Menjelang waktu Zuhur, Ustaz Subhan bersiap untuk mengisi kajian rutin di masjid. Ia sengaja tak membangunkan Shofia yang tengah terlelap. Melihat wajah sang istri yang tampak sangat kelelahan, Ustaz Subhan tak tega untuk mengusik tidurnya.
Baju koko warna navy beserta sarung hitam bercorak garis-garis telah dipersiapkan Shofia sejak pagi tadi. Melangkah menuju balkon rumah, Ustaz Subhan kembali melihat layar ponselnya. Ia harus menanyakan secara langsung hal ini pada Kiyada.
Namun, sayangnya ponsel Kiyada masih tidak aktif. Aplikasi hijau itu menunjukkan jika sang istri muda terakhir aktif masih empat jam yang lalu. Mengembuskan napas kasar, Ustaz Subhan kembali mengamati foto itu. Matanya memicing, mengingat postur tubuh laki-laki yang seperti tidak asing baginya.
“Kamu kok nggak bangunin aku, Mas?” Kehadiran Shofia yang telah mengenakan bathrobe menyentak kesadarannya. Rambut Shofia masih tampak basah tergerai.
“Kamu tidur nyeny
Kiyada keluar dengan membawakan segelas teh juga pisang goreng yang masih mengepulkan asap tipis. Kedatangan sang suami membawa kebahagiaan tersendiri bagi Kiyada. Itu bebrarti keberadaannya masih dianggap meski kini Ustazah Shofia telah kembali.“Abah meminta kamu untuk ikut menjemput beliau di rumah sakit,” ucap Ustaz Subhan setelah ia menuang sedikit teh ke lepek.Kiyada membulatkan mata. Pernyataan Ustaz Subhan yang lugas menunjukkan jika ia tidak ingin dibantah.“Kamu ada jadwal kuliah sore ini?” imbuh Ustaz Subhan. Tatapan matanya yang tajam berhasil membuat Kiyada luluh.Kiyada menggeleng. “Baiklah, saya akan ikut.”Seulas senyum terbit di bibir Ustaz Subhan. Niat hati ingin mengintrogasi Kiyada perihal foto dirinya dengan seorang laki-laki ia urungkan. Sebab tak ingin melihat Kiyada semakin merasa tertekan nantinya.“Kamu cepat siap-siap, ya. Saya tunggu,” instruksi Ustaz Subhan.
Shofia terkesiap dengan penampilan Kiyada yang tak seperti biasanya. Istri muda sang suami itu tampak lebih dewasa dan cantik.“Waalaikumsalam. Mari silakan duduk, Ki.” Susah payah Shofia menetralkan suaranya. Menekan gemuruh yang tiba-tiba hadir dalam dada.Mendapat sambutan yang cukup baik dari Shofia, Kiyada tersenyum tulus. Sejurus kemudian ia mencium takzim tangan Shofia seperti dulu saat menjadi murid beliau di TPQ.Dua wanita yang mencintai satu laki-laki yang sama itu akhirnya bertemu. Setelah suaminya resmi mengucapkan ikrar janji suci ke dua, kali ini Shofia benar-benar harus berhadapan dengan Kiyada. Wanita yang dulu menjadi murid ngaji kesayangannya, kini justru menjadi madunya.Penampilan Kiyada telah berubah 180 derajat dari saat pertemuan terakhirnya beberapa hari lalu. Wanita yang biasanya hanya mengenakan celana jins juga kaos lengan panjang sederhana, kini ia tampil lebih agamis.Make up tipis yang menghias
“Biar aku saja yang menjemput Abah. Kamu jangan terlalu capek," tandas Ustaz Subhan dengan tegas.Shofia bangkit dari posisi berbaringnya. Ditatapnya lekat manik mata sang suami, demi memastikan bahwa tatapan mesra itu hanya untuknya seorang.“Aku nggak apa-apa, Mas. Lagian besok aku kan kembali ke Singapura. Nanti abah kecewa kalau cuma kamu yang jemput beliau.”Bukan tanpa alasan Shofia kekeh ingin ikut menjemput Abah. Ia tak rela jika membayangkan Kiyada yang cantik dan masih muda berada satu mobil berdua dengan sang suami. Meski itu tidak dosa, tetapi hatinya sebagia seorang wanita sedang meminta ia untuk beesikap sedikit egois.“Sayang, aku nggak mau lihat kamu sakit.” Mengerti akan kegundahan sang istri, Ustaz Subhan merengkuh Shofia ke dalam dekapannya.Shofia merasai irama detak jantung sang suami yang teratur. Menghirup aroma tubuh yang maskulin itu untuk mencari kekuatan.“Tuan putri tidak boleh
Jihan duduk di depan ruangan abah dengan gelisah. Tiga kali panggilan telephonnya kepada sang kakak hanya dijawab oleh operator. Sementara ia tak memegang uang yang cukup untuk melunasi semua biaya perawatan abah.Selama ini abah memang tak pernah memanjakan kedua putrinya dengan uang yang melimpah. Beliau benar-benar mengajarkan hidup sederhana, agar hati tak terlalu tertaut pada dunia. Setelah Shofia, sang kakak menikah, barulah abah menyerahkan beberapa hektar tanah miliknya untuk bekal mengarungi bahtera rumah tangga.“Jihan.” Kehadiran Shofia membuat Jihan bernapas lega.Namun, senyum yang diberikah Jihan pada Shofia seketika memudar saat melihat sosok di belakang Ustaz Subhan.“Kakak kenapa ajak dia ke sini, sih?” Terang-terangan Jihan mengungkapkan rasa tidak sukanya dengan kehadiran Kiyada.“Abah yang bilang sama Kakak kemarin.”Jihan mendengus sebal. Sejurus kemudian ia kembali memasuk
“Bagaimana menjalani peran sebagai suami dengan dua istri?” tanya Kyai Zuhair dengan suara berat pada sang menantu.Tak ada siapapun di ruang keluarga kediaman abah. Para santri tengah disibukkan dengan persiapan acara haflatul imtihan. Wajah Ustaz Subhan tertunduk dalam, tak memiliki keberanian untuk mengucapkan sepatah kata pun di hadapan sang guru sekaligus ayah mertuanya.Abah Zuhair menarik napas panjang. “Waktu usia Shofia menginjak tujuh tahun, saya sempat berniat menikah lagi dengan salah satu putri Kyai tersohor di Jawa Timur. Kyai itu sendiri yang meminta saya untuk menikahi putrinya, meski tahu saya telah memiliki keluarga di sini.”Ustaz Subhan sempat tersentak mendengar pengakuan Abah. Namun, ia tetap terdiam dalam posisi duduknya, menunggu lanjutan dari kisah Abah.“Perempuan itu baru satu tahun ditiggal oleh suaminya. Dua anak yang masih balita sangat membutuhkan sosok ayah yang mampu menafkahi dan melindungi.&
Keluar dari ruang keluarga Abah, Ustaz Subhan tertunduk lesu. Entah mengapa kini ia seolah menjelma menjadi laki-laki egois. Tidak mungkin ia menceraikan Shofia, tetapi sudut hatinya juga tak rela melepaskan Kiyada begitu saja.Laki-laki dengan rahang tegas itu beranjak ke kamar Shofia. Malam ini sang istri sengaja ingin tidur di rumah masa kecilnya. Sekaligus menemani abah yang masih belum cukup stabil kondisnya.Dibukanya perlahan pintu jati bercat coklat tersebut. Tampak di dalam Shofia telah tertidur pulas menyelami alam mimpi. Ustaz Subhan berusaha tak menimbulkan banyak gerakan saat naik ke ranjang. Wajah ayu sang istri menunjukkan kelelahan, ia tak ingin Shofia terusik karenanya.Kelopak mata Ustaz Subhan masih enggan tepejam. Meski arah jarum jam telah menunjuk di angka 12, tetapi ia belum merasakan kantuk sama sekali. Entah mengapa kini ia justru terbayang wajah Kiyada.“Maaf, Ustaz, jika masakan saya kurang lezat.” Kiyada tertunduk l
Berada di tengah taman yang begitu indah, Ustaz Subhan tengah duduk seorang diri di bangku panjang. Di ujung jalan terdapat bangunan megah yang menjulang. Seorang wanita dengan gamis serba putih berjalan bersama anak kecil yang begitu menggemaskan.“Ustaz.” Suara renyah Kiyada menghentikan langkah Ustaz Subhan yang hendak menemui bocah kecil di depan bangunan tersebut.Ketika Ustaz Subhan membalikkan badan, di belakangnya tampak Kiyada dengan wajah sedikit sembab.“Kiyada?” Pertanyaan itu hanya tertahan di kerongkongan. Sebab pada kenyataannya saat Ustaz Subhan membuka mata, yang berada di depannya adalah Shofia.Setelah mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya dengan retina, barulah Ustaz Subhan sadar jika yang dialaminya tadi hanyalah mimpi belaka.Beruntung bibirnya belum sempat menyebutkan nama Kiyada. Jika sampai kelepasan, pastilah akan membuat Shofia kian terluka.Suara tarhim menandakan azan Sub
Farhan sama sekali tak berniat menanggapi ucapan Ustaz Subhan. Sebab ada hal lain yang sejak kemarin mengusik pikirannya. Hanya saja Farhan belum menemukan waktu yang tepat untuk bertanya langsung pada Ustaz Subhan.Hari ini jadwal Farhan cukup padat. Pada jam sembilan nanti ia ada janji dengan salah satu dosen pembimbing tesisnya. Sementara ia juga tak enak hati untuk menolak permintaan Jihan.Minggu lalu ia juga telah berdiskusi dengan abah tentang gagasan putri bungsu beliau yang ingin menerbitkan majalah pesantren. Di balik sikap manjanya, Jihan memiliki ide-ide cemerlang untuk kemajuan pesantren.Jika Ning Shofia lebih fokus dengan proses belajar mengajar di pesantren, maka Jihan lebih tertarik dengan pengembangan diri para santri. Meski sampai kini Farhan tahu jika skripsi gadis itu masih terbengkalai. Namun, sesungguhnya jihan memang memiliki kecintaan terhadap dunia tulis menulis.Langkah Farhan memelan ketika sayup-sayup ia mendengar abah d
Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora
Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub
Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan
24 jam sudah berlalu, tapi tak ada perkembangan sama sekali terhadap kondisi Shofia. Ustaz Subhan juga hampir tak beranjak dari sisi sang istri, kecuali hanya keluar untuk makan dan salat. Entah mengapa Ustaz Subhan merasa Shofia kian jauh.“Bagaimana perkembangan istri saya, Dokter?” tanya Ustaz Subhan pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Shofia.Dokter laki-laki paruh baya itu terdiam beberapa saat. Tak ada harapan sama sekali dari raut wajah yang mulai keriput tersebut.“Doakan saja yang terbaik, Pak.”Ucapan dokter itu memang terdengar ringan, tetapi Ustaz Paham apa maksud yang tersirat dari kalimatnya. Sepertinya ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ia tetap berharap keajaiban itu masih bisa terjadi.“Baik, Dok. Terima kasih.”Sudah hampir 2 hari Shofia tidak membuka mata sama sekali. Tubuhnya dipenuhi berbagai macam peralatan medis. Bahkan jika alat-alat penunjang itu dilepas, Ustaz Subhan tidak terlalu yakin jika sang istri masih bisa h
Ustaz Subhan sempat tertegun beberapa saat mendapati Kiyada memutus sambungan telepon secara sepihak. Bahkan tanpa ucapan salam sama sekali. Tak biasanya wanita itu bersikap seperti ini. Apakah sikapnya melarang Kiyada datang ke sini sudah keterlaluan?Meski telah bertahun-tahun hidup dengan Shofia, dan beberapa bulan menjadi suami Kiyada, Ustaz Subhan masih belum bisa memahami keduanya dengan baik. Ia tak memiliki ide apapun untuk membujuk Kiyada, atau sekadar menanyakan sikapnya tadi.Namun, untuk sekarang, tentu kondisi Shofia lebih penting dari apapun. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju ruang perawatan Shofia. Berharap setelah ini akan ada kabar baik terkait perkembangan sang istri.Di depan ruangan yang dijaga cukup ketat itu, Jihan duduk termenung. Wajahnya muram, hingga tak menyadari kedatangan Ustaz Subhan.“Kamu sudah makan, Jihan?” Ustaz Subhan mencoba berbasi-basi. Berharap bisa sedikit mengurai aura kebencian dari wanita itu yang timbul semenjak ia menikah lagi.Jihan
Keadaan Kiyada yang masih terasa lemah setelah kehilangan sang ibu, kini harus kembali menerima kabar kurang baik dari sang suami. Meski kerap merasa cemburu dengan kasih sayang Ustaz Subhan pada Shofia, tetapi Kiyada sungguh tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.Walau bagaimanapun, tanpa perantara Shofia, pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Dan Kiyada harus berjuang sendiri memikirkan biaya pengobatan sang ibu yang cukup menguras dompet. Apalagi mengingat di kampung ini ia hanya memiliki ibu.“Mas, saya ingin melihat kondisi Ustazah Shofia,” pinta Kiyada pada Ustaz Subhan.“Besok kalau keadaannya sudah membaik, kamu saya ajak ke sini, ya.”Kiyada tertunduk lesu. Meski tidak melarang secara langsung, ia paham jika kalimat itu adalah sebuah larangan secara halus. Padahal berada di rumah seorang diri juga membosankan baginya. Kiyada jadi lebih sering teringat ibu dan itu membuatnya terus-terusan bersedih.“Tapi saya bosan di rumah sendirian. Siapa tahu di sana bisa m
Malam itu perasaan Kiyada sungguh bahagia. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa dirinya juga teramat merindukan belaian sang suami. Meski tak banyak kalimat manis yang dilontarkan Ustaz Subhan, setidaknya senyuman dan satu kali panggilan-sayang- sudah lebih dari cukup bagi Kiyada.Namun, sepertinya harapan Kiyada terlampau tinggi. Nyatanya, saat terbangun menjelang waktu Subuh, Ustaz Subhan sudah tidak ada disisinya. Padahal tadi malam ia sempat berpesan untuk dibangunkan salat tahajud. “Mas?” Perlahan Kiyada bangkit dari tempat tidur. Mencari sosok Ustaz Subhan yang ternyata tidak ada di dalam kamar.Perut Kiyada yang semakin membesar membuat ia tak bisa bergerak selincah biasanya. Ia berjalan menuju kamar mandi, barangkali Ustaz Subhan tengah mandi atau mengambil wudhu. Lagi-lagi tak ada siapapun di sana. Suasana rumah terasa sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam juga sesekali suara kokok ayam jantan.Tidak biasanya Ustaz Subhan berangkat ke masjid sebelum Subuh seperti
Sepertinya Aldi masih belum cukup puas dengan jawaban yang diberikan Ustaz Subhan. Sementara suara qiraat penanda akan masuknya waktu Isya sudah berkumandang dari arah masjid. Obrolan keduanya pun mau tak mau harus berakhir.“Kalau kapan-kapan saya silaturahim ke rumah Ustaz, boleh?” tanya Aldi sebelum Ustaz Subhan beranjak.Meski sempat ragu, Ustaz Subhan akhirnya mengangguk seraya tersenyum simpul. Tidak mungkin ia menolak seseorang yang ingin datang untuk bertanya perihal agama. Namun, Ustaz Subhan masih belum tahu apakah Aldi sudah tahu statusnya sebagai suami yang memiliki dua istri.Hingga selesai jamaah Isya dan menempuh perjalanan menuju rumah Kiyada, percakapan singkat dengan Aldi masih terus saja menghantui hati dan pikiran Ustaz Subhan. Bagaimana jika Aldi belum tahu akan statusnya? Pikiran yang berkelana di sepanjang perjalanan, membuat Ustaz Subhan tak sadar jika ia telah sampai di halaman rumah Kiyada. Suasana rumah itu tak lagi sepi seperti sebelum ia berangkat ke masj
Sejujurnya beberapa menit yang lalu Ustaz Subhan telah berbohong pada Kiyada, dengan mengatakan bahwa ia ada urusan dengan remaja masjid setempat. Ia hanya ingin memberi waktu jeda pada hubungan mereka. Sebab sejak perbincangan tadi semua terasa semakin canggung. Entah lah apa penyebab pastinya.Lalu tanpa diduga pertemuannya dengan seorang remaja laki-laki yang mempertanyakan persoalan poligami membuat Ustaz Subhan merasa terusik. Sebenarnya apa yang ingin dipertanyakan, dan mengapa harus dirinya yang mendapat pertanyaan?Benar saja, setelah turun dari salat jamaah, remaja tersebut menunggu di dekat gapura masjid. Ini baru kali pertama Ustaz Subhan bertemu dengan laki-laki itu. Dilihat dari tampilannya, bisa ditebak jika ia bukan seperti penduduk setempat.“Assalamualaikum, Ustaz.” Dengan takzim ia mencium punggung tangan Ustaz Subhan.“Waalaikumsalam.” Ustaz Subhan memasang mimik setenang mungkin.“Sebelumnya maaf, apa saya mengganggu waktunya Ustaz?”Waktu menuju Isya’ masih cukup