"Heh Wanita mandul, kalau jalan pakai mata!" sarkas bu Riana yang merupakan ibu Eros dengan tatapan bengis. "Ma, jangan teriak-teriak ini rumah sakit," ujar Eriska yang merupakan adik Eros mencoba menenangkan sang ibu. "Sini kamu!" tiba-tiba bu Riana menarik lengan Embun dan menyeretnya ke tempat yang agak sepi. Amarahnya meledak-ledak melihat mantan menantunya itu, apalagi setelah mendengar cerita Jenar semalam. "Kau apakan cucuku? Katanya kemarin kau yang membawanya pergi?" sembur bu Riana. Embun terdiam, bingung harus menjelaskan seperti apa lagi. Sebab, mereka semua tidak percaya dan menganggap dirinyalah sebagai penyebab putri Eros diare. Terlebih, wanita paruh baya itu memang tidak menyukai Embun. Sudah pasti, apa pun yang keluar dari mulutnya akan tetap salah. .Embun tidak menyangka hanya karena sebuah hal kecil yang ia lakukan kemarin justru berbuntut panjang seperti ini. Ia dituduh sana sini. "Jawab! Kenapa diam saja?" Bu Riana mendorong lengan Embun membuat tubuh Embun
Pukul empat sore Embun pulang, sebelum masuk ke dalam ia menarik napas panjang terlebih dahulu, terasa berat ingin melangkah ke rumah yang kini terasa sempit. Sejujurnya ia sangat malas untuk pulang karena tempat itu tidak lagi nyaman untuknya. Embun cukup terkejut mendapati Lintang tengah bersantai seorang diri di ruang keluarga. Ia bertanya-tanya dalam hati, ada apakah gerangan sang suami sudah berada di rumah di jam yang tidak biasanya lelaki itu kembali. Cemburu mulai merasuki hati Embun, ia berpikir Lintang pulang cepat karena merindukan Jasmine dan calon anaknya. Wanita itu tersenyum getir mengenang nasibnya. Jika saja dirinya bisa hamil pasti setiap saat ia akan dirindukan oleh suaminya, betapa bahagia hidupnya andai itu terjadi. Embun menggelengkan kepala menepis bayangan yang tidak mungkin menjadi nyata. Embun menetralkan hati dan perasaan kemudian mendekati suaminya. "Mas kok sudah pulang? Tumben?" Lintang hanya melirik sekilas pada sang istri membuat hati Embun tersay
Embun melajukan mobil menuju rumah peninggalan orang tuanya, malam ini ia ingin menginap di sana. Mencari ketenangan lewat kenangan yang melekat di tempat itu. Air mata Embun tidak bisa berhenti untuk keluar seraya otaknya terngiang-ngiang perkataan Lintang tadi sore. Hatinya sangat sakit. Dari apa yang diterimanya hari ini, kata-kata dari mulut Lintanglah yang paling sakit. Sesekali tangannya menghapus air mata yang membuat pandangan buram. "Kenapa, Mas? Kenapa? Tidak bisakah kau menjadi rumah yang nyaman lagi untukku? Kalau memang tidak bisa, untuk apa aku tetap berada di sisimu," racau Embun sambil menyetir. "Tapi mengapa kau tidak membiarkanku pergi? Apakah hanya dirimu saja yang berhak bahagia dan aku tidak?" tambahnya pedih. Embun menepikan mobil di pinggir jalan karena jarak pandangnya terganggu akibat air mata, fokusnya juga hilang. Embun menangis tersedu-sedu, sesekali ia memukul-mukul dada yang terasa menusuk-nusuk. Tiba-tiba muncul sebuah ide di kepala Embun yang p
Aku pasti menemukan buku itu dan kupastikan kita akan segera bercerai, Mas!" gumam Embun menatap pantulan dirinya di cermin setelah membenahi rasan wajah. "Sudah cukup, Mas! Aku tidak mau lagi bertahan dalam kubangan derita," tambahnya. Embun meraih tas dan keluar dari kamar. Dari anak tangga ia melihat sang suami dan Jasmine sedang sarapan bersama. "Egois!" Embun berdecih dan langsung melesat menuju mobil, tidak ingin bergabung dengan suami dan madunya. "Bisa-bisanya kau mengatakan kau mencintaiku dan menerima apa adanya, sementara yang terjadi sekarang adalah bukti bahwa yang kau katakan tidaklah benar," monolog Embun sambil fokus menyetir. Embun memejamkan mata sejenak menarik napas lalu menghembuskannya perlahan, mengurangi sesak yang bersarang di rongga dada. "Tuhan, beri aku kekuatan."*****Lintang meraih gagang telepon dan menekan nomor yang menghubungkan ke ruangan sekretarisnya. Setelah menutup telepon kepalanya terasa berat. Lintang menggelengkan kepala dan mengerjapkan
Setelah berganti pakaian, Embun turun ke lantai utama dan duduk di ruang keluarga menunggu sang suami menghampirinya. Jantungnya berdegup cepat, hatinya resah hendak mendengar apa yang Lintang sampaikan. Cukup lama Embun menunggu suaminya. Namun, yang ditunggu tidak kunjung datang. Yang datang justru Bi Mar yang membawakan sepiring rujak mangga muda. "Saya tidak minta, Bi," ujar Embun sambil menegakkan badannya. "Tadi, Nyonya Jasmine yang minta, Nya. Saya kira Nyonya adalah Nyonya Jasmine karena Nyonya Jasmine tadi juga di sini sebelum saya pergi ke pasar," papar Bi Mar."Jasmine baru saja pergi, katanya dia akan menginap di rumah papanya.""Kok tiba-tiba ya, Nya." Bi Mar menggaruk kepala yang tidak gatal, sementara Embun hanya mendelikkan bahu. "Apa karena Tuan Lintang sakit, ya," ucap Bi Mar dan langsung menutup mulutnya, Embun langsung mengarahkan pandangan pada wanita paruh baya tersebut. "Sakit? Bibi tahu dari mana? Kan suami saya kerja.""Tadi saya Lihat Tuan Lintang pulang
Beberapa hari kemudian …Lintang sudah sembuh dari sakitnya dan sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Itu semua berkat Embun yang telaten merawatnya. Lintang merasa haru, sang istri sudah ia lukai hatinya, tetapi masih sudih meluangkan waktu untuk merawat dirinya. Andai keluarganya tidak memintanya untuk menikah lagi, tentulah ia tidak akan pernah menduakan wanita setulus Embun. Hati wanita di sampingnya ini sebening namanya. Sore ini, Lintang mengajak Embun pergi ke taman kota menikmati cuaca sore yang cerah. Mereka duduk pada sebuah kursi di bawah pohon. Selagi Jasmine belum kembali pasangan itu memanfaatkan waktu berdua. "Embun, terima kasih, ya," ucap Lintang sambil menggenggam erat sebelah tangan Embun. "Terima kasih untuk apa? Telingaku Sampai sakit mendengarnya." Embun menoleh ke samping menatap sang suami. "Terima kasih karena kebaikanmu.""Memangnya apa yang sudah aku lakukan? " Embun mengernyitkan dahi. "Aku sudah seperti pahlawan saja," lanjutnya tersenyum kecil sambil
"Aku bertahan demi kamu, Mas. Aku khawatir siapa yang akan menemanimu di saat-saat sulit, saat kau tidak berdaya seperti kemarin, tapi mengapa kau tidak sedikit pun memikirkan perasaanku," gumam Embun sambil memperhatikan mobil sang suami yang kian menjauh. Air matanya kembali tumpah karena hati tidak bisa menahan apa yang dirasakan. "Aku seperti orang bodoh dibuatmu, tapi anehnya aku memilih tetap bertahan dalam kebodohan itu. Aku sangat ingin membunuh rasa peduliku padamu, tapi hati ini tidak sanggup melakukannya walaupun selalu kau lukai." Mata Embun menerawang jauh, dadanya terasa sesak. "Baiklah, aku akan tunggu sampai anakmu lahir, Mas. Setelah itu aku akan benar-benar pergi dari hidupmu," ujar Embun sambil menghapus air mata, "aku akan pergi setelah memastikan kau sudah benar-benar bahagia," lanjutnya sambil sesenggukan. "Mulai saat ini, anggap saja aku sedang mengukir kenangan di sisa waktu kebersamaan kita, yang entah suatu hari nanti kau masih mengingatnya atau tidak."
Bel rumah berbunyi, Embun yang sudah berada di ujung tangga pun melesat ke depan melihat siapa yang datang berkunjung pagi-pagi.Embun membukakan pintu dan nampaklah sang suami dan madunya, Jasmine tidak melepaskan belitan tangan pada lengan Lintang.Lintang mengulurkan tangan agar Embun mencium punggung tangannya. Dengan berat hati Embun menyambut uluran tangan itu dan melakukan apa yang sang suami inginkan, kalau dulu dia sangat senang melakukannya, tetapi sekarang berbeda."Kau baik-baik saja," tanya Lintang basa basi."Seperti yang kau lihat, Mas," sahut Embun singkat, sementara Jasmine memutar bola mata malas mendengarnya. Setelahnya pasangan bak perangko itu masuk ke dalam. "Embun, boleh aku meminta tolong," ujar Lintang, menghentikan langkah dan menghadap istri tua."Apa?" sahut Embun, perasaannya mengatakan ada yang tidak beres."Jasmine ngidam sangat ingin memakan makanan masakanmu, bisakah kau memenuhinya?" tanya Lintang, mata Embun melirik madunya yang terlihat lugu di sam
Makan malam tiba, Bu Inggrid mendorong kursi roda suaminya mendekati meja makan. Mereka melihat Jasmine menunggu sendirian di sana.“Lho, Jasmine, Lintang mana? tanya Bu Inggrid sambil mengatur duduk suaminya.“Mas Lintang di rumah Mba Embun,” sahut Jasmine santai.“Ck! Anak itu, dasar keras kepala!” gerutu Bu Inggrid yang dapat terdengar jelas oleh Jasmine. Wanita hamil itu tersenyum tipis tanpa sepengetahuan mertuanya.“Telepon saja, Ma, suruh pulang anak itu biar dia tau tanggung jawabnya,” usul Pak Yolan. Beliau geram dengan tingkah Lintang yang meninggalkan istri yang sedang hamil.“Sebentar, Pa.” Bu Inggrid segera pergi dari ruang makan. Jasmine semakin senang, sedapat mungkin dia menahan bibir agar senyum jahatnya tidak lolos. Dia hanya memasang wajah polos.“Apa Lintang sering seperti ini?” tanya Pak Yolan pada menantu kesayangannya.“Ehm ….” Jasmine terlihat ragu-ragu untuk menjawab, padahal itu hanyalah sandiwara.“Katakan saja, tidak perlu merasa sungkan. Kamu sudah Papa an
“Tidak! Tidak sama sekali!” tukas Jenar berpura-pura. “Kaulah yang melakukan itu!” lanjutnya.“Kau yang memintanya!”“Aku memberimu uang!” sahut Jenar dengan ketus. “Kau saja yang bodoh, andai waktu itu ….” lanjutnya dan terhenti tatkala Jafar menyelanya.“Jika aku tidak pernah melakukan itu, tentu sampai saat ini kau tidak akan pernah memiliki Eros! Kau harusnya berterima kasih, permainamu yang bagus itu takluput dari peranku! Sekarang aku minta sedikit bagian dari apa yang kau capai dalam hidupmu itu dan kau menolak! Dasar tidak tahu diri!” sarkas Jafar.Air mata Embun meluncur begitu saja seiring luka lama yang kembali terbuka saat mengetahui fakta itu. Bibirnya bergetar menahan tangis, sedapat mungkin agar tidak menimbulkan suara.Embun beristighfar berkali-kali di dalam hati menahan sakit yang semakin menghunjam. rasanya pertahannya hampir runtuh. Segera dia menyudahi rekaman dan segera pergi dari cafe itu.Embun menepikan mobil di pinggir jalan karena pandangannya dipenuhi oleh
Embun tetap bergeming sambil menahan rasa yang ditimbulkan akibat sentuhan lembut itu. Tidak bisa dipungkiri tubuhnya sangat mendamba sentuhan itu, tetapi hatinya tidak siap."Sampai kapan kau akan terus berpura-pura tidur, padahal tubuhmu sangat menginginkan aku," ujar Lintang lalu perlahan menyingkirkan selimut yang membalut tubuh sang istri"Aku lelah, Mas. Mau tidur," sahut Embun menarik dan merapatkan selimutnya."Ayolah sayang …." Ucapan Lintang terhenti tatkala ponsel Embun di atas nakas memekik keras. Sang pemilik pun bangkit dan meraih benda pipih tersebut."Ganggu saja!" Gerutu Lintang dengan kesal. Lelaki itu mengusap wajah dengan frustasi karena dirinya sudah benar-benar diselimuti kabut napsu."Ada apa mama menelpon malam-malam seperti ini," batin Embun sambil menatap layar yang belum berhenti berdering itu."Siapa?" tanya Lintang dengan curiga, lantas Embun menunjukkan ponselnya pada sang suami dan berkata, "Mamamu!" Setelah itu Embun menjawab panggilan yang sudah tiga
Embun melayangkan tamparan keras pada pipi Lintang. "Aku tidak serendah itu, Mas!" sarkasnya dengan dada naik turun karena emosi.Lintang bergeming sambil menahan panas yang menjalar di pipi. Dia tidak menyangka sang istri berani melakukan itu padanya. Matanya menatap tajam."Lalu, untuk apa kau menemui laki-laki lain di luar sana selain suamimu kalau bukan untuk selingkuh!" Lintang masih terbawa emosi, terbayang Embun berbincang dengan seorang pria di tepi jalan.Embun terdiam sejenak, rupanya lelaki itu melihatnya dan Eros tadi. "Tidak seperti itu, Mas! Kamu salah paham!" ujar Embun, "lelaki yang kau lihat itu adalah adik iparmu, Mas! Dia membantuku mengganti ban mobil yang kempes," lanjutnya.Amarah Lintang perlahan mereda setelah mendengar penjelasan sang istri. Ia bernapas lega, meski masih tersisa sedikit kecemburuan di hatinya mengingat Eros adalah mantan suami Embun."Memangnya kau dari mana malam-malam sendiri?" Pertanyaan konyo
"Eros?""Ada yang bisa dibantu?" ujar mantan suami Embun tersebut. Embun terdiam sesaat dan nampak berpikir.""Embun." Suara Eros kembali mengejutkan wanita tersebut."Ban mobilku kempes dan aku tidak bisa menggantinya," ucap embun pada akhirnya. Setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya jika dia meminta bantuan lelaki itu, toh di antara mereka sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi. Lagi pula status mereka saat ini mereka adalah keluarga."Baiklah aku akan membantumu.""Terima kasih.""Tidak usah sungkan seperti itu, sudah seperti sama siapa saja," ujar Eros sambil mengikuti langkah Embun ke belakang mobil guna mengambil ban cadangan. Wanita itu hanya tersenyum canggung.Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan antara mereka, mata Embun menatap ke jalan melihat kendaraan yang berlalu lalang, sementara Eros sibuk mengganti ban."Habis dari luar?" tanya Eros memecah kebisuan."Iya," jawab Embun singkat tanpa menoleh ke arah lawan bicara."Sendiri saja? Lintang mana?"Embun berdecak dalam
Embun melangkah masuk ke dalam cafe, pemandangan pertama yang dilihatnya cukup membuatnya terkejut. Lintang dan Jasmine juga berada di sana, mereka terlihat bahagia diselingi canda tawa.Jantungnya berdenyut perih, kakinya terpaku di lantai, ia merasa dibohongi karena Lintang tadi mengatakan baru saja kembali dari rumah sakit. Seharusnya wanita hamil tersebut istirahat di rumah jika memang yang dikatakan sang suami benar. Embun meremas gaunnya karena api kebencian berkobar di dada."Permisi, Mba," ucap seorang pengunjung yang hendak masuk. Embun tersadar ternyata dirinya menghalangi di pintu masuk."Maaf," ucap Embun setelahnya mencari meia untuk duduk. Ia duduk tidak jauh dari mria suami dan madunya."Kenapa kau ha
Jenar menutup pintu setelah mobil Eros menghilang di balik pagar. Bibirnya tersenyum bahagia karena kehidupan pernikahannya yang sempurna, sesuai dengan apa yang pernah diimpikan. Memiliki suami yang tampan dan penyayang, anak-anak yang lucu dan ekonomi yang berkecukupan.Jenar merasa menjadi wanita paling beruntung karena menikah dengan Eros, meskipun telah merebut lelaki itu dari wanita lain. Dia justru merasa bangga atas dosanya dan tidak merasa bersalah sama sekali.Ponsel di genggaman Jenar berdering, tanpa melihat nama si penelpon dia langsung menjawab panggilan itu sambil mendaratkan bokong di sofa. Dia mengira itu adalah Eros."Halo, Mas ...," ucap Jenar dengan lembut."Jenar …." Suara di seberang tel
Lintang berjalan gontai menuruni anak tangga, kepalanya terasa berat memikirkan permasalahan rumah tangga. Dia melihat Embun di ujung tangga yang entah dari mana hendak naik ke lantai atas."Embun!" Lintang mempercepat langkah mendekati Embun, sementara yang dipanggil menghentikan langkah seraya kepalanya mendongak ke arah suara."Aku mau bicara," tukas Lintang dan langsung menarik tangan Embun menuju ke taman belakang."Bukankah kita tadi sudah bicara," ujar Embun sambil mengikuti langkah suaminya. Namun, Lintang tidak menjawab perkataan sang istri. Lelaki itu menghempas tangan Embun kasar setelah sampai di taman."Kau sangat keras kepala!" ketus Lintang. Embun mengernyitkan kening, bingung.
"Aku mau hakku! Kita sudah lama tidak melakukan ini, kan?" ujar Lintang, "kau pasti juga merindukan sentuhanku," lanjutnya."Tidak, aku tidak mau!""Kenapa? Aku suamimu, aku berhak melakukan apapun terhadap tubuhmu," tegas Lintang."Kau minta saja pada Jasmine!""Kau juga istriku! Aku tidak ingin kau merasa seperti tidak memiliki suami. Ini, kan, yang kau mau?""Ini bukan hanya soal melakukan hubungan saja!" pekik Embun dalam hati, Lintang sudah salah mengartikan ucapannya."Tapi, aku sedang datang bulan!"Perlahan cengkraman tangan