"Sah!"
Sebuah kalimat pendek berdengung di telinga Lidia Safitri. Hari ini adalah hari dimana suaminya menikah lagi dengan seorang wanita muda yang di pilihnya sendiri.Pernikahan sederhana di gelar di kediaman suami yang di hadiri keluarga dekat serta para tetangga.Wanita berhijab itu tersenyum getir, menyaksikan sang suami---Bastian Prayoga menyalami satu-persatu sanak saudaranya yang tengah memberi ucapan selamat atas pernikahan keduanya. Sementara Alice--madu mudanya sedari tadi hanya menundukkan kepala kala mendengar pujian dari keluarga mertuanya.Fitri meraup udara sebanyak-banyaknya. Dadanya bergemuruh hebat sekarang ini, seakan ada yang menghimpit Paru-parunya. Sesak, itulah yang dia rasakan saat ini.Wanita itu tertunduk lemas sambil meremaa gamis putihnya, menetralkan perasaan cemburnya yang kini bersarang.Entah dorongan dari mana, ia mengangkat wajahnya lagi. Dan tanpa sengaja matanya bertubrukan lansung dengan mata sang suami.Tatapannya penuh damba pada Bastian namun, sang suami malah mengalihkan pandangannya."Maafkan aku Mas, ini yang terbaik untuk kita, aku yakin kamu pasti bahagia bersama Alice,"Jarak tiga meter dari Fitri, Bastian menahan diri untuk tidak berlari ke arah istri pertamanya itu. Tadi ia sempat melihat Fitri memandangnya dengan tatapan yang tak bisa ia artikan sama sekali.Semenjak kejadian tiga bulan silam, Bastian terlanjur kecewa terhadap keputusan Fitri yang memintanya menikah lagi. Kala itu Bastian menolak dengan tegas permintaan Fitri. Namun akhirnya Bastian pun terpaksa mengiyakan setelah di bujuk rayu Fitri dengan menerangkan dalil-dalil yang ada di dalam kitab suci agama mereka, yang memperbolehkan suami menikah lagi.Sungguh, Bastian tidak mengerti, mengapa wanita yang sudah lama mengrungi mahligai rumah tangga bersamanya, malah memintanya menikah lagi.Apakah tak ada lagi cinta di hati istri pertamanya? Pernah Bastian bertanya apa alasan Fitri memintanya menikah lagi dengan wanita lain. Namun Fitri diam seribu bahasa.Sempat terbesit di benak Bastian, jika bunda dan kakak kandungnya yang memaksa Fitri melakukan hal itu akan tetapi Fitri mengatakan secara gamblang bahawa mertua dan kakak iparnya itu selalu baik padanya.Bastian kembali menerka-nerka, apa sebenarnya yang membuat Fitri memintanya menikah lagi. Namun semakin di pikirkannya semakin membuatnya menggila. Tak mungkin juga karna mereka belum memiliki anak sampai saat ini.Memang benar, selama belasan tahun hidup bersama, ia dan Fitri belum juga di karunia anak. Tapi Bastian tak pernah mempersalahkan itu, karna baginya menikah bukan hanya soal anak. Memiliki keturunan adalah rizki yang di berikan Tuhan, lalu jika Tuhan belum memberika rizkinya kita bisa apa. Begitulah kata-kata yang sering diucapkan Bastian untuk menenangkan hati istrinya.Selama ini Bastian dan Fitri juga sudah berikhtiar berbagai cara. Tapi sampai sekarang, Tuhan memang belum menitipkan juga anak pada mereka. Dia juga sudah menjelaskan pada Bunda dan kakaknya bahwa mereka tetap bahagia dengan kehidupan mereka sekarang ini."Selamat Bas, istri mudamu sangatlah cantik, tak kalah cantiknya dengan Fitri,""Iya, benar itu, kalian terlihat sangat serasi. Bas, dimana kamu menemukan bidadari ini?"Enggan menanggapi, Bastian hanya tersenyum gamblang, sebisa mungkin memberikan senyum terbaiknya pada tamu undangan yang hadir di rumahnya saat ini."Bas, ajaklah istrimu bicara, lihatlah dari tadi asyik diam saja," Rita--kakak kandung Bastian, menyenggol lengan adiknya. Wanita yang sudah memasuki usia kepala empat itu melototi sang adik.Bastian mengangguk pelan, melirik Alice yang masih menunduk malu."Hmm,"Tak ada sahutan dari wanita yang masih menunduk itu.Bastian menghela nafas, menggeram kesal melihat sang kakak kembali melototinya."Alice," panggil Bastian sambil memegang punggung tangan Alice.Alice tersentak, kala tangan pria yang sudah menyandang status sebagai suaminya itu menyentuh kulitnya, reflek wanita itu menegakkan kepalanya."I-iya," sahutnya gugup.Bastian mendekatkan bibir ke telinga Alice. "Tegakkan kepalamu dan tersenyumlah, jangan sampai keluargamu salah paham,"Alice tak lansung menjawab, dirinya bagai terhipnotis dengan aroma tubuh suaminya. Sebuah aroma wangi menguar seketika dari tubuh Bastian, membuat wanita itu mabuk kepayang."Apa kau bisa mendengarku?" Bastian mengulang perkataan, lalu menatap lansung kedua mata Alice.Alice tersadar, bak anak polos lansung mengambil tangan Bastian dan menyalaminya dengan takzim. "Iya, iya, Mas,"Sontak, gelagat wanita muda yang berumur dua puluh empat tahun itu membuat orang-orang yang kebetulan mendengarnya tertawa.Kecuali Fitri yang masih tidak bergeming sambil meremas kuat gamis yang di gunakannya."Ya ampun, lucu sekali kamu Alice, sebentar lagi Bunda akan mendapatkan seorang cucu dari menantu muda Bunda ini, tidak seperti wanita itu," Rita meruncingkan bibir menunjuk Fitri sambil tertawa.Sementara Bunda Ira---Ibunda Bastian yang mendengar itu hanya menghembuskan nafas pelan, melihat Fitri yang tengah memegang dadanya saat ini."Fitri, lebih baik kau pergi ke dapur saja sekarang, bantu bibi membuat minuman, lihat itu teko-teko sudah pada kosong semua," ucap bunda Ira setengah berbisik.Fitri menyeka bulir bening di sudut matanya yang hampir jatuh, kemudian menoleh pada mertuanya."Bunda, aku kecapekan, bolehkah jika Mbak Rita saja yang menggantikan,""Eh, gak mau lah! Kamu pikir aku babumu?" dengus Rita menekan ucapannya, agar tak di dengar sang adik yang sedang berbicara dengan Alice.Fitri memejamkan matanya sesaat, kemudian tanpa berkata apa-apa melenggang pergi dari ruangan yang sejak tadi membuat dadanya sesak.Sesampainya di dapur, Fitri lansung mendekati bik Mar. "Bik, ada yang bisa Fitri bantu gak?"Wanita yang sudah lama bekerja bersama dengan keluarga terpandang di desa ini, terkejut melihat keberadaan Fitri di dapur. "Jangan Non, biar bibik saja, Non sebaiknya istrahat saja," ucap bik Mar, mengambil alih sendok yang tengah di pegang Fitri.Fitri mengulas senyum tipis, ketika melihat sorot mata bik Mar, yang selalu mengingatkannya pada mendiang ibunya."Bik, minuman di depan sudah habis, Fitri bantu membuatkan ya," kata Fitri sopan lalu menyambar spatula dari tangan bik Mar.Bik Mar menghela nafas. "Tapi Non-""Sudahlah Bik, ayo, kita harus bergerak cepat agar para tamu undangan tidak kehausan," Fitri mengulas senyum sambil mengambil gula di dalam toples.....Sementara itu di ruang depan, Bastian mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Fitri yang kini tidak ia temukan."Mas, cari siapa?" tanya Alice."Em, gak cari siapa-siapa, aku mau ke toilet sebentar, kamu tunggu di sini saja," Tanpa mendengar jawaban Alice, Bastian segera melangkah meninggalkannya.Alice hendak mengejar Bastian, namun Rita menahan tangannya."Alice, aku bersyukur ternyata wanita pilihan adikku begitu cantik sekali, aku harap kita bisa berteman baik ya, Alice," ucap Rita dengan kelembutan."Iya, Mbak, aku mau kedalam sebentar," pungkas Alice.Rita mengangguk pelan."Baik sekali Mbak Rita, Mbak Fitri benar-benar beruntung memiliki Suami, Kakak Ipar serta Mertua yang baik seperti mereka," batin Alice.Fitri begitu terkejut merasakan tangan kekar tiba-tiba melingkar di perutnya. Segera ia memutar tubuh sambil berusaha melepaskan tangan tersebut. Matanya terbelalak seketika ketika melihat suaminya yang tengah melakukan itu."Mas, kenapa ada disini?"Fitri menoleh ke kanan dan kekiri, ia merasa khawatir jika mertua dan kakak iparnya melihat keberadaan sang suami bersamanya."Memangnya kenapa? Apa ada masalah? Aku merindukanmu, Sayang. Apa kamu sudah puas sekarang? Keinginanmu sudah ku turuti, katakan, apa lagi yang harus kukorbankan, selain perasaanku ini," ucap Bastian dengan suara bergetar."Maafkan aku Mas, tapi aku melakukan ini untuk kebahagiaanmu,"Bastian mendengus sesaat, selalu itu jawaban yang di lontarkan istrinya. Apa istrinya pikir ia bahagia dengan pernikahan ini."Kamu benar-benar egois, Fitri. Tidakkah kamu tahu kebahagianku adalah dirimu. Jangan salahkan aku jika sikapmu ini bisa saja membuatku berpaling," Bastian menggertak dengan tegas."Tidak apa, Mas, aku ikhlas,"
"Dimana Fitri?" Bukannya mengiyakan ajakan Alice, Bastian malah menanyakan keberadaan istri pertamanya."Mbak Fitri ke rumah Bunda, Mas, sebentar lagi dia akan kesini," jawab Alice takut-takut."Hm, pergilah! Aku akan menyusulmu nanti," Bastian lansung masuk kedalam kamar dan menutup pintu, meninggalkan istri mudanya yang masih berdiri mematung.Di dalam kamar, Bastian menngambil ponsel hendak menyusul Fitri kerumah bundanya, namun baru saja hendak keluar kamar, ponsel yang ada di tangannya berdering, menampilkan nama bidadariku menghiasi layar ponsel, siapa lagi kalau bukan nomor kontak Fitri.Bastian segera menjawab panggilan telepon dari istri pertamanya itu. "Sayang kamu dimana? Pulang cepat, kita makan malam sama-sama," ucapnya cepat membuat Fitri diujung sana terkekeh kecil."Mas, sepertinya aku masih lama di sini, aku harus memasak untuk Bunda, tadi tangan Bunda kecipratan minyak goreng, kulitnya melepuh Mas,""Loh, memangnya Mbak Rita kemana? Kenapa tidak dia saja yang mengga
Menjelang fajar, Fitri baru saja menjalankan ibudah subuh. Masih menggunakan mukena, wanita bertubuh ringkih itu duduk termenung di tepi ranjang sejenak, ia merasa tadi malam ada orang yang memeluk tubuhnya. Pikirnya tak mungkin Bastian, sebab suaminya itu tengah menghabiskan malam panjang bersama madunya.Puas bergelut dengan pemikirannya, wanita itu melepaskan mukenanya, lalu beranjak dari tempat tidur memulai aktivitasnya seperti biasa membantu menyiapkan sarapan untuk suaminya.Sesampainya di dapur, Fitri lansung memasak di bantu bik Mar yang selalu datang tepat pukul 5 pagi. Bastian lah yang meminta bik Mar datang jam 5 pagi untuk membantu Fitri mengerjakan pekerjaan rumah. Bik Mar memang tak menginap, karna rumahnya tidak jauh dari kediaman Bastian.Dengan cekatan Fitri mengiris sayur-mayur beserta bumbu dapur, seperti daun bawang, seledri, bawang merah dan bawang putih.Hari ini Fitri berencana memasak sayur sop dan tahu goreng kripsi.Selesai memesak Fitri segera mandi.Seten
Sungguh Fitri merasa tak enak hati karena dirinya suami dan kakak iparnya bersitegang, segera ia berdiri mendekati Bastian mengelus punggung kokoh suaminya."Mas, Mbak Rita tidak pernah menghasutku, aku sendirilah yang memintamu menikah lagi. Sudah ya Mas kasihan Mbak Rita," ucap Fitri lalu melihat Rita terisak pelan saat ini.Gemuruh di dada Bastian sirna dalam sekejap ketika tangan kecil itu mengusap punggungnya. Bastian menoleh, menatap sendu istrinya kemudian tanpa aba-aba menarik tangan Fitri dan menuntunnya berjalan ke ruang lain.Alice yang menyaksikan pemandangan itu menahan cemburu yang membuncah di relung hatinya. Tanpa sengaja matanya bertubrukan lansung dengan mata Rita yang sedang menghapus air matanya.Setelah Bastian dan Fitri menghilang. Rita menghampiri Alice dan duduk di sampingnya."Kamu kenapa Alice?" tanya Rita berbasa basi.Alice menggeleng cepat. "Gak kenapa-napa Mbak,""Ada apa? Alice, kenapa Rita?" Bunda Ira menautkan alis matanya."Sepertinya Alice cemburu Bu
Seperti biasa di minggu pagi, Alice akan pergi ke pasar bersama bik Mar untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Namun, pagi ini Alice sedikit merengut karna Fitri tidak ikutnya, biasanya madunya itu selalu menemankannya ke pasar. ."Kenapa Non, kok mukanya cemberut?" tanya bik Mar melihat Alice sejak tadi hanya diam saja.Alice menoleh pada bik Mar. "Mbak Fitri kok akhir-akhir ini sibuk banget ya, jadi gak seru deh! Apa memang biasa Mbak Fitri, selalu pergi pagi-pagi gitu setiap hari minggu. Sampai-sampai Mas Tian pun gak tahu Mbak Fitri pergi kemana?" cerocos Alice panjang lebar.Sebelum pergi ke pasar tadi Alice memang sempat bertanya pada Bastian, kemana Fitri pergi, namun Bastian sendiri tidak tahu kemana perginya Fitri.Bik Mar menggaruk kepala sesaat. "Hm, Bibi juga ndak tahu Non, baru sebulan ini Non Fitri Bibi perhatikan memang agak sibuk. Sudah lah ndak usah terlalu di pikirkan, lebih baik sekarang kita bergegas ke pasar sebelum hari semakin siang."Alice menghembuskan nafas pa
"Fitri, penyakitmu mulai memasuki stadium akhir apa kamu tidak mau di operasi?" tanya Aldi, pria berperwakan semampai yang berprofesi sebagai dokter spesialis bedah.Aldi sangatlah geram karna Fitri sengaja mengulur-ulur waktu, padahal penyakit kanker otak yang menggerogoti tubuhnya semakin parah. Hal itu bisa terlihat pada tubuhnya yang semakin kurus.Sudah beberapa bulan ini Aldi di tugaskan di desa tempat tinggal Fitri. Sewaktu itu dia yang baru di pindah tugaskan, begitu terkejut saat bertemu Fitri di klinik sebagai pasiennya."Iya aku tau itu, tapi aku tidak mau di operasi sekarang, tunggu saatnya tiba, aku akan meminta bantuanmu nanti," jawab Fitri."Tapi sampai kapan, Fit? Maaf jika aku terlalu ikut campur, tapi apakah suamimu sudah mengetahui penyakitmu ini? Karna selama kamu meminta obat padaku kamu tidak pernah mengajaknya," tanya Aldi penasaran.Fitri menggeleng.Aldi menghembuskan nafas kasar. "Fitri, sebaiknya kamu ketakan penyakitmu pada suamimu. Ini obat makanlah dengan
Fitri segera keluar dari kamar menuju ke sumber suara."Wow, wow, enak sekali kau ya! Menyuruh-nyuruh Alice memasak! Sedangkan kau? Dasar kau ini memenag istri tidak tau di untung! Alice itu bisa saja saat ini tengah hamil! Seharusnya kau yang mengerjakan semua pekerjaan rumah!"Fitri tersentak, baru saja ia tiba, namun sudah di teriaki kakak iparnya."Maaf Mbak aku tidak ada menyuruhnya, tadi aku malah menyuruhnya agar istrahat saja," terang Fitri karna memang setelah mencuci pakaian Alice tadi dia menyuruh Alice agar istrahat."Benar begitu Alice?" Rita mengalihkan pandangan pada Alice.Alice menggeleng. "Nggak, Mbak Fitri gak ada bilang sama aku untuk istirahat. Sudahlah Mbak, aku ingin memasak untuk Mas Tian juga." Alice berbohong, sengaja ingin membuat Fitri tak betah tinggal di rumah."Ck ck ck, lihat ini menantu pertama Bunda, bisa-bisanya dia mengarang cerita!" Rita beralih menatap Bunda Ira yang sedari tadi duduk dengan tenang di sofa."Rita, sudahlah, jangan dibesar-besarkan
"Tidak bisa, aku sibuk! Buang-buang waktu saja!" Bastian mendengus kesal.Senyuman di wajah Alice seketika lenyap. Rita, menyenggol lengan bunda Ira, memberi isyarat pada bundanya itu agar mau membujuk sang adik yang keras kepala."Bas, Bunda mohon, turuti kemauan Bunda dan kakakmu." Bunda Ira menatap sendu putranya sambil menyatukan kedua tangan ke depan dada.Bastian di terpa dilema, karna sampai sekarang ia belum bisa menerima Alice sepenuhnya. Apalagi melihat sikap asli istri mudanya yang kasar, membuat Bastian semakin tidak menyukainya. Cukup lama Bastian diam, berpikir sebelum menjawab permintaan sang Bunda.Bunda Ira kemudian mendekat, menangkup kedua pipi putranya. "Bas, Bunda mohon."Bastian terhenyak, melihat pancaran mata sang bunda semakin menyiratkan kesedihan. Setelah menimbang-nimbang sesaat akhirnya Bastian memutuskan."Baiklah, tapi dengan satu syarat.""Syarat?" Mata Rita dan Bunda Ira terbuka lebar. "Ya, aku ingin Fitri juga ikut."Mata Alice dan Rita seketika terbe
"Bik Mar!" Bastian mendekat kemudian lansung memeluk wanita paruh baya itu."Ya Alllah Den Bastian... " Bik Mar mengurai pelukan, lalu meraba-raba wajah Bastian sejenak. "Ternyata benar Den Bastian, tapi kenapa Aden bisa ada di sini?""Iya Bik ini saya Bastian. Ceritanya panjang Bik. Oh ya Bik, Fitri tinggal di sini kan?"Raut wajah bik Mar seketika berubah."Eh, Bibi sampai lupa mari masuk dulu Den." Bik Mar mempersilahkan Bastian masuk ke dalam rumahnya."Tidak usah Bik, di sini saja," cegah Bastian menahan tangan bik Mar, ia membawa wanita paruh baya itu duduk di teras rumah yang terdapat kursi kayu. "Bik, aku hanya ingin bertemu Fitri. Katakan dimana dia sekarang? Apa benar Fitri sedah mempunyai anak? Dan apa benar Fitri terkena kanker otak?" tanyanya tak sabaran.Bik Mar menghela nafas dalam. "Iya, Non Fitri terkena kanker otak, dia juga hamil ketika Aden menalaknya-""Nenek!"Kedua mata Bastian terbuka lebar saat menolehke arah sampingnya. Di sana berdiri seorang anak laki-laki y
Pov Bastian. Menjelang siang, aku pun berangkat ke kota hendak menjemput keluarga Alice. Aku yang datang lebih awal, memutuskan berjalan-jalan di pusat kota, lalu beristirahat sebentar di salah satu restoran ingin mengisi perut yang sudah keroncongan. Ayam goreng mentega adalah makanan yang kupesan, makanan kesukaan Fitri dulu. Aku tersenyum getir sambil menyuap makanan itu, pikiranku berkelana mengingat kebersamaan bersamanya dahulu.Seketika aku menghentikan kegiatanku yang tengah makan, saat melihat seseorang yang tidak asing berjalan keluar dari restoran.Bajingan! Ya dia bajingan itu, bajingan yang telah menghancurkan rumah tanggaku. Aku segera berlari mengejar pria bajingan itu keluar restoran."Berhenti kau!" teriakku di belakangnya. Namun, pria itu seperti tuli tak mendengar teriakanku. "Aldi bajingan! Berhenti kau!" Aku berlari bersiap menerjangnya.Bugh!Baru saja bajingan itu berbalik badan, tinjuku melayang tepat mengenai rahangnya. Bajingan itu terhuyung kebelakang. Yang
Pov Fitri. Kuambil piring makanan yang di letakkan bik Mar tadi, lalu mulai menyantapnya. Tak butuh waktu lama, piring tersebut sudah kosong olehku. Alhamdulillah selama kehamilan, buah hatiku tidak pernah menyusahkanku. Malahan di kehamilan pertamaku ini, aku kuat makan meski hanya bagian perutku saja yang semakin besar.Tiap kali aku juga menanyakan pada Aldi semua keanehan yang terjadi pada tubuhku. Namun, Aldi bilang itu normal-normal saja. Teman baikku itu juga selalu berpesan agar aku semangat dan tak boleh banyak pikiran.Sekitar dua puluh menit kemudian, putri bik Mar datang. Wanita yang usianya sepantaran dengan Alice itu membawa buah-buahan untukku. Beberapa bulan ini dia memang hampir setiap hari berkunjung kerumah, semenjak pindah rumah dan tinggal bersama suaminya tidak jauh dari tempat tinggalku. Kamipun sering menghabiskan waktu di rumah dengan saling bersanda gurau hingga bik Mar datang. Seperti hari ini, ketika bik Mar datang, Susi pun lansung pamit pulang."Sebentar
"Sudah berapa lama tidak datang bulan?" tanya sang dokter sambil menggerakkan benda di atas perut Fitri kesegala arah.Fitri tersentak, baru menyadari sudah beberapa bulan tak menstruasi. Ia pun mengingat-ingat kapan terakhit kali datang bulan."Hm, saya lupa-lupa ingat Dok, tapi sepertinya tiga bulan yang lalu," jawab Fitri saat teringat Bastian pernah menggaulinya dulu dalam keadaan marah. "Memangnya kenapa ya, Dok?"Dokter terkekeh sebentar. Kemudian menghidupkan layar monitor di dinding, menampilkan sesuatu yang membuat mata bik Mar dan Fitri terbelalak."Di dalam purut Mbak sekarang ada seorang bayi, selamat ya Mbak," ucap dokter sembari tersenyum tipis."Alhamdulillah." Bik Mar lansung mengucap syukur.Sementara Fitri masih terpaku. "Ta-tapi ba-bagaimana bisa Dok? I-itu ti-tidak mungkin," ucap Fitri terbata-bata, tak percaya akan perkataan Dokter."Tentu saja bisa. Apa yang tidak bisa terjadi jika Allah sudah berkehendak? Kun fayakun!" Dokter kemudian menutup pakaian Fitri dan me
Di sebuah rumah sederhana berdinding papan, seorang wanita bertubuh kurus terbaring diatas kasur tanpa ranjang. Wajahnya tampak pucat dengan tubuh yang menggigil kedinginan. Wanita itu belum juga sadar setelah tadi di temukan pingsan di tepi jalan oleh bik Mar dan anaknya lalu di bawanya ke rumah."Apa sebenarnya yang terjadi denganmu, Non?" Sejak tadi, bik Mar duduk bersila di samping Fitri. Dia begitu mengkhawatirkan mantan majikannya tersebut. Entah kenapa ia merasa terjadi sesuatu dengan rumah tangganya terlebih lagi kondisi Fitri terlihat menggemaskan saat di bawa ke rumahnya."Buk, air hangat ini di letakkan di mana?" tanya Susi anak bik Mar yang membawa baskom berisi air hangat."Letakkan saja di situ," titah bik Mar seraya menunjuk.Setelah meletakkan baskom berisi air hangat. Susi ikut duduk di samping bi Mar,sambil memandang tubuh kurus di hadapannya.Tiba-tiba jemari Fitri mulai bergerak-gerak di susul dengan gumaman kecil keluar dari mulutnya. Perlahan matanya pun terbuka.
[Mbak hari ini gak usah masak, kami berkunjung kerumah Abah. Sepertinya kami pulang agak sore, tolong jemuran Bunda Ira dan Mbak Rita diangkat ya]Fitri menghela nafas panjang setelah membaca pesan yang di kirim Alice ke ponselnya. Kemudian ia menaruh lagi benda pipih itu.Menjelang sore, Fitri menyibukkan diri membuat kue cake kesukaan suaminya. Sudah lama sekali ia tak pernah membuatkan kue kesukaan suaminya itu. Dulu, dirinya begitu sering membuatkan kue itu untuk suaminya.Selesai membuat kue, Fitri bergegas mengangkat pakaian milik mertua dan kakak iparnya, ketika melihat langit mulai berubah mendung."Fitri, kau kah itu?" tanya bunda Ira saat melihat seorang wanita kurus berdiri membelakanginya sambil mengangkat kain jemuran. Fitri berbalik badan menghadap ke arah mertuanya itu. "Iya Bunda, ini aku."Bunda Ira mengernyit. "Bunda kira siapa tadi? Tubuhmu sangat kurus sekali Fitri, seperti orang kelaparan saja! Sudahlah, Bunda mau kedalam dulu," katanya ketus.Fitri tersenyum geti
POV FITRI. "Aldi... " ucapku pelan, tak menyangka saja temanku itu akan ada di sini. Kemudian aku berusaha berdiri menghadap padanya."Aldi kenapa kamu bisa ada di sini?" tanyaku setelah menyeka air mata."Kamu tidak perlu tau kenapa aku bisa ada di sini. Justru sekarang aku yang ingin bertanya padamu, siapa yang mengatakan tak ada orang yang peduli denganmu? Dan satu lagi, apa kamu tak merasakan air hujan?"Pria yang kukenali sejak lama itu menatapku dengan tatapan yang tak biasa.Aku tak menyahut, malah kini kepala kutundukkan menatap tanah yang sudah becek di bawah kakiku."Sudahlah, lebih baik kita berteduh di pondok sekarang, apa kamu tak kasihan melihatku yang sudah basah kuyup begini," Dia mengulas senyum sembari menyilangkan kedua tangannya di dada, menunjukkan ia sedang kedinginan.Aku mengangguk pelan, kemudian mengekorinya menuju pondok yang tak jauh yang berada di sekitar pemakaman.Kini kami telah berada di bangunan kecil yang di dalamnya ada seorang pria tua, penjaga mak
"Bisakah kau tidak berteriak-teriak, Mbak, anakku nanti bangun! " Bastian berkata tegas, membungkam mulut Rita seketika.Rita kemudian mengalihkan pandangan ke arah Fitri."Tak apa, Mas, aku akan mengambilkan kalian minum, masuklah dulu."Kemudian Fitdi pergi kebelakang, selang beberapa menit, dia kembali lagi berjalan sangat hati-hati seraya membawa nampan berisikan teko besar dan beberapa gelas kaca.Namun, kakinya seketika terhenti, melihat di ujung sana Bastian sedang menggendong putrinya sembari mengecup kening Alice di hadapan semua orang.Tawa pun ikut menggema di ruang tamu, melihat bayi mungil dalam gendongan Bastian tersenyum.Entah mengapa, menyaksikan dan mendengar semua itu, cairan bening di sudut matanya lolos begitu saja. Segera ia bersembunyi di balik gorden sambil memegang dadanya dengan sebelah tangan, dadanya amat sesak saat ini. Dia pun tak tau kenapa dia tiba-tiba menangis."Ada apa denganku? Apa ini air mata kebahagian? ""Maafkan aku, Mas, karna tak bisa memberik
Pov Fitri. "Mas, apa mau ku buatkan kopi?" Aku mencoba membuka suara, meski kutau mereka tidaklah ingin aku bersuara."Boleh," sahut Mas Tian dengan nada ketus, wajahnya masih terlihat kesal.Aku menyunggingkan senyum tipis sebelum berjalan ke dapur. Tidak sampai sepuluh menit aku membawa nampan berisi secangkir kopi dari dapur dan roti kesukaan mas Tian. Namun, langkahku terhenti ketika mendengar sayup-sayup suara mertuaku sedang bicara dengan Mas Tian."Bas, Bunda mohon maaf sebelumnya, bukannya Bunda mau ikut campur urusan rumah tanggamu. Tapi, alangkah baiknya untuk sekarang ini, Fitri tidak usah kamu suruh dulu keluar rumah. Gosib kamu dan Fitri kemarin berhembus sangat cepat, Nak. Bunda malu, mendengar tetangga membicarakan kalian. Sesekali kamu tegaslah padanya,""Aku akan mempertimbangkannya, Bunda. Tapi aku juga meminta Bunda dan Mbak Rita bersikaplah baik pada Fitri, walaubagaimanapun dia masih istriku,""Terimakasih, Bas. Bunda juga minta maaf padamu, karna gara-gara sikap