Tatapan mata Tessa yang tajam menatapnya membuat Alex hanya bisa sesekali menengadah untuk kemudian kembali menunduk. Sebuah pemandangan yang menurut Tessa menyenangkan karena ia tahu persis bahwa Alex mengagumi penampilannya.
Menggunakan pesonanya, Tessa terus mengerjai Alex.
“Kamu menunduk karena apa sih? Apa karena aku nyeremin? Nggak? Lantas, kenapa kamu menunduk terus?”
Melihat wajah Alex yang makin memerah Tessa berusaha mati-matian menahan tawa. “Dandanku jelek ya? Seperti nenek sihir.”
Alex buru-buru menggeleng. Sekuat tenaga ia kembali menengadah. “Ibu Tessa itu cantik. Cantik nian.”
Melihat ekspresi lugu sebagai ungkapan kejujuran tadi Tessa hanya mengangguk kecil sembari selembut mungkin berujar. “Terima kasih.”
Setengah jam kemudian ketika kekakuan di antara mereka makin mencair, pertanyaan Alex terjawab tuntas. Tidak ada pemecatan. Yang ada
Dan ketika tiba di mulut goa yang kini terpampang di depannya, spontan ingatan ke peristiwa puluhan lalu tersingkap kembali. Kenangan kengertian di malam hari, tidak jauh dari tempat itu, puluhan tahun lalu. Pada masa ketika kekalahan tentara Dai Nippon Jepang terjadi nyaris di semua sektor. Termasuk kekalahan serupa yang juga terjadi di tempat itu setengah abad lalu.Ingatannya serta-merta melayang pada peristiwa di tahun 1945 itu ketika tubuhnya yang letih, lapar, haus, dan terluka di sana-sini masih terus menembak ke daerah musuh. Dengan amunisi sangat terbatas, ia dengan rekan-rekan sekompi berusaha menahan pergerakan tentara sekutu yang semeter demi semeter merasuk wilayah yang sebelumnya mereka kuasai.Suara desing peluru, rentetan senapan mesin, ledakan granat serta mortir mengharu-biru nyaris tanpa jeda. Kedua gendang telinganya berdenging dan bahkan sempat tuli sesaat akibat rentetan suara dentuman yang terus-menerus menggedor genda
Keheranan sempat menguasai sang petugas sebelum kemudian ia memaklumi bahwa kepergian Hamada karena ada tugas liputan lain yang menantinya. Namun tak lama kemudian ketika mendapat sebuah panggilan telepon, petugas itu mendadak pucat pasi. Sebuah informasi mengejutkan ia dapatkan yaitu bahwa wartawan Asahi Shimbun yang asli baru akan datang lima belas menit lagi, dan namanya bukanlah Hamada melainkan orang lain.Lantas, siapa tadi pria yang sudah masuk ke dalam goa?*Lima kilometer dari tempat itu, dalam kabin sebuah kendaraan sewaan yang melaju kencang, Hamada merenung kesialan yang ia alami karena mengetahui bahwa Jetpack, benda yang tadinya ia kira ada di dalam goa, ternyata kini sudah tak ada lagi di tempatnya. Namun ia juga menemukan sesuatu di goa itu secara tak sengaja. Sebuah kalung batu akik berwarna merah darah yang ditilik dari bentuk pahatan, kebersihan, serta ikatannya menunjukkan bahwa benda itu belum lama
Namun ponselnya memang kembali berbunyi. Beda dengan sebelum-sebelumnya kali ini ia sedikit ragu untuk segera menerima panggilan. Bagaimana kalau pendapat sopir tadi benar? Di ujung telepon, Tessa nyaris bersorak kecil ketika Alex menjawab teleponnya.“Lama amat sih ngangkatnya?”“Langsung diangkat koq. Cuma ya memang sinyalnya lemah,” jawab Alex.“Oh memang begitu sih yang namanya GSM. Itu kan singkatan Geser Sedikit Mati,” Tessa tertawa lepas. Tak merasa sedikit pun bahwa Alex tadi sedikit berdusta. “Kamu langsung ke kantor kan?”“Besok saja ke kantornya. Pagi-pagi.”“Ya sudah kalau begitu.” Ada nada kecewa dalam ucapan Tessa kendati ia menyetujui. “Tapi malam ini kita dinner bareng ya? Aku jemput kamu.”Entah merupakan trik wanita itu atau bagaimana, belum lagi Alex mengiya
Pria kedua langsung berceloteh. “Letnan, unit satuan khusus kami, Spetsnaz memiliki banyak pengalaman dan akses mengenai persenjataan. Senapan serbu otomatis, semi otomatis, pistol, peluncur roket, granat, detonator. Gatling, Kalashnikov, UZI, Buk. You name it! Kami juga punya akses untuk menyediakan pesawat Mig atau bahkan SAAB dari Swedia. Tentu semua bisa kami sediakan selama Letnan memiliki akses pada si pembeli. Mungkin kami tidak bisa sediakan semua, tapi cukup besar untuk... well... untuk melakukan kudeta atas sebuah negara kecil atau menengah.”Rekannya tertawa sebelum kemudian menimpali. “Tapi semua tentu tergantung bayarannya.”“Aku tidak sedang berbicara mengenai senjata. Ini mengenai uranium yang saat ini tersimpan dalam sebuah modul khusus anti api, anti karat, anti goncangan.”Sembari tetap memacu kecepatan di jalan yang sebetulnya sedikit hancur, Letnan Hamada menjelaska
“Kamu jadi dateng kan, Lex?”“Ya. Sebentar lagi aku tiba,” suara Alex di gagang telepon terdengar jelas. “Tapi aku kurang enak juga. Masa’ dua kali sehari kita ketemu. Kemarin sudah. Eh, sekarang pun begitu. Aduh, kapan aku kerjanya?”“Kamu di Jakarta bukan untuk kerja koq.”“Jadi?” suara Alex terdengar sedikit kaget. “Untuk apa aku ke Jakarta?”“Untuk menemani aku. Khususnya saat dinner atau belanja.” Tessa tertawa renyah. “Nggak keberatan kan? Gajimu dibayar full. Don’t worry.”Skak mat. Alex terdiam sesaat. Tak tahu lagi harus berkata apa, ia lantas mengakhiri pembicaraan.Saat gagang telepon ditutup, Tessa buru-buru mematut diri di sebuah kaca yang memang ia rancang untuk berada di salah satu sudut ruang kerjanya.Pantulan bayan
Ia menyibak selimut lalu duduk di pinggir ranjang. Deru suara pendingan udara yang nyaris tak terdengar di siang hari kini terasa cukup lantang saat malam hari. Sadar dirinya akan sulit lagi melanjutkan tidur, Alex memutuskan untuk bangun dan meminum dua-tiga teguk air mineral dari gelas yang masih tersisa setengahnya.Matanya yang kini terbuka lebar seketika terpaku pada laptop pemberian perusahaan. Ketertarikan yang besar membuatnya kembali membuka laptop, menghidupkannya, dan mencolok perangkat modem.Dalam setengah jam berikutnya, Alex sibuk mengutak-utik perangkat yang membawanya berselancar ke jagat maya. Kendati dirinya merupakan pengguna yang masih sangat baru, dengan kecerdasan yang dimiliki, ternyata tidak sulit untuk dirinya mempelajari mengenai internet, memanfaatkan mesin pencari, dan penggunaan email.Dengan fasilitas mesin pencari, Alex mencoba mencari informasi apa saja. Termasuk Jetpack, tentu saja, yang
“Hacker, tepatnya. Aku memperbaiki misalnya sistim perbankan yang kacau, seperti transaksi derivatif, pengamanan data cyber, phone banking, dan semacamnya. Yah, itu untuk biaya hidup sehari-hari.”“I see.”“Sekarang langsung ke intinya. Jadi kamu sudah temukan benda itu?”Sadar bahwa tak perlu lagi menutupi, Alex mengangguk. “Jetpack? Ya.”Profesor langsung berbicara lebih serius ke masalahnya.“Kamu sudah tahu cara menerbangkan Jetpack?”“Prof,” Alex tersenyum sinis, “aku belum banyak menyentuhnya. Beberapa hari ini aku dibawa pada situasi yang kukhawatirkan membuatku terkena skizofrenia. Semua gara-gara benda yang mungkin dari masa depan tapi berada pada tumpukan barang rombeng eks zaman revolusi. Kukatakan dari masa depan karena bisa saja ada pabrik yang salah embose ketika menuliskan tanggal produksi pada benda aneh itu. Tidakkah itu hal yan
Oleg memasuki boks telepon, memutar nomor, dan mulai berbicara dengan seseorang di ujung sana. Mulutnya sibuk mengunyah permen yang sejak ia di Jakarta menjadi kesukaannya.“Letnan, aku masih belum bisa melacak keberadaan Profesor. Tapi sudah mendapatkan informasi mengenai Alex. Info itu benar.” Jeda sesaat ketika ia mendengar tanggapan dari lawan bicaranya. “Alex tinggal di kamar hotel sejak kemarin. Masalahnya, saat Dimitri dan aku diam-diam memasuki kamar, benda itu tidak ada di sana.”Terdengar suara keras orang memaki di ujung telepon.“Anak muda itu ternyata lebih cerdas daripada yang kita kira. Letnan, perlukah kita lakukan rencana B?”“Belum saatnya menghabisi dia. Kalian tunggu aba-aba dariku. Aku masih punya ide lain.”*Petugas yang bertugas di meja resepsionis mengenali pria muda yang nyaris sebaya dengan dirinya ketika ia kembali muncul di hadapannya.“Selamat pagi,” salamnya mendahului Alex.“Pagi.”“Sdr. Alex kan?”“Aku tersanjung, bapak dengan mudah bisa mengenali aku.
Veily menyadari sesuatu yang lain lagi. Alex tidak lagi mengenakan kalung akik merah padam. Benda yang dulu diberikan khusus untuk pria itu kini tak ada lagi di lehernya. Sebersit rasa kecewa seketika menyeruak dalam batinnya....Bagi Veily, Alex bukan pria biasa. Ia pernah mendapat perhatian khusus dalam diri Veily yang seiring berjalannya waktu mulai berani menyalakan bara api dalam hatinya. Dan kala Alex menyambut, bara api itu – cinta, tentu saja – makin memuai. Menyalakan rindu, perhatian, dan ketertarikan yang terus bergejolak. Sampai kemudian terjadi sebuah kesalahpahaman yang belakangan ia sesali hingga saat itu. Kesalahpahaman yang membuat tersingkirnya Alex dari lembar hidupnya. Andai bisa membalik waktu, ingin rasanya ia jatuh dalam rengkuhan pria itu. Menumpahkan maaf. Mencurahkan sesalnya yang nyaris tak berujung.Dan kini. Tidak bukan kini - tapi kemarin pagi tepatnya – secara tak terduga
“Sialnya aku tiba di medan pertempuran antara pasukan Jepang dengan tentara sekutu. Aku langsung berada dibawah todongan salah seorang tentara Jepang. Penjelasan bahwa aku dari masa depan tentu saja tidak membuatnya percaya. Ia hampir saja membunuhku sampai kemudian kubuktikan kebenaran ucapanku melalui Jetpack yang kubawa. Tentara Jepang itu, Letnan Hamada namanya, memaksaku untuk memakaikan Jetpack padanya. Di bawah todongan, aku menurut. Aku hanya menge-set agar benda itu terbang naik, melayang di ketinggian tertentu, dan mendarat kembali. Semua tak lebih dari lima menit. Tapi itu memang berdampak signifikan. Dalam gelap malam, dengan mitraliurnya dan dengan sekali pukul ia melumpuhkan sekutu di tempat persembunyian dari udara. Pertempuran berakhir dengan kemenangan di pihak Jepang.”Alex menyimak rangkaian cerita menakjubkan tadi sementara Profesor tetap meneruskan.“Kami kemudian pulang ke barak Jepang yang ternyata me
Profesor Senjaya menatap tajam. “Aku ingin benda itu dihancurkan. Kendati perang dingin antara blok barat dan timur tak lagi muncul ke permukaan akan muncul hegemoni lain yang sama membahayakannya. Tak sulit membayangkan bencana macam apa yang terjadi jika sampai Jetpack diproduksi masif di masa ini.”Penjelasan Profesor terdengar masuk akal. Alex berpikir dan menimbang-nimbang sekian lama di tempat duduknya. Gelas berisi minuman jus jeruk yang ia pesan dari tadi sudah lama tandas. Kendati demikian, ia tetap saja mengaduk-aduk gelas yang kini hanya tersisa es batu saja.“OK,” katanya kemudian. Nyaris tanpa suara. “Aku di pihakmu.”Profesor nampak lega.“Namun sebelum kuserahkan padamu, tolong jawab pertanyaan terbesarku. Bagaimana ceritanya benda itu bisa berada di goa Jepang, teronggok bersama barang-barang peninggalan Perang Dunia kedua, sementara Prof send
Pada sepuluh detik pertama Alex masih bisa menahan. Tapi ketika sudah dua puluh detik, wajahnya mulai berubah. Alex mulai meringis ketika cubitan Tessa berlangsung hingga lebih tiga puluh detik.“Ampun,” desisnya.“Nggak!” cetus Tessa galak. Rona kemenangan terpancar di wajahnya melihat Alex yang mulanya sok kuat kini mulai meringis kesakitan.“Ampun.”“Nggak. Bilang dulu seperti tadi kubilang. Ayo, cepetan!”Dalam sengatan nyeri Alex dengan cepat mengingat sesuatu. “I miss youuuu... ouch!”Tessa melepaskan cubitannya. “Koq milih kalimat yang itu dan bukan yang satunya?”Alex tidak menjawab. Saat menarik tangannya kembali tanpa sengaja ia menyentuh ujung botol saus yang terbuka yang langsung mengotori jari-jarinya.“Tuh, kamu sih.”
Seiring kepergian Alex dan seiring pula berjalannya waktu, penyesalan yang sebelumnya menghinggapi Alex, kini mulai menyapa dirinya. Setelah berpikir lebih dalam, perlahan ia mulai menyadari bahwa Alex tidaklah seburuk yang ia sangka.Yang kemudian timbul dalam jiwanya adalah rasa bersalah yang makin kuat menyergap. Melecut hasrat memaafkan dan dimaafkan. Terpuruk dalam sesal, Veily mencoba mencari tahu keberadaan Alex hanya untuk mendapatkan kenyataan bahwa pria itu ternyata pergi tanpa meninggalkan jejak alamat, telepon, atau bahkan kota yang ia tuju.Hari dengan cepat berganti hari dan bahkan berubah hingga hitungan tahun. Namun keberadaan Alex tetap lenyap tak berbekas. Asa yang semula membara, lambat laun padam. Dingin. Hingga kemudian Veily sadar bahwa sudah tiba waktunya untuk memupus kenangan yang sempat terajut.Ia sadar telah mengambil keputusan yang salah. Namun lekas pula ia menyadari bahwa keputusan yang sal
Laporan beban fiskal perusahaan yang menggelayuti pikiran Tessa segera ia buang jauh-jauh dan diabaikan begitu saja ketika Alex hadir di pintu ruang kerjanya siang itu.“Maaf terlambat,” kata Alex sesopan mungkin sesaat setelah diijinkan Tessa untuk duduk di depannya.“Lain kali jangan terlambat dong.”Kendati cukup lantang bentakannya – kalau bisa disebut sebagai sebuah bentakan – Alex merasa bahwa Tessa hanya berpura-pura. Sorot matanya tidak bisa menutup aura rindu ketika melihat kehadiran dirinya.“Iya maaf. Aku janji.”“Sip. Kamu dimaafkan. Tadinya aku kuatir, tahu? Eh ternyata cepat juga kamu bisa nyampe. Kamu ke sini tahu kan untuk apa?”“Tahu.”“Tadinya direncanakan kami di BOM merenc...”“Kalian dibom?”&nbs
Oleg memasuki boks telepon, memutar nomor, dan mulai berbicara dengan seseorang di ujung sana. Mulutnya sibuk mengunyah permen yang sejak ia di Jakarta menjadi kesukaannya.“Letnan, aku masih belum bisa melacak keberadaan Profesor. Tapi sudah mendapatkan informasi mengenai Alex. Info itu benar.” Jeda sesaat ketika ia mendengar tanggapan dari lawan bicaranya. “Alex tinggal di kamar hotel sejak kemarin. Masalahnya, saat Dimitri dan aku diam-diam memasuki kamar, benda itu tidak ada di sana.”Terdengar suara keras orang memaki di ujung telepon.“Anak muda itu ternyata lebih cerdas daripada yang kita kira. Letnan, perlukah kita lakukan rencana B?”“Belum saatnya menghabisi dia. Kalian tunggu aba-aba dariku. Aku masih punya ide lain.”*Petugas yang bertugas di meja resepsionis mengenali pria muda yang nyaris sebaya dengan dirinya ketika ia kembali muncul di hadapannya.“Selamat pagi,” salamnya mendahului Alex.“Pagi.”“Sdr. Alex kan?”“Aku tersanjung, bapak dengan mudah bisa mengenali aku.
“Hacker, tepatnya. Aku memperbaiki misalnya sistim perbankan yang kacau, seperti transaksi derivatif, pengamanan data cyber, phone banking, dan semacamnya. Yah, itu untuk biaya hidup sehari-hari.”“I see.”“Sekarang langsung ke intinya. Jadi kamu sudah temukan benda itu?”Sadar bahwa tak perlu lagi menutupi, Alex mengangguk. “Jetpack? Ya.”Profesor langsung berbicara lebih serius ke masalahnya.“Kamu sudah tahu cara menerbangkan Jetpack?”“Prof,” Alex tersenyum sinis, “aku belum banyak menyentuhnya. Beberapa hari ini aku dibawa pada situasi yang kukhawatirkan membuatku terkena skizofrenia. Semua gara-gara benda yang mungkin dari masa depan tapi berada pada tumpukan barang rombeng eks zaman revolusi. Kukatakan dari masa depan karena bisa saja ada pabrik yang salah embose ketika menuliskan tanggal produksi pada benda aneh itu. Tidakkah itu hal yan
Ia menyibak selimut lalu duduk di pinggir ranjang. Deru suara pendingan udara yang nyaris tak terdengar di siang hari kini terasa cukup lantang saat malam hari. Sadar dirinya akan sulit lagi melanjutkan tidur, Alex memutuskan untuk bangun dan meminum dua-tiga teguk air mineral dari gelas yang masih tersisa setengahnya.Matanya yang kini terbuka lebar seketika terpaku pada laptop pemberian perusahaan. Ketertarikan yang besar membuatnya kembali membuka laptop, menghidupkannya, dan mencolok perangkat modem.Dalam setengah jam berikutnya, Alex sibuk mengutak-utik perangkat yang membawanya berselancar ke jagat maya. Kendati dirinya merupakan pengguna yang masih sangat baru, dengan kecerdasan yang dimiliki, ternyata tidak sulit untuk dirinya mempelajari mengenai internet, memanfaatkan mesin pencari, dan penggunaan email.Dengan fasilitas mesin pencari, Alex mencoba mencari informasi apa saja. Termasuk Jetpack, tentu saja, yang