Pandu langsung menerobos masuk ke rumah Alisya dengan khawatir saat melihat banyak orang di sana. Jantungnya berdebar kencang, bahkan dia bahkan tak peduli dengan beberapa orang yang menyapanya, dia hanya ingin memastikan kalau dua orang yang dia sayangi itu baik-baik saja. "Al, kalian kenapa? Apa yang terjadi? Apa ada orang jahat yang masuk kemari?" berondong Pandu dengan napas terengah penuh kekhawatiran. Alisya yang tengah berbicara dengan bulek Par dan beberapa ibu-ibu lainnya sontak menoleh terkejut apalagi Pandu yang langsung menghampirinya dan memutar tubuhnya untuk memastikan sesuatu, setelah puas wanita itu menatap Alisya tajam. "Mana Bisma?" tanyanya. "Sama Rani di kamar." "Apa dia baik-baik saja kenapa banyak orang di sini?" tanyanya. Alisya yang mulai paham dengan semua tindakan Pandu langsung meringis dan meminta maaf pada ibu-ibu yang dia ajak bicara dan segera menarik Pandu untuk ke kamar mereka. "Mas kenapa sih, datang-datang bikin heboh. Aku dan Bisma
"Bolehkah saya pinjam istri saya sebentar kami harus pergi ke suatu tempat," kata Pandu sambil tersenyum pada ibu-ibu yang membantu Alisya memasak di dapur. Sejak pagi Pandu melihat istrinya begitu sibuk di dapur, memang sih sang istri tak melupakannya dan masih menyiapkan semua kebutuhannya tapi tetap saja dia tidak menyukai Alisya yang terlalu sibuk seperti itu. Acara ini tidak untuk menjadikan istrinya babu. Cukup dirinya dulu dia pernah tersesat dengan melakukannya. "Cie mbak Lisya dicari suaminya yang ganteng lho, kangen istrinya ya mas di sini tidak bisa bebas," kata seorang ibu dengan menggoda yang langsung disambut riuh oleh yang lain. Wajah Alisya langsung merah padam, apalagi tangan Pandu yang terulur membantunya untuk berdiri. Dia tidak pernah imun dengan pesona Pandu yang membuatnya tersipu malu seperti gadis perawan. Alisya tidak menampik kalau suaminya itu sangat menarik, meski tidak tergolong sangat tampan seperti Pram tapi Pandu punya daya tarik tersendiri y
Memang ya wanita meski bisa memaafkan tapi tak mudah untuk melupakan. "Apa kita bisa ke dokter lain saja," kata Alisya. Saat ini mereka memang akan menemui dokter dan juga terapis yang akan membantu Bisma untuk tidur seperti semula lagi, meski Alisya sedikit protes tadi karena di rumah saat ini sedang banyak orang yang sedang membantu mereka untuk persiapan pesta nanti malam. Akan tetapi si tuan muda selalu punya cara yang membuat Alisya tak bisa menolak keinginannya, yaitu dengan mendatangkan bibi juga beberapa orang juru masak dari rumah keluarganya. Jadi dari pada Pandu kembali berulah dia setuju saja untuk jalan sekarang setelah menyerahkan semuanya pada bulek Par dan bibi untuk memantau orang-orang bekerja. Masalah sebenarnya baru muncul saat Pandu mengatakan kalau dokter yang akan mereka datangi adalah kenalan ayah laki-laki itu, membuat Alisya menjadi curiga. "Memangnya kenapa? apa kamu kenal dengan dokter ini?" tanya Pandu penasaran. Jujur saja menghadapi ibu-i
"Oalah, syukurlah kalian cpat pulang, bulek sudah mau lapor polisi saja tadi." Alisya langsung meringis lalu melirik sedikit pada Pandu yang terlihat sekali juga tidak enak hati. Ini pertama kalinya memang mereka menghabiskan waktu bersama sebagai keluarga. Setelah mengunjungi dokter tadi mereka memutuskan untuk mengajak bermain Bisma di wahana bermain, keputusan yang tidak tepat karena di rumah mereka pasti sudah ditunggu. Akan tetapi senyum dan tawa sang buah hati membuat pasangan itu lupa segalanya. "Maaf, bulek," kata Alisya sambil menunduk merasa bersalah, ini sudah jam enam sore dan di depan sudah banyak warga yang datang padahal tuan rumah sendiri belum sampai rumah. "Ya sudahlah, kamu langsung temui para bapak-bapak undangan saja, Nak Pandu, dan Alisya sebaiknya lewat belakang saja," kata bulek. Tak ingin membuat masalah yang berpotensi mempermalukan dirinya sendiri Pandu langsung masuk ke dalam ruang tamu dan bersaalaman dengan para tamu. Satu hal yang sangat berbeda
"Sekarang katakan padaku, apa ini karena kejadian kamu pingsan itu?" tanya Sasti to the point. Tiba-tiba saja Sasti datang ke kantor Alisya dan menyeret wanita itu untuk pergi makan siang di mall yang memiliki fasilitas taman bermain untuk Bisma. Kemarin malam memang Alisya sengaja mengundang atasannya itu dan dia datang bersama sang kakek. Kalau dipikir-pikir lucu juga melihat para konglomerat yang biasanya berada di tempat mewah tiba-tiba berkumpul di rumahnya yang sangat sederhana, tapi syukurlah baik Pandu maupun orang tuanya bersikap sangat baik mereka bisa mengimbangi obrolan tamu yang datang. "Atau kalian memang sudah berencana rujuk waktu itu?" tanya Sasti tak sabar. Padahal aroma dan rasaa soto ayam pesanananya ini sangat menggugah seleranya, Alisya bahkan sudah hampir menghabiskannya, tapi kalimat Sasti membuat napsu makannya hilang, padahal dia harus banyak makan karena Bisma membutuhkan asinya. "Maaf, bu. Apa ini nanti ada hubungannya dengan kerier saya?" tanya Ali
"Kenapa Ran?" Rani menggigit bibirnya dengan resah, terlibat sekali dia tak enak hati ingin bicara sedangkan Bisma masih anteng dalam gendongan gadis itu. "Nggak sih, saya hanya khawatir pada mbak Alisya, atasan mbak tadi sampai bicara seperti itu, Rani sih nggak ngerti tapi permasalahannya pasti berat? apa mbak Lisya baik-baik saja?" Mereka memang kembali ke hotel diatar oleh Sasti langsung, dengan dalih dia adalah orang yang bertanggung jawab maka dia akan mengantar Alisya dan rombongannya kembali ke tempat kerjanya tapi selama perjalanan Alisya harus menebalkan telinga mendengar ocehan Sasti. Selama ini dia mengenal atasannya itu sebagai orang yang judes dan dingin tapi ternyata bila sudah kenal bisa menjadi cerewet juga. "Kamu jangan kasih kesempatan untuk wanita-wanita penggoda di luar sana untuk mendekati suamimu, kalau ada indikasi dia akan tergoda dengan mereka segera bertindak jangan diam saja," kata Sasti, untung saja Bisma ada di kursi belakang bersama Rani jadi di
"Mas mau makan atau mandi dulu?" tanya Alisya sambil mengulurkan air putih dalam gelas pada Pandu, sedangkan tangan kirinya menggendong Bisma yang terlihat sangat senang melihat ayahnya datang. "Biar aku gendong Bisma dulu," kata Pandu yang siap mengulurkan tangannya tapi dengan sigap Alisya menjauhkan anak itu. "Mas cuci tangan dulu deh, baru dari luar," katanya. Tanpa banyak bicara Pandu mengembalikan gelas kosong ke tangan Alisya lagi dan masuk ke kamar mandi tak lama kemudian dia keluar lagi sambil mengeringkan tangannya. Benar-benar cuma cuci tangan ternyata. "Sudah boleh kan? Adek main sama papa ya," kata Pandu sambil mengambil Bisma dari gedongan sang istri. Alisya yang akan mencegah hanya menghela napas panjang, mungkin Pandu memang sangat merindukan putra mereka. "Mau disiapkan makan malam sekarang?" tanya Alisya. Pekerjaan Pandu memang sudah tidak terlalu sibuk jadi dia bisa tiba di rumah Alisya sebelum makan malam. "Boleh tadi juga aku belum makan siang sepertinya
Bahkan sudah beberapa kali Pandu membukakan pintu mobil untuknya dengan penuh perhatian tapi tetap saja membuat Alisya salah tingkah. Pernikahan mereka memang terjadi secara mendadak dan tanpa perencanaan sama sekali, tapi sebagai dua orang dewasa dan beradab tentu mereka harus menghargai komitmen yang telah mereka buat. Pandu sudah berusaha membuktikan dirinya untuk mau berkomitmen dengannya, setidaknya itu yang terlihat di depan Alisya saat ini, dan Alisya harus melakukan hal yang sama juga bukan. "Terima kasih, Mas," katanya sambil tersenyum. Pandu membalas senyum itu sambil mengelus rambut Alisya lalu mengambil Bisma yang seperti tak sabar untuk digendong papana. "Aku antar kalian sampai masuk ruanganmu," kata Pandu yang diangguki oleh Alisya, sejak mereka menjadi suami istri lagi Pandu selalu melakukan hal ini setiap mengantar Alisya ke kantor, mulanya wanita itu mencoba menolak tapi bukan Pandu namanya kalau menuruti apa maunya dengan mudah. "Bu Alisya, tunggu!" Alisya m
Air mata mengalir setelah dia menutup pintu taksi.Betapapun kerasnya dia berusaha tegar, tapi Laras hanya manusia biasa. Dia juga bisa merasakan sakit melihat suaminya bersama wanita lain.Bodoh!Tak henti-hentinya Laras memaki dirinya sendiri karena telah jatuh terpelosok pada lubang ini.Laras tahu sesekali sopir taksi yang dia tumpangi menatap padanya, tapi dia sedang tak peduli pada sekelilingnya. Laras hanya ingin mengungkapkan sakit hatinya kali ini, benar hanya untuk kali ini saja dia membiarkan dirinya menangis untuk Pram.Puas menangis, Laras memalingkan wajah menatap sepanjang jalan yang dia lalui, bukan pemandangan indah memang tapi cukup untuk sedikit mengalihkan perhatiannya sampai...“Sialan! Mbak baik-baik saja?”Mobil tiba-tiba saja oleng ke samping lalu berhenti dengan bunyi deci
Ternyata aku hanya tameng untuk mereka.Betapa lucu hidup ini, dulu dia sekuat tenaga untuk tidak jatuh cinta pada seorang laki-laki. Menolak semua cinta yang datang mendekatinya, seharusnya dia tetap berpegang pada prinsipnya dan tidak membiarkan siapapun mengenalkan cinta padanya. Hidupnya mungkin memang akan terasa hampa tapi setidaknya dia tidak akan mengalami yang namanya patah hati. Laras tidak siap untuk itu, dia patah disaat dia berpikir utuh hidup dengan keluarga baru. “Apa kamu akan ke kantor?”Laras menatap datar kedua manusia yang langsung memisahkan diri, senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi dia memilih menutup mata. Dia bukan bertahan demi harta atau cinta, dia bertahan untuk keadilan yang harus dia perjuangkan. Sakit memang, tapi dia berusaha keras mematikan hatinya. Sup ayam yang dia masak tadi terasa pahit di lidahnya, tapi Laras tak peduli dia butuh makan, mungkin besok-besok dia tak akan mau lagi memasak. “Tidak, aku akan mengantar Clara ke dokter,” kata Pra
Laras terbangun di pagi hari dengan semangat yang baru. Pagi ini memang mendung, tapi tak membuat suasana hatinya muram seperti sebelumnya. Berita yang dia dengar malam tadi tanpa sengaja membuatnya optimis pelaku pembunuhan ayah mertuanya akan segera tertangkap. Bukan ayahnya tentu saja, Laras sangat yakin akan hal itu. Polisi yang tadi malam datang ke rumah ini mengatakan kalau tidak ada pembelian racun oleh ayah Laras, dan Pram meminta penyelidikan ulang kenapa ayahnya bisa minum racun itu. Setidaknya ada harapan, ayahnya akan terbebas dari tuduhan itu. Dia ingin berterima kasih secara layak pada Pram dengan cara memasakkan makanan kesukaan laki-laki itu, dia bahkan melupakan fakta kalau ibu tiri Pram sangat rajin membuatkan sarapan untuk Pram dan rasanya tentu saja jauh lebih enak dari pada buatannya. “Clara belum bangun?” tanya Laras pada salah satu pembantu yang biasa membantu Clara membuat sarapan. “Belum, nyonya.” Laras tahu di belakangnya para pembantu rumah ini juga
“Kamu yakin akan membiarkannya? Kamu tahu ucapannya itu cukup masuk akal. Dan yang lebih penting dia tidak bersalah.” Pram masih mondar-mandir di ruang kerjanya, ini hari terakhir dia akan ada di sini, setelah ini dia akan memimpin kantor pusat perusahaan keluarganya. Menggantikan sang ayah. Sedangkan Aris sang asisten sekaligus sahabatnya, hanya duduk diam menatap laki-laki itu datar.Pram pikir dia masih akan lama menggantikan sang ayah. Meski terkenal playboy dan suka kawin cerai sang ayah adalah pembisnis yang sangat handal, dia merasa belum banyak belajar dari sang ayah. Kesedihan ini, bukan hanya karena sang ayah yang membagikan semua pengetahuannya padanya, tapi karena beberapa bulan terakhir ini mereka terlibat perang dingin dan itu semua karena wanita. Pram tidak habis pikir kenapa dia bisa setolol itu, biasanya dia yang mengendalikan para gadis yang mengejarnya, dia merasa sudah sangat tahu bagaimana cara mengatasi mereka, tapi lagi-lagi dia salah. Clara adalah anomali
"Apa menurutmu itu tidak aneh?"Alisya menatap Laras dengan seksama, dia memang sengaja datang berkunjung ke kediaman Pram selain untuk memberi dukungan dan bela sungkawa pada sahabatnya itu juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pertemuan terakhir Alisya dengan pasangan itu, dia merasa sangat optimis hubungan keduanya akan semakin membaik meski dulu dia tidak yakin kalau keduanya saling mencintai seperti yang mereka katakan. Akan tetapi dengan peristiwa ini hubungan kedua sahabatnya itu berada di ujung tanduk, sebagai sahabat Alisya tentu ingin kalau hubungan keduanya akan bahagia. "Memang sih ada yang aneh menurutku," gumam Alisya. "Tapi yang terpenting sekaraang kita harus bisa memecaahkan kenapa ayah Pram minum racun di rumah ayahmu, apa kamu sudah bertemu dengan ayahmu? apa dia mengatakan ada orang lain di sana atau-" "Atau apa?" tanya Laras karena Alisya langsung terdiam dan berpikir keras. "Atau sebenarnya racun itu digunakan oleh seseorang untuk membunuh ayahmu, ta
"Ini tidak adil! Pasti ada yang salah!" Laras membeku ditempatnya saat melihat Clara yang biasanya anggun dan sombong kini memakinya dengan kalimat yang bahkan tidak pernah dia bayangkan keluar dari mulut wanita berpendidikan, bukan hanya dirinya bahkan wanita itu berusaha menyerang pengacara berwajah masam yang tadi membacakan surat wasiat mertuanya. Sungguh dia sama sekali tak menyangka kalau sang mertua akan melakukan ini semua. Semua hartanya memang jatuh ke tangan Pram sebagai ahli waris utama keluarga ini memang, tapi sebagai istri sah ayah Pram, mungkin Clara berharap dia juga mendapat warisan juga meski tak sebanyak Pram, tapi ternyata dia sama sekali tidak mendapatkan apapun selain diperbolehkan tinggal di rumah ini seperti biasa dan mendapat uang saku bulanan sebesar lima puluh juta sebulan. Bagi Laras mungkin jumlah itu lebih dari cukup bahkan dia bisa menabung uang itu untuk membeli rumah di pinggir kota dan memulai usaha, tapi Clara yang biasa hidup hedon tentu uang
“Apa memang mereka sengaja melakukannya?” Menunggu momen yang tepat untuk memperlihatkan kalau mereka adalah pasangan yang serasi di depannya. Laras tahu kalau selamanya Pram dan Clara tak mungkin bisa bersatu, tapi zaman sekarang apapun bisa dilakukan demi sebuah tujuan yang ingin dicapai. Bahkan menggoda anak tirinya sendiri. Clara jelas menyadari kehadiran Laras, dia bahkan dengan tidak tahu malunya menempelkan bagian depan tubuhnya pada lengan Pram. Rasa cemburu berubah menjadi jijik, jika memang mereka saling menginginkan dia akan dengan senang hati mengundurkan diri, rasa cintanya pada Pram belum terlalu dalam jadi dia tidak akan butuh usaha keras untuk melupakan laki-laki itu. Dia tidak sudi dijadikan tameng untuk dua orang ini berbuat sesukanya. Laras berjalan tenang menuju dapur mengambil peralatan makan untuk dirinya sendiri, dan mulai makan dalam diam seolah dua mahluk di depannya itu tidak ada di sana
“Untuk apa kamu nekad datang kemari.” Dingin dan menusuk, itulah kata pertama yang didengar dari mulut sang suami setelah seharian ini jiwa dan raganya lelah dihajar kenyataan. Acara pengajian sang mertua baru saja usai dan para kerabat yang datang sudah meninggalkan rumah ini, ada memang beberapa yang tetap tinggal tapi tentu saja sudah masuk kamar yang telah disediakan. Laras bahkan tak tahu sebanyak apa kamar di rumah ini, tapi tentu saja itu sama sekali tidak penting untuknya karena Clara sudah mengatur semuanya, sangat detail dan mewah seperti pesta yang biasa Laras hadiri di rumah ini dulu, seolah kali ini juga acara biasa seperti yang biasa ada.Beberapa kerabat yang dulu dia tahu mencibir Clara karena lebih memilih ayah Pram dari pada Pram yang tunangannya sendiri, kini seolah berdiri terdepan untuk menguatkan wanita itu, bahkan dia melihat Pram memeluk Clara untuk menenangkannya. Laras tahu seharusnya dia tidak merasa marah atau sakit hati, mungkin saja Pram tak tega meli
“Pembunuh! Ini semua pasti rencanamu! Kalian orang rendahan! Pergi!” Laras terkejut saat tiba-tiba tubuhnya di dorong dengan keras, untung saja Aris yang ada di belakangnya sigap menahan tubuhnya. Clara berdiri di depan pagar dengan mata menatapnya penuh kebencian, sepertinya dia baru saja sampai rumah ini. Ambulance baru saja pergi kemungkinan wanita itu menyusul di belakang dengan mobil pribadi. Meski Laras tak melihat suaminya. “Sudah kubilang bukan, datang ke rumah ini bukan keputusan bijak,” bisik laki-laki itu tapi Laras menggeleng dan melepaskan tangan Aris dia bahunya. Dia menarik napas panjang, dia tidak bersalah. Dia tidak sudi diperlakukan seperti pesakitan dan meski ini masih perlu dibuktikan tapi Laras sangat yakin kalau ayahnya sama sekali tidak bersalah. Laras menatap istri ayah mertuanya itu ditarik paksa oleh beberapa orang yang mungkin kerabatnya. Berita kematian sang mertua itu dia terima sejam yang lalu tepatnya Aris yang mengatakan padanya saat dia masih ad