“FAKHRI!!!”
Bukan hanya nama Aina yang dipanggil, nama Fakhri juga disebut keras oleh Bu Rahma. Fakhri terjingkat kaget, buru-buru mengangkat kepala dan perlahan mengurai pelukannya. Hal yang sama juga dilakukan Aina.
Wanita cantik itu tampak gugup, berulang Aina menyibak rambut sambil menundukkan kepala. Ia sendiri tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Apa jadinya jika Bu Rahma tidak datang? Apa Fakhri akan menciumnya dan ia mengizinkannya?
“Ibu, ngagetin aja.” Fakhri bersuara dan terdengar biasa. Sepertinya dia dengan mudah menetralisir keadaan.
Sementara Bu Rahma hanya diam sambil menatap Fakhri dengan tajam. Fakhri menghela napas panjang sambil memalingkan wajah. Ibunya pasti akan menceramahinya setelah ini. Fakhri sangat mengenal ibunya.
Langkah Bu Rahma sudah berhenti di depan Aina. Aina tampak serba salah. Ia juga menyesal dengan kejadian barusan. Harusnya ia menolak saat Fakhri memeluknya. Pasti Bu Rahma akan berpik
“Aina sudah pulang, Mas?” tanya Wulan.Wanita berkulit putih bak porselen itu langsung menyambut Fakhri dengan pertanyaan begitu ia masuk ke dalam rumah. Fakhri tidak menjawab hanya melengos sambil mengedarkan pandangannya ke segala arah seakan sedang mencari Bu Rahma.“Ibu istirahat di kamar.” Seakan tahu pertanyaan Fakhri, Wulan langsung berkata seperti itu.Fakhri mengangguk kemudian bersiap pergi meninggalkan Wulan. Tentu saja Wulan kesal dengan sikapnya. Padahal dia baru datang, tapi tidak ada orang yang mau menemaninya.“Kamu mau ke mana?” sergah Wulan.Fakhri menghentikan langkahnya dan menoleh ke Wulan. “Istirahat. Aku ngantuk.”Wulan tercengang mendengar jawaban Fakhri.“Kamu dan Ibu sama saja. Aku datang, tidak ada yang menyambut. Menemani makan pun tidak. Malah ditinggal tidur,” protes Wulan.Fakhri tersenyum menyeringai sambil menatap Wulan dengan tajam.
“Fakhri!! Kupikir siapa,” gerutu Robby.Fakhri tersenyum lebar sambil memperlihatkan gigi putihnya. Senin pagi ini, dia memang sengaja datang ke apartemen Robby. Robby yang baru saja bangun menatap Fakhri dengan muka bantal. Mata sipitnya belum sepenuhnya terbuka bahkan masih melekat membentuk garis.“Sini, buruan!!”Fakhri mendorong pintu apartemen Robby lebih lebar dan langsung berjalan masuk menuju sofa. Robby hanya diam, menatap Fakhri dengan bingung kemudian berjalan menghampirinya.“Ini masih jam enam pagi, Fakhri. Masih terlalu pagi untuk bahas kerjaan. Lagian aku masih ngantuk.”Robby berkata sambil menguap lebar, duduk di sebelahnya. Namun, reaksi Fakhri malah tersenyum manis.“Aku ke sini mau ngasih kamu ini!!” Fakhri tiba-tiba mengulurkan sebuah flashdisk dari saku jasnya.Robby tidak bereaksi, hanya melirik dengan kedua alis yang terangkat.“Memangnya apa itu?&rd
“Wulan?” kata Fakhri baik bertanya. Ia sudah tahu jika istrinya terlibat dalam kasus manipulasi data ini, tapi Fakhri ingin mendapat lebih banyak bukti lagi untuk menggiring Wulan ke penjara. Sementara itu Pak Franky tampak menganggukkan kepala. “Iya, Pak. Bu Wulan yang meminta saya melakukan hal tersebut. Sebenarnya saya tidak ingin melakukan, hanya saja ---” “Hanya saja ia memberi Anda imbalan, kan?” potong Fakhri. Pak Franky tidak menjawab, jakunnya naik turun menelan saliva kemudian bersamaan kepalanya mengangguk. “Iya, Pak. Bu Wulan memang memberi imbalan untuk saya.” Fakhri terdiam beberapa saat. Salah dia juga telah memberi kepercayaan pada Wulan saat itu. Fakhri akui dia memang ceroboh apalagi saat emosi mengendalikannya. Saat itu pikirannya sedang kalut karena ulah Aina. Ia berusaha mengurangi beban pekerjaan dengan mengizinkan Wulan membuat keputusan untuk perusahaan. Sayangnya, Wulan malah menyalahgunakan kepercayaannya. “Saya menyesal, Pak. Saya menyesal telah melaku
“Mas … kamu apa-apaan?” seru Wulan.Ia langsung turun dari kasur dan dengan sembarang menyambar selimut untuk membungkus tubuh bugilnya. Hal yang sama juga dilakukan Alex. Dia tampak terkejut, bergegas bangkit, meraih pakaiannya yang berserakan di lantai lalu memakainya.Fakhri hanya tersenyum menyeringai sambil meneruskan rekamannya.“Jangan buru-buru, Bro!! Lanjut aja gak papa. Aku gak masalah kok kamu bercinta dengannya.”Fakhri malah bersuara seperti itu. Tentu saja ucapan Fakhri membuat Wulan semakin kesal. Ia melirik Alex dan dengan sorot matanya memberi isyarat ke Alex agar pergi dari rumahnya.“Mas, apa maksudmu? Kenapa kamu lakukan ini?”Wulan protes dengan ulah Fakhri yang merekamnya. Fakhri tersenyum menyudahi rekaman dan menyimpan ponselnya.“Asal kamu tahu, aku melakukannya dengan Alex karena kamu tidak pernah menafkahiku, Mas. Aku juga butuh nafkah batin dan kamu mengabaik
“TUNGGU!! TUNGGU, SUS!!” seru Fakhri.Ia langsung berdiri, berlari mengejar perawat yang mendorong kursi roda Damar. Ia harus memastikan apa yang sedang terjadi dengan Damar. Apa dia sakit? Atau mengalami kecelakaan? Lalu bagaimana dengan Aina? Apa dia tahu?Fakhri terus berjalan cepat mencoba menyibak beberapa orang yang berjalan lalu lalang, tapi sepertinya dia kehilangan jejak. Fakhri menghentikan langkahnya, menoleh ke kanan kiri dan segala penjuru. Saat ini, dia memang sedang berdiri di perempatan koridor rumah sakit dan di setiap sudut itu, dia tidak melihat sosok Damar.“Kemana perginya mereka?” gumam Fakhri.Matanya terus berkelebatan mencoba mencari, tapi dia tidak menemukan sosok yang diinginkan. Fakhri menarik napas panjang, membalikkan tubuh kemudian berjalan menuju apotik kembali.Fakhri yakin kalau dia tidak salah lihat. Nama dan suara yang ia dengar adalah milik sepupunya. Hanya saja Fakhri tidak tahu, apa yan
“Gimana, Aina? Damar sudah menjawab, belum?” tanya Bu Tika.Hari ini sengaja Bu Tika datang ke rumah Aina. Harusnya hari ini Damar dan Aina melakukan pengukuran untuk baju pengantin mereka. Namun, karena Damar masih berada di luar negeri, jadi terpaksa Bu Tika meminta Aina melakukan panggilan video. Namun, hingga kini panggilan dari Aina belum dijawab oleh Damar.“Belum, Tante. Damar mungkin masih sibuk,” jawab Aina. Ia sudah mengakhiri panggilan dan menyimpan ponselnya.Aina sendiri tidak tahu mengapa tumben sekali Damar tidak menjawab panggilannya. Padahal biasanya pria manis itu yang paling bersemangat menerima teleponnya.“Ck, Damar ini gimana, sih? Mau nikah juga kok gak pulang-pulang. Sibuk ngurusin kerjaan aja,” dumel Bu Tika.Aina hanya mengulum senyum mendengar keluh kesah calon mertuanya.“Mungkin Damar sama dengan saya, Tante. Dia ingin menyelesaikan semua pekerjaan supaya fokus dengan pernikahan saja setelah ini.”Bu Tika tidak menyahut hanya diam sambil memajukan bibirnya
“Aku … aku gak papa kok, Aina,” jawab Damar.Dia harus secepatnya memberi jawaban ke Aina agar tidak curiga. Tentu saja kali ini Damar terpaksa berbohong.“Aku hanya sedikit lelah dan tadi meminta bawahanku untuk membeli makanan serta vitamin.” Damar dengan lancar menuturkan kebohongannya.Aina di seberang sana tampak semakin khawatir. Ia menghela napas panjang sambil menyelipkan rambut di balik telinganya.“Apa itu sebabnya kamu tidak mau melakukan video call denganku? Kamu takut aku khawatir?”Damar tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia semakin lega mendengar ucapan Aina. Sepertinya calon istrinya ini benar-benar mau menerima Damar seutuhnya.“Enggak, Aina. Jaringan di sini kurang bagus, aku takut tidak bisa melakukan video call. Bukankah dengan mendengar suaraku saja sudah cukup.”Aina terdiam, menelan ludah sambil menganggukkan kepala. Kenapa juga dia harus memaksa Damar?
“Kamu yakin mau melakukannya?” tanya Robby.Fakhri terdiam sesaat kemudian tampak sedang berpikir. Robby tersenyum sambil menepuk bahu Fakhri dengan lembut.“Lebih baik kamu bicarakan dengan Aina dulu. Takutnya dia tidak berkenan dan marah. Lalu hubungan kalian yang sudah membaik akan memburuk lagi.”Helaan napas panjang keluar dari bibir Fakhri. Dia menganggukkan kepala mengakui ucapan Robby memang benar. Bagaimanapun yang berhak pada Zafran adalah Aina. Kalaupun Fakhri ingin melakukan tes DNA, dia harus izin ke Aina dulu.“Ya udah kalau gitu. Aku balik kantor dulu ya, Rob. Jangan lupa kabari kalau urusannya udah kelar.”Fakhri bangkit siap berpamitan. Robby ikut mengantarnya sampai pintu. Baru saja Fakhri keluar ruangan, tiba-tiba ia melihat Rini. Tentu saja Rini langsung menyapanya.“Mas Fakhri!!” sapa Rini.Fakhri tersenyum. “Hai, Rin. Kamu kerja di sini sekarang?”
“Syukurlah, kalian segera datang. Tadinya aku hendak ke tempat kalian,” ujar Robby.Ia langsung menyambut Fakhri dan Aina yang baru datang dengan kalimat seperti itu. Fakhri dan Aina hanya mengangguk kemudian langsung masuk ke ruangan Robby.“Kami mau mendengar penjelasanmu mengenai kemarin. Apa benar yang kamu katakan jika putraku sudah meninggal?” tanya Fakhri.Robby terdiam sesaat sambil melirik Aina yang duduk di sebelah Fakhri. Wanita itu terlihat lebih tenang dari semalam. Bisa jadi Fakhri sudah memberi banyak penjelasan ke Aina.“Iya, berdasar rekam medis yang ditemukan seperti itu. Hanya saja ---”Robby menjeda kalimatnya. Fakhri dan Aina terdiam memperhatikan dengan saksama.“Kresna menemukan kejanggalan dan masih menyelidikinya. Semoga saja ia segera menemukan titik terang tentang putra kalian.”Aina terdiam menghela napas sambil menganggukkan kepala. Mungkin untuk sementara wa
“Kok Zafran ngomong gitu? Siapa yang ngajarin?” sahut Aina.Aina dan Fakhri sangat terkejut saat Zafran berkata seperti itu. Selama ini tidak ada yang memberitahu mengenai status Zafran sebenarnya. Bahkan mereka sengaja menyembunyikannya. Mengapa juga Zafran tiba-tiba tahu? Apa ia mendengar pembicaraan Aina dan Fakhri?Zafran tidak menjawab malah semakin menundukkan kepala. Fakhri menyentuh bahu Zafran dan mengelusnya perlahan. Kemudian duduk jongkok di depannya.“Zafran, siapa bilang Zafran bukan anak Ayah dan Bunda. Kamu itu selalu menjadi anak Ayah dan Bunda. Selamanya dan tidak pernah berubah.”Zafran termenung sambil menatap Fakhri yang sedang memandang ke arahnya. Fakhri tersenyum membalas tatapannya.“Bukannya semalam Ayah sudah bilang kalau kita akan kembali bersama seperti dulu lagi. Kenapa Zafran malah pergi pagi ini?”Zafran menganggukkan kepala. “Maafkan Zafran, Ayah, Bunda.”
“Apa katamu? Pergi?” tanya Fakhri.Fakhri langsung berdiri menghampiri Aina dan menghentikan makan paginya. Aina mengangguk, matanya tampak berair sambil menyodorkan secarik kertas ke Fakhri. Fakhri terdiam, membaca surat kecil dari Zafran dan terdiam cukup lama.“Jangan-jangan dia dengar pembicaraan kita semalam,” gumam Fakhri.Aina tidak menjawab hanya menggelengkan kepala sambil sesekali menyeka air matanya. Rini yang baru saja keluar dari kamar tampak terkejut melihat kehebohan pagi ini.“Bukannya tadi dia masih di kamar, Mbak,” sahut Rini.“Iya, Rin. Aku pikir juga gitu, tapi nyatanya dia gak ada. Dia ke mana sekarang?”Aina tampak sedih, matanya kembali berair. Entah mengapa mulai semalam, air matanya terus terkuras.“Aku yakin dia tidak mendengar pembicaraan kalian. Aku yang menemaninya saat kalian berdebat semalam dan dia baik-baik saja.”Rini kembali menambahk
CKIT!! BRAK!!Suara mobil Fakhri menabrak pohon di tepi jalan. Sontak Fakhri membuka mata dan terkejut saat dirinya sudah keluar dari jalan. Helaan napas panjang lolos keluar dari bibir Fakhri. Untung saja dia mengenakan seat belt sehingga tidak menyebabkan cidera apa pun pada tubuhnya. Hanya saja kali ini mobil bagian depan ringsek.“Ya Tuhan … untung saja aku selamat,” gumam Fakhri sambil mengurut dada.Ia membuka seat belt, lalu keluar dari mobil sambil melihat kerusakan mobilnya. Beruntung jalanan sedang sepi sehingga saat Fakhri mengemudi dengan mata terpejam tadi, tidak membahayakan pengguna jalan lainnya. Ditambah kecepatan mobil yang pelan membuat Fakhri terhindar dari kecelakaan.Kini Fakhri tampak sedang melakukan sebuah panggilan. Ia sedang menelepon salah satu asisten rumah tangganya agar menjemput di tkp. Fakhri juga menelepon bengkel langganan untuk menarik mobilnya.Selang beberapa saat dia sudah tiba di rumah. Ket
“Aina!!” seru Fakhri.Fakhri sangat terkejut saat Aina tiba-tiba keluar dan langsung menyambar ponselnya. Tidak hanya itu malah Aina kini sudah mendengar apa yang seharusnya tidak dia dengar.“MAS!!! Bener apa yang dikatakan Robby? Bener kalau anak kita sudah meninggal? Bener, Mas?” tanya Aina.Wanita cantik itu kini bertanya dengan mata berair ke Fakhri. Fakhri hanya diam, ia tidak menjawab malah menyambar ponselnya dari tangan Aina.“Rob, nanti saja kita bicara lagi.” Fakhri mengakhiri panggilannya.Di seberang sana Robby tampak linglung. Ia serba salah dan bingung harus bagaimana, padahal dia hanya ingin memberi informasi ke Fakhri. Namun, malah runyam seperti ini.“Mas … kenapa diam saja? Kenapa gak dijawab pertanyaanku?” Aina kembali bertanya bahkan kini sudah menarik lengan Fakhri.Fakhri menghela napas panjang. Ia belum bisa menjawab apalagi ada Zafran yang sudah mengintip perdebatan mereka dari jendela. Rini bergegas keluar, m
“Kamu yakin dengan penemuanmu ini, Kres?” tanya Robby.Dia ingin sekali lagi menyakinkan informasi yang baru diterima ini. Robby tidak mau informasi yang ia berikan ke Fakhri mentah dan tidak akurat.Terdengar decakan suara Kresna di seberang sana, mungkin jika mereka bertemu muka pasti akan terlihat jelas kekesalan Kresna saat ini.“Kamu pikir aku ngarang cerita, gitu?”Robby langsung tersenyum mendengarnya. Ia tahu kredibilitas Kresna dan kinerjanya selama ini. Dia akan benar-benar mencari informasi yang diminta dengan akurat.“Ya sudah kalau memang informasinya sudah akurat. Memangnya kamu dapat dari mana informasi itu?”Kresna tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala.“Aku berhasil bertemu dengan petugas pemberkasan di rumah sakit itu. Meski sedikit alot, akhirnya dia bersedia menunjukkan rekam medis pasien tersebut.”Robby terdiam sesaat sambil menganggukkan kepala berulan
“Zafran,” batin Aina.Ia buru-buru membuka mata, mengurai pagutan mereka dan sangat terkejut saat melihat Fakhri sudah berada di atas tubuhnya dengan pakaian tidak lengkap. Tidak hanya itu, Aina juga tersentak kaget saat tangan Fakhri sudah masuk ke balik bajunya bahkan tengah bermain dengan gunung kembarnya.Fakhri terdiam. Dengan gugup, ia bangkit dari tubuh Aina sambil merapikan baju. Sama halnya dengan Fakhri, Aina tampak kikuk. Ia bangkit sambil mengancingkan bagian atas gaunnya yang sudah dibuka Fakhri. Tak dia hiraukan rambutnya yang tampak berantakan kali ini.Aina berjalan menuju pintu dan membukanya.“Eng … Ayah sedang mandi, Zafran. Sebentar lagi selesai.” Aina terpaksa berbohong.Zafran tersenyum, menganggukkan kepala sambil berlalu pergi. Aina kembali menutup pintu dan berjalan menuju kasur. Ia melihat Fakhri sudah terlihat rapi dan duduk terdiam di tepi kasur.“Maaf, Aina. Aku ---”Fakhri tidak meneruskan kalimatnya, tapi malah mendongak menatap Aina. Mata mereka bertemu
“Reza? Ada hubungan apa dia dengan Wulan?” tanya Fakhri.Baru tadi pagi Fakhri bertemu Reza dan sekarang dia sudah mendapat kabar jika Reza membantu memindahkan Wulan ke rumah sakit pusat kota.Robby tidak menjawab hanya mengendikkan bahu sambil mengaduk es jeruknya.“Entahlah …, tapi katanya mereka sempat pacaran usai kamu putus dengan Wulan. Bisa jadi Reza sengaja datang untuk menolongnya. Bagaimanapun dia masih mencintai Wulan.”Fakhri tersenyum hambar sambil menggelengkan kepala. Melihat reaksi Fakhri, membuat Robby penasaran.“Kenapa reaksimu seperti itu? Kamu tidak terlihat terkejut dengan kehadiran Reza.”Fakhri berdecak. “Aku baru saja bertemu dengannya tadi pagi, bahkan dia menawarkan sebuah kerja sama denganku. Kelihatannya kerja samanya menguntungkan dan aku putuskan untuk bergabung dengannya.”Robby terperangah kaget mendengar penjelasan Fakhri.“Gila!! Di
“Semua baik-baik saja kan, Mas?” tanya Aina.Fakhri melihat Aina sedang mendongak menatapnya. Mereka sudah berdiri di depan lift yang masih tertutup saat ini. Kemudian sebuah senyuman terukir dengan indah di raut tampan Fakhri.“Iya, baik-baik saja, kok.”Aina tersenyum lega kemudian sudah melenggang masuk ke dalam lift yang baru saja terbuka. Fakhri mengikuti dan sama seperti tadi, pria tampan itu terus merangkul bahu Aina. Tak lama mereka sudah berjalan keluar kantor menuju mobil Fakhri. Sepanjang perjalanan senyum lebar terus terlihat di wajah keduanya.Tanpa sadar ada yang sedang memperhatikan gerak gerik mereka dari dalam mobil. Seorang pria berwajah manis berkulit sawo matang menatap penuh cemburu dari balik kacamata hitamnya.“Siapa sebenarnya wanita itu?” gumam pria itu yang tak lain Reza, “apa dia mantan istrinya Fakhri?”Reza terdiam dengan jari yang mengetuk dagu. Matanya masih menatap jauh ke depan memperhatikan mobil Fakhri yang mulai berjalan meninggalkan gedung perkantor