Keyland cemburu, sekuat apa pun menyangkal- nyatanya dia merasakan kekesalan luar biasa setiap kali Helena berdekatan dengan pria lain. Seperti saat ini, matanya tampak menyala-nyala saat menyaksikan bagaimana Helena digandeng mesra dan diajak berjoget oleh pria yang sejak awal telah membuatnya cemburu. Pria latin berwajah tampan itu tidak bisa diabaikan begitu saja, pasalnya fisik dan ketampanannya bisa dikatakan seimbang dengannya.“Sial… kenapa kau mengundang pria itu, hah?!” bentak Keyland pada Joddy yang duduk di sampingnya.“Maaf, Tuan. Anda berpesan untuk mencari DJ terbaik, dan menurut rekomendasi hotel- dia lah yang baru-baru ini digemari oleh para pengunjung hotel saat perform,” terang Joddy.“Tapi aku sangat tidak menyukainya,” geram Keyland.“Apa saya perlu mamanggil nona Helena untuk menjauh dari DJ itu?” pertanyaan konyol Joddy yang langsung mendapat tatapan tajam dari tuannya.Keyland mungkin marah, tapi dia tidak akan bertindak konyol dengan menarik Helena dari sana. W
“Enough….” Keyland sedikit mendorong tubuh Rima hingga ciuman mereka terlepas, matanya memicing ke arah Helena yang berlari menjauh.Rima memasang senyum menggoda, kembali mengalungkan kedua tangan di leher Keyland. “Apa kita akan melanjutkan di kamar-““No,” jawab Keyland cepat, bibirnya mengukir senyum miring dengan tatapan merendahkan. “Tenyata kau bukan seleraku.”“Apa?” pekik Rima dengan mata melebar.Keylan melepaskan pelukan wanita itu kasar. “Kau sama tidak bisa membuatku bergairah sedikit pun.”“Tapi-“Keyland tak mengindahkan Rima yang tampak terkejut dengan pernyataannya, memilih untuk langsung melenggang pergi begitu saja. Dia berjalan cepat ke arah Helena berlari, menyusuri lorong yang membawanya ke bagian dek kapal belakang yang tampak sepi. Dia tersenyum, matanya menatap lurus pada Helena yang berdiri dekat pada pagar pembatas, bahu wanita itu tampak bergetar pelan.Keyland berjalan semakin mendekat, dan sepertinya wanita itu tak menyadari kehadirannya. Perlahan kedua t
“Jadi, kamu ke sini hanya untuk menyuntikku?” tanya Helena pada Cindy yang baru saja menyuntikkan obat kontrasepsi padanya.“He’em,” jawab wanita itu singkat sembari membereskan peralatan.“Kenapa tidak menunggu saat aku kembali ke Jakarta saja?”“Karena ini mendesak, Helena… hubunganmu dengan Keyland sudah lebih dari tiga bulan,” terang Cindy.Helena menggigit bibir dengan wajah canggung. “Sebenarnya aku juga tidak menyangka kalau sudah selama itu.”“Berarti kau juga menikmatinya,” goda Cindy dengan senyum jahil.“Tidak seperti itu,” Helena memalingkan wajah untuk menyembunyikan rona merah yang mungkin sudah tergambar di wajahnya, “aku hanya mencoba pasrah.”“Biasanya Keyland akan membuat kontrak dengan para wanita yang dibeli, lalu bagaimana dengan kontrak kalian.”Helena menghela nafas panjang. “Kami juga punya kontrak, tapi bodohnya, aku hanya menerima saja saat tidak ada batas waktu dalam kontrak tersebut. Saat itu aku percaya saja saat Keyland mengatakan kalau dia tidak akan per
Pagi ini Helena terbangun dengan senyum terukir di bibirnya. Sudah dua hari ini dia selalu dimanjakan dengan atmosfer keindahan dan kenyamanan setiap kali bangun tidur. Suasana privat yang tenang, pemandangan pantai yang indah, ditambah dengan suara deburan ombak yang seolah menjadi miliknya sendiri.Sejak Keyland mengklaim dirinya di depan tim marketing, dirinya memang langsung berpindah kamar ke private villa yang masih menjadi bagian dari hotel tersebut. Tidak hanya itu, Helena seolah tengah menikmati bulan madu bersama Keyland, dan tidak lagi mengikuti jadwal liburan bersama teman-temannya. Sesekali mereka pergi ke beach club, menghabiskan sore di pantai, dan bahkan berbelanja. Helena benar-benar merasakan kehidupan 180 derajat berbeda dari sebelumnya, ditambah sikap Keyland yang seolah begitu mencintainya.Helena mengerang pelan, rasanya masih enggan untuk meninggalkan kenyamanan tempat tidurnya. Namun, suara deburan air kolam menarik perhatiannya, berpikir kalau Keyland pasti se
Helena tampak duduk bengong di atas ranjang, entah berapa lama dia tertidur tapi sekarang langit yang terlihat dari kamar telah menunjukkan semburat keemasan yang hampir hilang. Perlahan tatapannya bergser, ke arah sebuah gaun merah menyala yang terbentang di permukaan sofa tak jauh dari tempat tidurnya. Sepertinya Keyland benar-benar membelikannya sebuah gaun, dan ia masih tidak tahu malam ini akan ada acara apa dengan pria itu. Helena tersenyum kecil, menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Dia turun dari ranjang, berjalan dengan tubuh polos karena memang sepanjang siang tadi mereka menghabiskan momen panas berdua. Dia meraih gaun tersebut dan menempelkan pada tubuhnya, seketika membuat wajahnya berbinar.“Cantik banget gaunnya, tapi-“ Helena menjeda kalimatnya dengan bibir yang tiba-tiba mengerucut, menatap ragu pada gaun tersebut. “Aku nggak bisa dandan… apa aku harus minta bantuan mbak Nadia?”Helena menggigit bibirnya sendiri dengan wajah bingung, terdengar helaan nafas panja
Keyland terlihat duduk pada sebuah kursi yang telah terbungkus kain satin hitam dengan pita merah di belakang, di hadapannya tampak meja bulat yang telah ditata sedemikian rupa dengan hiasan bunga mawar merah dan lilin yang menyala, sebotol wine dan dua gelas berkaki tinggi pun sudah siap di sana. Di sekitar meja tersebut terlihat kelopak bunga mawar merah dan lilin-lilin kecil yang terhampar di atas pasir pantai, menjadikan tempat tersebut semakin tampak romantis, belum lagi kerlip lampu di atas selanyaknya bintang-bintang malam.Keyland sengaja tidak menyewa pemain music apa pun untuk melengkapi momen tersebut, karena dia tahu bahwa Helena lebih menyukai suara ombak daripada suara music apa pun. Namun, di mana wanita itu sekarang? Bahkan Keyland sudah menunggu lebih dari dua jam sejak dia meninggalkan villa. Kini matanya melirik ke arah jam di pergelangan tangan dengan dengan kening berkerut, berganti menyambar ponsel untuk menghubungi Joddy.“Di mana Helena? Bukankah aku menyuruhmu
“Keyland?!” pekik Helena dengan mata melebar, bahkan jantungnya seolah berhenti berdetak saat itu juga. Dia tidak menyangka momen ini akan datang, momen saat pria yang telah berbagi ranjang dengannya bertemu langsung dengan suaminya. Tubuh Helena benar-benar membeku, otaknya tak mampu memikirkan apa yang harus dilakukan. Hingga suara Vian menyadarkannya, membuatnya tergagap cepat.“Kamu mengenalnya?”“Tentu saja,” sahut Keyland dengan nada dingin yang terdengar rendah. Dia bersiap melangkah masuk, tapi dijeda saat melihat Helena yang berjalan lebih dulu ke arahnya.“Kita bicara di luar.” Helena menarik tangan Keyland kuat, membawa pria itu keluar dan melewati suster Sinta yang kebetulan ada di sana. Dia terus berjalan dengan tak melepaskan tangan Keyland, menuju ke lorong sepi di dekat ruangan tersebut.“Bagaimana kamu bisa di sini?” tanya Helena dengan kening berkerut, tapi di detik selanjutnya pertanyaannya terjawab oleh keberadaan Joddy dengan wajah babak belur yang tak jauh dari t
“Vian, maafin aku,” gumam Helena yang saat ini tampak duduk di sisi ranjang Vian, menatap sang suami yang masih tampak tertidur. Pagi ini dia terbangun dengan kewarasan yang telah kembali, diikuti dengan rasa bersalah yang luar biasa setelah ciuman panas yang dilakukannya semalam bersama Keyland.Helena tampak menghela nafas panjang, mengangkat tangan Vian dan mengecupnya lembut. “Maafin aku….”“Kenapa kamu minta maaf.”Helena menaikkan tatapan, mendapati Vian yang ternyata sudah terbangun dengan memberinya sebuah senyum manis. “Kamu sudah bangun? Apa tidurmu nyenyak?”“Tidurku terlalu nyenyak sampai nggak bangun-bangun selama satu tahun,” balas Vian yang mulai lancar berbicara dengan nada tenang.Helena mengulas senyum lebar, sebelah tangannya terulur untuk membelai sisi wajah kurus itu. “Yang paling penting sekarang kamu sudah bangun dan sehat lagi, Yan.”“Kamu semalam tidur di sini?” tanya Vian dengan mata yang meneliti pakaian Helena, karena memang sudah berganti dari dress cantik
Helena terlihat duduk pada sofa panjang di dalam ruang kerja Keyland, terlihat keningnya yang berkerut dengan mata menatap jengah pada beberapa jenis makanan yang tersaji di atas meja. Beberapa menit yang lalu Keyland meminta pada Joddy untuk membelikan makanan untuknya, tentu saja makanan tersebut akan sangat menggiurkan baginya saat dalam kondisi normal, tapi sekarang semua makanan itu malah membuatnya tak berselera.“Perutmu tidak akan kenyang hanya dengan memelototi semua makanan itu, Sayang….” Sindir Keyland yang duduk di kursi kebesarannya, tampak fokus dengan berkas-berkas di meja tapi tetap sesekali melirik ke arah Helena.“Aku benar-benar tidak ingin memakan semua makanan ini, dan malah membuatku mual,” balas Helena sembari menyandarkan punggungnya kasar.Keyland menghela nafas panjang, baru kali ini kesabarannya meningkat dalam menghadapi seorang wanita. Dia bangkit dari kursinya, berjalan cepat dan kini ikut duduk di sisi Helena. Sebelah tangannya menarik sisi wajah cantik
“Aku baru tahu kalau kamu punya banyak uang.”Seketika Helena menghentikan gerakan tangannya yang tengah menata tempat tidur. Dia memejamkan mata singkat untuk segera berpikir keras mengenai jawaban yang akan ditanyakan Vian selanjutnya.“Lina bilang kalau gajinya UMR,” tambah Vian yang kini duduk di kursi rodanya.Helena menoleh, memasang senyum kecil. “Sebenarnya aku sudah diangkat menjadi pegawai tetap di perusahaan, dan ternyata uang tunjangan di luar gaji lumayan besar.”“Apa kamu diangkat karena ada hubungan-““Nggak ada hubungannya,” sela Helena tegas, emosinya hampir tersulut kembali. “Aku diangkat sebagai pegawai tetap sebelum Keyland ke Indonesia.”“Oke, maaf,” balas Vian santai.Helena menghela nafas, kembali melanjutkan gerakan membereskan tempat tidur mereka. Setelahnya dia menghampiri Vian. “Ayo, waktunya kamu mandi-““Nggak usah,” balas Vian cepat, bibirnya tampak mengulas senyum manis tak seperti biasanya. “Aku nggak mau kamu telat ke kantor lagi gara-gara aku, jadi le
Helena tampak menggeliat dengan mata perlahan terbuka, merasakan sebuah lengan yang menimpa perutnya dengan begitu posesif. Dia tersenyum kecil, mendapati wajah tampan Keyland yang masih tampak terlelap di sampingnya, perlahan jari jemarinya terulur untuk membelai di sana. Entah sudah berapa lama dia tertidur, yang pasti kamar yang mereka tempati sekarang sudah tampak temaram karena lampu belum dinyalakan.“Tidurmu nyenyak?”Suara serak itu membuat gerakan jari Helena terhenti untuk sesaat, mendapati iris biru pucat itu mulai terbuka menatapnya. Dia mengangguk pelan, kembali membelai sisi wajah Keyland lembut. “Rasanya baru kali ini aku merasakan tidur yang begitu nyenyak setelah hampir satu bulan mengurus Vian di rumah.”“Kau memang terlihat sangat kelelahan,” ucap Keyland dengan tatapan lekat. “Tapi setelah ini kau akan lebih santai.”Helena mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”Keyland tak menjawab kebingungan Helena, malah kini balik bertanya. “Kau ingin makan apa malam ini, hem?”“
“Hamil?!” pekik Keyland dengan mata berbinar. “Helena benar-benar hamil anakku?”“Helena memang hamil, tapi belum tentu juga itu anakmu,” jawab Cindy santai.“Jangan sembarang, sudah pasti itu anakku,” eyel Keyland dengan mata melotot. Sedangkan Cindy menedipkan mata, memberikan tanda padanya untuk melihat Helena, karena wanita itu hanya diam dengan mata memburam.“Helena, kau baik-baik saja?” Keyland sedikit membungkuk dengan sebelah tangan membelai sisi wajah Helena yang memucat. “Hei, kenapa kau diam?”Helena menoleh ke arah Cindy dengan tatapan tak bisa diartikan. “Aku- hami?”“Iya, Helena… dari hasil USG tampak kantung kehamilan, walaupun masih belum terlihat janinnya. Tapi kemungkinan besar kau memang hamil,” terang Cindy dengan senyum lembut.“Tapi- bagaimana mungkin? Aku masih dalam masa ber-KB,” cicit Helena dengan mata yang memanas.“Itu takdir, Sayang….” Keyland menangkup wajah Helena agar menatapnya. “Takdir memang menginginkan kita bersama.”Helena menggeleng kuat, membia
“Helena….” Keyland dengan wajah panik langsung masuk ke dalam bilik yang ditempati Helena, wanita itu terlihat berbaring di ranjang pasien dengan mata terpejam. Dia duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Helena yang terasa dingin. Mata Helena memang terpejam, tapi kening wanita itu tampak berkerut dalam menandakan bahwa tidak benar-benar hilang kesadaran.“Helena, kau bisa mendengarku?” tanya Keyland berganti membelai sisi wajah Helana yang kehilangan ronanya.Perlahan mata Helena terbuka, menatap pria itu sayu. “Kenapa kamu di sini?”“Astaga… aku benar-benar khawatir saat tahu kamu pingsan,” Balas Keyland sembari mengecupi punggung tangan Helena.“Aku baik-baik saja, hanya pusing.”“Kalau kau memang baik-baik saja, sekarang kau tidak akan berada di sini,” omel Keyland dengan tatapan tajam.“Kepalaku memang sedikit pusing, dan tadi aku sempat kehingan keseimbangan saat di kamar mandi. Tapi sekarang aku merasa lebih baik,” terang Helena dengan berniat menarik tangannya dari genggama
“Akhirnya selesai juga….” Helena menghela nafas panjang setelah baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah yang semakin banyak. Setiap hari dia harus mengurus Vian yang memang belum bisa mandiri dalam hal apa pun, mulai dari mandi, buang air, berpakaian bahkan juga menyiapkan segala keperluan lain. Helena tidak akan mengeluh karena semua itu memang sudah menjadi tanggung jawabnya, walaupun dia menjadi sering terlambat datang ke kantor dalam beberapa hari ini.“Aku harus segera mandi,” gumamnya setelah mengeringkan cucian. Dia baru akan melangkah keluar dari laundry room saat tiba-tiba terdengar kegaduhan dari arah dapur.Prraaangg… ppyyaaarrrr….Helena berjingkat kaget, segera membawa langkahnya ke sumber suara. Matanya tampak melebar dengan wajah terperangah saat melihat semua masakan di atas meja makan terjatuh di lantai, meninggalkan taplak meja yang terjuntai tak karuan.“Aku benar-benar nggak berguna!” teriak Vian sembari memukul pegangan kursi rodanya.“Astaga, Yan… ini kenapa?” He
“Aku sudah boleh pulang, Sayang.”Mata Helena melebar mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Vian. “Beneran?!”Vian mengangguk dengan senyum lebar, menatap ke arah taman rumah sakit dengan dirinya yang duduk di kursi roda. “Hem… rasanya aku tidak sabar untuk menghirup udara bebas di luar rumah sakit. Pasti akan sangat menyenangkan bisa kembali hidup berdua denganmu meskipun masih di rumah kontrakan.”Sontak Helena terdiam, melupakan fakta bahwa dirinya belum memberi tahu Vian tentang tempat tinggalnya selama ini. Bahkan, sampai detik ini semua barang-barang Vian masih dititipkan di rumah suster Sinta.“Hei, kenapa kamu diam saja? Kamu nggak suka kalau aku ikut pulang?”Helena tersenyum kecil sembari menggeleng pelan. “Mana mungkin aku nggak suka, bahkan aku sudah memimpikan bisa pulang bersamamu sejak lama, tapi-““Tapi apa?”“Sebenarnya-” Helena menggigit bibirnya sendiri, tanda kalau ragu untuk berucap. Hal tersebut tentu saja tak terlepas dari perhatian Vian yang memang su
Beberapa hari ini Helena kembali menjalani kehidupan normal seperti dulu, pagi pergi bekerja dan sore menemani Vian di rumah sakit. Sesekali dia ikut menemani Vian terapi, hingga pria itu kini sudah mulai bisa duduk sendiri. Sudah hampir satu minggu juga kehidupan normalnya dilalui tanpa bertemu dengan Keyland, pria itu benar-benar menepati janji untuk tidak mengusiknya. Namun, apakah Helena merasa tenang? nyatanya ada ruang di sudut hatinya yang malah terasa kosong.“Hel, kenapa sih bengong aja?” tanya mbak Nadia yang saat ini duduk di hadapan Helena, mereka sedang makan siang di kantin perusahaan.“Nggak kok, itu perasaan Mbak Nadia aja,” balas Helena dengan senyum tipis.“Terus itu nasi mau diaduk sampai jadi apa, hem?”Refleks Helena menurunkan tatapan ke arah piring miliknya. Benar saja, nasinya sudah tampak mengenaskan bercampur dengan lauk. Dia menghela nafas panjang sembari meletakkan sendok, berganti meraih capucino dingin dan menyesapnya.“Eh, sejak pulang liburan kok aku ng
“Kau tidak perlu pindah dari apartemen ini sesuai ucapanku waktu itu.”Kalimat itu membuat Helena tersenyum tipis tanpa mengubah posisinya yang saat ini bersandar di dada Keyland, dengan tubuh polos mereka sama-sama terendam di dalam busa sabun yang terasa hangat di dalam bathup. Tak perlu ditanya lagi apa yang baru saja mereka lakukan, karena Keyland seperti orang kesetanan yang tidak memberikan waktu bagi Helena untuk beristirahat. Mereka terus mengulang sentuhan kenikmatan, seolah tidak akan pernah bisa melakukannya lagi.“Kau bisa mengganti password pintunya kalau takut aku akan tiba-tiba datang,” bisik Keyland dengan bibir yang mengecup leher Helena.“Oke, aku akan menggantinya nanti agar kamu tidak seenaknya muncul tiba-tiba,” balas Helena dengan jari jemarinya yang terus menjalari lengan Keyland di perutnya.“Hem… kau bisa tetap menyapaku di kantor saat bertemu.” Keyland semakin mengeratkan pelukannya, dengan bibir yang terus berjalan di sepanjang bahu polos Helena.“Dan jangan