pandangan Gian mengedar sekeliling dan tak tahu ada di mana. Tadi sepanjang perjalanan, dia menumpang tidur di punggung pria yang sudah lama dia cari. Akhirnya ketemu di tempat dan waktu yang sangat menegangkan. Hardi kembali menuntunnya masuk ke sebuah rumah kosong. Entah rumah siapa, dia tak tahu. Sedikit kotor dan gelap."Aku haus, Bang. Aku mau minum."Hardi meneliti wajah Gian yang semakin pucat, lalu mengedar sekililing ruangan."Abang nggak punya makanan dan minuman, Gi. Kamu sabar, ya. Setidaknya kamu di sini sudah aman. Kita tunggu sampe subuh. Kalau memungkinkan, Abang akan cari warung terdek
"Irvan! Anakku!"Jeritan itu terdengar keras lalu tak lama suara tangisan menggelegar. Haru dan sungguh kasihan melihat kedua insan tersebut. Ibu dan anak yang saling merebut senjata yang berakhir dengan tembakan di salah satu dari mereka.Membiarkan aksi itu, Hardi, si sosok serba hitam itu terus melangkahkan kaki sambil terus membantu Gian untuk bisa keluar dari ruangan yang mencekam. Dia tak peduli kalau dirinya akan diancam Puspa atau bertemu dengan polisi yang selama ini paling ditakutkan. Ingat, dia masuk dalam daftar pencarian orang."Kumohon, Jaka. Lepaskan wanita ini. Dia ... Dia adalah adik angkatku yang tengah hamil muda. Bukankah kau memiliki istri yang sedang hamil juga? Jadi, aku mohon belas kasihanmu. Pikirkan jika istrimu berada di posisi wanita ini. Tolong, Jaka. Aku mohon!"Dengan sedikit susah payah, Hardi terus berusaha keras agar bisa meluluhkan hati rekan kerjanya. Jaka yang masuk ke dalam ruangan, hendak mencegat Hardi ketik
Suara Puspa keras tetapi bergetar. Kebencian yang mengakar kuat di hati menguar kala wajah mertua kejam itu terbesit dalam pelupuk matanya. Dendam harus segera dia tuntaskan detik itu juga. Saat lengah, dia tak tahu ternyata diam-diam kaki Irvan terus mendekat dengan pelan. Dengan cepat, tangan Irvan menangkap tangan si mama setelah jarak hanya terbentang satu langkah.Lantaran panik dan refleks aksi itu, Puspa tak sengaja menekan pelatuk pistol sehingga menghasilkan suara tembakan yang keras. Peluru itu melesat entah ke mana. Aksi rebut merebut pun terjadi lagi antara Puspa dan Irvan detik berikutnya.Emma yang berdiri di sana, menyaksikan dengan ketakutan yang dia ciptakan sendiri. Hatinya ngilu selepas mendapatkan pengakuan barusan dari Puspa yang belum pernah dia tahu sebelumnya. Dia? Siapa dirinya? Dari mana asalnya? Siapa orangtuanya? Dia belum tahu siapa dirinya sehingga dia bisa tinggal dan dirawat olehnya.Tiba-tiba suara tembakan kedua terdengar lagi yang membuat kaki Emma ki
Kepingan ingatan saat si mertua mengusir lalu membuangnya ke hutan bersama Irvan kecil dan janin di perut. Sayangnya, calon bayi itu harus meninggal di perut karena guncangan demi guncangan saat dia terjatuh. Diri itu diperlakukan kasar oleh kedua bodyguard berjas hitam tersebut.Siapa yang menolongnya saat itu? Siapa yang merasa iba kepadanya? Tidak ada. Dia harus berjuang sendiri menjadi pengemis dan pemulung. Sampai akhirnya, dia terpaksa menjadi pelayan di salah satu bar. Di situlah dia bertemu seorang duda, tengah mencari kehangatan di malam yang dingin. Duda kaya yang mempunyai banyak anak. Jumlahnya berapa, si wanita tak pernah tahu. Memang, Puspa bisa seberuntung itu.Menikah dengan berganti nama dari Merlin menjadi Puspa, si duda menyanggupinya. Setelah menikah, Puspa merengek ingin merombak hidung dan bibirnya di negara ginseng dengan alasan untuk mempercantik diri.Bukan, bukan itu alasan sebenarnya. Dia sudah merencanakan jauh hari untuk membalaskan dendam. Dan, hari itu te