Pagi pagi sekali, bel pintu rumah berbunyi, kupikir itu adalah Karman yang bersiap-siap untuk mengantar anak ke sekolah, sehingga dengan tergopoh-gopoh aku pergi ke pintu depan untuk membukakan.Betapa sebalnya aku ketika membuka pintu karena sekali lagi, untuk kesekian kalinya, Maura datang."Hah, ada apa lagi, apakah kau datang kemari untuk melayangkan surat somasi padaku?!" tanyaku berkacak pinggang dengan sutil di tangan."Tidak, boleh saya masuk?""Tidak ada ruang dan tempat untukmu dalam rumah ini karena setiap kali yang kau datang pasti ada petaka yang akan terjadi.""Ah, sudah Mbak Aisyah, jangan terus membully saya, niat saya baik datang pagi pagi ke rumah Mbak Aisyah," jawabnya dengan wajah menunduk. Kulirik perhiasan yang kini memenuhi jemari tangan, seperti toko berjalan, belum lagi gamis dan sepatu mewah, juga gaya hijabnya yang nyaris semua menjiplak penampilanku."Hmm, kau tampak seperti Aisyah versi muda," ucapku mengejek, "mungkin Hamdan menikahimu untuk menduplika
Seperti yang kuduga ayahnya anak-anak langsung menelpon, beberapa saat setelah maura pergi. Ponselku berdering, dengan deringan yang gencar tanpa henti."Assalamualaikum ...." Akhirnya aku menjawab dengan rasa malas."Walaikum salam, apa maksud perlakuanmu," tanyanya murka."Aku tidak menerima bantuanmu, intinya tidak butuh!" jawabku ketus."Jadi kau sungguh ingin melepaskan diri dan anak anak dari bantuanku?""Iya, sungguh, aku mau melepaskan diri. Kenapa? kau terkejut?""Jangan kurang ajar Aisyah merobek uang adalah dosa dan perbuatan melanggar hukum!""Katakan aku sudah melanggar pasal berapa dan sebutkan tuntutannya, layangkan laporan sekalian, aku tidak takut padamu!" teriakku dengan emosi membuncah, aku yang sejak pagi sudah runyam dengan berbagai pikiran seakan sudah siap untuk bergelut dengan siapapun di sini."Kau memang sudah gila ....""Lalu apa maumu menelpon orang gila?!""Aku mau tanya kenapa?""Tidak ada alasan, suka suka aku saja, kenapa memangnya! Tadinya kupikir kali
Dengan diantar Karman, hari itu aku pergi ke kota untuk mencari keluarga Maura. Kudengar latar belakang hadis itu memang dulunya adalah anak orang mampu, tapi sejak jadi yatim piatu, keluarganya mengambil alih harta lantas menelantarkan wanita itu. Masa kecil dihabiskan bersama neneknya dan sejak orang tua ayahnya meninggal wanita itu dikirim ke pesantren hingga terdampar jadi pembantu di rumah juragan Bono.Aku berniat untuk menemukan kerabatnya, kerabat yang serakah dan telah merampas segala yang dimiliki Maura. Aku yakin Gadis itu sangat membenci anggota keluarganya, jadi aku bisa bayangkan betapa sebenarnya reaksi Maura bertemu lagi dengan mereka. Aku bisa bayangkan bagaimana tingkah keluarga itu menyaksikan orang yang sudah mereka buang berhasil jadi istri Hamdan, menjadi nyonya dan tinggal di sebuah ruko berlantai dua dengan beberapa mobil yang bisa digunakan untuk mengantarnya pergi ke mana saja.Aku yakin keluarga yang penuh kepalsuan itu akan pura pura baik, pura-pura ramah d
Waktu bergulir dengan normal, hari hari berganti, ku jalani hidup seperti biasa dan selagi sibuk mempermainkan Hamdan dan Maura, aku sekarang punya kegiatan baru.Telah kurambah bisnis saham, bermodalkan bimbingan dari kawan sekolahku yang sudah sukses di bidang itu, aku mencoba menanamkan sedikit uang, tak lupa diri ini mencoba peruntungan dibidang crypto juga menabung emas batangan. Setiap hari aku punya kegiatan baru, selain memantau kebun, duduk di depan laptop sambil memperhatikan pasar bursa yang kadang naik dan turun. Kuperiksa jumlah investasiku, apakah sudah menghasilkan profit atau belum.Jika ada saham dari perusahaan yang cukup terkenal yang harganya sedang turun maka aku akan membelinya, lalu kujual kembali jika harga saham tersebut naik. Begitupun dengan mata uang bitcoin. Namun aku tidak menargetkan keuntungan puluhan juta, cukup dapat satu sampai dua juta sudah cukup. Aku tidak mau terlalu serakah, karena keserakahan akan melumat habis modal dan kesempatanku.Nyata
Aku berlaih menatap Maura yang terus berdecak tidak senang, dia nampak sangat tak nyaman dengan kedatangan keluarganya. Ada raut risih sekaligus ingin mengusir rombongan keluarga serakah itu."Mba Maura, belikan pizza dong," ucap salah seorang sepupunya."Aku mau corndog dan sosis bakar," timpal yang lain."Juga cilok mercon dan batagor." Adik sepupu Maura yang lain juga tak mau kalah dengan pesanan mereka."I-iya, bentar ya ...."wanita itu beralih ke ruang jeluarga."Begini semuanya ... sepertinya ada kesalah pahaman di sini sebenarnya aku belum ingin mengadakan syukuran, mungkin kalian salah tanggal," ucapnya setengah menunduk."Oh, jadi maksud kamu, kamu ingin kami semua pergi karena kami tidak datang sesuai waktu?" ucap sang Bibi dengan mata membulat sempurna."Maksudnya bukan begitu ... hanya saja kami belum punya persiapan banyak," ucapnyamencoba memberi pengertian bahwa saat ini dia dan Hamdan tidak sedang punya uang."Oke, kami paham, tapi sungguhkah kamu tega membiarkan
Selagi Mas Hamdan memperhatikan nilai anak-anaknya, tiba-tiba terdengar suara panggilan lagi dari rombongan keluarga mertuanya yang ada di lantai dua."Hamdan, Maura, kemana kalian?! Inikah cara kalian beramah-tamah dengan mengabaikan tamu?!" teriak Uwak Maura dengan lantang."Sebentar Om, saya lagi ada urusan dengan Aisyah," jawab Mas Hamdan bergegas menanda tangan."Urusan apa sih, yang lebih penting dari keluarga besan. Kalian benar benar tidak beradab," ucap sang Bibi menghujat mantan suamiku. Orang yang dihujat demikian nampak terkejut dan hanya bisa menelan ludah sambil menepuk dadanya pelan. Dia menggeleng berkali kali sambil mengucapkan istighfar.Tentu ubun-ubun Mas Hamdan seolah dibuka dengan paksa mendapatkan perlakuan dan kekasaran demikian. Tentu saja kearoganan seperti itu tidak terdapat di dalam keluarganya yang santun dan paham norma. Sayang sekali, kini Karma sedang berlaku atas dirinya."Bagaimana Hamdan? kenapa makanannya lama sekali, ayo ambilkan kami sudah lap
Melihat rombongan keluarga istrinya pergi begitu saja tentu Mas Hamdan berusaha untuk menghentikan mereka, mantan Suamiku itu kelabakan, dia menghadang dan minta maaf tapi semuanya percuma saja."Maaf, saya tidak bermaksud membuat kalian tersinggung, sedikit urusan dengan Aisyah," ucap Hamdan."Penting sekali, kau, memangnya dia siapa, bukankah hanya sepupumu? Kenapa tidak kau pentingkan istri dan suara kebebasan yang baru pertama kali datang mengunjungi kalian?""Sepupu ...?" Ini massa beban yang kebingungan mendingar hardikan uwaknya Maura."Iya, wanita ini hanya kerabatmu 'kan, penting sekali kau berbicara dengannya sampai mengambil begitu banyak waktu, kami yang datang bertamu diabaikan dan duduk sendirian!""Dia bukan sepupu saya tapi dia ada istri saya, " jawab Mas Hamdan lantang. Kali ini semua orang terdiam, Mas Hamdan mengernyit heran sementara keluarga Maura juga tidak kalah herannya, lebih dari itu, mereka nampak kebingungan."Apa maksudmu, dia istrimu? dia bilang pada ka
"Hanya karena aku bukan istrimu lagi, jadi kau merasa bahwa pikiranku sepicik itu, aku gak nyangka ya, begitu prasangka yang kamu bangun atas diri ini," ucapku sambil membenahi jilbab dan membuka pintu mobil." ... Kupikir mungkin ada kesempatan kedua untuk kita, suatu saat nanti, tapi setelah hari ini ... maaf saja!" ucapku dengan kecewa, setengah mengancam dan mengintimidasinya."Apa kau berharap kesempatan kedua, heh?" pria itu tertawa sinis."Tidak untukku, tapi untukmu, ingat Hamdan kau punya anak denganku, sekuat tenaga aku berusaha agar anak-anak tidak menilaimu dengan negatif dan membencimu!""Oh, ya?""Ya, sekarang aku benar benar muak!" ucapku sambil menyalakan mesin mobil, kututup kaca meski pria itu berusaha menahan dan menggebraknya."Tunggu, kita belum selesai bicara! Apa ini adalah bentuk balas dendam karena aku merampas gabah!""Padi bisa ditanam lagi, harta dan uang bisa dicari, tapi kehancuran hubungan baik sulit diperbaiki, selamat tinggal," desisku beralih pergi.
Mungkinkah sikap arogan Mas Irsyad ditengarai oleh kecemburuannya yang begitu besar kepada Hamdan atau mungkinkah karena dendamnya padaku karena sudah menyakiti Elsa, entahlah, aku tak tahu, yang jelas aku merasa sangat sakit dan tersinggung. Air mataku berurai pedih dan menyesal. "Andai aku tidak termakan kata kata manis dan bujukan sejak awal, mungkin aku tidak akan pernah menikahi pria busuk seperti Irsyad. Dia hanya baik di awal dan kejam di akhir, dia benar benar membalikkan persepsiku tentang perilaku dan sifatnya."Pagi menjelang, matahari menyapa, tapi aku enggan menatapnya. Diri ini masih terbaring di ranjang meski waktu sudah menunjukkan pukul tujuh."Kamu tidak bangun untuk menyiapkan sarapanku dan anak-anak?""Aku sedang tidak enak badan dan kalian bisa beli makanan di drive thru, anak anak akan senang," jawabku dari balik selimut."Aneh sekali sikapmu hari ini Aisyah," gumamnya."Memangnya aku tidak boleh sakit memangnya sesekali aku tidak boleh libur dari rutinitas rum
"Berani sekali istrimu memukulku, aku kesakitan Mas, aku kesakitan ...." Wanita itu meraung dan menjerit kesakitan sambil berusaha melindungi dirinya di belakang Mas Irsyad.Saat itu yang aku rasakan tidak ada lagi kewarasan, hanya sakit, panas hati dan amarah yang menggelegak. Saking tak tahannya aku dengan kekesalan, rasa-rasanya ubun-ubun ini ingin meleleh."Beraninya kau mengusik suamiku, menghapus ketentraman rumah tangga dan membuat hidupku tidak nyaman!" Aku melesat ke belakang Mas Irsyad, tanpa bisa dicegah aku langsung mencekik leher wanita itu sampai dia terdorong dan terdesak tepat di depan tangga rumah."To-tolong... Akh ... akkk ...." Wanita itu meronta "Aisyah, stop, ya Allah, Aish, please, lepasin Elsa." Mas Irsyad berusaha menengani tapi sia sia saja.Nafas wanita itu mulai sesak dan megap-megap, dia ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa. Aku yang seakan dirasuki sebuah kekuatan besar terus menekan lehernya hingga nyaris saja wanita itu meregang nyawa dengan bola
Seminggu kami jalani hidup tanpa tegur sapa dan saling menjauhi. Lebih tepatnya aku yang menjaga jarak dan menjauhi Mas irsyad. Begitu dia mendekati, terlebih ketika di kamar, anak aku langsung bangun dan memasang jarak. Bukannya dia tak mencoba membujuk hanya saja aku yang menolak bujukannya.Seperti ketika suatu malam dia mendekat, mencoba memeluk dan menciumku dengan paksa seperti yang selama ini dia lakukan kala aku merajuk kecil. Sontak, aku berontak dan mendorongnya. Aku menghardik dengan kesal agar dia jangan memaksakan dirinya padaku."Aku bukan pelacur atau wanita yang bisa kau perkosa kapan pun. Enyahlah dari hadapanku.""Mengapa kau marah sekali, aish. Ini sudah hampir seminggu, gak takutkah kamu akan dosa menolak hasrat suami.""Kenapa tidak kau bagi saja hasrat itu kepada wanita yang masih kau cintai!" Tentu saja Mas Irsyad terkejut dan wajahnya langsung pucat. Pria itu mengigit bibir lalu bersurut mundur."Apa? Kenapa diam, Kenapa tidak kau temui mantan istrimu lalu ung
Seminggu kami jalani hidup tanpa tegur sapa dan saling menjauhi. Lebih tepatnya aku yang menjaga jarak dan menjauhi Mas irsyad. Begitu dia mendekati, terlebih ketika di kamar, anak aku langsung bangun dan memasang jarak. Bukannya dia tak mencoba membujuk hanya saja aku yang menolak bujukannya.Seperti ketika suatu malam dia mendekat, mencoba memeluk dan menciumku dengan paksa seperti yang selama ini dia lakukan kala aku merajuk kecil. Sontak, aku berontak dan mendorongnya. Aku menghardik dengan kesal agar dia jangan memaksakan dirinya padaku."Aku bukan pelacur atau wanita yang bisa kau perkosa kapan pun. Enyahlah dari hadapanku.""Mengapa kau marah sekali, aish. Ini sudah hampir seminggu, gak takutkah kamu akan dosa menolak hasrat suami.""Kenapa tidak kau bagi saja hasrat itu kepada wanita yang masih kau cintai!" Tentu saja Mas Irsyad terkejut dan wajahnya langsung pucat. Pria itu mengigit bibir lalu bersurut mundur."Apa? Kenapa diam, Kenapa tidak kau temui mantan istrimu lalu ung
Tak mau terus menyiksa batinku sendiri dengan terus menguping pembicaraan Mas Irsyad dan mantan istrinya akhirnya kuputuskan untuk turun saja mengambil air minum dan kembali ke kamar.Namun sebelum aku melanjutkan langkah, kembali perasaan marahku meronta-ronta. Haruskah aku melabrak dan meneriakinya, lalu mencecarnya dengan banyak pertanyaan mengapa dia berani sekali menelepon wanita lain di tengah malam dan memberinya kata-kata yang indah. Oh Tuhan, hatiku dilema.Ingin kutahan diri tapi rasa haus seakan menusuk tenggorokan sehingga aku tidak punya pilihan.Dengan gaun tidur yang masih menjuntai ke lantai, aku berjalan ke dapur. Melihatku tiba-tiba datang pria itu terkesiap dan kaget. Dengan salah tingkah dia segera mematikan ponsel dan menyembunyikan benda itu di bawah dudukannya. Tapi sayang, aku melihatnya.Aku yang pura-pura tidak tahu apa-apa hanya berjalan dengan cuek lalu mengambil gelas dan memencet dispenser lantas kuteguk air sambil berusaha menahan diriku."Kok belum tid
Hal yang baru saja dia katakan memantik sebuah keheranan di hatiku. Di satu sisi dia ingin aku membiarkannya untuk berhubungan baik dengan Elsa namun sebaliknya ketika aku dan Mas Hamdan berkomunikasi dan hendak menjalin hubungan baik lagi, dia seakan sangat keberatan dan benci."Mungkinkah suamiku adalah penganut pernikahan terbuka di mana dia bebas melakukan apa saja dengan dunia dan teman wanita, sementara aku akan terjerat dan harus mematuhi semua aturan yang dibuat. Bukankah itu tidak adil?!"Alangkah arogan dirinya ketika mengatakan bahwa aku tidak boleh turut serta dalam acara aqiqah yang diselenggarakan Mas Hamdan sementara dia terus malah padaku agar bisa menemui mantan istrinya dengan berbagai alasan kurasa jika aku sudah jengah sendiri dan bosan, dia akan kutinggalkan.Kadang timbul kesesakan tersendiri di dalam hatiku, keheranan entah mengapa aku selalu gagal menjalin tali pernikahan. Apakah aku memang harus ditakdirkan punya suami ajaib yang tidak pernah sesuai dengan
Mungkin aktivitas romantis yang kami lakukan semalam yang membuat moodku membaik di pagi hari. Aku bangun, menyibak tirai jendela membiarkan matahari menghangatkan setiap sisi ruangan rumah. Aku beranjak ke dapur untuk menjerang air dan membuat sarapan keluarga. Selagi menunggu air mendidih luperiksa ponsel yang Alhamdulillah tidak ada notifikasi apa apa. Ya, bagiku kehadiran notifikasi selalu membuat diri ini berdebar dan cemas. Selalu, setiap kali ada yang menghubungi pasti ada masalah atau apa saja yang berkemungkinan merepotkan diri ini."Ah, andai setiap hari hidup kita seperti ini, pasti akan menyenangkan sekali," gumamku sambil menakar bubuk kopi dan gula ke dalam cangkir suami."Bunda ...." Anak anak turun lebih pagi, mereka terlihat sudah rapi degan seragam dan sunggingan senyum yang ceria. "Bagaimana malam tadi, apa kalian tidur dengan nyenyak?""Tentu, kami tidur dengan nyaman dan pulas sekali, Icha tidur bersamaku dan kami sempat membaca buku cerita dan dongeng. Oh ya
"Tidak perlu harus sedramatis itu, Aish, wanita itu sudah demikian tersakiti," ujar Mas Irsyad sambil menutup pintu mobilnya."Jadi kau membelanya?""Bukan begitu?""Mas ... Kalau kamu memang merasa kasihan dan sayang pada wanita itu maka tinggalkan aku dan pilihlah dia, aku tidak akan keberatan sama sekali.""Aisyah, kamu hanya salah paham.""Cukup, jangan mengulur pembicaraan dan mengulang situasi yang sama. Situasi yang pernah aku rasakan bersama Mas Hamdan, aku sudah bosan, demi tuhan, aku ingin menghindarinya," jawabku sambil beranjak masuk ke dalam rumah."Bisa kita pura pura baik baik saja setidaknya di depan Icha, kasihan anakku, dia pasti bingung ....""Aku juga tidak mau membuat anakmu bingung tapi dia pun harus diberi pengertian dan harus tahu seperti ini kondisi orang tuanya sekarang, anak itu harus menyadarinya, Mas.""Jangan terkesan memaksa " Mas Irsyad memburuku di tangga."Lebih cepat tahu lebih baik. Anak anak harus diajari dari sekarang contoh bahwa kita tidak boleh
Akhirnya aku dan anak tiriku berkendara satu mobil menuju rumah ibunya. Aku sebenarnya punya rencana sendiri untuk membongkar apa yang sebenarnya terjadi. Besar keyakinanku bahwa wanita itu hanya pura pura amnesia untuk meraih perhatian semua orang.Sepuluh menit kemudian kami sampai di rumah bercat cream dengan taman kecil dan pohon palem di depannya. Elsa terlihat menunggu di depan teras, senyumannya terkembang saat melihat Fortuner milik Mas Irsyad. Meski tertatih namun semangat dan visual ceria terlihat sekali di wajahnya. Melihat ibunya mendekat, Aisyah membuka pintu dan menyambut, mereka berpelukan dan hendak masuk. Alangkah terkejut Elsa saat mendapati diri ini duduk di kursi depan di dekat mantan suaminya. Raut wajahnya berubah syok dan tidak nyaman."Hai, Elsa," sapaku sambil melambai kecil, bahagia sekali melihat wanita kesal."Siapa dia Mas?"Mas Irsyad nampak ragu, tapi aku yang tidak suka mengulur waktu segera memberi tahu bahwa aku istrinya. Biasanya reaksi orang yang