Daffa menatap gadis yang baru saja dibawanya menepi dari keramaian. Menjauh dari Nara yang akan semakin menggila kalau-kalau Hela tetap mempertahankan posisinya di sana. Daffa kenal betul bagaimana Hela itu. Ia hanya gadis sok kuat yang tak pintar menyembunyikan rasa sakit yang sedang ia rasakan. Bagi Daffa, Hela lebih pantas merengek dan mengeluh dengan tangisan yang menyertai ketimbang harus bersikap sok kuat dengan terus memberontak seperti ini.
"Jelaskan, kali ini kenapa?" Daffa mulai membuka suaranya. Menelisik gadis cantik yang masih enggan menatap paras tampan meskipun tak bisa menandingi ketampanan seorang Abian Malik Guinandra.
"Hela!" Remaja itu menyentakkan suaranya. Volume ia naikkan untuk menyita fokus gadis yang ada di depannya sekarang ini.
Hela kini menoleh. Ditatapnya si mantan teman dekat yang pernah ada dan mengindahkan hidupnya dengan penuh harapan baik yang berwarna-warni bak pelangi yang muncul selepas badai dan hujan turun menghantam permukaa
Manik mata indahnya menatap fokus pantulan bayangan tubuh rampingnya di depan cermin besar sisi ruang kamarnya. Xena sesekali tersenyum sembari memutar tubuhnya ke samping kanan dan kiri untuk memastikan bahwa tak ada yang salah dengan penampilannya sore ini. Senja sudah tiba, masa belajar pun telah usai. Kini waktunya Xena memenuhi janjinya. Pergi bersama Bara untuk menemani remaja itu berbelanja kado ulangtahun si keponakan. Xena tak ingin tampil mewah dan memukau, ia hanya ingin tampil pantas dan nyaman dipandang saja.Ini adalah kepergiaan pertamanya bersama seorang laki-laki. Biasanya Xena hanya pergi menemani Nea untuk berbelanja ini itu juga bermain bersama di pusat mal besar kota.Cukup! Ya, Xena rasa cukup dengan celana jeans panjang hitam yang ia padukan dengan kemeja maroon seperempat lengan dengan pita kecil di setiap ujung lengannya. Tas selempang menghias di sisi pundak dengan warna yang senada dengan sepatu flatshoes yang dikenakannya sore ini. Riasa
Bus melaju dengan kecepatan sedang. Membelah padatnya jalanan kota untuk sampai ke tempat tujuan para penumpang sore ini. Xena akan berhenti di halte terakhir tepat di sisi perempatan jalan raya. Di mana lampu merah, kuning, dan hijau akan bergantian menyala untuk mengatur volume kendaraan yang ada. Di tempat itulah Bara menunggunya. Tak seperti janji awal, remaja itu mengubahnya. Ia berkata pada Xena melalui sebuah pesan singkat bahwa Bara akan menunggu Xena tepat di halte sisi bangunan mal kota. Di sana mereka akan bersua. Entah dengan rasa yang bagaimana, namun yang jelas Bara akan setia menunggu sampai Xena datang padanya.Gadis itu melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Bukan tanpa alasan Xena sedikit molor dari waktu yang sudah dijanjikan untuk bertemu dalam satu titik. Gadis itu terlambat sebab saudara tirinya yang mengacau. Kalau saja Malik tak datang dan membuatnya kembali 'skakmat' seperti tadi, maka Xena tak akan pernah terombang-ambing hat
Nea menatap paras tampan sang kekasih. Daffa akan sangat mempesona kalau sedang berada di luar lingkungan sekolah seperti ini. Tak lagi formal dengan seragam putih dan abu-abu berbalut jas almamater sekolahnya, remaja jangkung bertubuh kerempeng itu benar terlihat keren dengan balutan hoodie merah maroon dan celana panjang jeans yang jatuh tepat di atas sepatu hitamnya. Daffa menjadi pribadi yang lain kalau berada di luar lingkungan sekolah. Lebih hangat terkadang sedikit over protektif. Alasannya hanya satu, ia terlalu khawatir dengan keadaan Nea Oktaviana jikalau berada di lingkungan umum seperti itu.Menjelaksan dengan menyisipkan sedikit pujian untuk gadis itu adalah cara Daffa menyikapi ketidaksukaan sang kekasih atas apa yang dilakukan olehnya. Daffa mengatakan bahwa Nea terlalu cantik untuk dipandang oleh mata dunia. Ia tak suka membiarkan Nea dengan pakaian terbuka. Selalu menyuruh gadis itu mengganti pakaiannya kalau dianggap terlalu vulgar dan mengundang lirika
"Katakan alasannya selain karena Xena adalah sahabat aku." Nea mengimbuhkan. Tatapannya kembali tajam seakan ingin memakan habis kekasihnya sekarang ini. Nea tahu bukan hanya itu alasannya bukan? Daffa meluangkan waktu hanya untuk membantu Xena yang merupakan sahabatnya? Alasan yang klasik!"Karena aku menyukai Xena?" tanya Daffa berkelit. Kembali remaja bertubuh kerempeng itu tersenyum kuda. Lagi-lagi mengacak kasar puncak kepala sang kekasih. Tawa kecil muncul kala Nea hanya diam sembari rapat mengatupkan kedua sisi bibirnya. Gadis itu benar-benar merajuk sekarang. Daffa mirip dengan Malik lambat laun. Menyebalkan dengan kelucuan yang sedikit membosankan sebab ada di tempat dan waktu yang tak tepat."Kamu mau aku jawab itu?" Daffa kembali berucap. Dalam diam gadis itu kini menghela napasnya."Udahlah. Gak penting juga," ucap Nea menyerah dan pasrah. Ia ingin mempercayai sang kekasih apapun alasannya. Ia ingin tetap Daffa-lah yang menjadi laki-laki yan
Tatapannya mengudara. Tepat mengarah pada bangunan besar yang ada di depannya sekarang ini. Suasana ramai, tak sepi bak kota mati meskipun malam datang dengan kata larut yang hampir tiba. Beberapa orang yang datang terlihat begitu tergesa-gesa. Seakan waktu hampir habis hingga tak mengijinkan mereka untuk kembali ke tempat ini lagi. Sirine ambulan menggema di udara. Menandakan seseorang datang dengan keadaan yang tak bisa dibilang baik-baik saja. Semua tenaga medis berhamburan keluar. Sesegera mungkin untuk datang dan memberi pertolongan pertama. Posisinya tergeser dengan kerumunan yang datang melalui pintu utama bangunan rumah sakit. Tak asing pemandangan seperti ini kalau sudah memutuskan untuk datang menyambangi area rumah sakit.Xena melakukannya. Datang kemari hanya bermodalkan nekat tanpa informasi yang rinci. Sekarang tatapannya menelisik setiap sudut bangunan rumah sakit. Mencari seseorang yang kiranya bisa diajak berbincang malam ini. Nihil! Tak satupun orang b
"Lo harus keluar dari tinju ilegal sekarang!" Xena menatapnya dengan geram. Ia tak bisa lagi sanggup untuk melihat keadaan saudara tirinya. Segepok uang tak sebanding dengan raga dan nyawa yang dimiliki oleh Malik. Hidup dalam bayangan sebagai seorang petinju ilegal begini, benar-benar memuat hidup baik dan nyaman seseorang akan terganggu."Xena!" Zain akhirnya menyela. Menatap gadis cantik yang kini menoleh padanya. Xena memberi sorot mata tajam. Seakan ingin menerkam dan menghabisi Zain hidup-hidup. Ia selalu saja menjadi parasit yang menyebalkan. Membuat Malik terlibat dalam hal menyeramkan seperti ini adalah ulah dari seorang Zain."Kenapa? Lo mau memprotes?" Xena menyahut. Berjalan mendekat pada remaja jangkung yang kini mulai perlahan bangkit dari tempat duduknya. Ia tertatih. Sejenak menatap Xena kemudian menoleh untuk menatap paras Malik."Ini gak ada hubungan sama tinju ilegal. Jangan libatkan itu," ucapnya melirih. Sukses membuat Xena tertawa lepas. Gadis
Dersik membisik. Kembali langkah keduanya tegas membelah jalanan yang ada di depannya. Area rumah sakit belum benar ditinggalkan. Mereka masih berada di halaman depan. Gerbang dengan dua tugu besar itu akan menjadi pertanda bahwa baik Xena maupun Malik sudah sukses meninggalkan bangunan rumah sakit.Keduanya beriringan. Tak banyak yang terucap hanya diam sembari lurus memfokuskan pandangannya. Hari ini berakhir dengan sedikit berat. Suasana tak bersahabat seakan ingin menjerat Xena dalam sebuah duka baru sebelum mata tertutup untuk datang menemui pangeran di dalam mimpinya. Malik sukses membuat jantungnya hampir terlepas dari tempatnya tadi. Mendengar seseorang mengabari Xena dengan mengatakan bahwa pemilik ponsel ini terluka parah di sisi jalanan membuat dirinya panik bukan main.Tak banyak yang dijelaskan oleh Malik. Ia hanya berkata bahwa seseorang menemukan ponselnya yang hampir hilang. Kala itu Malik tak benar memperhatikan. Yang ada di dalam fokusnya ha
"Lo sakit?" Suara itu menyela lamunan Hela. Gadis yang baru saja ingin menyandarkan tubuhnya ke belakang itu kini menoleh. Sedikit mendongakkan pandangannya sebab tubuh remaja yang baru saja datang dan berdiri di sisinya itu sangat tinggi menjulang."Katanya gak mau nemenin." Hela menyahut. Menyeringai samar kala Malik mulai duduk dengan jeda satu bangku kosong di antara mereka.Remaja itu menaikkan satu sisi alisnya. Bersama kedua bahu lebarnya yang tersentak naik ke atas, ia menoleh tepat pada gadis yang sedang menunggu nomor antrean untuk bertemu dengan dokter malam ini."Lukanya lebih parah dari kemarin malam, lo dipukuli lagi?" tanya Malik lagi-lagi menyela. Hela tak banyak berbicara kali ini. Menyambut kedatangan Malik dengan senyum hangat dan tatapan teduh sudah sangat cukup untuk Hela. Perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Sedikit kacau di dalam sana. Hatinya bergelut dengan pikirannya yang sedikit 'semrawut'."Alih-alih mengumpulkan bukti un
Ini bukan pertemuan mereka yang terakhir, itulah yang ingin Xena katakan lewat kehadiran dan tatapan matanya untuk Bara. Ia meminta polisi untuk menemui teman juga mantan kekasihnya itu. Perpisahan dan akhir sidang harus dirasakan dengan perasaan yang ikhlas dan lapang dada, Xena ingin memberikan kesan itu pada remaja yang baru saja meletakkan pantatnya di atas kursi. Bara tak berucap apapun. Ia terus memandang Xena. Wajahnya tak sesayu dan tatapannya tak senanar sebelumnya. Gadis itu lebih terlihat 'hidup' dengan polesan make up yang khas seorang Xena Ayudi Bridella. Suasana yang ia dapatkan dari Xena mulai kembali lagi."Kenapa lo menemui gue lagi?"Xena tersenyum manis. Ia meraih ujung jari Bara dengan perlahan-lahan. Remaja yang ada di depannya mulai menatap dengan aneh. Ia tak bergerak, terus mengikuti apa yang dilakukan Xena padanya sekarang. Gadis itu mulai menggenggam ujung jari-jari miliknya lalu menatap Bara dengan penuh kehangatan
"Pengadilan menyatakan terdakwa atas nama Haidar Bara Ivander terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan, penculikan dan penyekapan kelas ringan, serta penganiayaan kelas ringan. Untuk itu pengadilan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara 10 tahun ditambah dengan pidana penjara 2 tahun dan ditambah dengan pidana penjara 6 bulan. Menetapkan lamanya terdakwa di tahan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan selama 2 tahun mengingat usia terdakwa yang masih remaja. Pengadilan memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan dengan denda sekurang-kurangnya adalah 20 juta rupiah. Demikian putusan pengadilan ditetapkan."Ketokan palu terdengar begitu tegas menggema di ruangan. Remaja jangkung dengan pakaian khas seorang tahanan kota itu hanya bisa mengangguk. Tak ada yang disanggah. Pengacaranya pun nampak diam dan mulai pasrah. Tak perlu waktu yang lama, tak perlu drama ini itu untuk mengurung si iblis
Rumput hijau yang menyejukkan mata dan hati. Mendamaikan perasaan yang sedang riuh bergemuruh di dalam jiwa saat ini. Malik memutuskan untuk mengikuti setiap langkah yang diambil oleh Zain pagi ini. Ia ingin berbicara banyak dengan laki-laki yang sudah menjadi temannya itu. Ia tak benar-benar membenci Zain. Hanya saja, siapa dingin Zain padanya membuat Malik menjadi sedikit jauh dari temannya itu. Sebenarnya di dalam lubuk hati yang dalam, ia tak pernah menyimpan dendam untuk remaja berponi naik ini. Hanya saja, ia iba. Zain terlalu lama menyimpan rasa sakitnya sendirian. Selepas kematian Tara, remaja itu menjauhi Malik dan memutuskan untuk menghilang dari peredaran. Baru beberapa bulan yang lalu ia kembali datang dengan Aksa yang membawanya penuh luka dan darah segar yang mengalir dari beberapa bagian tubuhnya.Memang, permusuhan keduanya sedikit unik. Tak ada pertengkaran juga perkelahian. Malik selalu memaafkan bagaimana perilaku Zain padanya. Toh juga, ada a
Semilir hawa bayu mengiringi langkah keduanya membelah trotoar jalanan yang menjadi jalur utama untuk mereka saat ini. Jalanan Kota Jakarta yang ramai, padat, dan tak pernah sepi juga sela. Selepas keluar dari bangunan kantor polisi, keduanya kini memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak dan mampir ke sebuah tempat untuk menikmati liburnya hari ini. Tanggal merah, hari penting untuk negara. Namun, surganya bagi para pelajar. Mereka diberi jeda satu untuk merilekskan otak dan hati mereka. Menikmati suasana kota di pagi hari sampai senja datang menutup kisah nanti sore. Malik dan Xena merasakan semua itu. Sedikit demi sedikit perasaan yang mengganggu di dalam hati mereka mulai hilang begitu saja. Semua masalah yang datang mulai surut bak gelombang air laut di malam hati. Rasanya sedikit tenang, mereka bisa menjalani hidup sesuai dengan apa yang mereka inginkan saat ini. Menjalin hubungan sederhana dan mulai merajut kasih juga cinta untuk melalui masa muda. Malik
Malik menatap wajah wanita tua yang ada di depannya saat ini. Pandangan matanya terus saja tertuju pada Sarah yang baru saja datang menghadang langkahnya. Sepasang mata dengan lensa pekat itu mulai menatap sayu dan nanar wajah mantan anak tirinya itu. Penuh luka, identik dengan apa yang terjadi pada sang putri kemarin malam. Kata Xena selepas ia sukses membuat mamanya menangis dengan keadaan wajah dan tubuhnya yang kacau, ia melegakan hati wanita tua itu dengan mengatakan bahwa untung saja Malik datang menyelematkan Xena dari Bara. Katanya, juga. Malik terluka sama dengan apa yang dialami oleh Xena. Gadis itu juga mengimbuhkan kalau yang menghantar dirinya sampai gerbang depan malam-malam begini adalah Abian Malik Guinandra, tetapi kala disuruh mampir untuk mengobati lukanya, Malik menolak. Alasannya hanya satu, ia tak mau membuat Sarah kembali kacau dengan dua luka di dalam hatinya selepas mendapatkan dua putra dan putrinya pulang dalam keadaan seperti itu. Toh juga ada papanya di
Bara mengetukkan ujung jari jemarinya di atas meja kayu yang ada di sisinya. Ia bersandar tepat di atas kursi sembari menyilangkan kaki dan menatap ke arah gadis yang masih tak sadarkan diri selepas ia menyiksanya habis-habisan. Bara memukul wajah Xena. Sisi bibir gadis itu tergores dengan darah yang mulai mengering. Ujung matanya lebam selepas Bara melayangkan tinju ringan kala sang gadis terus saja mengumpat padanya. Xena mengejutkan. Jujur saja, Bara tak tahu kalau gadis itu bisa setangguh ini dengan penampilan dan tatapan wajah dan polos. Kala dirinya mendorong Xena masuk ke dalam gudang sekolah dan menutup pintunya dengan rapat. Xena bahkan mulai bergeming di tempatnya dengan terus menatapnya menggunakan tatapan tajam penuh amarah. Bara menampar wajahnya lalu mendorong tubuh Xena hingga jatuh terantuk sisi meja rusak di belakang tubuh gadis itu. Darah mengalir dari sisi sikunya dan luka lecet datang selepas paku berkarat tak sengaja menyentuh permukaan lengannya.
Fajar menyingsing dari ufuk timur. Sinarnya tegas menghantam permukaan bumi dan mencoba menghangatkan komponen yang ada di bawahnya saat ini. Gadis yang sudah berdiri di depan papan pengumuman besar di sekolahnya itu tak pernah menyangka dan mengira-ngira sebelumnya. Ia mendapatkan sebuah undangan kematian yang datang dari teman dekatnya. Seisi sekolah mulai membicarakan kematian Nara yang terkesan mendadak. Bukan hanya Xena yang terkejut. Akan tetapi, hampir seluruh penghuni sekolah. Bahkan guru-guru juga mulai memberitakan kabar ini dengan bumbu yang membuat suasana sedikit tegang. Kisahnya hari ini mungkin tak akan berakhir baik. Setiap sudut sekolah yang punya Mading besar seperti ini, akan menampilkan wajah Nara dengan pita kuning di atasnya. Ucapan bela sungkawa datang kemudian. Mereka meninggal 'note' yang mereka tempelkan di sisi undangan untuk mengirim doa pada teman mereka yang sudah berpulang ke pangkuan yang maha kuasa. "Bagaimana ini ... gue bahkan berbicara den
Sirine mobil polisi meraung-raung di udara. Membawa sebuah duka di setiap lajunya beberapa saat yang lalu. Ambulan mengikuti, mayat gadis malang turun dari sana dengan keadaan sudah terbungkus oleh kain putih. Seorang remaja jangkung mengiringi masuk ke dalam bangunan kepolisian. Mayat itu akan disimpan di dalam ruangan mayat tempat beberapa korban pembunuhan lainnya berada hingga polisi menyelesaikan penyelidikannya besok pagi. Suasana sudah kacau dengan Aksa yang tak lagi kuasa untuk mengiringi kepergian gadis yang ia cintai. Nara adalah cinta pertama yang ada di dalam hatinya. Gadis itu adalah satu-satunya gadis yang bisa menyentuh lubuk hatinya paling dalam. Belum juga menyatakan perasaannya dengan resmi, ajal sudah menjemputnya dengan tragis. Aksa tak bisa berkata apapun lagi. Semua yang ada di depan matanya bak sebuah mimpi buruk yang harus ia lalui seorang diri.--ia membenci kisah malam ini!"Aksa ... kita cari tempat duduk
Langkah kakinya tegas membelah rerumputan hijau yang ada di bawah pijakan kaki remaja jangkung itu sekarang ini. Gelap terasa, sedikit sunyi sebab tak ada yang datang untuk bertamu dan menyambangi rumah tua itu sekarang. Semua benar-benar terasa sepi bak rumah hantu yang sengaja dijauhi oleh para masyarakat dan warga setempat. Bukan, bukannya di sisihkan dari kota. Bukan juga dijauhi orang-orang, beginilah suasana rumah Nara kalau malam tiba dengan kerikan jangkrik yang khas menghiasi suasana malam. Tak ada hujan, tak mendung dengan langit berbintang di atas sana. Kiranya, sambutan yang baik selepas Aksa memutuskan untuk memungkaskan perkejaan paruh waktu yang ia lakukan dan mulai menatap langit di atasnya.Ada satu alasan yang membuat dirinya datang ke tempat ini lagi. Tak penting jika ia menceritakan alasannya datang kemari pada orang-orang yang tak mengenal Nara dengan baik. Namun, baginya ini sangat penting. Kala keluar dari minimarket tempatnya bekerj