Dering ponsel Dani tidak juga membangunkan lelaki yang tengah terlelap itu. Sedari pulang dari pabrik, Dani langsung masuk ke kamarnya dan berbaring. Dia benar-benar merasa malu ada yang mengetahui perbuatan kotornya itu.
"Suara hape kenceng banget, kenapa tidak diangkat?" Halimah menggerutu karena nada dering Dani sedari tadi mengganggu telinganya. Sejak jam empat tadi belum berhenti, hingga kini nyaris jam setengah lima.
Dengan tergesa, Halimah mendatangi kamar Dani. Dia hendak mengetahui ke mana anaknya itu hingga tidak mendengar bunyi dering telepon.
"Ealah ...! Ternyata molor, to, dari tadi?"
"Dan!" Halimah mengguncang bahu Dani pelan.
"DAN!" Kali ini lebih kencang dengan suara yang juga lebih keras.
Dani bergeming, dia tidak menanggapi guncangan sekasar itu.
"DAN!" Tak menyerah, Halimah terus mengulanginya.
"Apa, sih, Bu?" Mungkin dia merasa jengah karena ibunya yang tidak menyerah untuk membagunkannya.
"Ini hape k
"Jadi, kamu beneran nyalahin aku, Mas?!" Tari merasa begitu kesal dengan limpahan kesalahan yang Dani berikan."Maaf ... maaf. Mas nggak bermaksud nyalahin kamu. Mas dipecat dan kini merasa pusing. Maafin aku, Tar." Kesadaran Dani tiba-tiba kembali. Dia menjadi merasa bersalah pada Tari karena menyalahkan wanita itu."Sudahlah, Mas. Aku juga pusing. Kehamilan aku sudah hampir terlihat, tapi belum ada yang secara jantan mengakui."Tari menutup teleponnya. Tentu saja kali ini dia merasa kesal dan terhina. Kenapa Dani malah menyalahkannya.Tari menaiki motornya dan melajukannya. Dia saat ini hanya ingin menemui Fandi, anak laki-laki satu-satunya itu. Dia sangat merindukannya kali ini.Tari memutuskan untuk langsung pulang ke rumah orang tuanya. Meluapkan kerinduannya pada anak yang sangat disayanginya itu. Mumpung kandungannya belum terlihat jelas.Sepanjang perjalanan, Tari hanya bisa menangis. Apa yang sudah dilakukannya kini. Mencintai suami
Dani pagi ini kelimpungan hendak mencari pekerjaan. Dia sudah mandi pagi dan bersiap dengan pakaian hitam putihnya ala para pelamar kerja."Kok kamu nggak pake seragam, Dan?" Halimah nampak heran dengan anaknya itu yang tidak memakai seragam, tidak seperti biasanya."Mau cari kerja, Bu," jawab Dani singkat Dia sudah mengira saat dia mengucapkan itu, pasti ibunya akan mencecarnya dengan beberapa pertanyaan lagi."Kerjaan kamu kemarin gimana?""Dipecat.""Dipecat? kok bisa?" Semakin heran, Halimah berusaha mengorek segalanya dari Dani. Bagaimana dengan uang jatah makan Dani jika dia tidak kerja?"Nyatanya bisa, Bu. Assalamu'alaikum." Tak ingin berdebat lebih lama dengan wanita yang melahirkannya itu, Dani segera berpamitan pada ibunya itu. Meninggalkan Halimah yang masih menyimpan banyak tanda tanya untuk Dani.Dia harus memulai lagi dari awal. Sebenarnya dia tidak memilki arah tujuan kali ini. Dia tahu mencari pekerjaan tid
"Bagaimana bisa dia tahu tentang hal ini?" Reni melihat ke arah pemuda itu. Sementara Yudha melihatnya dengan wajah tak senang."Bram! Gimana kamu bisa sampai di sini?" Tentu saja Reni heran dengan kedatangan Bram. Warung makan ini baru saja buka dan yang tahu hanya orang-orang tedekatnya. Apalagi dia tidak merasa mengundang pria itu."Iseng aja jalan-jalan, terus sampai di sini. Ini milik kamu?" Netra Bram melihat ke sekeliling, pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya.Warung makan Reni ini terbilang cukup sederhana. Dia menyewa sebuah warung di pinggir jalan dengan bangunan sederhana. Seperti warung-warung lainnya, tidak ada yang istimewa dari rumah makan milin Reni ini. Hanya mungkin lebih bersih dan tertata rapi."Lho, Yud! Kamu juga ada di sini?" Bram menghampiri Yudha yang sudah bermuka masam karena interaksi antara Bram dan Reni. Tanpa meminta ijin, pria itu memeluk Yudha seperti teman lama yang sudah lama tidak bertemu.Bagaiman
"Ren!" Kini Reni dan Yanti tengah berada di warung makan yang baru dua minggu ini Reni buka. Belum banyak pengunjung, tapi setidaknya rumah makan ini bisa berjalan meski merangkak. Reni juga tidak berpangku tangan menunggu pengunjung datang. Dia aktif mempromosikan warungnya di media sosial. Hal itu sedikit banyak berdampak pada usahanya.Tapi yang memberikan sumbangsih terbesarnya adalah Yudha. Pria itu sering sekali membawa temannya untuk makan di sana. Meski jarak antara kantor Yudha dan juga warung makan milik Reni lumayan jauh, tapi Yudha selalu bisa mengajak temannya untuk makan di sana. Beberapa ada yang datang lagi membawa keluarganya. Masakan di rumah makan itu dipuji sangat enak. Tidak salah Reni mempercayakan masalah dapur pada ibunya."Iya, Bu!" Reni masih fokus dengan buku di tangannya. Kini dia sedang sibuk menghitung laba ternak kelinci yang dimilikinya. Hanya itu sumber penghasilan utamanya kini. Setelah Dani sama sekali tidak menafkahinya. Dia juga sud
Reni merasa tidak ada yang istimewa dari dirinya, bahkan suaminya saja mencampakannya demi wanita lain. Tapi, kenapa dua orang itu malah seolah sedang bersaing memikat hatinya? Bukan ingin merasa geer, tapi begitulah kenyataannya.Reni hanya kasihan pada keduanya. Dia bukan wanita yang pantas untuk diperebutkan. Terlebih statusnya yang tidak jelas.Setelah sat itu, Reni tak terlalu memperhatikan keduanya jika mereka berada di warung makannya. Reni memilih untuk tetap di tempatnya tanpa menyapa keduanya. Baru jika mereka ingin membayar, maka Reni yang melayani mereka.Yudha merasa gusar jika Reni seperti itu. Semangat hidupnya kini hanya Reni. Yudha sendiri tidak mengerti kenapa dirinya tidak bisa melupakan wanita itu. Meski sudah bersuami, bahkan kini tengah mengandung. Jika ada yang mengatakan dia bodoh, mungkin memang benar. Tapi, dia tidak bisa mengingkari perasaaannya.Tak lama setelah Reni mengucapkan hal itu, Yudha segera kembali ke tempat ker
Dan tengah bersiap untuk berangkat kerja. Bukan lagi dengan pakaian seragam dan wangi seperti biasanya, tetapi hanya mengenakan kaos dan juga celana panjang kumal. Kehidupannya berubah begitu drastis kali ini. Biasanya dia akan bekerja di bawah atap dan tidak kepanasan, tidak dengan sekarang. Dia harus bergelut dengan debu dan cahaya matahari. "Dani berangkat dulu, Bu!" Dani berangkat dari rumahnya. Semenjak diberhentikan dari pekerjaannya, Dani kini bekerja serabutan. Demi bisa makan dan juga memeriksakan kandungan Tari. Bahkan istri sahnya tidak dia pedulikan. "Iya. Hati-hati." Halimah sedang menyapu ketika Dani berangkat kerja. Dia menjadi pekerja bangunan sekarang. Itu lebih baik dari pada tidak bekerja. Beginilah hari-harinya sekarang. Gajiannya hanya cukup untuk makan dan juga periksa kandungan Tari tiap bulannya, juga untuk rokok tentunya. Bahkan Dani kini melupakan nafkah untuk istri sahnya. Dan tidak pernah menengoknya sekali pun.
Dani ingin segera menghampiri kedua orang yang telah membuatnya sakit mata. Jalanan lumayan rame jadi dia tidak bisa langsung menyeberang. Kedua orang yang ada di seberang sana telah masuk ke dalam mobil. Dani masih harus menahan amarah saat ini.Ingin rasanya melabrak kedua orang yang menurutnya tidak tahu malu itu. Sepertinya kaca di rumahnya kurang besar, jadi dia tidak bisa melihat ke diri sendiri.Setelah jalanan lumayan sepi, Dani segera berjalan menyeberang jalan untuk menemui Reni dan laki-laki itu. Namun sayang, saat dia hampir sampai mobil itu telah melaju dan tidak mengindahkan teriakannya."REN! RENI!""Tin! Tin!" Dani segera menyingkir karena mendapat klakson dari arah belakang."SIAL!" teriaknya. Tak ada yang menggubrisnya karena dirinya kini tengah berada di jalanan. Dia terlihat begitu marah melihat Reni tertawa bersama lelaki lain. Mungkin juga iri atau dengki, hanya hatinya dan Tuhan yang tahu.Dani kembali meny
Sebuah motor metik terparkir di sebuah halaman rumah sederhana. Hari sudah gelap saat Dani sampai di rumah itu. Dari luar, terdengar suara gelak tawa dari arah ruang tamu. Rupanya Reni tengah berkumpul bersama Zaki dan kedua orang tuanya.Jika jam segini, mereka telah berada di rumah dan menikmati waktu mereka. Warung makan hanya buka sampai jam 4 sore. Tak mau Reni berjualan hingga malam, karena itu sangat membuatnya lelah."Assalamu'alaikum.""Wa'laikumsalam," jawab keempatnya serentak. Raut wajah Reni mendadak mendung saat melihat siapa yang datang. Setelah berbulan-bulan tidak kelihatan batang hidungnya, mengapa suaminya itu tiba-tiba ingat untuk mengunjunginya? Tak hanya Reni, Bahkan kedua orang tuanya pun juga merasakan hal yang sama.Hanya Zaki yang bersikap wajar karena tidak tahu apa pun urusan kakaknya."Eh, Mas Dani! Jam berapa dari rumah, Mas?" Zaki berusaha beramah tamah dengan kakak iparnya itu. Zaki maju ke depan dan menc
Reni memasak makanan yang menjadi ciri khas di rumah makannya, rica-rica kelinci. Selama ini memang ibunya yang memasak di sana, sementara Reni kembali ke rumah Dani. Namun, saat Reni kembali, dia memutuskan untuk memasak sendiri, kasihan Yanti katanya. Kondisi Yanti semakin lemah, jadi dia tidak boleh capek-capek.Hidangan sudah siap, dia bersiap menyajikan untuk Bram dan Yudha. Berkali-kali dia menarik napas karena kali ini dia berniat untuk membicarakan hal ini dengan keduanya. Dia harus tegas agar keduanya tak terluka."Makanan sudah siap, silakan dimakan." Reni tersenyum ke arah dua pria yang masih saling menatap dengan tatapan yang tak suka. Sungguh Reni sangat merasa bersalah kepada keduanya. Apa dia yang jahat karena seolah memanfaatkan mereka berdua?Reni meletakkan masing-masing satu porsi di hadapan Bram dan juga Yudha. Setelah itu, dia menarik kursi di antara keduanya."Makan dulu! Ada yang pengen aku omongin." Reni berusaha sesantai mungkin,
Bram tak banyak berharap pada Reni. Dia tahu jika rasa sakit Reni memang bisa membuatnya trauma. Mungkin dia yang terlalu terburu-buru hingga membuat Reni merasa takut."Aku antar ke mana ini, Ren?""Ke warung aja, Bram. Masih ada urusan di sana."Lebih baik tak memberi harapan untuk keduanya. Setidaknya itulah yang ada di pikiran Reni saat ini. Dia harus sangat berhati-hati kini. Karena hidup tak melulu soal cinta. Hubungan pun bukan hanya suami istri. Ada hubungan yang lebih luas dari pada itu."Oke!" Bram pun menerima penolakan Reni kali ini. Tak mudah bagi seorang wanita yang telah diselingkuhi, membuka hatinya untuk lelaki lain. Dan itu terjadi pada Reni. Lama belum hamil, disalahkan oleh orang-orang sekitar.Saat hamil, malah dia diselingkuhi oleh suaminya. Di samping itu, dalam kehamilannya, suaminya itu malah semakin melukai hatinya. Berjuang sendiri hingga hamil besar, tanpa kasih sayang dan juga dukungan suami. Bahkan saat det
"Kamu kalau lagi ngambek cantik, deh.""Gombalanmu udah nggak mempan ke aku.""Aku nggak nggombal, sumpah! Mau nggak jadi istri aku?"Reni tercengang mendengar apa yang dikatakan oleh Bram barusan. Wanita itu melongo, nggak nyangka jika lelaki yang berprofesi sebagai pengacara itu memiliki rasa untuknya. Persoalan dengan Yudha saja sudah membuatnya merasa sangat pusing, kini ditambah dengan Bram.Apa ini artinya, Bram sedang melamarnya dengan tidak romantis? Di dalam mobil, tanpa cincin, tanpa candle light dinner yang romantis. Tapi, bukan itu sebenarnya ini permasalahannya. Reni belum sembuh benar hatinya saat ini. Masih ada trauma yang menghinggapi hatinya."Kenapa kamu, Ren?" Melihat Reni yang malah bengong, membuat Bram penasaran. Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh wanita di sebelahnya."Uhm ... Bram." Reni berusaha mencari kata yang tepat untuk menjelaskan bahwa dia belum bisa menerima Bram. Tapi, dia juga bingung karena Bram telah mem
Setelah proses yang panjang, akhirnya Reni dan Dani resmi bercerai. Meski awalnya Dani masih keukeuh ingin mempertahankan pernikahan ini, namun Reni mengantungi banyak bukti.Dengan bantuan dari Bram, akhirnya Reni dapat lolos juga dari jeratan Dani. Hubungan toxic yang hanya menyakiti dirinya sendiri. Hubungan yang sehat tak akan menyakiti."Puas sekarang kamu, Ren. Misahin anak sama ayahnya?" Dani menghampiri Reni di depan pengadilan agama. Reni saat ini tengah bersama dengan Bram. Dani melirik ke arah pengacara itu dengan muka kesal. Dia tak mungkin menyewa pengacara, duit aja nggak punya. Terlebih dia juga tengah memikirkan tuntutan dari keluarga Tari tentang uang yang digunakan untuk operasi. Kerjaan aja nggak pasti, bagaimana dia bisa dapat uang?Reni memutar bola mata malas, menghadapi Dani harus berkali-kali menghela napas panjang. Sepertinya lelaki macam itu akan sulit untuk melihat keburukannya sendiri."Maaf, Mas. Tidak ada kepentingan lagi antar
Reni tersenyum getir menanggapi permintaan Dani. Dia tidak mungkin mengubah keputusannya. Hatinya telah tertutup bagi Dani dan sama sekali dia tidak berpikir untuk membukanya lagi."Memulai lagi, Mas? Jangan buat aku ketawa. Setelah semua yang telah kamu perbuat padaku, kamu ingin kita memulai lagi? Jangan bikin aku ketawa, Mas." Yang ada di hati Reni kini hanya rasa benci dan juga kecewa, mana bisa dia harus memulai semuanya lagi dengan Dani? Itu hal yang sangat menakutkan baginya. Atau lebih seperti sebuah trauma yang amat sangat mencekam.Reni melewati kehamilannya seorang diri. Dani hanya sesekali saja berada di sampingnya. Dan itupun tak menampilkan tanda-tanda jika Dani menyayangi anak yang ada dalam kandungan Reni. Tak pernah sekali pun Dani mengelus perut Reni, mencoba berinteraksi dengan bayi yang dikandung Reni. Dan kini Dani dengan tidak tahu malunya meminta Reni untuk memulai semuanya dari awal?"Ren! Apa kamu nggak mikirin anak kita? Dia masih butuh sosok
Setelah kepulangan Reni ke rumah orang tuanya, Dani terus saja menghubungi Reni. Dia selalu berbicara ingin memulai lagi semuanya dengan Reni. Tapi, Reni masih keukeuh dnegan keputusannya. Dia sudah enggan bertemu dengan Dani."Ren! Dani datang dengan kedua orang tuanya ingin bicara sama kamu." Yanti masuk ke kamar Reni yang sedang menyusui bayinya. Reni membuang napas panjang kala mendengar nama Dani."Nanti, Buk. Aku masih netekin si Rey." Sebenarnya sudah sangat malas Reni berhadapan dengan keluarga itu. Tetapi, dia masih menghormati kedua orang tua Dani, meski mereka tidak pernah berlaku baik padanya.Yanti hanya menuruti anaknya. Dia tidak enak hati jika mengusir besannya. Walau bagaimanapun, mereka masih orang yang memiliki unggah ungguh."Sebentar, Reni sedang menyusui Rey." Yanti ikut duduk di ruang tamu, menemani tamunya. Dia sendiri sebenarnya geram dengan perilaku Dani dan juga orang tuanya. Jika orang tua yang benar, anaknya selingkuh, mereka akan men
Setelah Wahyu berbicara dengan ibunya, akhirnya Tari diperbolehkan untuk sementara tinggal di situ. Dan Dani diminta untuk datang ke rumah keluarga Tari untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.Beberapa hari yang lalu, Tari melahirkan secara sesar. Jika dihitung, itu selang dua hari dari waktu Reni melahirkan. Mungkin bisa dikatakan itu sebagai untung double bagi Dani. Atau mungkin kepusingan berlipat bagi lelaki tak memiliki pekerjaan tetap seperti Dani. Hanya modal rayuan dan juga modal dengkul, lelaki tamak itu ingin memiliki istri lebih dari satu. Minus akhlak maupun harta, tetapi begitu serakah.Lelaki baik tidak akan mengkhianati istrinya, begitu pula wanita baik. Dia tidak akan datang di antara rumah tangga orang lain. Apalagi jika hanya dicurhati oleh lelaki bersuami tentang masalah rumah tangganya. Jika dia belum mengantungi surat cerai, itu tandanya dia masih lelaki beristri.Sekarang mereka berdua sama-sama pusing. Tari dengan statusnya, sedang Dani
Tari menangis sejadi-jadinya. Dia tak menyangka ibunya akan menyalahkannya seperti itu. Dia berpikir jika ibunya akan memeluknya dan memberinya kekuatan. Tapi nyatanya, jauh panggang dari pada api. Bahkan tak ada satu pun yang terlihat membelanya kini. "Bu, aku anakmu kenapa Ibu malah menyalahkanku?" tanya Tari dengan masih terisak. Ibunya membuang muka. Dia merasa kecewa dengan anaknya itu. "Kamu mau tahu kenapa?" Ibu Tari ikut terisak bersama dengan anaknya. Rasanya sakit sekali hatinya kali ini. Kenapa anaknya sendiri sekarang yang merusak rumah tangga orang lain. "Karena ibu pernah berada di posisi wanita itu. Seorang istri yang diselingkuhi suaminya dengan wanita lain." Semua orang yang ada di ruangan itu kaget, kecuali paman Tari dan juga ayahnya. "A-apa?" Tari melihat ke arah ayahnya yang tengah menunduk. Sepertinya ayahnya malu kala aibnya di masa lalu akhirnya terbongkar saat ini di hadapan anak-anaknya. Lutut Tari seketik
Tari menunggu Wahyu dengan perasaan gelisah. Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya. Dia takut tapi juga tak bisa melakukan semua itu sendiri. Dia butuh orang lain saat seperti ini.Tari berbenah dengan perasaan hancur. Dia yang awalnya mendambakan masa depan bersama dengan Dani, harus menelan pil pahit karena sikap Dani yang plin plan dan juga sikap keras kepala Reni yang tak mau dimadu.Air mata terus meleleh membasahi pipi. Semakin deras hingga Tari seakan lupa cara untuk berhenti. Dia tak bisa seperti ini. Awalnya sudah salah, sampai kapan pun pasti tetap salah.Saat membuka lemari dan memberesi bajunya, Tari menemukan beberapa baju milik Dani. Dia mendekat sejenak lantas memasukkannya ke kantung yang berbeda."Ini ijazah sama akte Mas Dani enaknya gimana?" Tari ragu, Dani memang sudah berencana kabur dengan Tari setelah Tari lahiran. Tetapi akhirnya Dani kembali plin plan dan memilih untuk kembali pada Reni. Hancur sudah semua harapan