“Maafkan Ibu, Nak ….”
Mata Devi berkaca, saat melihat dengan seksama wajah yang selalu menjadi kekuatannya. “Ibu pastikan, yang melakukan ini padamu akan mendapatkan balasan setimpal!” ucapnya kemudian. Dunianya seolah runtuh, bahkan sendi pada tubuhnya terasa lemas. Kala wajah putra sulungnya itu sudah menghadap ke arahnya. Dengah gemetar, tangan Devi terulur dan menyentuh bagian sudut bibir Rayyan yang mengeluarkan cairan merah. Bahkan sisi wajah bagian kiri Rayyan pun memerah akibat dari tamparan yang diberikan oleh Jubaedah. “Pak! Tolong bawa Rayyan masuk ke mobil dan pergilah dari sini. Devi akan membereskan ini semua sampai ke akarnya!” Tanpa menoleh sama sekali, wanita yang masih berstatus istri sah Yogi itu meminta tolong pada sang ayah. Benyamin pun langsung paham, meski Devi sama sekali tak menatap ke arahnya. Terbukti dengan anggukan kepala yang diberikan oleh pria tua tersebut.“Katakan, Kek! Apa yang bisa aku lakukan untuk Ibu?!” Putra sulung dari Devi itu menoleh ke arah Kakek Benyamin dengan tatapan menyelidik. Ia tahu, jika ada hal lain yang belum dan ingin disampaikan oleh pria tua, ayah kandung sang ibu. “Bagaimana caranya, Kek?” Tak ada jawaban berarti yang diterima oleh Rayyan selain senyum misterius pada wajah keriput kakeknya. Kemudian pria tua itu merangkul sang cucu dan membawanya masuk ke dalam mobil. Tak lama kemudian, mobil taxi online tersebut perlahan pergi meninggalkan pelataran rumah Yogi. Sementara di teras rumah Yogi, masih ada Devi, Yogi dan keluarganya. Wanita 36 tahun tersebut sama sekali tak gentar, meski kini dirinya hanya tinggal seorang diri. “Bawa kemari kunci motor itu, Yogi!” titah Jubaedah pada anak laki-lakinya. Tangan kanan wanita itu terulur ke depan dan menengadah. Meminta kunci motor yang kini berada di tangan Yogi. Berbeda dengan ibu mertua d
“Heh! Dasar ratu drama!” Kini suara lain terdengar. Bukan suara Devi ataupun Yogi, melainkan suara Yessi yang kini menatap mencemooh pada adik iparnya tersebut. “Sudah aku bilang, bukan. Aku dan Ibu akan tetap jadi pemenangnya, karna kami adalah keluarga Yogi. Sedangkan kau?” Yessi tampak menjeda kalimatnya. Matanya menatap menyelidik pada sang adik ipar, dari atas sampai ke bawah. “Meski kau merubah diri menjadi apapun itu. Batu kerikil akan selamanya menjadi batu kerikil.”“Jadi jangan berharap jadi berlian!” lanjutnya sinis. “Betul itu! Tak tau diri!” Jubaedah menimpali ucapan dari putri sulungnya. Devi menggelengkan kepala. Dalam hati, ia merutuki kebodohannya, sebab telah mendengarkan ucapan Yogi yang menyatakan jika Ibu mertua dan kakak iparnya tersebut bisa berubah. Padahal kenyataannya? “Kamu liat ‘kan, Mas! Bagaimana perlakuan mereka padaku?” Telapak tangan Devi terbuka, kemudian mengarah ke arah dua wanita yang sangat b
“Tak perlu sungkan Pak RT, saya sudah tau semuanya,” tutur Devi kemudian. Ia mengangkat ponselnya yang kini tengah menampilkan aplikasi berbalas pesan. Dimana hampir beberapa orang menanyakan fakta tentang keributan yang terjadi di rumahnya. “Pasti juga sudah ada yang lapor ke Pak RT soal keributan beberapa saat lalu, juga keributan yang baru saja terjadi, bukan?” tanya Devi kemudian. “Makanya Bu RT bisa tau-tau ada disini. Itu tentu bukan sebuah kebetulan semata.” Glek! Susah payah, wanita yang dipanggil Bu RT tersebut meneguk ludah kasar. Memang benar apa yang dikatakan oleh Devi. Kedatangannya ke rumah Yogi bukanlah sebuah kebetulan. Melainkan untuk memastikan laporan dari beberapa warga yang mengatakan perihal keributan di rumah tersebut. “Maaf Mbak Devi. Saya akui, itu memang benar,” akunya kemudian. Daripada mengelak dan semakin membuatnya malu. Maka akan lebih baik jika mengakuinya. Begitu pi
“Begini, menurut berkas yang Mbak Devi berikan. Memang benar, jika motor tersebut sah milik Mbak Devi. Tak ada sepeserpun uang milik Mas Yogi yang masuk dalam nota pembelian motor tersebut,” jelas Pak RT. Entah seperti apa malunya Jubaedah dan Yessi, namun kedua manusia itu masih tetap duduk tegak dengan kepala mendongak. Tak peduli jika mereka sudah salah dan seharusnya merasa malu. “Lalu, bisakah saya bertanya, Pak RT?” tanya Devi, sesaat setelah ia memasukkan berkas tentang kepemilikan motor tersebut ke dalam tas. “Silahkan Mbak Devi. Jika saya bisa menjawab, pasti saya jawab,” sambut Pak Rt dengan legowo. Meski ia masih dipusingkan dengan urusan warganya yang satu ini. Devi mengangguk, kemudian menatap lurus pada ibu mertuanya. Hingga suara wanita itu kembali terdengar, “Apa hukuman bagi seseorang yang melayangkan serangan fisik dan verbal pada orang lain, Pak?” “Barang s
“Kita masih bisa membicarakan hal ini ‘kan, Sayang.”Jika orang akan berpikir, semudah itu Yogi melepas Devi. Maka jawabannya adalah tidak! Yogi masih enggan kehilangan sosok yang masih bertahta dalam hatinya. “Tanyakan pada hatimu, Mas.” Devi menatap lekat pada sang suami. “Bagaimana posisiku disana? Jika aku harus jadi yang kedua. Maka keputusanku sudah benar!”“Tidak!” sanggah Yogi, sebab kenyataannya Devi adalah satu-satunya ratu dengan tahta tertinggi dalam hati laki-laki itu. “Kamu satu-satunya, tak ada yang lain lagi, Sayang.”Pak Rt dan Bu Rt yang masih berada di sana hanya bisa diam. Mencoba mengerti akan situasi sulit pasangan suami istri tersebut. “Satu-satunya? Benarkah?” tanya Devi tak percaya. Yogi langsung mengangguk cepat. Mengiyakan ucapan sang istri. “Aku satu-satunya istrimu, tapi aku nomor tiga setelah ibu dan kakakmu,” imbuh Devi melanjutkan. “Sudahlah, Mas. Hubungan ini sudah tak sehat.”“Lagipula, ak
“Belum juga cerai, udah jalan sama laki-laki lain. Memalukan!”Lagi, ucapan pedas diterima Devi dari sosok perempuan yang kini tengah berdiri sambil terus menatap sinis ke arahnya. “Apa maksud-”“Heleh! Memang benar gosip yang beredar, kalo kamu itu istri gak bener!” Wanita itu tampak menyela perkataan Devi. Kemudian dengan tangan bersilang di dada, wanita yang kini masih menatap sinis pada Devi kembali bersuara, “Emang udah bener si Jubaedah gak suka sama kamu, Devi!”“Di rumah aja keliatan sok alim, sok paling tersakiti. Tapi kenyataannya malah, yang kukira cupu ternyata suhu.. Uwow!” ucapnya kemudian. Arya dan Devi tampak saking pandang. Coffe shop yang sore itu tampak sedikit ramai, menjadi semakin ramai saat suara keras tamu tak diundang tersebut. “Bisakah Anda menurunkan nada bicara?” tukas Arya yang mulai menyadari, jika mereka sudah menjadi pusat perhatian di sana. “Kenapa Bos? Malu?” Bukan menurunkan nada su
“Apa saya gak salah denger, Bu?”Devi menatap miring pada wanita yang kini menatap nyalang kepadanya. “Tadi Ibu sendiri yang bilang soal cupu dan suhu. Dan saya sendiri hanya memberikan contoh nyata. Apa itu bisa dikatakan kurang a-jar?” tanya Devi dengan nada santai. Ia tahu betul karakter duo racun tetangga tersebut. Setiap ada gosip, mereka selalu menjadi orang-orang pertama yang akan menggosoknya dan menyebarkan gosip tersebut dengan menambah ataupun menguranginya. “Jika tak ingin diusik maka jangan mengusik, Bu!” Devi kembali bersuara, sejenak ia tampak menjeda kalimatnya. Kemudian melirik tajam pada kamera ponsel yang masih menyorot kepadanya. “Jika aku mau, aku bisa membuka semua aib dan kebusukan kalian. Tapi aku tak akan melakukannya. Tak ada bedanya antara kalian dan diriku, jika sampai itu kulakukan,” tukas Devi kemudian. “Heh! Dasar wanita sok suci! Apa kau pikir, berduaan dengan laki-laki lain yang bukan suaminya itu
“Ada apa?”Rona keterkejutan tak bisa disembunyikan dari wajah Sarminah. Hingga suara wanita bertubuh sedikit berisi itu kembali terdengar, “Jangan bilang itu masih-”Dengan tergagap Maysaroh menganggukkan kepalanya patah-patah, diiringi suaranya yang menjawab pertanyaan dari Sarminah, “I-Iya, ini masih nyala!”“Dasar Maysaroh go-blok! Cepat matikan!” umpat Sarminah pada akhirnya. Matanya melotot, menatap nyalang pada bestienya tersebut. Jika duo racun itu tampak saling bersitegang, berbeda dengan Devi yang menampilkan senyum puas. Hingga cibiran dari mulutnya akhirnya terlontar, “Tak patut ….” Sebelas tahun hidup bertetangga dengan mereka. Tentu membuat Devi mengetahui bagaimana tabiat kedua tetangganya tersebutAh, tidak! Ralat, mantan tetangganya tersebut. “Ketinggalan dimana sebenarnya otak kau ini, May?” Tanpa memperdulikan Devi dan Arya, Sarminah kembali mengumpat pada rekan seperjuangannya tersebut. “Bisa-bisanya kau lup
“Li-lisa?”Handoko tergagap, tubuhnya kaku. Berita yang baru saja dikatakan oleh Devi membuat dirinya tak bisa berfikir jernih. Hingga beberapa saat kemudian… “Kapan, Devi? Dan.. darimana kamu tau kabar itu?” ucap Handoko lagi. “Mas Handoko… beneran gak tau kabar terakhir Lisa?”Suara Devi lirih namun tegas, menusuk di antara deru langkah mereka di koridor rumah sakit.“Aku bahkan tak tau apa-apa, Devi.”Jawaban Handoko terdengar datar, hampir tak terdengar, namun ia menatap Devi dengan tatapan tajam. “Aku memang meninggalkan dia tadi pagi, tapi.. Saat itu dia masih…”“Soal itu…”Devi berhenti sejenak, menarik napas, seolah-olah menunggu kata-katanya diserap penuh oleh Handoko. “Dia baru saja ditemukan tidak bernyawa, sekitar satu jam lalu.”Handoko membeku. Sorot matanya berubah, seolah kata-kata Devi baru saja menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. “Kamu serius?”Devi mengangguk pelan. “Aku
“Kapan kejadiannya?” tanya Devi dengan nada khawatir. “Baru tadi sore, Mbak. Kemungkinan kami akan mengurusnya besok…” ucap seseorang dari seberang sana. Devi menganggukkan kepala, meski lawan bicaranya tak akan melihat apa yang ia lakukan. Sebuah ponsel masih menempel di telinga kanan Devi. Mantan istri dari Yogi tersebut tampak serius mendengarkan apa yang diucapkan oleh sosok nan jauh disana. “Kami bingung harus mengabari siapa dan kemana. Jadi, aku memutuskan mengabari Mbak Devi. Meski aku tau, mereka nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak…”“Ya sudah tak apa,” ucap Devi, merespon lawan bicaranya. Namun, manik mata wanita itu tampak melirik sekilas ke arah mantan kakak iparnya. “Aku tak bisa menjanjikan apapun, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tau apa yang bisa kulakukan.”“Makasih ya, sudah mengabariku,” imbuh Devi yang kemudian langsung dijawab oleh sosok di seberang sana. Berikutnya, wanita berambut panjang itu segera
“A-apa? Siapa tadi namanya?”Devi tergagap, dan langsung menoleh ke arah Handoko. Ia tak ingin percaya dengan apa yang ia dengar. Akan tetapi.. “Dok, tolong katakan sekali lagi. Apakah tadi Anda mengatakan jika pasien di kamar ujung itu bernama Yessi?”Dokter tersebut menoleh seketika, wajahnya menunjukkan keengganan yang samar sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Benar. Beliau memang Yessi.”Devi nyaris limbung, sementara Handoko tak bisa mengalihkan pandangan dari dokter itu.“Kami ingin bertemu dokter yang merawatnya, apakah bisa?” kata Handoko, suaranya nyaris berbisik namun berisi kepastian yang tidak terbantahkan.Dokter tersebut menatap keduanya, lalu menghela nafas pendek. “Baiklah, saya akan mengatur agar kalian bisa berbicara dengannya. Semoga saja jadwal tidak terlalu padat.”“Tapi, apa kalian mengenal pasien itu?” Baru saja selesai mengatupkan mulutnya. Pria berjas putih tersebut kembali bersuara. Dan langsung dibalas anggukan kepala oleh Devi dan Handoko. Kemudian, Devi
“Semoga Rossi baik-baik saja…”Gumaman Handoko terdengar lirih.Devi dan Handoko masih terdiam, duduk di bangku panjang ruang tunggu rumah sakit dengan pikiran berkecamuk. Mereka belum mendapat kabar dari dokter tentang kondisi Rossi, dan ketegangan di antara mereka semakin terasa. Suara bising dari pasien yang melintas, serta langkah-langkah terburu-buru para perawat yang sibuk, membuat suasana menjadi semakin menegangkan. Devi menatap lurus ke lantai, sementara Handoko memegang tangan Aurora dengan erat, berusaha mencari ketenangan.Seketika, sebuah suara dari ujung lorong menarik, lagi-lagi berhasil perhatian mereka. Suara erangan seorang wanita, kembali sangat jelas meski teredam dari balik pintu. Devi dan Handoko saling berpandangan, ekspresi bingung terlukis di wajah mereka.“Mas Handoko dengar suara itu?” bisik Devi, suaranya hampir tenggelam di antara suara lain di sekitarnya.Handoko mengangguk pelan. “Iya. Suaranya sangat k
Devi merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tetesan keringat dingin mengalir di pelipisnya saat melihat Siska mendekat dengan wajah yang tak kalah tegang. Rossi, yang berada di ujung jembatan, tampak semakin tersudut, seperti seekor binatang yang siap menerkam siapa pun yang mendekat. Nafas Devi semakin berat, tetapi dia tetap berusaha menjaga suaranya tetap tenang, penuh tekad meski di dalam hatinya, dia dipenuhi kekhawatiran yang mendalam.“Siska, aku tak tahu lagi harus gimana,” ucap Devi dengan suara bergetar, berusaha keras untuk tidak memicu kepanikan di dalam dirinya. “Rossi makin sulit dikendalikan.”Siska mengangguk cepat, pandangannya tajam, meski jelas ada ketakutan di balik matanya. Dia lalu berjongkok beberapa meter dari tempat Rossi berdiri. Gerakannya sangat hati-hati, seperti sedang mendekati kaca yang siap pecah kapan saja.“Rossi, dengerin Tante. Kita semua di sini buat kamu,” kata Siska pelan, berusaha menenangkan. “Kami n
Rossi berlari secepat mungkin, kakinya menjejak tanah keras di halaman yang sempit. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tapi yang jelas gadis itu benar-benar tidak ingin berada di sana. Pikirannya kacau, marah, kecewa, dan benci semuanya melebur, kemudian berbaur menjadi satu.“Rossi!” teriak Handoko sekali lagi, kali ini dengan nada putus asa. Pria itu mencoba mengejar, tapi sosok bocah mungil yang masih ada dalam gendongan, membuatnya tak bisa bergerak lebih cepat. Sementara disisi lain, Devi dan Siska segera melangkah keluar rumah. Wajah dua wanita cantik itu penuh kecemasan.“Biar aku yang kejar,” ujar Devi cepat, melepaskan diri dari genggaman Siska yang hendak menahannya.“Devi, tunggu!” Siska memanggil sang sahabat, tapi Devi sudah berlari mengikuti Rossi, keponakannya. “Aku tak boleh membiarkan gadis itu sampai kenapa-napa,” ucap Devi bergumam. Kakinya masih terus terayun, diiringi suara deru nafasnya yang kian memberat. Sepatu heels 5cm yang ia kenakan, semakin membuat wani
“Bu-”Devi terus berusaha menenangkan mantan ibu mertuanya. Bersama dengan Siska ia terus melakukan negosiasi, namun nyatanya itu sama sekali tak berhasil. Hingga tak lama setelah itu, suasana semakin tegang, dan Handoko yang dari tadi hanya diam akhirnya angkat suara. “Bu Jubaedah, saya hanya ingin bertemu dengan Rossi. Sebagai ayahnya, saya punya hak untuk tahu di mana dia berada.”Jubaedah mendengus marah, matanya menyipit saat menatap mantan menantunya. “Ayahnya? Setelah semua yang kau lakukan, kau masih berani menyebut dirimu ‘ayah’? Kau baru datang sekarang, tapi di mana kau selama ini ketika anakmu butuh dukungan?”Handoko terdiam, tak bisa membalas. Rasa bersalah menyelimuti dirinya.Devi, yang melihat keadaan semakin memanas, melangkah maju. “Bu, tolong. Ini bukan tentang siapa yang salah atau benar. Rossi kabur, dan Ibu tentu tahu jika dia sedang tidak dalam kondisi baik. Kalau dia memang ada di sini, biarkan kami menemuinya. Kami h
“Kabur? Siapa yang kabur, Dev?” Pertanyaan pertama meluncur dari mulut Handoko. Devi tak menjawab, namun gerakan tubuhnya mengisyaratkan, jika wanita itu akan beranjak dari tempatnya kini. “Mas Handoko, setelah ini mau kemana?” Setelah meraih tasnya, Devi menoleh pada mantan kakak iparnya dan bertanya arah serta tujuan pria itu. Namun, gelengan kepala dari Handoko menjawab pertanyaan Devi dengan segera. Hingga detik berikutnya, wanita berambut panjang itu kembali bersuara, “Kalau begitu, akan lebih baik jika Mas Handoko pergi bersama kami.”Usai mengatakan hal tersebut, Devi mengayunkan kakinya menuju ke arah pintu keluar cafe tersebut. Tak hanya itu, dua orang lainnya tampak berjalan mengekor di belakang mantan istri dari Yogi itu. “Kok bisa dia kabur, sih?” tanya Devi yang kini sudah duduk di kursi belakang sebuah mobil. Sementara di sisi kanannya ada seorang wanita cantik yang amat dikenal oleh Devi. Sambil mengangkat kedua bahunya, wanita itu pun menjawab, “Mana aku tau Dev
“Aku tak pernah ingin menjauhkanmu dari ibumu. Tapi-”“Arrghh …,” pekik seseorang yang tanpa sengaja bertabrakan dengan sosok laki-laki yang kini tengah menggendong seorang balita. “Maaf, maaf. Maaf karna saya kurang memperhatikan jalan,” ucap sosok tersebut sambil menundukkan kepalanya berkali-kali. “Devi?”Mendengar suara sosok yang ia tabrak, sontak membuat wanita yang ternyata adalah Devi itu menegakkan kepalanya. “Mas Handoko?” jawabnya. “Beneran Devi tho? Aku pikir salah orang, soalnya suara kamu familiar banget, tapi-”“Tapi apa, Mas?” tanya Devi saat Handoko, mantan kakak iparnya, tampak menggantungkan kalimatnya. Handoko yang masih membawa Aurora yang tampak terlelap dalam gendongannya itu, segera memindai mantan adik iparnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kamu, agak beda dari terakhir kali aku liat,” jawab Handoko sedikit memelankan nada suaranyaDevi tersenyum, tentu wanita itu mengerti apa maksud dari ucapan mantan kakak iparnya tersebut. “Disini panas, Mas. K