Alisya sudah siap jika Pram akan mencercanya dengan semua stock kata-kata kasar yang laki-laki itu miliki saat mereka duduk bersama seperti ini. "Untung aku tidak terkena serangan jantung saat kamu menghubungiku tadi," kata Pram tenang, terlalu tenang membuat Alisya malah menatap sengit teman baiknya itu. "Jangan lebai deh Pram, kamu nggak punya bakat jantungan aku tahu itu," kaa Alisya dengan tidak suka. "Jantungan itu biasanya karena kaget bukan karena bakat, kamu tuh kalau soal duit aja pinter tapi kok bisa jatuh di lubang yang sama dua kali," omel laki-laki itu yang membuat Alisya menarik napas dengan lega. "Syukurlah kamu sudah normal, hampir saja aku tadi suruh pak ustad untuk sekalian rukiyah kamu." Pram langsung melotot tak terima dan menggeplak kepala Alisya galak, dia bahkan tak peduli saat wanita itu mengaduh berlebihan. "Aku baru keluar dari rumah sakit tahu," omelnya kesal. "Terus kamu mau ngadu sama suamimu gitu," ejek Pram. Alisya terdiam dan kali ini wajahnya be
"Awalnya saja kamu sok jual mahal, ternyata malah membuat drama murahan seperti ini."Semua orang sudah pulang, bahkan bulek Par yang terlihat kelelahan juga sudah permisi pulang meninggalkan Pandu beserta kedua orang tuanya di sini. "Ma!" tegur dua orang laki-laki dewasa itu bersamaan. Alisya langsung menunduk, dia tahu cepat atau lambat ini akan terjadi, seharusnya dia lebih keras berusaha untuk menolak dan menjelaskan semuanya dengan lebih baik. Saat bekerja tidak jarang dia melakukan negosiasi dengan para klien tapi entah kenapa tadi dia sama sekali tidak bisa meng-argue para tetangga yang datang begitu juga dengan Pandu yang terlihat sama sekali tidak bisa berbuat banyak. "Maafkan saya." "Kamu tidak salah, Al. Pak RT hanya datang di saat yang tidak tepat saja, kamu tahu diantara kita berdua tidak ada yang salah, itu kecelakaan," kata Pandu sambil menggenggam tangan Alisya erat. "Papa senang kalian akhirnya kembali bersama," kata ayah Pandu yang langsung menghentikan perd
Alisya yang sekarang bukan Alisya yang dulu. Wanita itu tak hanya bisa menunduk dan melakukan yang dia katakan.Duduk dalam satu ruangan bersama wanita ini sebagai suami istri sudah menjadi angan dalam diri Pandu entah sejak kapan dan pelan-pelan menjadi obsesi untuknya sehingga dia menerima saja rencana sang ayah, akan tetapi dia boleh tersenyum senang sekarang rencana Tuhan ternyatag jauh lebih indah meski dia juga harus membereskan beberapa hal setelah ini. "Apa syarat yang ingin kamu ajukan katakanlah," kata Pandu dengan yakin. Mungkin sejak dia melihat sendiri kalau Alisya ternyata masih perawan, atau saat melihat wanita itu berusaha keras melawannya untuk menemui sang ibu yang sekarat atau mungkin saja saat Alisya memutuskan pergi dari rumah mereka, cinta itu hadir dalam hatinya. Dulu dia mengagumi gadis kecil yang dengan berani menolongnya dan menyatakan gadis itu sebagai cinta pertamanya, saat dia menemukan gadis itu Pandu berusaha keras untuk mencintainya meski logikanya
"Kamu yakin mau kerja hari ini?" tanya Pandu entah untuk keberapa kalinya. "Iya aku sudah banyak absen, pekerjaanku pasti menumpuk, belum lagi mbak Sasti bilang Fahri mengundurkan diri," kata Alisya. Pandu yang sedang memangku Bisma sambil minum susu menatap Alisya dengan tatapan yang begitu dalam, yang sama sekali tidak diketahui artinya oleh wanita itu. Alisya menahan lidahnya untuk bertanya lebih jauh. Perkataan Pandu kalau perpisahannya dengan Sekar adalah sebuah kesalahan membuat hatinya terluka, tapi dia berusaha menekan egonya saat terdengar rengekan putra mereka dan bagaimana laki-laki yang sehari-hari itu dilayani oleh beberapa orang mau memandikan putra mereka dan memberi ASIP. Alisya tidak buta untuk bisa melihat kalau Pandu begitu menyayangi Bisma. Alisya pasti akan menyampaikan ganjalannya itu pada Pandu, sekaligus mencari tahu seberapa serius laki-laki itu dengan hubungan yang baru berjalan. "Tidak bisakah kamu resign saja aku bisa memenuhi kebutuhanmu dan Bisma, s
"Aku sedang meeting dengan klien dari Jepang lanjut makan siang nanti. Kamu dan Bisma akan makan siang di mana? Atau aku kirim saja makan siang dari restoran favoritku?" Pesan itu sudah diterima sekitar pukul sepuluh tadi tapi karena ada banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan Alisya baru bisa membukanya pada pukul sebelas, satu jam sebelum makan siang dan beberapa kali Pandu juga sudah menghubunginya/ Wanita itu tertegun menatap ponselnya, bukan karena berpikir ingin memesan menu apa melalui Pandu tapi karena hal ini adalah sesuatu yang asing untuknya. Selama hidupnya dia tidak pernah mendapat perhatian seperti ini dari laki-laki. Sejak muda dia sama sekali tidak punya waktu untuk mengenal istilah pacaran, hidupnya dulu dihabiskan dengan belajar giat supaya beasiswanya tidak lepas, pun setelah lulus kuliah dia konsentrasi untuk bekerja menggantikan ibunya, apalagi setelah itu sang ibu mulai sakit-sakitan. Laki-laki yang dekat dengannya hanya Pram, itupun tidak pernah melaku
Alisya berdiri melongo di depan rumahnya. "Lis, kok berdiri bengong saja di situ," tegur Bulek Par, padahal Bisma sudah dibawa masuk oleh Rani, Alisya malah masih bengong di samping mobil yang tadi dikirim oleh Pandu untuk menjemputnya. "Eh iya bulek, memang barangnya harus sebanyak ini ya?" tanya Alisya bego. Tadi setelah bulek Par menghubunginya, Alisya langsung menghubungi ayah mertuanya untuk bertanya kiriman apa yang diberikan, tapi sayang sekali sudah beberapa kali dia melakukan panggilan tapi tidak diangkat membuat Alisya langsung menghubungi Pandu yang langsung dijawab pada deringan pertama. Kiriman barang-barang pribadi laki-laki di rumah orang tuanya, katanya. Akan tetapi Alisya sama sekali tidak memprediksi kalau barang-barang pribadi si tuan muda ternyata sebanyak ini. Tiga koper besar yang Alisya tebak berisi pakaian dan perlengkapan lainnya milik Pandu, ditambah lagi meja lengkap dengan kursi kerjanya juga buku-buku dan baru saja datang lagi seperangkat meja
"Mbak Alisya katanya sduah menikah lagi kok nggak ada pestanya?" Alisya hanya meringis saat mendengar ucapan seorang ibu yang sedang berbelanja di warung dekat rumahnya. Hidup di pedesaan membuatnya jauh dari supermarket dengan segala keglamorannya, tapi Alisya tidak masalah sebenarnya toh di sini dia bisa membeli sayuran dan makanan fresh tanpa harus diawetkan atau dibekukan. Selain itu dia juga bisa lebih akrab dengan tetangga sekitar, tapi dengan begitu dia juga harus siap saat tetangga mulai julid padanya. Kadang kalau moodnya sedang baik, dia akan membalas hal itu dengan guyonan, tapi saat ini dia sedang capek setelah kerja rodi di rumahnya, Pandu memang dengan baik hati menawarkannya untuk memesan makan di luar tapi Alisya sedang tidak ingin makan dari restoran mewah manapun, dan karena stock bahan makanan di kulkasnya tinggal sedikit mau tak mau dia harus berbelanja. "Hanya syukuran saja, kemarin," kata Alisya berusaha keras masih tersenyum. "Lho katanya suaminya orang
Alisya memasukkan potongan apel ke dalam mulutnya untuk kesekian kalinya, sambil menatap Bisma yang berguling-guling malas di karpet sambil meminum ASIPnya. Ternyata membesarkan anak tak sesimpel yang dia duga, Alisya bahkan tidak mengerti dengan pola tidur Bisma sekarang ini. Apa anak ini bisa merasakan kalau hatinya sedang tak baik-baik saja dan tidak bisa tidur karena itu? tapi masak sih? Alisya ingin sekali membawa putranya ke dokter tapi berhubung hari ini tanggal merah dia memutuskan besok saja sekalian ke kota untuk bekerja."Kamu kenapa lihatin Bisma kayak gitu?" tanya Pandu yang sudah duduk di sampingnya sambil mencomot satu potong apel dalam mangkuk. Ini sudah sore dan mereka sekeluarga baru saja bangun tidur dan sekarang kelaparan, jadi Alisya hanya membuatkan mie instan untuk dirinya dan sang suami sebagai pengganjal perut dan menjadikan Apel sebagai pencuci mulut. "Kok Bisma sekarang kalau malam nggak mau tidur ya mas, sudah beberapa malam ini lho sejak aku keluar
“Kamu yakin akan membiarkannya? Kamu tahu ucapannya itu cukup masuk akal. Dan yang lebih penting dia tidak bersalah.” Pram masih mondar-mandir di ruang kerjanya, ini hari terakhir dia akan ada di sini, setelah ini dia akan memimpin kantor pusat perusahaan keluarganya. Menggantikan sang ayah. Sedangkan Aris sang asisten sekaligus sahabatnya, hanya duduk diam menatap laki-laki itu datar.Pram pikir dia masih akan lama menggantikan sang ayah. Meski terkenal playboy dan suka kawin cerai sang ayah adalah pembisnis yang sangat handal, dia merasa belum banyak belajar dari sang ayah. Kesedihan ini, bukan hanya karena sang ayah yang membagikan semua pengetahuannya padanya, tapi karena beberapa bulan terakhir ini mereka terlibat perang dingin dan itu semua karena wanita. Pram tidak habis pikir kenapa dia bisa setolol itu, biasanya dia yang mengendalikan para gadis yang mengejarnya, dia merasa sudah sangat tahu bagaimana cara mengatasi mereka, tapi lagi-lagi dia salah. Clara adalah anomali
"Apa menurutmu itu tidak aneh?"Alisya menatap Laras dengan seksama, dia memang sengaja datang berkunjung ke kediaman Pram selain untuk memberi dukungan dan bela sungkawa pada sahabatnya itu juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pertemuan terakhir Alisya dengan pasangan itu, dia merasa sangat optimis hubungan keduanya akan semakin membaik meski dulu dia tidak yakin kalau keduanya saling mencintai seperti yang mereka katakan. Akan tetapi dengan peristiwa ini hubungan kedua sahabatnya itu berada di ujung tanduk, sebagai sahabat Alisya tentu ingin kalau hubungan keduanya akan bahagia. "Memang sih ada yang aneh menurutku," gumam Alisya. "Tapi yang terpenting sekaraang kita harus bisa memecaahkan kenapa ayah Pram minum racun di rumah ayahmu, apa kamu sudah bertemu dengan ayahmu? apa dia mengatakan ada orang lain di sana atau-" "Atau apa?" tanya Laras karena Alisya langsung terdiam dan berpikir keras. "Atau sebenarnya racun itu digunakan oleh seseorang untuk membunuh ayahmu, ta
"Ini tidak adil! Pasti ada yang salah!" Laras membeku ditempatnya saat melihat Clara yang biasanya anggun dan sombong kini memakinya dengan kalimat yang bahkan tidak pernah dia bayangkan keluar dari mulut wanita berpendidikan, bukan hanya dirinya bahkan wanita itu berusaha menyerang pengacara berwajah masam yang tadi membacakan surat wasiat mertuanya. Sungguh dia sama sekali tak menyangka kalau sang mertua akan melakukan ini semua. Semua hartanya memang jatuh ke tangan Pram sebagai ahli waris utama keluarga ini memang, tapi sebagai istri sah ayah Pram, mungkin Clara berharap dia juga mendapat warisan juga meski tak sebanyak Pram, tapi ternyata dia sama sekali tidak mendapatkan apapun selain diperbolehkan tinggal di rumah ini seperti biasa dan mendapat uang saku bulanan sebesar lima puluh juta sebulan. Bagi Laras mungkin jumlah itu lebih dari cukup bahkan dia bisa menabung uang itu untuk membeli rumah di pinggir kota dan memulai usaha, tapi Clara yang biasa hidup hedon tentu uang
“Apa memang mereka sengaja melakukannya?” Menunggu momen yang tepat untuk memperlihatkan kalau mereka adalah pasangan yang serasi di depannya. Laras tahu kalau selamanya Pram dan Clara tak mungkin bisa bersatu, tapi zaman sekarang apapun bisa dilakukan demi sebuah tujuan yang ingin dicapai. Bahkan menggoda anak tirinya sendiri. Clara jelas menyadari kehadiran Laras, dia bahkan dengan tidak tahu malunya menempelkan bagian depan tubuhnya pada lengan Pram. Rasa cemburu berubah menjadi jijik, jika memang mereka saling menginginkan dia akan dengan senang hati mengundurkan diri, rasa cintanya pada Pram belum terlalu dalam jadi dia tidak akan butuh usaha keras untuk melupakan laki-laki itu. Dia tidak sudi dijadikan tameng untuk dua orang ini berbuat sesukanya. Laras berjalan tenang menuju dapur mengambil peralatan makan untuk dirinya sendiri, dan mulai makan dalam diam seolah dua mahluk di depannya itu tidak ada di sana
“Untuk apa kamu nekad datang kemari.” Dingin dan menusuk, itulah kata pertama yang didengar dari mulut sang suami setelah seharian ini jiwa dan raganya lelah dihajar kenyataan. Acara pengajian sang mertua baru saja usai dan para kerabat yang datang sudah meninggalkan rumah ini, ada memang beberapa yang tetap tinggal tapi tentu saja sudah masuk kamar yang telah disediakan. Laras bahkan tak tahu sebanyak apa kamar di rumah ini, tapi tentu saja itu sama sekali tidak penting untuknya karena Clara sudah mengatur semuanya, sangat detail dan mewah seperti pesta yang biasa Laras hadiri di rumah ini dulu, seolah kali ini juga acara biasa seperti yang biasa ada.Beberapa kerabat yang dulu dia tahu mencibir Clara karena lebih memilih ayah Pram dari pada Pram yang tunangannya sendiri, kini seolah berdiri terdepan untuk menguatkan wanita itu, bahkan dia melihat Pram memeluk Clara untuk menenangkannya. Laras tahu seharusnya dia tidak merasa marah atau sakit hati, mungkin saja Pram tak tega meli
“Pembunuh! Ini semua pasti rencanamu! Kalian orang rendahan! Pergi!” Laras terkejut saat tiba-tiba tubuhnya di dorong dengan keras, untung saja Aris yang ada di belakangnya sigap menahan tubuhnya. Clara berdiri di depan pagar dengan mata menatapnya penuh kebencian, sepertinya dia baru saja sampai rumah ini. Ambulance baru saja pergi kemungkinan wanita itu menyusul di belakang dengan mobil pribadi. Meski Laras tak melihat suaminya. “Sudah kubilang bukan, datang ke rumah ini bukan keputusan bijak,” bisik laki-laki itu tapi Laras menggeleng dan melepaskan tangan Aris dia bahunya. Dia menarik napas panjang, dia tidak bersalah. Dia tidak sudi diperlakukan seperti pesakitan dan meski ini masih perlu dibuktikan tapi Laras sangat yakin kalau ayahnya sama sekali tidak bersalah. Laras menatap istri ayah mertuanya itu ditarik paksa oleh beberapa orang yang mungkin kerabatnya. Berita kematian sang mertua itu dia terima sejam yang lalu tepatnya Aris yang mengatakan padanya saat dia masih ad
Inikah arti perasaan tak enak yang menghantuinya sejak kemarin. “Aku ikut, kamu akan ke sana bukan,” kata Laras. Bagaimanapun dia merasa akhir-akhir ini ayah mertuanya bukan lagi sosok menakutkan, laki-laki itu bersikap lembut dan hangat seperti kebanyakan seorang ayah yang hanya bisa dia dengar ceritanya dari teman-temannya. Laras bahkan berpikir mungkin saja di masa depan dia akan bisa memperbaiki hubungan dengan ayah mertuanya dan mereka bisa menjalin hubungan seperti ayah dan anak yang baik. Selain tukang kawin dan tidak bisa setia pada satu wanita, menurut Laras tidak ada yang salah dengan ayah mertuanya. Dia masih memperhatikan Pram dengan baik meski hanya dengan membayar orang untuk mengurus semua kebutuhan putranya. Hubungan Pram dan sang ayah secara pribadi memang memburuk karena Pram yang kesal dengan tingkah ayahnya, tapi saat keduanya berbicara tentang bisnis, bisa dibilang kalau Pram begitu kagum pada ayahnya.
“Anda yakin dengan isi surat ini?” tanya sang pengacara untuk kesekian kalinya. “Apa ada alasan aku tidak yakin dengan semua ini?” tanya laki-laki paruh baya yang masih tampan itu. “Maaf, maksud saya di sini tidak ada warisan untuk istri anda, bukankah seharusnya dia berhak juga atas harta anda.” “Dia hanya wanita yang baru saja aku nikahi, dan sama sekali tidak ada andil dalam mendapatkan hartaku.” Sang pengacara terdiam, tahu bahwa dia telah salah bicara. “Maaf, saya hanya mengingatkan karena di sini-“ “Aku memberi bagian untuk menantuku.” Sang pengacara mengangguk dengan wajah penasaran. “Itu memang haknya.” “Baiklah, saya mengeti.” “Tolong pastikan anda menjalankan surat wasiat saya, saya percaya anda memang pengacara yang dapat saya andalkan bahkan setelah kematian saya nanti.” Sang pengacara mengangguk dengan wajah tak terbaca lalu meminta diri lebih dulu dengan sopan. Senyum tenang lalu tersungging di bibir laki-laki itu. “Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk melindu
“Aku merasa papamu sangat aneh, Pram,” kata Laras entah untuk keberapa kalinya. Akhirnya memang mereka memutuskan makan siang di restoran yang sama dengan yang didatangi oleh Laras dan mertuanya tadi, tentu saja karena makanan di sini sangat enak menurut Laras. Lagi pula dia juga ingin bicara dengan sang suami mengenai yang terjadi siang tadi. Di mana lagi tempat bicara yang bisa membuat Laras mengingat semuanya selain tempat kejadian tadi. “Papaku memang kadang aneh,” kata Pram cuek. Dia sudah mendengar semua yang dikatakan Laras, meski merasa aneh dengan sang ayah yang tumben mau repot mengeluarkan uang untuk mengatasi masalahnya, tapi Pram segera ingat Clara, mungkin saja ayahnya melakukan itu supaya dia tidak menjalin hubungan lagi dengan wanita itu. Kayak dia mau saja dengan bekas ayahnya, batin Pram sinis. “Apa kamu tidak merasa ada hal yang sedang beliau rencanakan?” tanya Laras.“Mungkin asal dia tidak menganggu aku lagi bukan masalah sebenarnya.” Melihat Pram yang acu