"Kebohongan apa, Yang? Ak–aku nggak–""Nggak usah banyak alasan, Mas! Aku sudah tau semuanya! Aku tau kamu dalang di balik ini! Aku hanya ingin tau, apa motifmu, Mas! Kenapa kamu tega memfitnahku!" Cepat kupotong ucapan Mas Bagas. "Nggak usah bertele-tele, Mas! langsung ke intinya! Apa maksud fitnahanmu itu?" sambungku lagi."Sayang, Mas bisa jelaskan!" Aku mengangguk."Iya Mas, jelaskan semua!""Sayang, aku sangat mencintaimu." Mas Bagas menjeda ucapannya. Pria itu menarik napasnya kasar. "Pertama kali aku melihatmu, aku jatuh cinta pada pandang pertama, tapi aku harus menerima kenyataan jika kamu adalah kekasih temanku. Setiap hari aku mencoba agar cinta itu tak tumbuh, namun semakin kucoba cinta itu semakin mekar hingga mengalahkan logikaku." Mas Bagas menjeda ucapannya lagi, lalu menarik nafas dalam. "Pikiranku buntu, yang aku pikirkan bagaimana caranya bisa mendapatkanmu. Hingga aku mengambil langkah mendekati Alika. Namun sia-sia, tetap saja tak ada jalan untuk dekat denganmu.
"Selama ini saya bersabar menerimamu, semua karena Bagas yang meminta! Saya diam dan mencoba berpikir bahwa kamu memang jodoh anakku walaupun sebenarnya saya sakit hati! Sekarang, dengan nggak tau dirinya, kamu mau menceraikan anak saya! Kamu pikir kamu siapa, hah?" Ibu mertua memotong ucapanku dengan bentakan dan kata-kata yang sungguh menggores hati."Kuperingatkan padamu, Dewi! Jika memang kamu mau bercerai, pergilah! Tapi jangan membawa apapun juga! Faham!" ucapnya lagi. Aku hanya diam tak menanggapi. Percuma, meskipun tau Mas Bagas salah, Mama pasti akan membelanya. Itulah orang tua."Ingat itu!" ucapnya lagi lalu memutus sepihak panggilan. Aku beristighfar berulang kali."Sabar, Dewi! Dia orang tua, nggak usah di peduliin." Aku membujuk hati biar tidak merasa sakit. Memang apa yang mereka lalukan padaku sangat menyakitkan, tapi aku akan membalasnya dengan caraku sendiri. Diam dan meninggalkan itu adalah caraku. Jika aku bertindak bar-bar, dan mencaci–maki, maka apa bedanya aku
Sejenak hening hingga tiba-tiba Mas Bagas berlutut di depanku."Mas kamu apa-apaan sih! Ayo bangun, bikin malu!" ucapku penuh penekanan. Rasanya muak melihat kelakuan suamiku ini. Kemarin-kemarin ngapain aja? Kalau memang tak mau berpisah, kenapa tidak dari kemarin dia melakukan seperti ini."Nggak, Sayang! Aku nggak mau bangun sampai kamu maafin aku!" ucap Mas Bagas berlinang air mata. Kulirik sekitar, beberapa pasang mata melihat kami sambil bisik-bisik. Ada juga yang memilih cuek."Mas, duduklah! Katanya mau ngomong!" ucapku kesal menatapnya sekejap, lalu membuang muka. Entah kenapa, tak ada rasa simpati melihat Mas Bagas berlutut. Yang ada, rasa marah, rasa muak, rasa benci, rasa malu, semua bercampur jadi satu. Rasa-rasa seperti ingin meledak, namun sebisa mungkin kutahan.Kulirik Mas Bagas mengangkat tubuhnya lalu menghempaskan di sampingku. Aku menggeser sedikit badan, memberi jarak karena Mas Bagas duduk terlalu mepet, membuat aku merasa risih. Pria itu hanya melihat, tanpa ko
"Hey ... dengar ya perempuan lakor. Kamu it–" "Aku bukan pelakor! Wanita di sebelahmu itu yang merebut Mas Bagas dariku," ucap Alika berteriak memotong ucapan Sandra. Sedetik kemudian Sandra tertawa."Alika ... Alika. Kamu itu bodoh sekali. Tanya sama suami rebutanmu itu, apa yang dia lakukan untuk mendapatkan Dewi! Kamu dengar 'kan kemarin apa dia bilang? Belum lupa ingatan 'kan? Dia yang telah merekayasa semuanya! Se–mu–a–nya! Lagian laki-laki bangsa* kok di rebutin. Ayo, Wi. Sebentar lagi nomer antrianmu! Lama-lama di sini kita bisa ketularan sinting!" Sandra menarik tanganku meninggalkan Alika dan Mas Bagas. Aku mendengus sebal."Siapa juga yang ngerebutin," lirihku nggak terima. Sandra mendelik, aku mendesah pelan.Tinggal beberapa langkah masuk ke dalam gedung pengadilan, kuhentikan langkahku lalu berbalik melangkah kembali mendekati Mas Bagas dan madu busuknya."Cepat keluar dari rumah itu, karena rumah itu sudah kujual dan pembelinya mau menempati segera." Mas Bagas menatapku
Ku parkir mobilku di parkiran yang dikhususkan buat pengunjung pantai. Mumpung belum terlalu siang, aku ingin menghirup udara. Mengabarkan pada angin, menyuruhnya membawa pergi jauh semua kenangan bersama Mas Bagas.Mataku liar menyapu keliling, mencari gazebo yang di sediakan untuk pengunjung beristirahat. Spontan bibir tertarik melihat ada gazebo yang kosong. Hari ini bukan hari libur, makanya pengunjung tidak begitu ramai. Hanya beberapa pasang muda–mudi, serta beberapa pasang suami istri bersama anak mereka. Perlahan kaki melangkah mendekati gazebo, namun baru beberapa langkah keluar dari mobil, sebuah mobil tiba-tiba lewat dan menginjak genangan air yang mengenai baju yang melekat di badan. Bukannya turun dan meminta maaf, mobil itu malah berjalan keluar dari parkiran. Dengan hati dongkol, mata ini melihat ke nomer plat, lalu mengcopynya di otak."Awas kalau sampai ketemu! Dasar orang kaya minim akhlak!" desisku sebal. Kulanjutkan langkah menuju gazebo dengan perasa sebal. Kuk
"Datang pun kau!" desisku, lalu segera membuka pintu mobil dan meloncat turun. Menyeret langkah besar menuju mobil sebelah."Hei, Mas!" teriakku lantang. Spontan pria yang hendak membuka pintu mobilnya itu menghentikan gerakan tangannya, lalu membalikan badan menghadapku.Astaga ... mataku membulat sempurna, melihat sosok pria di depanku ini. Kutelan cairan dalam mulut dengan susah payah, tangan bergerak sendiri menggaruk kepalaku yang tertutup pasmina hitam. Konyol!"Iya, Mba. Ada apa?" tanyanya seraya menyungging senyum manis, namun terlihat ngeri di mataku. Detak jantung berpacu dengan cepat, tapi setengah mati kusembunyikan. Kutarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan demi menetralkan rasa. Aku tidak mengenal pria ini, jadi untuk apa aku merasa takut. Lagian di sini tempat ramai, tinggal teriak jika nanti dia mau ngapa-nagapin. Yang penting aku menghindari kontak mata dengannya, biar tidak terkena jika seandainya dia ingin menghipnotis."Mas 'kan yang tadi nabrak genang
"Sini, Wi," ucap Mbak Nabila kala melihatku keluar dari kamar. Wanita itu berucap sambil melambaikan tangannya. Kuseret langkah kaki mendekat dengan seulas senyum."Dingin banget ya, Mbak," ucapku melabuhkan badan di atas sofa."Iya ... mataharinya malu-malu mau keluar." Mbak Nabila melepas kaca mata yang tergantung di kedua kupingnya, lalu meletakkan di atas meja samping mushaf. "Hujannya awet ini kayaknya," sambungnya lagi."Iya Mbak, bikin lapar." Kuanggukkan kepala seraya kedua tangan mengelus perut.Wanita cantik yang masih memakai mukenah duduk di sampingku itu tersenyum. "Enak makan in*o*ie kuah ini," balasnya dengan bibir masih mengulas senyum. "Yuk bikin!" ajaknya seraya berdiri. kuikuti langkah kakak iparku itu menuju dapur.Kami membuat dua mangkuk mie kuah campur telor dan sawi, lalu di tambah beberapa cabe rawit yang di iris tipis. Hem ... nikmat sekali."Mas Fiqri mana, Mbak?" tanyaku saat sudah duduk di meja makan siap menyantap semangkuk mie kuah. Aku baru mengingat k
"Mbak Nabila mana, Wi," tanya Sandra."Di kamar. Tadi setelah antar Mas Fiqri, Mbak Nabila masuk lagi ke kamar." "Istri kakakmu itu baik ya, Wi. Cantik, Soleha lagi," ucap Sandra memuji kakak iparku. Kuanggukkan kepala tanda setuju dengan ucapan Sandra. Mbak Nabila memang cantik dan baik, beruntung sekali Mas Fiqri."Iya, Ra. Beruntung sekali Mas Fiqri." Kusungging senyum di bibir. "Bukan sekadar Mas Fiqri, aku jauh lebih beruntung mendapatkan mereka berdua, Ra. Entah bagaimana aku jika mereka nggak ada. Mereka hadir di saat yang tepat," sambungku lagi masih dengan senyuman. Namun kali ini senyumanku bercampur luka. Luka demi luka yang Mas Bagas torehkan bak film berputar, menari-nari di kelopak mata."Sabar, Wi. Jangan sedih. Jangan di ingat lagi ... kamu sudah merdeka sekarang." Sandra menatapku sendu. Aku tau, sahabatku itu, dapat merasakan lukaku. "Nggak kok, siapa yang sedih." Kupejamkan mata, untuk mengusir air mata. "Yuk sholat dulu baru kita jalan," ucapku lagi, saat menden
"Saat aku dan Mas Diki tau, kalau itu kamu. Kami berencana akan mendekatkan kalian. Kayak Mak comblang gitu," ucap Sandra dengan kekehan diakhir kalimat. Aku menyimak semua kalimat dari Sandra tanpa protes. Aku ingin mendengar kenyataan tentang Pak Rayhan. Entah kenapa, hatiku begitu antusias ingin mengetahui semuanya.Sandra menggerakkan kembali badannya ke posisi awal, sahabatku itu menatap langit-langit sejenak sebelum melanjutkan kata. "Wi ... Pak Rayhan itu sangat mencintai kamu. Dalam banget, aku dan Mas Diki saksinya. Dia mengorbankan semuanya untukmu. Bahkan saat dia tau kalau Bagas itu dalang dari putusnya kamu sama Andi, Pak Rayhan marah banget, tapi saat dia kembali, untuk mengungkap segalanya, kamu sama Bagas sudah menikah dan melihatmu bahagia, lagi-lagi dia mengorbankan perasaannya hanya untuk kamu, Wi. Kasian tau!" Dalam hati bersorak riang. Entah kenapa, ada rasa bahagia yang mengalir ikut serta dalam setiap aliran darah, memompa jantung berdebar kencang. Namun seka
Pak Rayhan mengantarku ke hotel tempat aku dan Sandra menginap. Alunan lagu menunggu kamu yang di bawakan oleh Anji, membuat aku semakin terbawa suasana sepanjang perjalanan. "Lagu ini untukmu." Suara Pak Rayhan memecah keheningan malam. Aku menautkan alis mengingat sesuatu. Ku miringkan badan menghadap Pak Rayhan yang sedang menyetir."Jadi ... lagu ini sengaja Bapak nyanyikan saat di pantai waktu itu?" Laki-laki beralis tebal itu melirik sebentar, dan mengukir senyum lalu melihat lagi lurus ke depan. Pembawaannya yang bersahaja, semakin menambah ketampanannya yang seakan tak hilang meski di telan gelap malam. Membuat hatiku berdecak kagum.Pak Rayhan mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat, tapi memanah tepat di jantung hatiku. "Lirik lagunya, pas denganku yang sedang berjuang menunggumu, pemegang hati." Sumpah! Kata-katanya membuat aku meleleh. Aku yakin, wanita manapun akan mencair, dengan kata-kata Pak Rayhan barusan. So sweet sekali."Gombal." Astaga! Rasanya ingin ku cabe
"Maksudnya?" Ku tautkan kedua alis. "Ya ... anda 'kan Pak Rayhan. Pria aneh yang selalu muncul dimana saja. Di pantai! Di rumah makan Padang! Di trotoar depan kantorku! Di bandara! Sudah kayak siluman," ucapku kesal. Sudah di depan mata saja, masih mau main teka-teki. Bertele-tele.Pak Rayhan menatapku dengan tatapan sayu, lalu menarik kedua sudut bibir. Mengukir senyum yang sangat terpaksa. Pria itu merogoh saku celana mengeluarkan remote, lalu balik badan menghadap layar. Ku perhatikan setiap gerakannya dengan melipat dahi. Heran dan penuh tanya.Aku menatap layar yang sudah berganti poto. Di depan sana, terpampang sebuah poto yang di dalamnya tercetak sosok dua pria. "Mas Andi," gumamku. Aku mengenali sosok yang sedang tersenyum menghadap kamera dengan merangkul pundak teman di sebelahnya. Namun tidak dengan pria berkacamata dengan rambut yang sedikit griting. Sekilas, seperti pernah melihatnya, tapi tidak mengenal."Iya ... dia Andi. Dulu kami adalah teman, dan sampai sekarang
Ting!Lagi-lagi bunyi pesan masuk dari ponsel dalam genggaman. Sangat mengganggu, untuk sesaat aku merasa benci pada benda pipih yang sedanng ku genggam. Dengan ogah-ogahan jari bergerak membuka pesan. Sudah tau siapa pengirimnya, makanya membuka pun dengan setengah hati.[Kenapa belum bersiap, dan turun ke bawah. Katanya ingin tau siapa aku?] Segara kugerakan jempol membalas pesan misterius yang barusan masuk ke HPku.[Mau sholat isya' dulu! Emang kamu nggak sholat?] balasku dengan di iringi emoticon tersenyum miring.[BTW ... kamu cantik di bawah sinar bulan] Spontan kuangkat tangan ke atas hendak melempar ponsel yang ku pegang . Untung saja otakku berfungsi dengan cepat. Ku edarkan pandangan mengelilingi sekitar. Dari atas ke bawah dari samping ke sisi yang lain, tapi tak juga mendapati wujud pria yang menerorku. Balik badan, segera kuseret kaki masuk ke dalam kamar dengan perasaan frustasi. Kepala seraya mau pecah, memikirkan siapa dia. Jiwa penasaran meronta sampai ke ubun-ubu
Ting! HP di tangan bergetar seiring bunyi 'ting' yang melengking. Gagas ku alihkan pandangan pada benda pipih yang sedang menyala di tanganku. Dengan lincah jari-jari menari di atas layar.[Jangan bergidik. Aku bukan hantu, aku manusia.] Spontan leherku kembali bergerak memutar melihat sekitar. Hati mulai kesal, mengikuti teka-teki yang di ciptakan orang misterius yang hanya kukenal nomer telponnya saja. "Kenapa sih?" ucap Sandra penasaran. Wanita berparas ayu menundukkan kepalanya mendekat pada ponselku."Nah, baca sendiri! Kayaknya ada hantu yang mengikutiku," cetusku kesal. Sandra memandangku sesaat penuh tanya, sebelum membaca pesan yang ada di HPku."Penggemar rahasia ternyata," ucapnya tersenyum mengejek. Kucubit lengannya meluapkan rasa kesal. Bisa-bisanya dia masih bercanda sementara hatiku resah gelisah. "Aw ... sakit, Dewi," pekiknya seraya mengelus lengan yang barusan kucubit. Sahabatku itu meringis akibat rasa perih yang di ciptakan oleh cubitanku. "Rasain," dengusku
"Ayo, silahkan dimakan, Wi. Enak lho ini," ucap Rangga. Ku tanggapi dengan anggukan pelan.Rangga menikmati makanannya dengan lahap, namun tidak denganku. Baru dua suapan yang masuk ke dalam mulut, tapi mulutku menolak suapan yang ketiga. Alhasil, aku hanya mengaduk- ngaduk. Entah kenapa, pikiranku tertuju pada sosok Pak Rayhan. Meski sudah berusaha ku cegah, tapi entah kenapa sosok laki-laki aneh itu menerobos masuk ke dalam pikiran tanpa permisi."Kayaknya ... aku harus membenturkan kepalaku, agar kewarasan kembali," rutuk hati kecilku."Kenap nggak di makan? Nggak enak makanannya? Aku tukar ya." "Hah ... e–enak kok." Ku paksakan tersenyum lalu menyuap makanan ke dalam mulut, meski mulut menolak tapi tetap memaksa mengunyah.Rangga menatapku sejenak lalu melanjutkan kembali makannya. Pria bertopi di depanku ini, juga mungkin merasakan hal yang sama denganku, setelah ungkapan cintanya tadi. Sama-sama merasa canggung.Sebenarnya, dari dulu aku ingin sekali bisa dekat dengan Rangga
"Aku akan selalu ada di mana kamu. Aku akan selalu menjagamu." Bukannya menjawab, namun pria ini melantur kemana-mana."Pacarmu tadi mana? Seharusnya, dia tidak membiarkanmu sendirian." Dadaku naik turun mendengar ucapan yang keluar dari bibir laki-laki ini. Benar-benar tidak di saring, seenak jidatnya saja. "Dia bukan pacarku," ucapku ketus seraya membuang pandangan."Oh, kirain pacarmu. Soalnya romantisan di tengah danau." Ku alihkan kembali pandanganku padanya. Mataku semakin tajam menyorot dengan sorotan seakan ingin menelannya hidup-hidup. "Kamu mengikutiku?" tanyaku dengan nada mulai naik satu oktaf."Aku sudah bilang, aku tidak mengikutimu. Aku hanya menjagamu." Ku alihkan kedua netra melihat ke tengah danau. Rasanya, kewarasanku akan segera, habis jika terus bersamanya di sini. "Kemana sih, Sandra ini," rutukku dalam hati. Di saat seperti ini, aku butuh Sandra untuk menyelamatkanku dari laki-laki kurang se-ons ini."Maaf, jika sudah membuatmu tidak nyaman, tapi percayalah,
Aku tersenyum melihatnya. "Jangan di monyong-monyongin itu bibir. Ntar cantiknya hilang lho," ucapku mencandai Sandra."Apaan sih," ucapnya pura-pura merajuk. "Ke kintamani aja yuk!" ajaknya kemudian. Sejenak kupandangi wajah cantik sahabatku itu. "Kenapa ke kintamani? Kenapa nggak ke pantai, Ra." "Ke pantai besok aja. Hari ini aku ingin yang sedikit menantang," ucap Sandra sambil melipat tangannya di atas meja.Sebenarnya, aku lebih suka ke pantai. Entah kenapa berada di tempat itu aku merasa tenang. Meskipun di pantai juga suasananya ramai, apalagi musim liburan seperti ini, tapi berada di pantai ada kepuasan yang kurasakan. "Malah bengong." Sandra menjentikkan jarinya di depan wajahku. "Mikirin apa sih?" tanyanya. Kugelengkan kepala pelan. "Mikirin si pengantar sarapan tadi?" Aku melotot mendengar ucapannya."Sembarangan. Orang aku lagi mikirin pantai," ucapku sewot. Sandra menarik kedua ujung bibirnya seraya mengangkat bahu."Kirain mikirin penggemar rahasia," ucapnya santai.
Duduk di bibir ranjang, aku menggapai ponsel di atas meja kecil. Ingin melanjutkan bacaan cerbungku sembari menunggu Sandra. Ponsel di atas meja samping tempat tidur menjerit nyaring. Alarm menandakan sholat subuh sebentar lagi tiba. kuangkat tubuh, duduk di atas kasur dengan mata masih terpejam. Tangan terulur menggapai benda pipih yang masih menjerit, dengan nyawa masih belum genap sempurna.menurunkan kaki dari atas tempat tidur, kuseret langkah menapaki setiap lantai keramik putih menuju kamar mandi. Di bawah shower nyawa yang tadi masih tertinggal di alam tidur kembali genap. Segar! Aku sudah terbiasa mandi sebelum sholat. Selain di sukai Allah, mandi sebelum subuh juga mempunyai banyak manfaat, salah satunya membuat tubuh segar, juga bisa membuat kulit sehat segar, dan lebih cerah."Ra, bangun sudah subuh," ucapku membangunkan Sandra. Sahabatku itu menggeliat seraya mengangkat tubuhnya duduk."Sudah subuh, Wi," tanyanya, dengan mata terbuka separuh.Aku tersenyum kecil. "Sud