“Abang yakin? Karena kalau kita udah keluar dari sini itu berarti kita mengibarkan bendera perang sama mereka! Aura enggak punya siapa-siapa lagi selain Abang.” Aura bertanya mencari keyakinan.“Abang yakin, Ra! Abang enggak akan pernah ninggalin kamu,” kata Rendra dengan sorot mata penuh keyakinan.Aura mengangguk kemudian Rendra membawakan tas sang istri lalu menarik tangan Aura hingga pintu balkon.Dia turun duluan sebelum akhirnya membantu dan menjaga istrinya dari bawah.Sebelum keluar, Aura melihat mang Engkus datang mendekat membuatnya ketakutan lalu bersembunyi di belakang punggung suaminya.“Makasih Mang, akan saya balas nanti kebaikan, Mamanh, ini saya kembalikan handytalkienya!!” Aura mengangkat kedua alisnya terkejut, dia pikir acara kabur-kaburan ini akan gagal karena ketauan Mang Engkus.Tapi sepertinya mang Engkus lah yang membantu Rendra untuk bertemu dengannya.“Enggak usah Den, tolong jaga non Aura aja! Bahagiakan dia,” tukas mang Engkus setelah menerima kem
Aura mencari keberadaan suaminya ketika terbangun dan tidak mendapatkan Rendra dia atas ranjang. Tengah malam tadi mereka memutuskan untuk berhenti di salah satu kota di bagian timur pulau jawa karena Rendra tidak kuat menahan kantuk.Pelarian mereka nyaris saja gagal karena tidak ada satupun dari mereka yang membawa kartu identitas.Beruntung hotel tersebut adalah milik keluarga salah satu temannya yang dikelola oleh pemiliknya sendiri sehingga tidak mempertanyakan identitas dan malah menyambut baik.Instrumen kayu berwarna coklat mendominasi kamar hotel tersebut bahkan di depan loby sana ada gebyok besar berukiran indah.Aura jadi ingat keluarga oma Reta di Jogja.Kedua kaki Aura menuruni tempat tidur kemudian beranjak melangkah menuju kamar mandi namun terhenti ketika melewati teras setelah mendengar suara suaminya.Aura menyibak sedikit tirai yang menutupi jendela, ternyata Rendra sedang bicara melalui sambungan telepon.Dari yang Aura dengar, orang di sebrang sambungan t
Tubuh Aura menegang dengan wajah pucat pasi ketika melewati pemeriksaan.Rendra hanya memberikan ponselnya kepada pria berseragam lalu pria itu tersenyum dan mempersilahkan mobil mereka memasuki kapal Feri di pelabuhan Ketapang.Sementara ekspresi suaminya datar seperti biasa yang selalu ditunjukan kepada orang-orang.Setelah Rendra memarkirkan mobilnya dengan mulus di parkiran yang terdapat di lambung kapal, lelaki itu menarik rem tangan kemudian menoleh ke samping.Meraih tubuh istrinya untuk dia peluk. “Enggak apa-apa, sayang! Jangan tegang gitu, Abang janji kita akan baik-baik aja!” Aura dilahirkan di keluarga yang kental dengan adat jawa, hidupnya yang selalu lurus dan mulus tidak pernah melanggar norma agama, normal adat apalagi norma hukum yang berlaku.Jangankan itu, melanggar keinginan kedua orang tua dan omanya pun tidak pernah Aura lakukan.Sementara saat ini, dia sedang dalam pelarian karena memberontak tidak ingin menuruti keinginan kedua orang tua untuk bercerai
“Bro!!!” Rendi berteriak sambil melambaikan tangan dari pintu kedatangan. Narendra Alvaro Gunadhya atau yang kerap di sapa Rendra itu pun tersenyum ketika pandangannya berhasil menangkap sosok sang sahabat. Sesaat kemudian terdengar jeritan histeris dari para gadis yang sedang berbaris menunggu kerabat mereka di pintu kedatangan. Ternyata jeritan histeris itu ditujukan kepadanya, Rendra tidak mengerti kenapa yang pasti dirinya seperti aktor korea yang sedang mengunjungi Indonesia untuk konser. “Senyum-senyum sih, Lo! Jadi cewek-cewek pada histeris,” seloroh Rendi setelah pelukan masculin keduanya terurai. Seperti biasa, hanya senyuman yang diberikan Rendra sebagai balasan meski begitu merindukan sahabat kecilnya itu yang kini sedang melanjutkan pendidikan di Australia. “Kita jemput Alisha dulu di rumah sakit ya!” cetus Rendi dan sama seperti sebelumnya, Rendra membalas dengan anggukan. “Ndra! Gue heran deh, bokap lo ‘kan punya Privat Jet kenapa lo masih pake pesawat komer
Setelah Rendra mengiyakan dengan berat hati keinginan seluruh anggota keluarganya, rangkaian acara pernikahan itu pun akhirnya bisa dilangsungkan. Seluruh keluarga tentunya sangat berbahagia karena Rendra menikah dengan gadis yang sudah mereka kenal dengan sangat baik. Mereka tidak pernah tau jika Rendra harus mengorbankan perasaan dan cintanya untuk membuat mereka bahagia. Untuk pertama kalinya Rendra menitikan air mata setelah puluhan tahun tidak merasakan kesedihan karena selama ini hidupnya selalu dinaungi kebahagiaan yang melimpah ruah. Keluarga yang harmonis, materi yang berlebihan dan kasih sayang semua orang. Namun saat ini hati kecil Rendra merasa bila dirinya sedang dikorbankan dan dia harus mengorbankan cintanya kepada Alisha. Rendra menatap cermin di hadapannya, beskap putih dengan kancing yang berada di samping dada dan juga jarik di bagian bawah sudah begitu rapih membalut tubuhnya. Angkin atau stagen—kain panjang untuk melilit bagian perut—dan ikat pinggang
Di Ballroom besar sebuah hotel mewah bertempat di Kota Kembang Bandung, semua orang telah menanti. Grandma Mery dan grandpa Salim telah berada di tengah-tengah keluarganya dengan wajah penuh binar bahagia. Rendra yakin granpa dan grandmanya langsung terbang dari Inggris ke Indonesia setelah mendengar kabar pernikahannya yang tiba-tiba. Sedangkan oma Reta yang beberapa hari lalu tampak pucat dan sakit-sakitan kini wajah cantiknya memancarkan begitu banyak kebahagiaan. Semua tersenyum ke arahnya namun di hari yang seharusnya bahagia ini Rendra begitu sulit melengkungkan sebuah senyum meski samar sekalipun. Rendra dituntun petugas Wedding Organizer menuju sebuah meja kecil yang terdapat enam kursi memenuhi sisinya. Om Edward lebih dulu berada di sana, duduk di sebelah lelaki tua yang Rendra yakini sebagai penghulu. Om Rikcko dan om Kavin juga terlihat hadir di sana duduk di ujung meja, bertindak sebagai saksi pernikahan. Dan …. Seorang wanita mengenakan kebaya p
“Bang...senyum donk, jangan kaya kepaksa gitu!” tegur mama Rena yang baru saja masuk ke dalam membuat Rendra yang sedang berganti pakaian, menoleh. “Tau nih, Abang masa cemberut gitu di hari pernikahan.” Zeline yang mengikuti mama Rena dari belakang, menimpali pura- pura tidak tahu kalau pernikahan ini bukanlah pernikahan yang diharapkan sang kakak. “Bang, andai papa bisa...papa yang akan berada di posisi kamu tadi,” kelakar papa Andra dari belakang Zeline membuat mama Rena mendaratkan capitan panas di perut beliau. Papa Andra berakting mengaduh kemudian menarik tangan Rena sampai tubuh mungil wanita yang melahirkan Rendra dan Zeline itu menubruk dadanya yang bidang. Kedua tangan kekar itu kemudian melingkar di tubuh Rena dan kecupan demi kecupan Andra hadiahkan untuk sang istri tercinta. Rendra tersenyum samar melihat kemesraan kedua orang tuanya yang tidak lekang oleh waktu. Mungkinkah dia bisa mengalami hal seperti itu dengan gadis yang baru saja dinikahinya? Rendra me
Rendra masih enggan bicara dengan istrinya walau sebenarnya dalam kasus ini Aura tidak bersalah bahkan gadis itu pun salah satu korban dari keegoisan para orang tua. Hanya saja Rendra masih butuh waktu untuk menetralkan perasaannya dan menerima takdir yang telah di tetapkan untuknya. Setan dalam hatinya sempat memberi ide untuk mengakhiri pernikahan ini hanya dalam waktu beberapa tahun saja. “Bang....” suara yang hampir tidak terdengar itu memanggilnya dan Rendra tau berasal dari mana karena hanya dirinyalah dan Aura yang berada di kamar pengantin ini. “Abang mau mandi duluan atau Aura dulu?” sang istri bertanya namun Rendra yang semenjak masuk ke dalam kamar hotel memilih untuk menjatuhkan tubuhnya di sofa seraya menengadah dengan mata terpejam, begitu enggan menjawab. “Ya udah, Aura dulu ya Bang!” karena tidak ada jawaban, gadis itu memilih untuk menjawab sendiri pertanyaannya. Aura memutar tubuh memasuki kamar mandi, ia memilih membersihkan tubuh menggunakan shower