Vioni kembali ke Kota Tumaz.Vioni tidak tahu apakah Johan masih mengirim orang untuk memantaunya atau tidak. Vioni juga tidak pergi menemui Yogi secara diam-diam.Restoran Berkah merupakan restoran ternama di Kota Tumaz.Saat Vioni sampai, Yogi sudah duduk di sana sambil menyilangkan kaki dan mengobrol dengan pelayan.Tatapan mata mesum dan gurauan kotor dari Yogi membuat mata gadis itu memerah. Gadis itu tidak berani mengungkapkan kemarahannya. Dia hanya bisa berdiri di sana dengan kepala tertunduk sambil meremas menu.Meskipun sudah punya persiapan dalam hati, hati Vioni tetap menegang ketika melihat Yogi.Tepat saat itu, Yogi melihat Vioni.Yogi langsung beranjak dari kursi dan melambai padanya dengan penuh semangat. "Vela!"Vioni mengepalkan tangan, lalu berjalan ke sana.Pelayan itu merasa lega. Setelah Vioni datang, dia segera menaruh menu di meja dan pergi.Tatapan mata Yogi mengikuti kaki pelayan itu. Sesaat kemudian, Yogi menoleh pada Vioni dan tersenyum. "Sudah lama nggak ke
Sesaat kemudian, Vioni menoleh ke belakang. "Oke, ceritakan saja."Jawaban Vioni membuat Yogi tercengang.Sebelum Yogi sempat merespons, Vioni langsung berjalan pergi.Yogi memukul meja karena marah. Ketika Yogi ingin menyusul ke luar, dia dihentikan oleh seorang pelayan pria. "Pak, kamu belum bayar.""Bayar apa? Aku belum pesan apa-apa!""Pak, meski kamu belum pesan makanan, kami tetap harus mengenakan biaya tempat."Sambil berbicara, pelayan itu melirik Yogi.Tatapan meremehkan pelayan itu tampak sangat jelas.Tubuh Yogi gemetar karena marah. Ketika Yogi ingin melempar kartu bank berisi satu miliar ke wajah pelayan, seseorang berseru, "Aku bayar saja."Yogi terkejut oleh suara itu.Begitu menolehkan kepala, Yogi melihat Sally sedang menyerahkan kartu bank kepada pelayan. Lalu, Sally tersenyum pada Yogi. "Paman Yogi bukan?""Kamu ....""Aku adik Vioni, Sally Tiura.""Oh, anak pungutan Keluarga Tiura."Yogi tersenyum seraya melirik Sally. "Kenapa? Apa yang ingin kamu katakan denganku?"
Vioni dan Benny bertemu di sebuah rumah makan milik pribadi.Vioni sudah tinggal di Kota Tumaz selama bertahun-tahun. Akan tetapi, jika Benny tidak memimpin jalan, Vioni sama sekali tidak tahu ada tempat semacam itu di Kota Tumaz.Rumah makan itu terletak di titik simpang antara pinggiran Kota Tumaz dengan pusat kota. Rumah makan tersebut dibangun dengan tembok putih dan ubin hitam, serta ada kolam teratai dan hutan bambu di dalamnya. Hanya sekilas pandang, Vioni mengira itu adalah taman rekreasi.Pemilik rumah makan tersebut adalah seorang wanita muda.Tampangnya tidak terlalu mencolok, tetapi anggun. Nada suaranya juga lembut.Benny jelas sudah berpesan pada wanita itu sebelumnya. Tanpa perlu memesan makanan, wanita itu menyajikan teh untuk mereka dan langsung keluar."Bahan makanan mereka disiapkan di hari yang sama, jadi harus pesan sehari sebelumnya. Aku sudah pesan sendiri kemarin. Kamu nggak keberatan, 'kan?"Benny tersenyum lembut pada Vioni. Sama sekali tidak tampak kejengkela
"Nggak nyangka Pak Felix juga datang ke sini malam ini. Kalau tahu begitu, harusnya aku ajak Pak Felix."Benny berkata sambil tersenyum. Sikapnya santai, sama sekali tidak canggung.Felix melepaskan tangan Benny, lalu melirik ke samping.Vioni tetap menundukkan kepala, tidak berencana untuk menyapa Felix.Felix memalingkan tatapan dari Vioni dan menanggapi omongan Benny, "Aku nggak akan ganggu kalian kencan, sampai jumpa lagi.""Oke, sampai jumpa lagi."Setelah basa-basi singkat, bos wanita menuntun Felix berjalan ke dalam. Benny kembali duduk di seberang Vioni."Aku nggak tahu dia juga ke sini malam ini."Benny memberi penjelasan pada Vioni."Nggak apa-apa."Ekspresi wajah Vioni sudah kembali normal. Dia tersenyum pada Benny.Benny tidak berbicara lagi.Benny-lah yang memulai topik pembicaraan dari tadi. Begitu Benny diam, suasana di antara mereka langsung menjadi canggung.Vioni berancang-ancang untuk memberitahukan keputusannya pada Benny. Tepat saat itu, seseorang berseru, "Wah, Ve
Yogi terdiam. Dia memicingkan mata saat menatap Vioni.Vioni menyeringai. "Kenapa jadi diam?""Vioni."Di tengah suasana canggung, Benny beranjak dari kursi dan menarik tangan Vioni.Vioni enggan mengalah. "Kamu nggak mau pergi, ya? Oke, aku pergi."Vioni berbalik badan dan hendak pergi.Ketika Benny ingin menyusul, Yogi berkata dengan santai, "Cih, sudah jadi nona muda selama beberapa tahun, pantas begitu congkak.""Tapi Vioni, jangan jadi kacang yang lupa kulitnya. Kalau bukan karena aku, kamu sudah mati kelaparan waktu itu. Mana bisa kamu bersikap congkak di sini?""Sekarang kamu malah merendahkanku karena aku nggak berguna? Vioni, karena kita adalah ayah dan anak, aku nggak mau bicara dengan ketus. Tapi kalau kamu benar-benar nggak menghargaiku, jangan salahkan aku karena mengungkapkan masa lalumu!"Saat Yogi selesai bicara, Vioni sudah pelan-pelan berhenti.Lalu, Vioni berbalik badan.Yogi menatap Vioni dengan wajah berseri-seri dan penuh kepastian.Tentu saja Vioni tahu mengapa Y
Semua orang di dunia ini ... sama.Bahkan jika kejadian itu terungkap, semua orang tahu dia adalah korban.Lalu, bagaimana?Ibu kandungnya pun tidak dapat menerimanya dan merendahkannya, apalagi orang lain?Vioni tidak diam di tempat untuk menjadi bahan tertawaan orang-orang. Dia melirik Benny sekilas, lalu berbalik badan dan pergi."Vela! Vioni! Berhenti kamu, dasar jalang!"Yogi berteriak-teriak di belakang, tetapi Vioni tidak menoleh ke belakang. Vioni berjalan dengan lebih cepat.Awalnya, Vioni ingin menghentikan taksi dan segera pergi.Setelah keluar dari rumah makan, ternyata masih cukup jauh untuk pergi ke jalan raya. Setiap pelanggan di sini adalah orang kaya, sama sekali tidak butuh naik taksi.Oleh karena itu, Vioni sendirian di jalan kosong itu.Vioni ingin mengeluarkan ponselnya dan memesan taksi online.Begitu mengeluarkan ponsel, Vioni mendapati jarinya gemetar hebat.Membuka kunci layar bahkan memakan waktu beberapa menit.Setelah berhasil membuka kunci layar, Vioni tida
Felix tidak menanggapi omongan Vioni.Tanpa perintah Felix, sopir tentu tidak akan menuruti arahan Vioni.Vioni mengepalkan tangannya dengan lebih erat.Vioni tahu Felix tidak peduli padanya. Mungkin dia selamanya adalah orang yang tidak layak di mata Felix, tetapi pada saat ini, Vioni tidak ingin Felix melihat aibnya.Sekalipun Felix juga merendahkannya, meremehkannya, dan merasa jijik padanya seperti orang lain.Vioni hanya ingin mempertahankan harga diri terakhirnya.Pada saat ini, harga diri terakhir itu hanya sebatas ... membiarkannya turun dari mobil dengan bermartabat.Sayangnya, Felix sepertinya sama sekali tidak ingin memenuhi permintaan kecil itu.Tanpa perintah Felix, sopir hanya bisa terus mengemudikan mobil ke depan.Vioni ingin berbicara lagi.Tepat saat itu, ponsel Vioni berdering.Nama penelepon ... juga seperti dugaan Vioni."Vioni, cepat pulang!"Suara Johan membawa kemarahan yang jelas, menembusi ponsel dan bergema dalam mobil yang hening.Vioni tidak terkejut. Setel
Vioni menghindar.Vas bunga pecah belah di lantai. Serpihan vas terpental hingga menggores betis Vioni. Lukanya langsung berdarah.Pada saat ini, tidak ada orang yang memedulikan itu.Johan menunjuk Vioni. "Kamu sengaja, ya? Kamu sengaja ungkapkan di depan orang banyak untuk menghancurkan dirimu, agar semua orang di Kota Tumaz tahu kamu adalah wanita jalang?""Kenapa aku bisa punya anak perempuan yang nggak tahu malu sepertimu? Kalau tahu begini, aku harusnya cekik kamu begitu kamu dilahirkan! Aku nggak seharusnya membawamu pulang dan membiarkanmu merusak reputasi Keluarga Tiura!"Tidak ada orang yang berani berbicara. Suara Johan yang nyaring terus bergema di ruang tamu yang tinggi.Bagaikan pisau tajam yang terus menyayat Vioni.Akan tetapi, ... Vioni sama sekali tidak merasakan rasa sakit.Vioni tidak lagi menghindari tatapan Johan. Dia berdiri di tempatnya dan bertatapan langsung dengan Johan."Kamu masih berani menatapku seperti ini? Oke! Hari ini, kupukul kamu sampai mati!"Sambi
Felix melirik ke arah layar ponselnya dulu, lalu bertanya, "Dari mana saja kamu?"Vioni mengerucutkan bibirnya, "Siapa suruh mengganti kunciku?""Jawab pertanyaanku."Wajah Felix terlihat marah.Awalnya Vioni ingin bertengkar dengannya. Akan tetapi, setelah menatapnya beberapa saat, akhirnya dia berkata, "Rumah sakit."Raut wajah Felix agak berubah dan menatap tubuhnya.Vioni tidak memperhatikan tatapannya dan hanya berkata, "Sore tadi mereka bilang ibuku sudah bangun, tapi tertidur lagi saat aku tiba di sana. Makanya aku terus menunggu di sana untuk melihat apakah dia akan bangun lagi atau nggak."Suara Vioni sangat lembut, jelas terlihat tertekan.Akhirnya raut wajah dingin Felix memudar, tetapi langsung teringat sesuatu, "Terus kenapa kamu nggak menjawab telepon?""Nggak bersuara, aku nggak sadar."Setelah mengatakan itu, Vioni juga bertanya, "Sekarang aku sudah boleh masuk nggak?"Felix pun menyingkir untuk memberi jalan baginya.Vioni membungkuk dan mengganti sepatunya, lalu melet
Dengan posisi tingginya, Felix telah melihat begitu banyak godaanYang jelas wanita di depannya adalah tipe yang paling buruk.Oleh karena itu, dia sama sekali tidak memedulikan wanita itu dan langsung menelepon Vioni.Panggilan tersambung, tetapi tidak ada yang menjawab.Wajah Felix menjadi semakin muram.Wanita itu berdiri di belakangnya dan tentu saja agak malu dengan pengabaiannya.Akan tetapi, setelah memikirkan mobil Felix dan pakaian yang dikenakannya yang jelas berharga, akhirnya dia mengumpulkan keberanian untuk melangkah maju dan bertanya, "Apa hubunganmu dengan Vioni? Kalian teman?""Tapi seharusnya dia nggak punya waktu untuk menjawab teleponmu sekarang, 'kan? Kalau nggak pulang selarut ini, dia pasti sedang berkencan dengan seorang pria, 'kan?""Kuberi tahu kamu, dia itu sama sekali nggak seperti penampilannya yang terlihat patuh dan diam-diam sangat liar. Pagi ini aku melihatnya ...."Sebelum wanita itu selesai berbicara, Felix tiba-tiba menoleh.Tatapan dingin dan tegas
Langit sudah gelap.Lampu di luar telah dinyalakan dan lampu neon warna-warni serta lautan lampu merah pada jam sibuk malam hari menyatu membentuk pemandangan paling indah di kota yang ramai dan dingin ini.Gedung Grup Harmonis terletak di pusat kota. Jendela besar dari lantai ke langit-langit lebih mirip bingkai foto, membingkai segala sesuatu di dalamnya agar orang bisa menikmatinya.Felix berdiri di sana dan melihat dengan wajah datar.Dia memegang korek api dan menekan tombolnya satu per satu. Api biru menyala sebelum menghilang secara tiba-tiba.Lagi dan lagi.Felix tidak ingat banyak tentang ayahnya.Saat ini dia hanya ingat wajahnya yang tidak tersenyum dan tuntutannya berlebihan pada dirinya sebelum akhirnya dia terbaring di ranjang rumah sakit tidak mampu mengurus dirinya sendiri.Saat meninggal, Felix baru berusia 12 tahun.Meskipun tidak banyak perasaan antara ayah dan anak, setidaknya Felix ingat dia adalah ayah yang normal.Mungkin ayah dan ibunya masih bisa dianggap salin
Air mata Vioni tidak terbendung lagi."Bajingan," katanya dengan suara gemetar melalui gigi terkatup.Orang yang awalnya hendak menggigit leher Vioni berhenti setelah mendengar ucapannya.Lalu dia mendongak.Lipstik Vioni luntur, eyelinernya juga luntur karena air mata, rambutnya acak-acakan dan terlihat sangat menyedihkan.Akan tetapi, saat melihat air mata di bulu matanya, jantung Felix tiba-tiba berdebar.Kemudian, dia memperlambat gerakannya sambil memeluk bagian belakang kepala Vioni dan langsung menciumnya.Ciuman ini jauh lebih lembut dan Vioni tidak merasa jijik seperti sebelumnya.Sebenarnya Felix juga sedih kalau dia kesakitan.Sekarang sikapnya melembut, Felix juga menjadi tenang.Akan tetapi, saat Felix hendak berbicara dengannya, Vioni tiba-tiba membuka mulut dan menggigit bibirnya dengan kuat...."Pak Felix."Sudah sehari, tetapi Yakov masih melirik ke arah bibir Felix saat berbicara dengannya.Tentu saja, sebenarnya bekas telapak tangan di pipi Felix sangat menarik perh
"Apa yang sedang kamu lakukan?"Vioni tertegun sejenak, lalu mulai meronta, "Lepaskan aku! Felix, lepaskan aku!"Dia terus menendang-nendang kakinya dan salah satu sepatu hak tingginya terlepas.Koridor hotel berkarpet dan tidak menimbulkan suara saat membentur lantai.Dia menurunkannya setelah sampai di lift.Akan tetapi, Vioni dipojokkan olehnya. Saat hendak pergi, pria itu mencubit dagunya dan menciumnya.Dia tidak memberinya kesempatan untuk ragu atau meronta. Begitu menciumnya, ujung lidahnya langsung menyentuh gigi Vioni.Ciuman tanpa henti itu membuat Vioni langsung merasa tercekik.Akan tetapi, tangannya ditekan oleh pria itu dan dia bahkan tidak memiliki kesempatan untuk mendorongnya menjauh.Lutut Felix langsung diangkat dan menyelinap ke dalam gaunnya.Dia jelas lebih mengenal tubuhnya dibandingkan orang lain. Gerakannya yang agak kasar membuat Vioni merasa tidak berdaya.Dia hanya bisa melihat pedang itu mendarat, mengulitinya dan menghancurkan tulang-tulangnya.Yang membua
Baru pada saat itulah Vioni menyadari sesuatu dan kaki yang semula akan menendang perlahan ditarik kembali.Topeng masih menempel di wajahnya, tetapi sorot matanya sangat dingin seolah ingin mencabik-cabik Vioni."U ... untuk apa kamu membawaku kemari?"Akhirnya Vioni bertanya setelah menatapnya beberapa saat."Kenapa, merasa aku menghancurkan rencanamu?"Raut wajah Felix menjadi semakin jelek dan tangannya mencengkeram dagu Vioni.Lupakan saja penolakan terhadap ajakan menari dan tendangannya. Saat ini kekuatan tersebut seolah akan menghancurkan tulang Vioni.Alis Vioni berkerut dan saat hendak menepis tangan pria itu, Felix meraih tangannya sambil mengangkat lutut dan langsung menekannya di antara kedua kaki."Nona Vioni sangat terkenal."Dia menatapnya, "Kok aku nggak tahu kamu punya potensi menjadi seorang pelacur?"Dulu Vioni pendiam dan membosankan, hanya pada saat tertentu dia menunjukkan sifat centil yang berbeda.Awalnya Felix mengira hanya dia yang bisa melihat sisi dirinya y
Negosiasi antara Vioni dan Tuan Muda Martin berjalan sangat lancar.Setelah lagu berakhir, mereka tidak meninggalkan panggung dan malah memulai tarian kedua."Aku masih belum tahu siapa namamu?"Tuan Muda Martin bertanya padanya.Vioni mengangkat alisnya, "Ini adalah pesta dansa topeng, jadi nggak perlu bertukar nama, 'kan?""Tapi bukankah kamu sudah tahu identitasku? Sepertinya ini nggak adil bagiku.""Ada cukup banyak orang di sini yang mengetahui identitas Tuan Muda Martin. Kamu sangat terkenal, aku juga nggak bisa berbuat apa-apa."Suara Vioni terdengar agak tidak berdaya.Akan tetapi, Tuan Muda Martin sama sekali tidak marah dan hanya berkata, "Apa itu berarti aku nggak akan punya kesempatan untuk mengajakmu makan setelah malam ini?""Hm, ada." Vioni mengangguk dengan serius, "Setelah waktunya tiba, bawalah ayahmu bersamamu dan aku akan ikut Pak Jared untuk makan bersama. Bukankah akan menyenangkan bisa makan bersama?""Jadi setelah sekian lama, kamu ini bawahan Jared? Sekretaris,
"Tuan, tahu nggak arti dari siapa cepat dia yang dapat?"Tuan Muda Martin menoleh dan bertanya sambil tersenyum.Felix berkata tanpa mengubah ekspresinya, "Aku tahu, tapi menurutku pilihannya ada di tangan wanita ini."Ucapan Felix membuatnya sulit untuk menjawab.Felix tidak melihat ke arah Tuan Muda Martin lagi, hanya menatap Vioni.Saat ini sepasang mata yang selalu setenang air itu seolah sedang berusaha keras untuk menahan sesuatu, seperti arus yang bergemericik.Tangan Vioni yang tergantung di sisinya tidak tanpa sadar mengepal.Setelah beberapa saat, dia tiba-tiba tersenyum dan meletakkan tangannya di telapak tangan Tuan Muda Martin, menyetujui ajakannya.Sorot mata Felix tiba-tiba menjadi muram.Tangan yang terbentang itu tiba-tiba terkepal.Dia ingin melihat ke arah Vioni lagi, tetapi Vioni sudah berbalik.Felix menatap punggung mereka dan mengatupkan gigi.Saat ini Jared melangkah maju, "Pak Felix."Felix menatapnya dengan wajah datar."Nggak kusangka malam ini kamu akan data
"Kamu lihat orang yang berdiri di arah jam enam?"Jared bertanya.Karena langkah tariannya, saat ini kedua tubuh itu sangat berdekatan. Vioni sudah lama tidak bermain seperti ini. Saat ini napasnya tidak begitu stabil dan keringat mengalir di ujung hidung di bawah topeng.Setelah Jared bertanya, dia langsung menoleh."Ya, terus?""Itu putra Pak Rufus dari Grup Helios. Dia telah memperhatikanmu selama beberapa waktu. Nanti aku akan memperkenalkan kalian, bisa berdansa dengannya sebentar?"Vioni hanya terkekeh, "Kenapa?""Belakangan ini aku bersiap untuk bekerja sama dengan ayahnya."Jared tidak menyembunyikan apa pun dari Vioni dan berkata, "Kali ini selama kamu bisa membantuku, aku bisa membiarkanmu langsung berinvestasi dalam produksi hak cipta. Kalau serial TV terkenal, kamu juga akan mendapatkan dividennya."Vioni masih tersenyum dan sepertinya tidak peduli dengan apa yang Jared katakan.Jared tidak terkejut dengan reaksinya dan melanjutkan, "Tentu saja, mungkin uang nggak begitu me