“Helena, bangun….”Helena mengerang pelan dengan kening berkerut, merasakan tepukan lembut di bahunya. Perlahan tubuhnya menegak, terasa begitu kaku karena semalaman tidur dengan posisi duduk dan tubuh membungkuk di sisi Vian. Semalam, dia menyelinap pergi dari apartemen setelah Keyland tertidur, menuju ke rumahsakit hanya untuk bercerita dengan Vian yang tetap diam.“Helena, kamu tidak bekerja?” tanya suster Sinta dengan suara lembut.“Saya mendapat izin satu hari untuk istirahat, Sus,” jawab Helena dengan senyum kecil.“Sebenarnya kamu ada masalah apa?” Suster Sinta menatap mata Helena yang bengkak dan wajah sembab, terlihat masih ada jejak airmata di sana. “Jangan sungkan untuk cerita denganku, Helena.”“Saya baik-baik saja, Sus.”Suster Sinta menghela nafas panjang, sebelah tangannya terulur untuk membelai sisi wajah Helena lembut. “Kan sudah kubilang, anggap aku ini sebagai ibumu, Helena… aku sudah mengurus kalian sejak kecil, jadi sudah seharusnya tidak ada rahasia yang perlu ka
“Sial… dia masih tidak mau menerima teleponku!”Keyland terlihat mondar mandir di dalam ruang kerjanya, sedangkan Joddy hanya berdiri mematung menatapnya. Dia terlihat gelisah, karena bahkan sampai siang seperti ini tak satu pun pesan maupun panggilannya direspon oleh Helena. Sikapnya memang benar-benar konyol, layaknya remaja puber yang sungguh menggelikan. Hanya saja dia tidak pernah merasa seperti itu, karena gengsinya yang lebih mendominasi.“Kenapa kau hanya diam saja, hah?!” bentak Keyland dengan tatapan tajam ke arah Joddy.“Maaf, Tuan. Memangnya saya harus apa?” Joddy malah balik bertanya dengan wajah bingung, sungguh bukan seperti dia yang biasanya.“Apa kau sekarang menjadi sangat bodoh, Jod?!” Suara Keyland terdengar meninggi. “Bukankah biasanya kau selalu memiliki solusi untuk setiap masalahku?”“Untuk masalah yang anda hadapi sekarang ini benar-benar membuat saya tidak mengerti, Tuan,” balas Joddy sembari menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.“Sudah jelas-jelas wan
“Nona Helena?”Tubuh Helena membeku, matanya terbelalak dengan mulut setengah terbuka. Dia menatap pria tinggi tegap di hadapannya bagaikan malaikat pencabut nyawa, bahkan jantungnya seolah berhenti berdetak saat ini juga. Dia merasakan ketakutan yang luar biasa saat orang suruhan Keyland mengetahui rahasianya, tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Kini dia hanya bisa berdiri mematung saat Joddy berjalan mendekat ke arahnya.“Tuan Keyland mencari anda.”Helena hanya diam, tidak menyangka kalau Joddy hanya akan mengatakan hal tersebut, bahkan dengan wajah yang tetap tanpa ekspresi. Dia bisa melihat mata Joddy yang hanya fokus menatapnya tanpa bergerak ke lain arah, seolah pria itu tidak mencoba mencari tahu siapa yang terbaring di belakangnya. Namun, dia harus tetap menjelaskan sebelum semua semakin rumit. “Maaf, saya tidak bisa menceritakan yang sebenarnya karena-““Lebih baik anda segera kembali ke apartemen sebelum tuan Keyland semakin marah.”Helena dibuat sema
“Kiss me, Helena.”Kalimat tersebut tidak lagi terdengar sebagai perintah bagi Helena, tapi bagaikan sebuah ajakan. Tak sedikit pun ada rasa penolakan dalam diri Helena, malah jiwanya seolah tertantang. Perlahan bibirnya mulai melingkupi bibir Keyland, melumat atas bawah seperti yang biasa dilakukan pria itu. Namun, ternyata Keyland malah hanya diam tanpa membalas, membuat Helena langsung menarik diri.“Kenapa berhenti?” protes Keyland dengan sebelah alis terangkat.“Anda- hanya diam.”“Aku hanya ingin menikmatinya,” jawab Keyland dengan ibu jari yang membelai bibir merekah itu. “Jadi, lakukan lagi.”Helena menurut, kembali menyatukan bibir mereka. Dia mencoba menggunakan kemampuan alaminya, sudut hatinya menginginkan sebuah pujian dari Keyland meskipun gerakan bibirnya masih sangat kaku. Baru kali ini dia bersikap agresif pada seorang pria, tapi logikannya selalu membuat pembelaan bahwa ini salah satu usahanya dalam “pekerjaan” bukan karena dirinya menghianati Vian. Perlahan ra
“Kamu sedang apa di sini?” tatapan Rima naik turun, mengamati penampilan Helana dari atas ke bawah. Dia tersenyum merendahkan. “Jadi, kamu kerja di sini juga? Jadi apa? Waitres atau tukang bersih-bersih?”Helena hanya tersenyum kecil dengan tatapan tak peduli. Dia memilih mengabaikan, membawa langkahnya melewati wanita itu. Tapi tiba-tiba tangannya ditarik kasar hingga tubuhnya terhuyung ke belakang, lalu didorong oleh Rima hingga terhimpit tembok di belakangnya.“Nggak usah sok.” Rima berdiri tepat di depan Helena dengan mata melotot tajam. Dia menunjuk-nunjuk dada wanita itu kasar. “Gara-gara kamu, aku sampai kena SP. Gajiku juga dipotong-“Kalimat Rima terjeda saat Helena menepis tangan wanita itu kasar, bahkan sedikit mendorong hingga mereka kini berjarak. “Mbak Rima masih nggak sadar juga? Sikap dan emosi Mbak Rima lah penyebabnya, bukan aku. Lagian aku yang jadi korban.”“Aku nggak akan kasar sama kamu kalau kamu nggak ngrebut posisiku!” bentak Rima dengan wajah merah padam.“Po
“Hueekk… hueeekkk….” Helena tampak berjongkok di depan kloset dan menumpahkan semua isi perutnya yang bergejolak, bahkan hingga tinggal air yang keluar. Dia terduduk dengan nafas terengah, sebelah tangannya mengusap permukaan perut yang bergejolak. “Astaga… aku kenapa?”Mendadak Helena terdiam, memorinya kembali berputar beberapa jam sebelumnya. Sontak matanya melebar ketika baru teringat apa yang dilakukannya semalam. “Apa- aku benar-benar mabuk?”Helena bangkit, menuju ke cermin di wastafel kamar mandi. Terlihat jelas tubuhnya masih berbalut baju semalam, itu tandanya Keyland tidak melakukan apa pun padanya. Dia bergegas keluar dari kamar mandi, berniat mencari pria itu untuk sekedar meminta penjelasan, tapi ternyata hanya ada dirinya di apartemen tersebut.Helena menghela nafas panjang, terduduk di tepi ranjang. Dia masih mencoba mengingat kejadian semalam yang mungkin masih terselip di otaknya, tapi nihil- terakhir kali yang diingat hanyalah saat dia emosi dan menegak habis minuma
“Katakan, siapa pria bernama Vian itu, hem?”Suara itu terdengar tidak lagi seperti sebuah pertanyaan, tapi bagaikan rayuan iblis yang bergema di telinga Helena. Pasalnya, pertanyaan itu disertai dengan godaan jemari panjang yang terus bergerak di bawahnya, menciptakan sengatan gairah yang membuatnya hilang logika. Helena frustasi, ingin sekali menghindar tapi ruangan yang mereka tempati terlalu sempit. Ingin juga berteriak tapi terlalu takut kalau mereka ketahuan, dan tentu akan menjadi sebuah aib seumur hidup. Alhasil, dia hanya bisa terus menggeleng sembari menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan desahan yang siap mencuat.“Katakan, Helena,” desis Keyland dengan bibir yang menempel di telinga wanita itu.Permainan Jari Keyland terasa semakin intens, membuat tubuh Helena bergetar pelan. Gelenyar nikmat yang dirasakan hampir mencapai puncaknya, hingga seluruh inderanya terasa begitu sensitive, bahkan kakinya seolah tak bertulang. Dia mencengkeram lengan Keyland kuat-kuat, tak peduli ka
“Sedang apa mereka di sini?” Mata biru pucat itu tampak menyala-nyala, menatap sebuah butik di hadapannya, apalagi saat terlihat manekin pasangan yang memamerkan setelan baju pengantin di balik kaca.“Saya tidak tahu, Tuan,” jawab Joddy santai.“Jadi, si manajer itu benar-benar kekasih, Helena?” geram Keyland dengan rahang tampak mengetat.“Saya juga tidak tahu, Tuan.”Sontak Keyland menoleh ke arah anak buahnya itu dengan tatapan tajam. “Lalu apa yang kau tahu, hah?!”“Maaf, Tuan. Saya akan segera mencari tahu,” balas Joddy sembari sedikit menunduk.“Tidak perlu, aku akan mencari tahu sendiri.” Keyland melangkah maju, hampir mencapai pintu butik saat tiba-tiba Joddy menghadang di hadapannya. Dia menatap pria itu dengan mata memicing. “Apa yang kau lakukan?!”“Maaf, Tuan. Anda tidak perlu melakukannya sendiri, karena sebenarnya anda tidak memiliki hak untuk melarang hubungan mereka.”“Apa katamu?!” bentak Keyland dengan mata menyala-nyala, tapi di detik selanjutnya malah berdehem pela
Helena terlihat duduk pada sofa panjang di dalam ruang kerja Keyland, terlihat keningnya yang berkerut dengan mata menatap jengah pada beberapa jenis makanan yang tersaji di atas meja. Beberapa menit yang lalu Keyland meminta pada Joddy untuk membelikan makanan untuknya, tentu saja makanan tersebut akan sangat menggiurkan baginya saat dalam kondisi normal, tapi sekarang semua makanan itu malah membuatnya tak berselera.“Perutmu tidak akan kenyang hanya dengan memelototi semua makanan itu, Sayang….” Sindir Keyland yang duduk di kursi kebesarannya, tampak fokus dengan berkas-berkas di meja tapi tetap sesekali melirik ke arah Helena.“Aku benar-benar tidak ingin memakan semua makanan ini, dan malah membuatku mual,” balas Helena sembari menyandarkan punggungnya kasar.Keyland menghela nafas panjang, baru kali ini kesabarannya meningkat dalam menghadapi seorang wanita. Dia bangkit dari kursinya, berjalan cepat dan kini ikut duduk di sisi Helena. Sebelah tangannya menarik sisi wajah cantik
“Aku baru tahu kalau kamu punya banyak uang.”Seketika Helena menghentikan gerakan tangannya yang tengah menata tempat tidur. Dia memejamkan mata singkat untuk segera berpikir keras mengenai jawaban yang akan ditanyakan Vian selanjutnya.“Lina bilang kalau gajinya UMR,” tambah Vian yang kini duduk di kursi rodanya.Helena menoleh, memasang senyum kecil. “Sebenarnya aku sudah diangkat menjadi pegawai tetap di perusahaan, dan ternyata uang tunjangan di luar gaji lumayan besar.”“Apa kamu diangkat karena ada hubungan-““Nggak ada hubungannya,” sela Helena tegas, emosinya hampir tersulut kembali. “Aku diangkat sebagai pegawai tetap sebelum Keyland ke Indonesia.”“Oke, maaf,” balas Vian santai.Helena menghela nafas, kembali melanjutkan gerakan membereskan tempat tidur mereka. Setelahnya dia menghampiri Vian. “Ayo, waktunya kamu mandi-““Nggak usah,” balas Vian cepat, bibirnya tampak mengulas senyum manis tak seperti biasanya. “Aku nggak mau kamu telat ke kantor lagi gara-gara aku, jadi le
Helena tampak menggeliat dengan mata perlahan terbuka, merasakan sebuah lengan yang menimpa perutnya dengan begitu posesif. Dia tersenyum kecil, mendapati wajah tampan Keyland yang masih tampak terlelap di sampingnya, perlahan jari jemarinya terulur untuk membelai di sana. Entah sudah berapa lama dia tertidur, yang pasti kamar yang mereka tempati sekarang sudah tampak temaram karena lampu belum dinyalakan.“Tidurmu nyenyak?”Suara serak itu membuat gerakan jari Helena terhenti untuk sesaat, mendapati iris biru pucat itu mulai terbuka menatapnya. Dia mengangguk pelan, kembali membelai sisi wajah Keyland lembut. “Rasanya baru kali ini aku merasakan tidur yang begitu nyenyak setelah hampir satu bulan mengurus Vian di rumah.”“Kau memang terlihat sangat kelelahan,” ucap Keyland dengan tatapan lekat. “Tapi setelah ini kau akan lebih santai.”Helena mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”Keyland tak menjawab kebingungan Helena, malah kini balik bertanya. “Kau ingin makan apa malam ini, hem?”“
“Hamil?!” pekik Keyland dengan mata berbinar. “Helena benar-benar hamil anakku?”“Helena memang hamil, tapi belum tentu juga itu anakmu,” jawab Cindy santai.“Jangan sembarang, sudah pasti itu anakku,” eyel Keyland dengan mata melotot. Sedangkan Cindy menedipkan mata, memberikan tanda padanya untuk melihat Helena, karena wanita itu hanya diam dengan mata memburam.“Helena, kau baik-baik saja?” Keyland sedikit membungkuk dengan sebelah tangan membelai sisi wajah Helena yang memucat. “Hei, kenapa kau diam?”Helena menoleh ke arah Cindy dengan tatapan tak bisa diartikan. “Aku- hami?”“Iya, Helena… dari hasil USG tampak kantung kehamilan, walaupun masih belum terlihat janinnya. Tapi kemungkinan besar kau memang hamil,” terang Cindy dengan senyum lembut.“Tapi- bagaimana mungkin? Aku masih dalam masa ber-KB,” cicit Helena dengan mata yang memanas.“Itu takdir, Sayang….” Keyland menangkup wajah Helena agar menatapnya. “Takdir memang menginginkan kita bersama.”Helena menggeleng kuat, membia
“Helena….” Keyland dengan wajah panik langsung masuk ke dalam bilik yang ditempati Helena, wanita itu terlihat berbaring di ranjang pasien dengan mata terpejam. Dia duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Helena yang terasa dingin. Mata Helena memang terpejam, tapi kening wanita itu tampak berkerut dalam menandakan bahwa tidak benar-benar hilang kesadaran.“Helena, kau bisa mendengarku?” tanya Keyland berganti membelai sisi wajah Helana yang kehilangan ronanya.Perlahan mata Helena terbuka, menatap pria itu sayu. “Kenapa kamu di sini?”“Astaga… aku benar-benar khawatir saat tahu kamu pingsan,” Balas Keyland sembari mengecupi punggung tangan Helena.“Aku baik-baik saja, hanya pusing.”“Kalau kau memang baik-baik saja, sekarang kau tidak akan berada di sini,” omel Keyland dengan tatapan tajam.“Kepalaku memang sedikit pusing, dan tadi aku sempat kehingan keseimbangan saat di kamar mandi. Tapi sekarang aku merasa lebih baik,” terang Helena dengan berniat menarik tangannya dari genggama
“Akhirnya selesai juga….” Helena menghela nafas panjang setelah baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah yang semakin banyak. Setiap hari dia harus mengurus Vian yang memang belum bisa mandiri dalam hal apa pun, mulai dari mandi, buang air, berpakaian bahkan juga menyiapkan segala keperluan lain. Helena tidak akan mengeluh karena semua itu memang sudah menjadi tanggung jawabnya, walaupun dia menjadi sering terlambat datang ke kantor dalam beberapa hari ini.“Aku harus segera mandi,” gumamnya setelah mengeringkan cucian. Dia baru akan melangkah keluar dari laundry room saat tiba-tiba terdengar kegaduhan dari arah dapur.Prraaangg… ppyyaaarrrr….Helena berjingkat kaget, segera membawa langkahnya ke sumber suara. Matanya tampak melebar dengan wajah terperangah saat melihat semua masakan di atas meja makan terjatuh di lantai, meninggalkan taplak meja yang terjuntai tak karuan.“Aku benar-benar nggak berguna!” teriak Vian sembari memukul pegangan kursi rodanya.“Astaga, Yan… ini kenapa?” He
“Aku sudah boleh pulang, Sayang.”Mata Helena melebar mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Vian. “Beneran?!”Vian mengangguk dengan senyum lebar, menatap ke arah taman rumah sakit dengan dirinya yang duduk di kursi roda. “Hem… rasanya aku tidak sabar untuk menghirup udara bebas di luar rumah sakit. Pasti akan sangat menyenangkan bisa kembali hidup berdua denganmu meskipun masih di rumah kontrakan.”Sontak Helena terdiam, melupakan fakta bahwa dirinya belum memberi tahu Vian tentang tempat tinggalnya selama ini. Bahkan, sampai detik ini semua barang-barang Vian masih dititipkan di rumah suster Sinta.“Hei, kenapa kamu diam saja? Kamu nggak suka kalau aku ikut pulang?”Helena tersenyum kecil sembari menggeleng pelan. “Mana mungkin aku nggak suka, bahkan aku sudah memimpikan bisa pulang bersamamu sejak lama, tapi-““Tapi apa?”“Sebenarnya-” Helena menggigit bibirnya sendiri, tanda kalau ragu untuk berucap. Hal tersebut tentu saja tak terlepas dari perhatian Vian yang memang su
Beberapa hari ini Helena kembali menjalani kehidupan normal seperti dulu, pagi pergi bekerja dan sore menemani Vian di rumah sakit. Sesekali dia ikut menemani Vian terapi, hingga pria itu kini sudah mulai bisa duduk sendiri. Sudah hampir satu minggu juga kehidupan normalnya dilalui tanpa bertemu dengan Keyland, pria itu benar-benar menepati janji untuk tidak mengusiknya. Namun, apakah Helena merasa tenang? nyatanya ada ruang di sudut hatinya yang malah terasa kosong.“Hel, kenapa sih bengong aja?” tanya mbak Nadia yang saat ini duduk di hadapan Helena, mereka sedang makan siang di kantin perusahaan.“Nggak kok, itu perasaan Mbak Nadia aja,” balas Helena dengan senyum tipis.“Terus itu nasi mau diaduk sampai jadi apa, hem?”Refleks Helena menurunkan tatapan ke arah piring miliknya. Benar saja, nasinya sudah tampak mengenaskan bercampur dengan lauk. Dia menghela nafas panjang sembari meletakkan sendok, berganti meraih capucino dingin dan menyesapnya.“Eh, sejak pulang liburan kok aku ng
“Kau tidak perlu pindah dari apartemen ini sesuai ucapanku waktu itu.”Kalimat itu membuat Helena tersenyum tipis tanpa mengubah posisinya yang saat ini bersandar di dada Keyland, dengan tubuh polos mereka sama-sama terendam di dalam busa sabun yang terasa hangat di dalam bathup. Tak perlu ditanya lagi apa yang baru saja mereka lakukan, karena Keyland seperti orang kesetanan yang tidak memberikan waktu bagi Helena untuk beristirahat. Mereka terus mengulang sentuhan kenikmatan, seolah tidak akan pernah bisa melakukannya lagi.“Kau bisa mengganti password pintunya kalau takut aku akan tiba-tiba datang,” bisik Keyland dengan bibir yang mengecup leher Helena.“Oke, aku akan menggantinya nanti agar kamu tidak seenaknya muncul tiba-tiba,” balas Helena dengan jari jemarinya yang terus menjalari lengan Keyland di perutnya.“Hem… kau bisa tetap menyapaku di kantor saat bertemu.” Keyland semakin mengeratkan pelukannya, dengan bibir yang terus berjalan di sepanjang bahu polos Helena.“Dan jangan