Veily tersenyum. Merasa lucu dan senang karena ada yang memperhatikan dirinya dengan begitu detil.
“Mmmm... apa lagi ya? ”Alex coba mengingat-ingat. “Kamu juga suka menjawab dengan mendehem, atau mengiyakan dengan suara-suara aneh. Cuma ham hem ham hem begitu aja.”
Sambil tetap membuntuti Alex, Veily hanya tertawa kecil.
“Masih mending. Daripada kamu nggak pernah ngomong apa-apa. Kan? Kan? Kan?”
Alex tak menjawab. Tadinya Veily berpikir bahwa pria itu tidak berminat melanjutkan perbincangan sampai kemudian terdengar tanggapan darinya.
“Kamu tadi bilang aku lucu. Lucu kenapa?”
“Iya. Kenapa kamu ngotot soal ulangan biologi itu? Sudah jelas jawabanmu ngaco.”
“Abis, pusing. Saat itu nggak ada mood untuk mikir. Malah nge-mood untuk becanda.”
“Aku heran nilai ulanganmu jelek. Di sebelahmu
Pintu lift baru akan tertutup rapat ketika sebuah lengan menahannya. Sesosok pria tujuhpuluhan tahun menyelusup masuk, mengangguk ke seorang pria berjas formal yang sudah ada di dalamnya, sebelum kemudian menutup tombol penutup pintu lift.Pria lain yang terlebih dahulu ada di dalamnya melihat bahwa sosok pria tua itu tidak menekan tombol lantai. Ini artinya mereka berdua menuju ke lantai yang sama.“Selamat pagi, Pak Triko,” pria tua itu memulai percakapan. Tak perlu berbalik badan karena pantulan kaca di depan lift membuat ia bisa melihat lawan bicaranya dengan jelas.Pria berjas formal menoleh. “Bapak tahu namaku?”“Siapa tidak mengenal CEO bank ini.” Pria tua tersenyum kecil. “CEO sekaligus direktur perusahaan pemasok peralatan militer Angkatan Udara di nusantara. Sebetulnya, aku ingin memberikan sebuah solusi untuk masalah di bank yang Anda pimpin.” 
Dan ketika Alex mencoba menekan bagian itu dengan lebih keras, bagian itu terbuka. Keingintahuannya bertambah ketika mengetahui bagian yang terbuka itu merupakan slotberisi sesuatu di dalamnya. Usaha pertama untuk mencongkel sesuatu itu tidak membawa hasil. Diburu rasa ingin tahu yang makin bertambah ia bergerak ke arah lemari dan langsung membongkar laci sambil berharap ada sesuatu yang bisa ia temukan untuk mengambil benda tadi.Ketika melihat alat pinset yang biasa ia pakai untuk mencabuti jenggotnya yang memang tak pernah tumbuh teratur, Alex buru-buru menggunakannya untuk mencongkel slot tabung.Berhasil.Ia melihat dengan takjub ke ujung pinset yang kini menjepit sebuah kertas yang terlipat-lipat seukuran satu ruas jari dengan ketebalan sekitar lima milimeter. Pada bagian lipatan teratas ada sebuah tulisan yang ternyata berbahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris. Isi tulisan sepertinya masih cukup jelas t
Sejam kemudian ketika Sulai sudah lama turun dari truk raksasa pengangkut batubara, Alex yang masih di dalam kabin truk terus mencerna cerita tadi. Tak lama tangannya meraih ke kantong celana jins di bagian belakang dan meraih lipatan kertas. Ia membuka lipatan dan membaca kembali judulnya.‘Panduan Menerbangkan Jetpack F83.’Jantungnya berdegup lebih kencang kendati tidak seperti pertama kali ia membacanya waktu itu.Alex membaca. Baris demi baris, kalimat demi kalimat, alinea demi alinea. Sesekali ia memijit dahinya yang mendadak pening.Ini gila, pikirnya. Apa yang ia baca adalah petunjuk bagaimana menggunakan tabung aneh yang ia temukan untuk bisa... terbang!Mesin untuk terbang? Di tahun 1995 ini?Setelah menenggak beberapa kali air mineral milik Sulai yang kebetulan tersisa satu botol di sana, Alex memaksa diri untuk melanjutkan membaca. Dan
Tatapan mata Tessa yang tajam menatapnya membuat Alex hanya bisa sesekali menengadah untuk kemudian kembali menunduk. Sebuah pemandangan yang menurut Tessa menyenangkan karena ia tahu persis bahwa Alex mengagumi penampilannya.Menggunakan pesonanya, Tessa terus mengerjai Alex.“Kamu menunduk karena apa sih? Apa karena aku nyeremin? Nggak? Lantas, kenapa kamu menunduk terus?”Melihat wajah Alex yang makin memerah Tessa berusaha mati-matian menahan tawa. “Dandanku jelek ya? Seperti nenek sihir.”Alex buru-buru menggeleng. Sekuat tenaga ia kembali menengadah. “Ibu Tessa itu cantik. Cantik nian.”Melihat ekspresi lugu sebagai ungkapan kejujuran tadi Tessa hanya mengangguk kecil sembari selembut mungkin berujar. “Terima kasih.”Setengah jam kemudian ketika kekakuan di antara mereka makin mencair, pertanyaan Alex terjawab tuntas. Tidak ada pemecatan. Yang ada
Dan ketika tiba di mulut goa yang kini terpampang di depannya, spontan ingatan ke peristiwa puluhan lalu tersingkap kembali. Kenangan kengertian di malam hari, tidak jauh dari tempat itu, puluhan tahun lalu. Pada masa ketika kekalahan tentara Dai Nippon Jepang terjadi nyaris di semua sektor. Termasuk kekalahan serupa yang juga terjadi di tempat itu setengah abad lalu.Ingatannya serta-merta melayang pada peristiwa di tahun 1945 itu ketika tubuhnya yang letih, lapar, haus, dan terluka di sana-sini masih terus menembak ke daerah musuh. Dengan amunisi sangat terbatas, ia dengan rekan-rekan sekompi berusaha menahan pergerakan tentara sekutu yang semeter demi semeter merasuk wilayah yang sebelumnya mereka kuasai.Suara desing peluru, rentetan senapan mesin, ledakan granat serta mortir mengharu-biru nyaris tanpa jeda. Kedua gendang telinganya berdenging dan bahkan sempat tuli sesaat akibat rentetan suara dentuman yang terus-menerus menggedor genda
Keheranan sempat menguasai sang petugas sebelum kemudian ia memaklumi bahwa kepergian Hamada karena ada tugas liputan lain yang menantinya. Namun tak lama kemudian ketika mendapat sebuah panggilan telepon, petugas itu mendadak pucat pasi. Sebuah informasi mengejutkan ia dapatkan yaitu bahwa wartawan Asahi Shimbun yang asli baru akan datang lima belas menit lagi, dan namanya bukanlah Hamada melainkan orang lain.Lantas, siapa tadi pria yang sudah masuk ke dalam goa?*Lima kilometer dari tempat itu, dalam kabin sebuah kendaraan sewaan yang melaju kencang, Hamada merenung kesialan yang ia alami karena mengetahui bahwa Jetpack, benda yang tadinya ia kira ada di dalam goa, ternyata kini sudah tak ada lagi di tempatnya. Namun ia juga menemukan sesuatu di goa itu secara tak sengaja. Sebuah kalung batu akik berwarna merah darah yang ditilik dari bentuk pahatan, kebersihan, serta ikatannya menunjukkan bahwa benda itu belum lama
Namun ponselnya memang kembali berbunyi. Beda dengan sebelum-sebelumnya kali ini ia sedikit ragu untuk segera menerima panggilan. Bagaimana kalau pendapat sopir tadi benar? Di ujung telepon, Tessa nyaris bersorak kecil ketika Alex menjawab teleponnya.“Lama amat sih ngangkatnya?”“Langsung diangkat koq. Cuma ya memang sinyalnya lemah,” jawab Alex.“Oh memang begitu sih yang namanya GSM. Itu kan singkatan Geser Sedikit Mati,” Tessa tertawa lepas. Tak merasa sedikit pun bahwa Alex tadi sedikit berdusta. “Kamu langsung ke kantor kan?”“Besok saja ke kantornya. Pagi-pagi.”“Ya sudah kalau begitu.” Ada nada kecewa dalam ucapan Tessa kendati ia menyetujui. “Tapi malam ini kita dinner bareng ya? Aku jemput kamu.”Entah merupakan trik wanita itu atau bagaimana, belum lagi Alex mengiya
Pria kedua langsung berceloteh. “Letnan, unit satuan khusus kami, Spetsnaz memiliki banyak pengalaman dan akses mengenai persenjataan. Senapan serbu otomatis, semi otomatis, pistol, peluncur roket, granat, detonator. Gatling, Kalashnikov, UZI, Buk. You name it! Kami juga punya akses untuk menyediakan pesawat Mig atau bahkan SAAB dari Swedia. Tentu semua bisa kami sediakan selama Letnan memiliki akses pada si pembeli. Mungkin kami tidak bisa sediakan semua, tapi cukup besar untuk... well... untuk melakukan kudeta atas sebuah negara kecil atau menengah.”Rekannya tertawa sebelum kemudian menimpali. “Tapi semua tentu tergantung bayarannya.”“Aku tidak sedang berbicara mengenai senjata. Ini mengenai uranium yang saat ini tersimpan dalam sebuah modul khusus anti api, anti karat, anti goncangan.”Sembari tetap memacu kecepatan di jalan yang sebetulnya sedikit hancur, Letnan Hamada menjelaska