MY WIFE SECRET
PART 3
Ibu menyambut kedatangan Risna dengan senyum bahagia. Kami dipersilahkan masuk. Belum sampai sepuluh menit Risna duduk manis. Ucapan Ibu membuatnya mendelik kesal ke arahku.
"Ris, bantu Luna sama Mia di dapur, ya," ujar Ibu lembut.
Risna mengeleng pelan ke arahku. Dia tidak terbiasa dengan dapur. Hal yang membuatnya kesal jika bertandang ke rumah Ibu. Bermacam alibi dia keluarkan. Salah satunya, kukunya akan rusak jika harus mencuci piring atau semacamnya.
"Pergilah, bantu yang Adek bisa saja," ujarku pelan. Ibu tersenyum seraya membuang muka mendengar ucapanku.
Risna berjalan ke dapur dengan terpaksa. Tertawa geli melihat tingkahnya. Beberapa kali dia menoleh ke arahku. Aku mengulas senyum manis untuknya. Memberi isyarat, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ibu mengajakku duduk dipondok depan rumah. Tempat yang sering aku habiskan untuk bersantai pada masa remaja. Suasana yang mengingatkanku pada almarhum Ayah.
"Ibu lihat, kamu terlalu memanjakan istri kamu, Wan," ujarnya dengan tatapan yang membuatku salah tingkah.
"Wan hanya ingin memberikan yang terbaik untuk istri Wan, Bu. Seperti Ayah yang selalu membahagiakan Ibu," jawabku pelan.
Aku selalu bangga melihat cara Ayah memperlakukan Ibu. Tidak pernah ada perdebatan antara mereka. Semua berjalan aman dan damai. Masa kecil yang bahagia. Dari dulu, aku selalu bertekad membahagiakan keluarga kecilku.
Ibu menghela napas panjang. Lalu berkata,"Wan, suami itu pemimpin dalam keluarga. Setiap kepemimpinannya akan diminta pertanggungjawaban di akhirat. Sayang boleh, tapi jangan sampai rasa sayang yang menjerumuskan Wan ke Neraka. Lihat cara berpakaian Risna. Sembilan tahun tidak berubah. Ibu bicara seperti ini bukan karena Ibu tidak suka sama istrinya Wan. Namun, Ibu ingin Wan mampu membawa keluarga kecil Wan ke jalan yang benar."
Aku berusaha menjelaskan kepada Ibu. Berulang kali sudah sudah menasehati Risna. Namun dia tetap pada pendiriannya. Suka dengan pakaian terbuka tanpa hijab. Aku memilih diam, dari pada hubunganku berantakan.
"Ibu bukan mengatur rumah tangga Wan. Namun, Ibu hanya mengingatkan yang terbaik untuk Wan. Hidup hanya sementara, akhirat selama-lamanya," nasehat Ibu seraya membelai pundakku pelan.
"Maafkan Wan. Wan sudah melukai hati Ibu," lirihku dengan bulir bening mulai menyembul disudut mata.
Ibu mengernyitkan dahi, membingkai wajahku dengan kedua tangannya.
"Maksud Wan, apa?"
"Wan belum bisa menjadi suami yang baik. Wan belum mampu memberi cucu untuk Ibu. Wan juga melukai hati Ibu dengan menolak menikahi Tisya," ungkapku satu persatu.
Ibu menyeka air mataku dengan ujung jemarinya yang mulai keriput. Tatapan matanya tetap sama, meneduhkan ke ulu hati.
"Mulai sekarang berusahalah merubah Risna ke arah yang lebih baik. Masalah cucu itu urusan Allah. Kemarin Tisya datang ke sini. Katanya dia baru pulang dari kota, untuk kedepannya dia akan satu kantor lagi dengan Risna."
Aku terkejut dengan ucapan Ibu. Bagaimana jika dia menyampaikan hal yang sama pada Ibu? Wanita itu terlalu lancang menganggu kehidupanku.
"Tisya bilang apa , Bu?" tanyaku pelan. Aku tak ingin Risna mendengar dan salah paham.
"Dia cuma silaturrahmi sama Ibu. Dia sering datang ke sini, cuma ibu nggak ngomong sama kamu. Hubungan dia dengan Mia dan Luna juga masih baik," jawab Ibu dengan wajah semringah.
Hah! Wanita itu masih saja menganggu keluargaku. Apa yang kamu lakukan, Tisya?
Geram dengan sikapnya yang terus- menerus mengangguku dan keluargaku.
Namun, aku lega mendengar penuturan Ibu. Setidaknya, Tisya tidak mengadu yang bukan-bukan pada Ibu. Jangan sampai penilaian Ibu pada Risna semakin buruk dengan berita yang disampaikan oleh Tisya."Mas!" teriak Risna dari dalam. Aku bergegas menghampirinya. Terpaksa obrolanku dengan Ibu terputus.
"Ada apa, Dek?" tanyaku panik.
"Mas, aku kecipratan minyak panas. Mbak Mia jahat, aku disuruh goreng ikan," keluh Risna membuatku tertawa.
Risna memperlihatkan tangannya yang sebenarnya tidak terlihat bekas kecipratan minyak. Namun, bagi Risna itu merupakan hal besar.
"Wan, bukan Salah Mbak. Istri kamu tu aneh, Mbak minta tolong cuci piring takut kukunya patah. Mbak suruh potong sayur takut kukunya rusak. Eh, Mbak suruh goreng ikan, dilempar ikannya ke wajan. Ya, kecipratan akhirnya," jelas Mbak Mia dengan kekehan penuh arti.
"Iya tuh, Mbak Risna aneh," celutuk Luna.
"Tuh, Mas lihat mereka memang mau ngerjain aku." Risna bergelayut manja di lenganku.
"Nggak, siapa yang mau ngerjain Mbak. Nggak ada, Mbak aja yang manja," jawab Luna dengan senyum mengejek.
"Luna!" pekik Risna kesal.
"Sudah-sudah, Mia sama Luna lanjut masak. Risna istirahat saja di kamar, ya," ujar Ibu seraya merangkul Risna.
Ibu mengarahkan Risna menuju kamar yang telah Ibu siapkan.
Aku mengikuti Mia dan Luna ke dapur. Mereka berdua terus menertawakan Risna. Satu hal yang membuat aku salut kepada kedua saudaraku. Meski mereka kurang menyukai Risna. Namun, aku tidak pernah mendengar kata-kata kotor dari mulut mereka berdua untuk Risna.
"Mas, udah ke dokter belum?" tanya sibungsu-Luna.
Huufh! Pertanyaan itu terlontar lagi dari Luna. Menyebalkan memang. Namun, harus tenang menghadapi situasi seperti ini.
"Ngapain ke dokter, Lun?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi heran. Berpura-pura tidak mengerti arah pembicaraan Luna.
"Mas cek kesehatanlah, udah jalan sembilan tahun, kalian juga belum punya momongan," jawab Luna seraya memasukkan ikan dalam pengorengan.
Aku melihat ke arah depan. Sepertinya Ibu masih sibuk dengan Risna. Aku menghela napas panjang. Haruskan aku mengatakan sejujurnya pada kedua saudaraku?
Berat rasanya harus mengungkap kenyataan yang menyesakkan dada. Empat tahun aku menyimpannya. Meratapi nasib yang tak berpihak kepadaku.
"Wan, benar apa yang dikatakan oleh Luna. Kami berdua sudah punya, sayang kamu belum. Anak itu titipan Allah. Namun, kita harus berusaha semaksimal mungkin," celutuk Mbak Mia yang sibuk dengan sayur ditangannya.
"Wan sudah pernah cek kesehatan empat tahun lalu," jawabku sepelan mungkin. Akhirnya, kalimat itu meluncur dari mulutku.
"Hasilnya?" tanya mereka hampir berbarengan.
"Tapi jangan bilang Ibu, ya?" pintaku dengan wajah memelas.
Mereka berdua melangkah mendekatiku. Tak sabar menunggu jawaban yang akan keluar dari bibirku.
"Mas mandul," lirihku pelan. Hati berderit terluka, ketika kata itu keluar dari mulutku.
"Tidak mungkin," jawab Luna spontan
Dia menatapku dengan wajah tak percaya. Lalu, mengelengkan wajahnya ke arah Mbak Mia. Mereka berdua saling pandang.
"Tidak mungkin, testnya salah. Keluarga kita tidak punya keluhan seperti itu. Anak Mbak udah empat, anak Luna dua, tidak mungkin kamu mandul, Wan," ungkap Mbak Mia tak percaya. Ada gurat kecewa di raut wajah cantiknya.
"Mas tes kesehatan sama siapa? Nama dokternya?" selidik Luna.
"Dokter Dhanu Bratayuda," jawabku.
"Kamu kenal, Lun?" tanya Mbak Mia. Menatap Luna tak sabar.
Pertanyaan Mbak Mia bukan tanpa sebab. Luna berprofesi sebagai dokter umum salah satu rumah sakit terkemuka di daerah kami tinggal. Tentunya, banyak dokter yang dikenali.
"Dokter Dhanu Bratayuda itu sahabatnya Mbak Risna, 'kan?" tanya Luna pelan.
Bersambung
MY WIFE'S SECRETPart 4Aku terdiam, dari mana Luna tahu, jika Dhanu Bratayuda adalah sahabatnya Risna."Sepertinya," jawabku asal. Karena Risna yang mengajakku ke tempat Dokter Dhanu.Inisiatif Risna mengajakku ke praktik sahabatnya. Aku tidak tahu menahu perihal yang di lakukan oleh Risna dan dokter tersebut. Aku hanya mengikuti rangkaian yang dokter tersebut minta."Mas ketempat praktiknya, 'kan?" selidik Luna."Iya, benar," jawabku."Gawat," gumam Luna seraya meremas lenganku."Gawat kenapa, Lun?" tanyaku bingung."Mas, Luna saranin Mas tes di tempat lain. Ada desas-desus dokter Dhanu dipecat dari rumah sakit, karena membantu memalsukan hasil test kesehatan pasien," bisik Luna seraya melirik ke arah depan.Jenak-jenak kebisuan kembali tercipta. Aku berusaha mencerna dengan baik ucapan Luna. Dia juga menjelaskan tentang sepak terjang Dhanu juga sudah dipecat dari rumah sakit. Sekitar lima tahun yang lalu,
MY WIFE'S SECRETPart 5Semua terdiam. Sepertinya larut dalam pikiran masing-masing."Jadi makanannya dilihatin doang, nggak dimakan?" tanyaku untuk mencairkan suasana.Semua seakan tersentak dalam lamunan. Entah apa yang mereka pikirkan."Ya dimakan lah, Mas. Ayo semangat! Makan udah laper. Nggak usah ngurus hati dulu. Cacing udah memanggil," cerocos Luna. Dia mulai mengambil nasi untuk dimasukkan dalam piringnya."Semangat, timpal Mbak Mia."Mbak, ada soto kesukaan Mbak Risna," ujar Luna seraya meletakkan ke depan Risna. Adikku masih berusaha sopan dan menghargai Risna. Terlihat Luna lebih dewasa dibanding Risna.Risna hanya tersenyum tipis, terkesan dipaksakan."Ini ada air dari pak ustad untuk Mas Ridwan dan Mbak Risna. Sudah dibacakan do'a supaya cepat punya momongan," ujar Luna.Dia meletakkan dua gelas berisi air putih di hadapan kami."Kami nggak mau minum minuman yang di sembur sama ora
MY WIFE'S SECRETPart 6Mobil mewahku memasuki kediaman kami. Baru saja aku memarkir mobil, Risna turun tanpa sepatah kata pun. Sampai si kembar menanyakan perihal sikap Mamanya. Dalih kecapean menjadi alibi terbaik untuk anak-anak.Aku meminta mereka turun dan beristirahat. Firasat mulai tak enak. Aku yakin, Risna sedang emosi dengan ulah keluargaku hari ini. Kesulitan terberat bagi pria untuk tetap adil antara istri dengan keluarga. Terlebih, Risna bagai bocah kecil saat berhadapan denganku.Aku melangkah mengikuti anak-anak. Mempersiapkan jawaban terbaik untuk segala pertanyaan Risna. Tabiat buruknya senantiasa mempersulit hidupku.Melangkah memasuki rumah yang kubeli dengan hasil jerih payahku. Kusapu seluruh sudut ruangan dengan netraku. Sungguh, ini semua tidak ada artinya, jika hati tidak tentram.Menyeret langkah gontai menaiki tangga. Tujuan utama saat ini menuju kamar.Aku berdiri di depan pintu. Aku tahu, Ri
MY WIFE'S SECRETPART 7Kubaringkan tubuh atas sofa keong. Pikiran menerawang kembali dengan rentetan cerita yang terjadi di rumah Ibu. Teringat akan ucapan Luna tentang Dokter Dhanu yang telah dipecat lima tahun lalu. Hasil tes kesuburanku empat tahun lalu. Artinya dia sudah dipecat dari rumah sakit tempat dia bekerja.Keraguanku semakin menjadi. Risna membawaku ke klinik ilegal. Apa maksudnya semua ini? Logikaku mulai berfungsi. Aku tidak akan menyia-nyiakan tawaran Luna untuk tes kesuburan. Keraguan semakin merasuki relung jiwa.Kuraih gawai dalam saku celana. Iseng membuka aplikasi google untuk mencari tahu tentang implan yang Tisya katakan padaku tempo hari."Mas lagi ngapain, kok asyik kali sama gawainya." Suara Risna membuat gawai ditangan terjatuh ke pangkuan. Padahal, belum sempat aku membaca artikel yang baru saja aku buka.Sial, kenapa tiba-tiba dia bisa berada di belakangku? Bukankah dia sudah terlelap?Pertanyaan ya
MY WIFE'S SECRETPART 8"Mas!" teriak Luna seraya melambaikan tangan ke arahku di pojokan parkir. Seutas senyum manis dia perlihatkan padaku.Aku membalas lambaian tangannya. Melangkah mendekati adik kesayanganku. Ya memang, karena dia anak bungsu dalam keluarga."Mas kesini nggak ketahuan sama Mbak Risna, 'kan?" tanyanya seraya bergelayut manja dilenganku."Nggak, Mbakmu kerja. Baru saja mas antar ke kantornya," jawabku."Baguslah, Mas tahu nggak, kalau Dokter Dhanu sudah lari ke luar negeri?" Langkah Luna terhenti. Tentunya langkahku juga berhenti. Berita yang mengucang jiwa."Nggak, sejak kapan dan kenapa?" cercaku pada Luna."Ya, karena kebandelannya menipu orang," jawab Luna dengan napas berat.Aku terdiam, tak bisa membayangkan tentang sebenarnya yang terjadi dengan hasil tes kesehatanku empat tahun yang lalu."Ya sudah, nggak perlu dipikirkan lagi. Sekarang kita cari kebenarannya," ucap Luna dengan me
MY WIFE' SECRETPart 9Luna menoleh ke dalam ruangan. Melambaikan tangan pada Dokter Ferdinan.Aku menutup pintu pelan dan berlalu menyusuri koridor rumah sakit."Mas, cari makan, yuk!" ajak Luna manja."Ayo!" Aku mengandeng tangannya mesra. Puluhan pasang mata melihat heran ke arah kami berdua. Terlebih lagi, Luna masih mengenakan jas putih kebanggaannya.Aku tidak pernah ke rumah sakit ini selama Luna pindah tugas ke tempat ini. Tentunya mereka tidak mengenaliku sebagai saudaranya.Luna mengajakku berjalan kaki menuju restoran yang hanya berjarak 500 meter dari rumah sakit yang sedang kukunjungi. Luna tidak bisa pergi jauh, karena masih ada jadwal dengan pasien-pasiennya.Sepanjang perjalanan. Luna terus saja mengodaku. Kami tertawa lepas, tanpa beban.Tidak butuh waktu lama, kami memasuki restoran yang tidak terlalu ramai. Karena masih jam kerja. Luna memintaku duduk dipojokan, alasannya agar mudah berbica
MY WIFE's SECRET Part 10 Kuhembus napas kasar. Mencoba mengembalikan sebagian kesadaran yang melayang mendengar ucapan Risna. "Lha, bagaimana ceritanya, Dek?" tanyaku penasaran. "Entah, berita yang beredar, perawan tua itu berhasil membuat terobosan baru di perusahaan tempat aku buang dia dulu. Pemilik perusahaan merasa bangga dengan keberhasilan dia," tukas Risna dengan raut wajah emosi. Risna memukul dashboard mobil berkali-kali. Aku mengeleng pelan, melajukan mobil dengan hati gamang. Jika benar apa yang Risna katakan, mau kubawa kemana muka ini saat bertemu dengan Tisya. Terpaksa mengaruk kepala yang tak gatal. "Mas, gimana kalau nanti dia benaran jadi bos, trus dia benci sama aku. Pada akhirnya aku dipecat, gimana, Mas?" tanya Risna seraya mengoyang-goyangkan pundakku. Aku terpaksa mengerem mobil mendadak. Tingkah Risna bisa membuatku lepas kendali. Tak ubah bak anak kecil meminta permen. Kutarik napas dalam, mengumpulkan
MY WIFE'S SECRETPART 11Aku memilih merebahkan tubuhku di ranjang seraya menonton TV. Risna kembali dengan wajah semringah. Disambarnya handuk, lalu menuju kamar mandi. Meliriknya sekilas dan fokus kembali pada layar TV di hadapanku.Beberapa menit kemudian Risna keluar dengan balutan handuk melilit tubuhnya. Mungkin ini saat yang tepat untukku mengecek keberadaan implan di lengannya. Beranjak turun dari ranjang, melangkah mendekat ke arahnya."Stop! Mas mau kemana?" tanyanya panik."Mau meluk istri Mas yang cantik jelita," ujarku tanpa peduli pada perintahnya.Aku segera menerkamnya bak singa yang tengah kelaparan. Tubuh seksinya yang menjadi canduku sukses berada dalam pelukan. Risna meronta-ronta membuat hasratku mulai merangkak.Seketika, kutepis nafsu yang tiba-tiba menyerang. Tujuan utamaku mendeteksi implan yang bersarang di lengannya. Cumbuanku turun pada leher jenjangnya. Risna mengeliat dan mencoba menghindar dari ser
"Mas, kamu sudah siap miskin, hah? Jangan tinggalkan aku! Kebahagiaanmu hanya padaku," racau Risna berusaha menyentuhku."Tidak! Kamu salah, kebahagiaanku tidak ada padamu. Mulai hari ini hubungan kita berakhir. Silahkan kamu ambil seluruh hartaku, tapi tidak lagi dengan harga diriku yang telah kau renggut sembilan tahun lamanya," ucapku penuh penekanan. Kutepis tangannya yang hendak menyentuhku. Sorot matanya merah menyala seakan api yang hendak menyambar tubuhku. Perasaan untuknya tak jauh berbeda dengan pertama kali bertemu dengannya. Aku tidak suka dengan Risna, kerja samanya dengan iblis mengubah hatiku."Sudahlah, Mbak. Mas Ridwan sudah mengutarakan keputusannya. Mbak pun aneh, diberikan kesempatan untuk taubat. Malah sempat-sempatnya melakukan hal buruk untuk Mbak Tisya," ujar Luna dengan nada menghakimi. Risna menoleh ke arah Luna dengan tatapan ganas."Bu! Tolong Risna!" Risna beralih pada Ibu yang berurai air mata. Luka yang kupersembahkan mengores hati wanita mulia dalam h
"Mas, kamu sudah siap miskin, hah? Jangan tinggalkan aku! Kebahagiaanmu hanya padaku," racau Risna berusaha menyentuhku."Tidak! Kamu salah, kebahagiaanku tidak ada padamu. Mulai hari ini hubungan kita berakhir. Silahkan kamu ambil seluruh hartaku, tapi tidak lagi dengan harga diriku yang telah kau renggut sembilan tahun lamanya," ucapku penuh penekanan. Kutepis tangannya yang hendak menyentuhku. Sorot matanya merah menyala seakan api yang hendak menyambar tubuhku. Perasaan untuknya tak jauh berbeda dengan pertama kali bertemu dengannya. Aku tidak suka dengan Risna, kerja samanya dengan iblis mengubah hatiku."Sudahlah, Mbak. Mas Ridwan sudah mengutarakan keputusannya. Mbak pun aneh, diberikan kesempatan untuk taubat. Malah sempat-sempatnya melakukan hal buruk untuk Mbak Tisya," ujar Luna dengan nada menghakimi. Risna menoleh ke arah Luna dengan tatapan ganas."Bu! Tolong Risna!" Risna beralih pada Ibu yang berurai air mata. Luka yang kupersembahkan mengores hati wanita mulia dalam h
Bab 38"Bu, bagaimana ini?" tanyaku panik. Darah yang mengalir bagaikan kran air yang di buka. Jika dibiarkan Risna akan meregang nyawa.Ibu memintaku membaringkan Risna atas ranjang. Kemudian, berlari keluar memanggil suster jaga. Tak butuh waktu lama, dokter dan beberapa perawat memasuki ruang rawat Risna.Mereka berdiri kaku dengan keanehan yang terjadi. Menurut dokter, Risna sudah diberikan obat untuk menghentikan pendarahan."Pak, lebih baik Bu Risna kami rujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Ini mustahil, obat dan suntikan sudah kami berikan. Ini diluar nalar." Dokter muda itu goyah dengan pernyataannya sejam yang lalu.Aku meminta rujukan ke rumah sakit tempat Luna bekerja. Meski, Risna berusaha menepis anggapan, jika dia tidak butuh pengobatan medis.Aku mengaruk kepala yang tak gatal. Berada di posisi yang serba salah seperti ini. Hatiku gamang, mempercayai dunia medis atau ucapan mistis Risna yang bisa juga dipercaya."Mas, percaya padaku. Yang aku butuh lelaki tua yang wak
Bab 37"Anak-anak bilang, Risna terkapar bersimbah darah di kamar, Wan. Ayo cepat!" Ibu terlihat sangat panik.Aku tak kalah panik membayangkan si kembar menghadapi kejadian mengerikan di depan mata mereka. Ibu memintaku tenang, fokus mengemudi.Sepanjang perjalanan menebak-nebak apa yang terjadi dengan Risna. Anak-anak tidak menjelaskan secara gamblang apa yang terjadi dengan Risna. Beberapa kali Ibu menghubungi mereka, tak ada jawaban sama sekali.Setengah jam perjalanan gawaiku berdering. Kenzo mengatakan Risna sudah di bawa ke klinik terdekat. Risna bukan bunuh diri seperti dalam bayanganku. Info baru yang kutemui semakin membuat kepala mereka-reka kejadian yang menimpa Risna.Sesampai di klinik yang di maksud, aku mencari keberadaan mereka. Keduanya memelukku erat, menangis tersedu-sedu."Pak!" panggil Bibi pelan."Iya, Bi. Ibu kenapa?" tanyaku pelan. Ibu mengambil alih kedua jagoanku untuk duduk bersamanya di depan kursi tunggu."Menurut prediksi dokter Ibu pendarahan, Pak." jaw
Bab 36Ibu menatap Luna, sedetik kemudian beralih pada Mbak Mia. Seakan-akan meminta dukungan dari kedua anak perempuannya."Untuk sementara Ridwan kembali ke rumah Ibu ....""Aku bagaimana, Bu?""Huush! Ibu belum selesai bicara. Nggak sopan," desis Mbak Mia."Kamu di sini bersama anak-anak. Belajar memperbaiki diri. Jika pikiran kalian sudah tenang. Baru kita ambil keputusan terbaik. Tak perlu buru-buru," ujar Ibu disambut anggukan terpaksa dari Risna."Tuh ingat jangan main pelet lagi! Jangan sampai wajah Mbak rusak gara-gara kesalahan Mbak sendiri," ketus Luna."Benar, bertaubat lah, Ris. Minta ampun sama Allah. Perbuatan kamu selama ini musyrik," timpal Mbak Mia.Menimbang pernyataan Ibu ada benarnya. Kali ini lebih baik, mendengar nasehat Ibu. Buru-buru lepas dari Risna pun tak ada gunanya. Tisya sudah sah dalam dekapan Bintang. Melihat Risna dalam keadaan seperti ini juga sangat menyedihkan."Kalau begitu, kita pulang sekarang, Bu! Gerah di sini," ujarku tidak sabar keluar dari
Bab 35Melangkah cepat keluar. Baru hendak menuruni tangga Mbak Mia dan Risna berjalan ke arahku."Risna! Aku tidak akan memaafkanmu! Kau telah menghancurkan hidupku. Aku tidak mau hidup bersama kamu lagi. Aku ingin kita cerai!" teriakku emosi.Tubuh Risna melorot ke lantai. Secepatnya Luna berlari dari kamar. Berusaha menenangkanku, merayu agar hal ini dibicarakan baik-baik tanpa kekerasan."Papa!" suara dan langkah kaki Kenzi terdengar mendekat."Papa! Abang tidak mau Mama dan Papa berpisah!" teriak Kenzi histeris.Kutarik napas dalam, berusaha mengatur hati dan sikap di depan dua jagoanku. Melangkah menuruni tangga cepat. Keduanya memeluk erat tubuh Risna yang tertunduk di lantai. Mbak Mia mencoba menenangkan mereka."Mas, jangan! Tolong, jangan sakiti keduanya. Mereka tidak tahu apa-apa tenang ini semua. Jangan sampai trauma menghampiri mereka," bisik Luna pelan.Mbak Mia menatapku penuh harap. Mengeleng kepala pelan untuk diam sementara waktu."Kata siapa Mama dan Papa mau pisah?
Bab 34"Mas, tangkap!" teriak Luna girang saat bunga itu mengarah padaku.Dalam hitungan detik bunga itu berada dalam genggaman. Semua mata tertuju padaku. Risna menghampiri dengan tatapan tak suka."Ngapain, Mas tangkap," desisnya dengan mata melotot."Apaan sih, Mbak? Biasa saja kali, tangkap bunga, Pun," gerutu Luna dengan tatapan malas ke arah Risna."Siapa yang dapat bunganya, ayo ke depan," suara MC kembali mengema. Luna mengangkat tanganku ke atas. Tidak peduli delikan mata tak suka dari Risna."Suami Bu Risna dapat bunga pengantin. Bahaya itu, Mah," celetuk salah satu rekan kerja Risna."Iya, hati-hati lho Bu Risna. Kayaknya bakalan dapat madu," timpal wanita di sebelahnya."Pertanda buruk sepertinya Bu Risna. Suaminya pengen daun muda, tu," cerocos rekan kerja Risna tanpa jeda.Risna menatap mereka jengah."kebetulan saja, Bu. Tidak mungkinlah suami saya mencari yang lain." Risna mengapit lenganku manja."Hmmm! Apa lagi Bu Risna dah mulai tertutup seperti ini. Bahaya lho ke je
Bab 33Aku kembali melangkah ke dalam, mengamati keadaan sekitar. Sungguh tak mampu dijelaskan dengan kata-kata persiapan Bintang menyunting Tisya. Luar biasa-tidak cukup mewakili indah dan mewah acara yang Bintang persiapkan untuk wanita yang masih bertahta di hatiku.Beberapa awak media dari berbagai stasiun TV ikut andil dalam penghelatan akbar ini. Tak bisa dipungkiri keluarga Bintang salah satu crazy rich Indonesia.Akad nikah akan segera di mulai. Terlihat Bintang berjalan dengan balutan baju pengantin berwarna putih. Aura ketampanan Bintang tak mampu dilukis dengan kata. Ketampanannya tak sebanding denganku.Aku mengambil posisi dibagian depan. Tak lama kemudian, Risna datang dan duduk di sampingku. Mbak Mia juga tidak ketinggalan.Dalam hitungan menit Tisya akan menjadi milik lelaki lain. Kebodohan terbesar, melepas wanita hebat tanpa cela. Andai waktu bisa diputar, ingin rasanya semua kembali seperti sedia kala.Huh! Aku mencari keberadaan Tisya, Ibu dan juga Luna. Mereka bel
Bab 32"Gila! Tisya itu sudah gila. Buat peraturan sesuka hati dia. Sok kaya, gerutuku kesal."Peraturan gila khusus buat istri Mas tercinta. Yang duluan berbuat gila pada Mbak Tisya. Udah yuk, Mas. Mandi sana, kita pergi bareng," ajak Luna dengan mata yang tak berhenti berkedip-kedip.Aku kembali membenamkan wajahku ke sofa. Menutup kedua telinga agar suara Luna dan Mbak Mia tidak bisa kudengar."Mas, dengerin Luna! Bangun, kita pergi bareng. Luna janji nggak julid lagi sama Mas. Ayo!" Entah angin apa yang merasuki Luna. Dia terlihat lebih lembut kepadaku.Aku melangkah menuju kamar, Luna membawakanku dan Risna baju untuk pergi ke acara pernikahan Tisya dan Bintang. Gejolak senantiasa menguasai hati. Akankah aku sanggup melihat Tisya menjadi milik Bintang."Mas!" panggil Risna pelan. Sejak kebohongannya terbongkar, Risna menjadi lebih pendiam. Namun, perubahannya tidak memberi dampak apa-apa untukku. Perlahan hatiku mulai membatu untuknya."Jangan bicara apa-apa, aku nggak mau moodku