Sejam kemudian ketika Sulai sudah lama turun dari truk raksasa pengangkut batubara, Alex yang masih di dalam kabin truk terus mencerna cerita tadi. Tak lama tangannya meraih ke kantong celana jins di bagian belakang dan meraih lipatan kertas. Ia membuka lipatan dan membaca kembali judulnya.
‘Panduan Menerbangkan Jetpack F83.’
Jantungnya berdegup lebih kencang kendati tidak seperti pertama kali ia membacanya waktu itu.
Alex membaca. Baris demi baris, kalimat demi kalimat, alinea demi alinea. Sesekali ia memijit dahinya yang mendadak pening.
Ini gila, pikirnya. Apa yang ia baca adalah petunjuk bagaimana menggunakan tabung aneh yang ia temukan untuk bisa... terbang!
Mesin untuk terbang? Di tahun 1995 ini?
Setelah menenggak beberapa kali air mineral milik Sulai yang kebetulan tersisa satu botol di sana, Alex memaksa diri untuk melanjutkan membaca. Dan
Tatapan mata Tessa yang tajam menatapnya membuat Alex hanya bisa sesekali menengadah untuk kemudian kembali menunduk. Sebuah pemandangan yang menurut Tessa menyenangkan karena ia tahu persis bahwa Alex mengagumi penampilannya.Menggunakan pesonanya, Tessa terus mengerjai Alex.“Kamu menunduk karena apa sih? Apa karena aku nyeremin? Nggak? Lantas, kenapa kamu menunduk terus?”Melihat wajah Alex yang makin memerah Tessa berusaha mati-matian menahan tawa. “Dandanku jelek ya? Seperti nenek sihir.”Alex buru-buru menggeleng. Sekuat tenaga ia kembali menengadah. “Ibu Tessa itu cantik. Cantik nian.”Melihat ekspresi lugu sebagai ungkapan kejujuran tadi Tessa hanya mengangguk kecil sembari selembut mungkin berujar. “Terima kasih.”Setengah jam kemudian ketika kekakuan di antara mereka makin mencair, pertanyaan Alex terjawab tuntas. Tidak ada pemecatan. Yang ada
Dan ketika tiba di mulut goa yang kini terpampang di depannya, spontan ingatan ke peristiwa puluhan lalu tersingkap kembali. Kenangan kengertian di malam hari, tidak jauh dari tempat itu, puluhan tahun lalu. Pada masa ketika kekalahan tentara Dai Nippon Jepang terjadi nyaris di semua sektor. Termasuk kekalahan serupa yang juga terjadi di tempat itu setengah abad lalu.Ingatannya serta-merta melayang pada peristiwa di tahun 1945 itu ketika tubuhnya yang letih, lapar, haus, dan terluka di sana-sini masih terus menembak ke daerah musuh. Dengan amunisi sangat terbatas, ia dengan rekan-rekan sekompi berusaha menahan pergerakan tentara sekutu yang semeter demi semeter merasuk wilayah yang sebelumnya mereka kuasai.Suara desing peluru, rentetan senapan mesin, ledakan granat serta mortir mengharu-biru nyaris tanpa jeda. Kedua gendang telinganya berdenging dan bahkan sempat tuli sesaat akibat rentetan suara dentuman yang terus-menerus menggedor genda
Keheranan sempat menguasai sang petugas sebelum kemudian ia memaklumi bahwa kepergian Hamada karena ada tugas liputan lain yang menantinya. Namun tak lama kemudian ketika mendapat sebuah panggilan telepon, petugas itu mendadak pucat pasi. Sebuah informasi mengejutkan ia dapatkan yaitu bahwa wartawan Asahi Shimbun yang asli baru akan datang lima belas menit lagi, dan namanya bukanlah Hamada melainkan orang lain.Lantas, siapa tadi pria yang sudah masuk ke dalam goa?*Lima kilometer dari tempat itu, dalam kabin sebuah kendaraan sewaan yang melaju kencang, Hamada merenung kesialan yang ia alami karena mengetahui bahwa Jetpack, benda yang tadinya ia kira ada di dalam goa, ternyata kini sudah tak ada lagi di tempatnya. Namun ia juga menemukan sesuatu di goa itu secara tak sengaja. Sebuah kalung batu akik berwarna merah darah yang ditilik dari bentuk pahatan, kebersihan, serta ikatannya menunjukkan bahwa benda itu belum lama
Namun ponselnya memang kembali berbunyi. Beda dengan sebelum-sebelumnya kali ini ia sedikit ragu untuk segera menerima panggilan. Bagaimana kalau pendapat sopir tadi benar? Di ujung telepon, Tessa nyaris bersorak kecil ketika Alex menjawab teleponnya.“Lama amat sih ngangkatnya?”“Langsung diangkat koq. Cuma ya memang sinyalnya lemah,” jawab Alex.“Oh memang begitu sih yang namanya GSM. Itu kan singkatan Geser Sedikit Mati,” Tessa tertawa lepas. Tak merasa sedikit pun bahwa Alex tadi sedikit berdusta. “Kamu langsung ke kantor kan?”“Besok saja ke kantornya. Pagi-pagi.”“Ya sudah kalau begitu.” Ada nada kecewa dalam ucapan Tessa kendati ia menyetujui. “Tapi malam ini kita dinner bareng ya? Aku jemput kamu.”Entah merupakan trik wanita itu atau bagaimana, belum lagi Alex mengiya
Pria kedua langsung berceloteh. “Letnan, unit satuan khusus kami, Spetsnaz memiliki banyak pengalaman dan akses mengenai persenjataan. Senapan serbu otomatis, semi otomatis, pistol, peluncur roket, granat, detonator. Gatling, Kalashnikov, UZI, Buk. You name it! Kami juga punya akses untuk menyediakan pesawat Mig atau bahkan SAAB dari Swedia. Tentu semua bisa kami sediakan selama Letnan memiliki akses pada si pembeli. Mungkin kami tidak bisa sediakan semua, tapi cukup besar untuk... well... untuk melakukan kudeta atas sebuah negara kecil atau menengah.”Rekannya tertawa sebelum kemudian menimpali. “Tapi semua tentu tergantung bayarannya.”“Aku tidak sedang berbicara mengenai senjata. Ini mengenai uranium yang saat ini tersimpan dalam sebuah modul khusus anti api, anti karat, anti goncangan.”Sembari tetap memacu kecepatan di jalan yang sebetulnya sedikit hancur, Letnan Hamada menjelaska
“Kamu jadi dateng kan, Lex?”“Ya. Sebentar lagi aku tiba,” suara Alex di gagang telepon terdengar jelas. “Tapi aku kurang enak juga. Masa’ dua kali sehari kita ketemu. Kemarin sudah. Eh, sekarang pun begitu. Aduh, kapan aku kerjanya?”“Kamu di Jakarta bukan untuk kerja koq.”“Jadi?” suara Alex terdengar sedikit kaget. “Untuk apa aku ke Jakarta?”“Untuk menemani aku. Khususnya saat dinner atau belanja.” Tessa tertawa renyah. “Nggak keberatan kan? Gajimu dibayar full. Don’t worry.”Skak mat. Alex terdiam sesaat. Tak tahu lagi harus berkata apa, ia lantas mengakhiri pembicaraan.Saat gagang telepon ditutup, Tessa buru-buru mematut diri di sebuah kaca yang memang ia rancang untuk berada di salah satu sudut ruang kerjanya.Pantulan bayan
Ia menyibak selimut lalu duduk di pinggir ranjang. Deru suara pendingan udara yang nyaris tak terdengar di siang hari kini terasa cukup lantang saat malam hari. Sadar dirinya akan sulit lagi melanjutkan tidur, Alex memutuskan untuk bangun dan meminum dua-tiga teguk air mineral dari gelas yang masih tersisa setengahnya.Matanya yang kini terbuka lebar seketika terpaku pada laptop pemberian perusahaan. Ketertarikan yang besar membuatnya kembali membuka laptop, menghidupkannya, dan mencolok perangkat modem.Dalam setengah jam berikutnya, Alex sibuk mengutak-utik perangkat yang membawanya berselancar ke jagat maya. Kendati dirinya merupakan pengguna yang masih sangat baru, dengan kecerdasan yang dimiliki, ternyata tidak sulit untuk dirinya mempelajari mengenai internet, memanfaatkan mesin pencari, dan penggunaan email.Dengan fasilitas mesin pencari, Alex mencoba mencari informasi apa saja. Termasuk Jetpack, tentu saja, yang
“Hacker, tepatnya. Aku memperbaiki misalnya sistim perbankan yang kacau, seperti transaksi derivatif, pengamanan data cyber, phone banking, dan semacamnya. Yah, itu untuk biaya hidup sehari-hari.”“I see.”“Sekarang langsung ke intinya. Jadi kamu sudah temukan benda itu?”Sadar bahwa tak perlu lagi menutupi, Alex mengangguk. “Jetpack? Ya.”Profesor langsung berbicara lebih serius ke masalahnya.“Kamu sudah tahu cara menerbangkan Jetpack?”“Prof,” Alex tersenyum sinis, “aku belum banyak menyentuhnya. Beberapa hari ini aku dibawa pada situasi yang kukhawatirkan membuatku terkena skizofrenia. Semua gara-gara benda yang mungkin dari masa depan tapi berada pada tumpukan barang rombeng eks zaman revolusi. Kukatakan dari masa depan karena bisa saja ada pabrik yang salah embose ketika menuliskan tanggal produksi pada benda aneh itu. Tidakkah itu hal yan