Di tepi pantai itu Rayyan dan Zahwa tengah asik bermain mobil pasir yang baru Zahra belikan di penjual mainan yang berjejeran di pinggir jalan sebelum mereka tiba di sini. debut ombak itu menjadi pemandangan indah dan memanjakan mata Zahra saat ini, dan membuat hati serta pikirannya jauh lebih baik. Ia memandang lurus kedepan, menikmati suasana yang lama tak ia rasakan. "Kamu yakin mau tinggal di Lumajang, Za? Lumayan jauh loh kalau dari rumah Neneknya anak anak.""Ya biar jauh, Res.""Loh, jadi mereka belum tahu kalau kamu sekarang tinggal di sini?""Belum. Eum. Tapi mungkin sudah tahu kalau aku sudah pergi dari rumah. Kemarin ibuk sempat telfon-telfon tapi aku abaikan.""Lah... Kenapa? Bukannya dengan mereka kamu tidak ada masalah? Baik baik saja kan hubunganmu dengan mertua?""Ya... Baik baik saja. Cuma aku belum siap saja jika di tanya ini itu. Aku sedang ingin sendiri. Aku ingin menikmati dulu hidup tenang tanpa ribut-ribut atau apapun itu lah. Kau lihat mereka?" ucap Zahra semb
"Bundaaaaaa, ini Zahwa nangi pula pula," ucap Zahwa dengan lucunya. "Oooh gitu... Iya terus kenapa pula pula menangis segala? Hem?""Ini puti istananya lagi nangis.”" Kenapa nangis?? ""Kalena pangelannya bawa tante ninja yang jahat. Jahatin putrinya sampai putrinya nangis.""Oooh, gitu... Hihihi," ucap Zahra sembari mengusap kepala keduanya. Rasanya ngilu mendengar penuturan anaknya yang menurutnya dia terinspirasi dari apa yang terjadi belakangan ini. "Tenang saja putri, pahlawan akan segera datang dengan menyelamatkanmu." ucao Rayyan sembari memperagakan nya. Keduanya kembali melanjutkan permainannya. Kali ini di temani oleh sang bunda. "Sayaaang. Tapi ini sudah sore loh, pulang yuk besok main lagi, kan dekat.""Yaaah Bunda. Ini belum sore bund. Masih agak sore. Belum sore beneran. Dikit lagi ya. Dikiiit tok ya?" ucap Rayyan. "Oke, lima belas menit." ucap Zahra, dan keduanya kegirangan. Tak pernah Zahra lihat sebelumnya, anak anak segirang dan sebahagia ini. "Bunda... Kenapa
'anakku kena imbas atas tindakan bo dohmu!' tulis pesan itu. Lalu foto profil kembali tak terlihat karena Zahra langsung memblokir kembali nomor Dimas. "Aaaarrrghhh. Zahra, mana bisa begitu!" umpatnya kesal."Sa... Kamu mau kemana? Kok bawa tas?""Keluar lah, cari kerja. Mas... Duit kita sudah habis. Keperluan semakin banyak. Belum lagi buat periksa ini itu. Sementara kamu aja hanya diem dirumah setiap hari cuma mandangin foto mbak Zahra. Emangnya foto mbak Zahra doang bisa di makan? Dah lah... Terserahmu mas, capek aku lihat hidupmu!" ucap Nisa. "Sa? Emangnya kamu mau kerja dimana? Kamu lupa, ijazahmu masih di tahan di kampus!" Seketika Nisa menghentikan langkahnya mengingat hal itu. Lalu ia berbalik badan dan membanting tasnya di lantai. "Aaaargh, kenapa sih hidupku gini banget!?" Umpatnya kesal. Kemudian ia kembali ke kamarnya. Dan di ikuti oleh Dimas. "Sa... Sabar ya, kamu tenang dulu. Mulai besok aku akan cari kerja lagi.""Ya gimana aku harus tenang mas, aku dari siang mint
Akhirnya dengan berat hati, mereka berdua keluar dari kontrakan itu. Keduanya kini kembali luntang-lantung ber jam-jam di jalan tanpa tujuan. Berbeda dengan sebelumnya, kini Nisa lebih banyak diam. Tanpa tanya mau kemana. "Kita pulang kerumah ibuku dulu aja ya Sa,""Terserah," jawab Nisa singkat. Dimas kini mencari angkutan umum yang akan membawanya ke rumah bu Sukma. Dimas tahu, pasti ibunya akan marah besar dan ada kemungkinan mereka tidak diterima. tapi Dimas akan mencobanya dulu. Sebab tak ada lagi temapt yang bisa ia harapkan sekarang untuk tinggal. "Ke Jalan XX ya pak." ucap Dimas pada sopir itu. Di dalam mobil taxi juga Nisa masih terdiam. Ia hanya memandang keluar jendela mobil itu. Menatap gemerlapnya lampu jalanan menuju rumah yang selama ini ia hindari. Terus terang hatinya juga sakit dengan perkataan perkataan yang selalu Bu Sukma utarakan walaupun banyak benarnya. "Sa. Tumben kamu diam aja? Kamu kenapa? Ada yang sakit? Kamu capek ya?" tanya Dimas. Tampaknya Dimas s
"Mas, kata ibuk boleh tidur disini. Tapi tidak boleh tidur di kamar mbak Zahra. Ada kamar kosong di belakang boleh ditempati. Kamar... Pembantu sih," ucap Dinda pelan.Dimas dan Nisa saling pandang, kemudian keduanya mengangguk.Iya, bu Sukma memang orangnya tidak tegaan. Walaupun dia galak, tapi atas dasar kemanusiaan, dia masih bisa menolong orang, walaupun kadang dia harus berperang dengan hatinya sendiri."Kamar ini mas, nggak boleh ke kamar atas. Kata ibuk itu hanya boleh di tempati mbak Zahra""Ya udah, nggak apa-apa Din. Makasih ya. Mas bersihkan dulu kamarnya."Akhirnya bu Sukma mengizinkan mereka tinggal sementara. Walaupun di kamar yang lebih sempit dari semua kamar di rumah ini. Tapi paling tidak, mereka kini punya tempat untuk berteduh."Maaf ya Sa, jika sikap ibu masih belum baik di hati kamu.""Nggak apa mas. Aku ngerti kok. Posisiku ini memang banyak di benci orang. Udah resiko." ucap Nisa sembari menepuk-nepuk bantal yang lumayan berdebu itu. Kamar ini dulunya kamar pe
"Lho ya iya mbak. Ngapain juga laki model kayak gitu di piara. Rugi. Malah bikin penyakit aja tiap hari makan ati. Udah bener itu mendingan kasihin aja sama pelakornya. Laki laki yang baik dan tulus masih buanyaak. Ngapain nyiksa diri.""Bener banget, mbak. Aku lo udah ngalamin juga mbak. Sekali ketahuan selingkuh. Buang langsung aja, biar di pungut pelakor. Dah lah... Wanita mandiri kayak mbak Zahra itu nggak butuh laki-laki. Apalagi kok yang begitu.""Iya mbak Zahra. Sudalah biarin. Mbak Zahra pasti bisa sukses tanpa dia. Jauh lebih baik tanpa Dia.""Amiin. Hehe, iya bu. Oh ya, maaf Zahra tinggal dulu antar anak-anak sekolah ya. Nanti kalau mau nambah lagi ambil sendiri dulu nggak apa ya bu ibu.""Loh loh loh... Ini di tinggal mbak Zahra? Kalau ada apa-apa yang hilang gimana, hayo??? Kami ndak mau di salahin lho ya, tutup aja deh mending mbak... Lebih aman.""Iya mbak Zahra, tutup aja biar kita-kita juga pulang.""Lho... Mau tutup? Saya kan baru mau makan?" ucap salah seorang bapak-
Tok tok tok."Mas, di suruh ibuk sarapan." ucap Dinda dari balik pintu.. "Ya, bentar lagi,""Ya udah ayo sarapan aja dulu. Kasihan dia kalau Uminya nggak makan." ucap Dimas sembari memegang perut Nisa yang masih rata. "Nggak lah. Kamu aja, kan kamu yang di panggil mas. Aku siapa?""Astaga... Sa. Udah deh jangan kayak anak kecil. Ibuk itu udah baik mau nampung kita, masih mau masakin kita juga. Kalau sikap ibuk masih seperti itu ya wajar, ibuk masih kecewa pastinya." ucap Dimas. "Bela aja terus ibumu.""Ck." Dimas mengusap kasar kepalanya."Ya udah terserah. Nanti kalau lapar makanan udah habis jangan nyalahin orang. Kamu sendiri yang nggak mau makan.""Hm"Setelah Dimas keluar, Nisa hanya duduk diam di depan meja rias sembari memandang dirinya dari pantulan cermin."Apakah ini aku?? " gumamnya."Apa aku sejahat itu?""Arrrtgh!!! " umpatnya frustasi. Kemudian ia meraih benda pipih yang sempat ia lemparkan di atas ranjang. Ia pun merebahkan tubuhnya sembari membuka aplikasi biru berga
Selain menjadi ibu, kini tugas Zahra rangkap menjadi seorang Ayah juga. Tugasnya merawat anak-anak, sekaligus mencari nafkah. Zahra memang menutup semua akses untuk Dimas. Yang terakhir tadi pagi ia sempat membaca inbok masuk dari akun seorang yang baru dia tahu itu akun Nisa. Dia juga langsung blok akun tersebut. Kemudian memprivate kembali akunnya."Mbak, ada soto?" tanya seorang pelanggan yang baru datang."Eh, Maaf belum ada ibu, besok deh Zahra bikin sotonya. Soalnya warungnya baru buka hari ini bu, belum berani masak banyak-banyak. Besok ya, Zahra Redy kan.""Oh ya udah. Kalau gitu, ada menu apa aja ini mbak?""Ini ada pecel, ada rawon, rujak cingur, sama Sego Tumpang.""Ya wis mbak. Sego tumpang we ya. 2 porsi.""Minumnya?""Es teh aja deh, seger.""Baik bu, sebentar ya, zahra siapkan dulu."Tak berapa lama Zahra sudah datang dengan membawa dua porsi sego tumpang."Heeem, baunya uenak ini kayaknya," ucap pelanggan Zahra. "Alhamdulillah, semoga cocok sama Masakan Zahra ya buk.
Selain menjadi ibu, kini tugas Zahra rangkap menjadi seorang Ayah juga. Tugasnya merawat anak-anak, sekaligus mencari nafkah. Zahra memang menutup semua akses untuk Dimas. Yang terakhir tadi pagi ia sempat membaca inbok masuk dari akun seorang yang baru dia tahu itu akun Nisa. Dia juga langsung blok akun tersebut. Kemudian memprivate kembali akunnya."Mbak, ada soto?" tanya seorang pelanggan yang baru datang."Eh, Maaf belum ada ibu, besok deh Zahra bikin sotonya. Soalnya warungnya baru buka hari ini bu, belum berani masak banyak-banyak. Besok ya, Zahra Redy kan.""Oh ya udah. Kalau gitu, ada menu apa aja ini mbak?""Ini ada pecel, ada rawon, rujak cingur, sama Sego Tumpang.""Ya wis mbak. Sego tumpang we ya. 2 porsi.""Minumnya?""Es teh aja deh, seger.""Baik bu, sebentar ya, zahra siapkan dulu."Tak berapa lama Zahra sudah datang dengan membawa dua porsi sego tumpang."Heeem, baunya uenak ini kayaknya," ucap pelanggan Zahra. "Alhamdulillah, semoga cocok sama Masakan Zahra ya buk.
Tok tok tok."Mas, di suruh ibuk sarapan." ucap Dinda dari balik pintu.. "Ya, bentar lagi,""Ya udah ayo sarapan aja dulu. Kasihan dia kalau Uminya nggak makan." ucap Dimas sembari memegang perut Nisa yang masih rata. "Nggak lah. Kamu aja, kan kamu yang di panggil mas. Aku siapa?""Astaga... Sa. Udah deh jangan kayak anak kecil. Ibuk itu udah baik mau nampung kita, masih mau masakin kita juga. Kalau sikap ibuk masih seperti itu ya wajar, ibuk masih kecewa pastinya." ucap Dimas. "Bela aja terus ibumu.""Ck." Dimas mengusap kasar kepalanya."Ya udah terserah. Nanti kalau lapar makanan udah habis jangan nyalahin orang. Kamu sendiri yang nggak mau makan.""Hm"Setelah Dimas keluar, Nisa hanya duduk diam di depan meja rias sembari memandang dirinya dari pantulan cermin."Apakah ini aku?? " gumamnya."Apa aku sejahat itu?""Arrrtgh!!! " umpatnya frustasi. Kemudian ia meraih benda pipih yang sempat ia lemparkan di atas ranjang. Ia pun merebahkan tubuhnya sembari membuka aplikasi biru berga
"Lho ya iya mbak. Ngapain juga laki model kayak gitu di piara. Rugi. Malah bikin penyakit aja tiap hari makan ati. Udah bener itu mendingan kasihin aja sama pelakornya. Laki laki yang baik dan tulus masih buanyaak. Ngapain nyiksa diri.""Bener banget, mbak. Aku lo udah ngalamin juga mbak. Sekali ketahuan selingkuh. Buang langsung aja, biar di pungut pelakor. Dah lah... Wanita mandiri kayak mbak Zahra itu nggak butuh laki-laki. Apalagi kok yang begitu.""Iya mbak Zahra. Sudalah biarin. Mbak Zahra pasti bisa sukses tanpa dia. Jauh lebih baik tanpa Dia.""Amiin. Hehe, iya bu. Oh ya, maaf Zahra tinggal dulu antar anak-anak sekolah ya. Nanti kalau mau nambah lagi ambil sendiri dulu nggak apa ya bu ibu.""Loh loh loh... Ini di tinggal mbak Zahra? Kalau ada apa-apa yang hilang gimana, hayo??? Kami ndak mau di salahin lho ya, tutup aja deh mending mbak... Lebih aman.""Iya mbak Zahra, tutup aja biar kita-kita juga pulang.""Lho... Mau tutup? Saya kan baru mau makan?" ucap salah seorang bapak-
"Mas, kata ibuk boleh tidur disini. Tapi tidak boleh tidur di kamar mbak Zahra. Ada kamar kosong di belakang boleh ditempati. Kamar... Pembantu sih," ucap Dinda pelan.Dimas dan Nisa saling pandang, kemudian keduanya mengangguk.Iya, bu Sukma memang orangnya tidak tegaan. Walaupun dia galak, tapi atas dasar kemanusiaan, dia masih bisa menolong orang, walaupun kadang dia harus berperang dengan hatinya sendiri."Kamar ini mas, nggak boleh ke kamar atas. Kata ibuk itu hanya boleh di tempati mbak Zahra""Ya udah, nggak apa-apa Din. Makasih ya. Mas bersihkan dulu kamarnya."Akhirnya bu Sukma mengizinkan mereka tinggal sementara. Walaupun di kamar yang lebih sempit dari semua kamar di rumah ini. Tapi paling tidak, mereka kini punya tempat untuk berteduh."Maaf ya Sa, jika sikap ibu masih belum baik di hati kamu.""Nggak apa mas. Aku ngerti kok. Posisiku ini memang banyak di benci orang. Udah resiko." ucap Nisa sembari menepuk-nepuk bantal yang lumayan berdebu itu. Kamar ini dulunya kamar pe
Akhirnya dengan berat hati, mereka berdua keluar dari kontrakan itu. Keduanya kini kembali luntang-lantung ber jam-jam di jalan tanpa tujuan. Berbeda dengan sebelumnya, kini Nisa lebih banyak diam. Tanpa tanya mau kemana. "Kita pulang kerumah ibuku dulu aja ya Sa,""Terserah," jawab Nisa singkat. Dimas kini mencari angkutan umum yang akan membawanya ke rumah bu Sukma. Dimas tahu, pasti ibunya akan marah besar dan ada kemungkinan mereka tidak diterima. tapi Dimas akan mencobanya dulu. Sebab tak ada lagi temapt yang bisa ia harapkan sekarang untuk tinggal. "Ke Jalan XX ya pak." ucap Dimas pada sopir itu. Di dalam mobil taxi juga Nisa masih terdiam. Ia hanya memandang keluar jendela mobil itu. Menatap gemerlapnya lampu jalanan menuju rumah yang selama ini ia hindari. Terus terang hatinya juga sakit dengan perkataan perkataan yang selalu Bu Sukma utarakan walaupun banyak benarnya. "Sa. Tumben kamu diam aja? Kamu kenapa? Ada yang sakit? Kamu capek ya?" tanya Dimas. Tampaknya Dimas s
'anakku kena imbas atas tindakan bo dohmu!' tulis pesan itu. Lalu foto profil kembali tak terlihat karena Zahra langsung memblokir kembali nomor Dimas. "Aaaarrrghhh. Zahra, mana bisa begitu!" umpatnya kesal."Sa... Kamu mau kemana? Kok bawa tas?""Keluar lah, cari kerja. Mas... Duit kita sudah habis. Keperluan semakin banyak. Belum lagi buat periksa ini itu. Sementara kamu aja hanya diem dirumah setiap hari cuma mandangin foto mbak Zahra. Emangnya foto mbak Zahra doang bisa di makan? Dah lah... Terserahmu mas, capek aku lihat hidupmu!" ucap Nisa. "Sa? Emangnya kamu mau kerja dimana? Kamu lupa, ijazahmu masih di tahan di kampus!" Seketika Nisa menghentikan langkahnya mengingat hal itu. Lalu ia berbalik badan dan membanting tasnya di lantai. "Aaaargh, kenapa sih hidupku gini banget!?" Umpatnya kesal. Kemudian ia kembali ke kamarnya. Dan di ikuti oleh Dimas. "Sa... Sabar ya, kamu tenang dulu. Mulai besok aku akan cari kerja lagi.""Ya gimana aku harus tenang mas, aku dari siang mint
"Bundaaaaaa, ini Zahwa nangi pula pula," ucap Zahwa dengan lucunya. "Oooh gitu... Iya terus kenapa pula pula menangis segala? Hem?""Ini puti istananya lagi nangis.”" Kenapa nangis?? ""Kalena pangelannya bawa tante ninja yang jahat. Jahatin putrinya sampai putrinya nangis.""Oooh, gitu... Hihihi," ucap Zahra sembari mengusap kepala keduanya. Rasanya ngilu mendengar penuturan anaknya yang menurutnya dia terinspirasi dari apa yang terjadi belakangan ini. "Tenang saja putri, pahlawan akan segera datang dengan menyelamatkanmu." ucao Rayyan sembari memperagakan nya. Keduanya kembali melanjutkan permainannya. Kali ini di temani oleh sang bunda. "Sayaaang. Tapi ini sudah sore loh, pulang yuk besok main lagi, kan dekat.""Yaaah Bunda. Ini belum sore bund. Masih agak sore. Belum sore beneran. Dikit lagi ya. Dikiiit tok ya?" ucap Rayyan. "Oke, lima belas menit." ucap Zahra, dan keduanya kegirangan. Tak pernah Zahra lihat sebelumnya, anak anak segirang dan sebahagia ini. "Bunda... Kenapa
Di tepi pantai itu Rayyan dan Zahwa tengah asik bermain mobil pasir yang baru Zahra belikan di penjual mainan yang berjejeran di pinggir jalan sebelum mereka tiba di sini. debut ombak itu menjadi pemandangan indah dan memanjakan mata Zahra saat ini, dan membuat hati serta pikirannya jauh lebih baik. Ia memandang lurus kedepan, menikmati suasana yang lama tak ia rasakan. "Kamu yakin mau tinggal di Lumajang, Za? Lumayan jauh loh kalau dari rumah Neneknya anak anak.""Ya biar jauh, Res.""Loh, jadi mereka belum tahu kalau kamu sekarang tinggal di sini?""Belum. Eum. Tapi mungkin sudah tahu kalau aku sudah pergi dari rumah. Kemarin ibuk sempat telfon-telfon tapi aku abaikan.""Lah... Kenapa? Bukannya dengan mereka kamu tidak ada masalah? Baik baik saja kan hubunganmu dengan mertua?""Ya... Baik baik saja. Cuma aku belum siap saja jika di tanya ini itu. Aku sedang ingin sendiri. Aku ingin menikmati dulu hidup tenang tanpa ribut-ribut atau apapun itu lah. Kau lihat mereka?" ucap Zahra semb
Pov AuthorKini Dimas tampak kebingungan. Harapannya kembali sirna. Kemana lagi dia harus mencari Zahra sekarang. Jika benar di rumah Orang tuanya, apa yang harus ia katakan untuk membujuknya kembali. Semuanya semakin rumit sekarang. Dimas pikir akan berjalan dengan mudah, lurus tanpa hambatan. "Aggrrrhhh !!! " umpatnya kesal. Pintu rumah berbahan kayu jati itu kini juga sudah di tutup kembali oleh pemilik barunya. "Shiiiit!!!" Lantas ia berjalan menjauh dari rumah yang kini bukan miliknya lagi. "Apa aku cari ke rumah ibu dulu sekarang. Aku yakin Zahra di sana. Iya lah, mau kemana lagi dia kalau tidak kesana. Dia tak punya keluarga." gumam Dimas. Kemudian dia berjalan ke tepi jalanan, Mencari ojek yang sekiranya bisa mengantarnya ke rumah Bu Sukma. Sebab kalau Naik taksi lagi ia khawatir uangnya akan segera habis. Sementara ini dia belum bekerja lagi. terakhir dia di pecat karena ketahuan memiliki dua istri. Di kantornya memang ada peraturan tidak bisa berpoligami, tapi dia tidak