“Helena pasti sudah siap untuk kompetisinya, kan?”“Nggak sabar deh lihat Helena sama Pak Ardi.”Obrolan-obrolan itu seolah tak bisa menembus gendang telinga Helena, tak membuat wanita itu bergeming sedikit pun. Pasalnya sekarang otak Helena terus saja dipenuhi oleh bayangan-bayangan panas dari kejadian yang baru saja dialami beberapa saat yang lalu. Dia selalu dibuat jantungan oleh sikap Keyland, tapi sejujurnya juga menciptakan debarang adrenalin yang menyenangkan. Seumur hidupnya dia tidak akan pernah membayangkan akan bercumbu dengan sang bos di toilet kantor, tapi nyatanya semua itu bukan hanya hayalan.“Hei… lagi nglamunin apa sih?”“Astaga….” Pekik Helena sembari berjingkat kaget saat mendengar tepukan tepat di depan wajahnya. Dia menatap mbak Nadia dan pak Ardi yang ada di hadapannya bingung, karena memang sedari tadi otaknya tidak di sana.“Kamu sakit, Helena?” tanya Ardi dengan kening berkerut.“Eh, tidak kok, Pak. Saya baik-baik saja,” jawab Helena dengan senyum canggung.“
“Astaga… aku bakalan telat….”Helena berlari memasuki gedung perusahaan tempatnya bekerja sembari menenteng sebuah tas yang cukup besar, mengabaikan nafasnya yang terengah. Dia benar-benar tidak menyangka kalau akan bangun sesiang ingin, bahkan tidak datang untuk bekerja pagi sebelum acara anniversary belangsung. Mungkin semalam dia memang tidak tidur karena ulah Keyland yang menggila seperti biasa, mengajaknya bercinta seolah tak kenal lelah. Tapi anehnya tadi pagi dia masih sempat bangun sebelum akhirnya ketiduran seperti orang pingsan sampai akhirnya baru bangun saat hari hampir gelap.“Ya Tuhan, Helena… aku pikir kamu hilang!” oceh mbak Nadia yang langsung menyambut Helena.“Maaf, Mbak. Aku benar-benar nggak bisa bangun tadi,” jawab Helena dengan dada naik turun, mengatur nafasnya yang tersenggal.“Ya sudah, ayo naik.”Mereka naik menggunakan lift menunju ke lantai di mana ballroom perusahaan berada. Ternyata ornament-ornamen pesta telah terpasang di setiap sudut gedung, juga suda
Keyland berjalan tegas, menyusup pada keributan orang-orang saat lampu padam. Dia naik ke atas panggung, langsung menarik lengan Helena kasar. Tak peduli saat wanita itu memekik atau meronta, cengkeramannya terlalu kuat untuk bisa dilepas. Dia terus menarik tangan Helena hingga menuruni panggung, menuju ke sisi kiri pada ruang serbaguna yang tak terpakai.Keyland menyentak tangan Helena kasar, lalu mendorong tubuh itu hingga terhimpit tembok di belakang. Iris biru pucatnya masih tampak berkobar. “Apa yang kau pakai, hah?!”“Kamu apa-apaan sih?!” Mata Helena ikut melotot, tapi dengan wajah yang penuh keterkejutan.“Sial… bagaimana bisa kau datang dengan baju seperti ini!” Keyland menepuk tempok di sisi wajah Helena dengan telapak tangannya kasar.“Aku juga tidak bermaksud memakai kebaya ini, tadi ada yang merusaknya. Jadi terpaksa kami memodifikasinya hingga menjadi seperti ini,” terang Helena.“Dan kau tetap memakainya?” Mata Keyland memicing tajam, menyusuri belahan dada Helena yang
“Gaun ini lebih cocok untukmu.” Helena sepakat dengan pendapat Keyland kali ini, karena gaun hitam panjang yang dipakainya saat ini begitu elegan dan cantik. Gaun lengan panjang dengan model leher berbentuk V itu memiki model mermaid yang menjuntai di lantai, juga slimfit yang mencetak lekuk tubuhnya, belum lagi bahan gaun yang gemerlap semakin menambah kesan glamor tapi tak berlebihan. Sebenarnya dia cukup gugup mengenakan gaun dari brand ternama ini, karena pasti harganya sangatlah tidak murah. “Kau sangat cantik, Helena.” Helena bisa melihat mata biru pucat itu yang terus menatapinya, menyapu tubuhnya dari atas ke bawah. Tatapan itu begitu dalam, bagaikan seekor predator yang bertemu dengan mangsa kesukaannya. Dia bergeming di tempat saat kini Keyland berjalan mendekat, kembali melingkarkan tangan pada pinggangnya posesisf. Wajah mereka sudah tak berjarak, dengan bibir Keyland yang siap menyapa bibirnya untuk yang kesekian kali. “Kamu telah merusak riasanku,” ucap Helena dengan
“Kami- hanya saling kenal, karena aku sering berobat ke rumahsakit milik dr. Cindy,” sanggah Helena, tapi tetap tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.“Ah ternyata gaun ini yang diminta daritadi,” timpal dr. Cindy dengan tatapan tertuju ke arah gaun Helena. “Kau tahu, Helena… Keyland-““Dokter,” potong Helena sembari menggeleng pelan, matanya memancarkan sorot memohon. Dia terlalu takut kalau Cindy membuka semuanya, walaupun dia tahu bahwa wanita itu tidak memiliki niat buruk untuk mempermalukannya.“Baiklah, apa kalian tidak minum?” Cindy menatap mereka semua bergantian.“Ah iya, kita akan minum,” sahut mbak Nadia, sedangkan wajah Ardi terlihat berubah.“Ehem… Helena.”Datang lagi seorang pria matang yang membuat mereka semakin melongo tak percaya, pria tua yang tetap tampan itu tersenyum ke arah Helena. “Maukah kau berdansa denganku?”Sontak semua yang ada di sana terkesiap kaget, begitu pun dengan Helena.“Kakek jangan genit,” tegur Cindy dengan mata melotot tajam.“Apa salahnya,
“Kita pulang,” desis Keyland dengan kembali menggandeng tangan Helena.“Dia- salah satu teman divisiku,” ucap Helena lirih dengan mata yang masih terpaku pada Rima di depan sana.“Biarkan saja.”“Tapi-““Memangnya kau ingin menjelaskan apa?” sela Keyland dengan tatapan tajam.Helena hanya bisa menggeleng, diam saja saat Keyland menggandengnya menuju ke arah mobil yang nyatanya sudah terparkir di depan lobi. Sebelum masuk mobil, Helena masih sempat melirik ke arah Rima dan ternyata wanita itu masih diam mematung menatapnya. Dia menghela nafas berat, lalu mendaratkan tubuhnya pada jok mobil.“Bagaimana kalau dia menceritakan tentang kita pada yang lain?” tanya Helena lirih dengan kedua tangan saling bertaut.“Abaikan saja, lagipula dirimu tidak akan dipecat,” jawab Keyland santai, kini tatapannya tampak tertuju pada tablet di tangan.Helena tersenyum miring. “Apa kamu lupa ucapanmu di pesta tadi?”“Memangnya apa?” Keyland balik bertanya tanpa menatap Helena.“Bukankah kamu yang membuat
“Bangunlah, Pemalas….”Helena menggeliat, juga mengerang pelan saat merasakan kecupan-kecupan lembut di wajahnya. Dia tidak perlu membuka mata untuk mengetahui siapa pelukanya, karena aroma maskulin mewah yang sekarang menyapa hidungnya sudah begitu dikenal.“Sekarang kau menjadi semakin malas, hem?”Helena mengerutkan kening dengan mata perlahan terbuka, seketika disapa oleh iris biru pucat yang begitu dekat dengannya. “Jam berapa sekarang?”“Setengah tujuh,” wajah Keyland sembari menegakkan badan.Helena kembali mengerang, perlahan bergerak untuk duduk. Dia menatap Keyland yang sudah terlihat tampan dengan setelan jas rapi. “Kamu sudah mau berangkat?”“Aku ada urusan penting pagi ini, jadi harus bersiap lebih pagi,” jawab Keyland dengan ibu jari yang membelai bibir Helena pelan. “Aku sudah membuat sandwich untukmu, makanlah sebelum berangkat ke kantor.”Mata Helena tampak melebar. “Kamu- memasak untukku?”Keyland mengangguk kecil dengan senyum manis tersungging di bibirnya. Dia kemb
“Sus, saya titip Vian ya.” Helena menatap suster Sinta yang berdiri di hadapannya.“Memangnya kamu mau ke mana, Helena?”“Saya ada acara kantor ke Bali selama lima hari,” jawab Helena sembari melirik ke arah Vian yang terbaring pada ranjang di sisinya. Dia menghela nafas panjang. “Apa saya tidak ikut saja ya, rasaya tidak tega kalau harus meninggalkan Vian-““Jangan,” sela suster Sinta sembari menarik tangan Helena dan menggenggamnya. “Kamu juga butuh refreshing, apalagi kalau ini juga menyangkut pekerjaanmu.”“Sebenarnya ini hanya reward dari perusahaan, Sus. Jadi meskipun saya tidak ikut, tidak akan mempengaruhi kinerja,” terang Helena.Suster Sinta tersenyum lembut. “Apa pun itu, kamu harus tetap berangkat. Vian sangat aman di sini.”Helena kembali menatap sang suami, mengulas senyum lembut sembari membelai wajah tirus itu. “Maaf ya, Yan… selama lima hari nanti aku nggak bisa jengukin kamu.”“Aku baik-baik saja, Sayang,” sahut suster Sinta seolah menirukan omongan Vian, lalu terkek
Helena terlihat duduk pada sofa panjang di dalam ruang kerja Keyland, terlihat keningnya yang berkerut dengan mata menatap jengah pada beberapa jenis makanan yang tersaji di atas meja. Beberapa menit yang lalu Keyland meminta pada Joddy untuk membelikan makanan untuknya, tentu saja makanan tersebut akan sangat menggiurkan baginya saat dalam kondisi normal, tapi sekarang semua makanan itu malah membuatnya tak berselera.“Perutmu tidak akan kenyang hanya dengan memelototi semua makanan itu, Sayang….” Sindir Keyland yang duduk di kursi kebesarannya, tampak fokus dengan berkas-berkas di meja tapi tetap sesekali melirik ke arah Helena.“Aku benar-benar tidak ingin memakan semua makanan ini, dan malah membuatku mual,” balas Helena sembari menyandarkan punggungnya kasar.Keyland menghela nafas panjang, baru kali ini kesabarannya meningkat dalam menghadapi seorang wanita. Dia bangkit dari kursinya, berjalan cepat dan kini ikut duduk di sisi Helena. Sebelah tangannya menarik sisi wajah cantik
“Aku baru tahu kalau kamu punya banyak uang.”Seketika Helena menghentikan gerakan tangannya yang tengah menata tempat tidur. Dia memejamkan mata singkat untuk segera berpikir keras mengenai jawaban yang akan ditanyakan Vian selanjutnya.“Lina bilang kalau gajinya UMR,” tambah Vian yang kini duduk di kursi rodanya.Helena menoleh, memasang senyum kecil. “Sebenarnya aku sudah diangkat menjadi pegawai tetap di perusahaan, dan ternyata uang tunjangan di luar gaji lumayan besar.”“Apa kamu diangkat karena ada hubungan-““Nggak ada hubungannya,” sela Helena tegas, emosinya hampir tersulut kembali. “Aku diangkat sebagai pegawai tetap sebelum Keyland ke Indonesia.”“Oke, maaf,” balas Vian santai.Helena menghela nafas, kembali melanjutkan gerakan membereskan tempat tidur mereka. Setelahnya dia menghampiri Vian. “Ayo, waktunya kamu mandi-““Nggak usah,” balas Vian cepat, bibirnya tampak mengulas senyum manis tak seperti biasanya. “Aku nggak mau kamu telat ke kantor lagi gara-gara aku, jadi le
Helena tampak menggeliat dengan mata perlahan terbuka, merasakan sebuah lengan yang menimpa perutnya dengan begitu posesif. Dia tersenyum kecil, mendapati wajah tampan Keyland yang masih tampak terlelap di sampingnya, perlahan jari jemarinya terulur untuk membelai di sana. Entah sudah berapa lama dia tertidur, yang pasti kamar yang mereka tempati sekarang sudah tampak temaram karena lampu belum dinyalakan.“Tidurmu nyenyak?”Suara serak itu membuat gerakan jari Helena terhenti untuk sesaat, mendapati iris biru pucat itu mulai terbuka menatapnya. Dia mengangguk pelan, kembali membelai sisi wajah Keyland lembut. “Rasanya baru kali ini aku merasakan tidur yang begitu nyenyak setelah hampir satu bulan mengurus Vian di rumah.”“Kau memang terlihat sangat kelelahan,” ucap Keyland dengan tatapan lekat. “Tapi setelah ini kau akan lebih santai.”Helena mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”Keyland tak menjawab kebingungan Helena, malah kini balik bertanya. “Kau ingin makan apa malam ini, hem?”“
“Hamil?!” pekik Keyland dengan mata berbinar. “Helena benar-benar hamil anakku?”“Helena memang hamil, tapi belum tentu juga itu anakmu,” jawab Cindy santai.“Jangan sembarang, sudah pasti itu anakku,” eyel Keyland dengan mata melotot. Sedangkan Cindy menedipkan mata, memberikan tanda padanya untuk melihat Helena, karena wanita itu hanya diam dengan mata memburam.“Helena, kau baik-baik saja?” Keyland sedikit membungkuk dengan sebelah tangan membelai sisi wajah Helena yang memucat. “Hei, kenapa kau diam?”Helena menoleh ke arah Cindy dengan tatapan tak bisa diartikan. “Aku- hami?”“Iya, Helena… dari hasil USG tampak kantung kehamilan, walaupun masih belum terlihat janinnya. Tapi kemungkinan besar kau memang hamil,” terang Cindy dengan senyum lembut.“Tapi- bagaimana mungkin? Aku masih dalam masa ber-KB,” cicit Helena dengan mata yang memanas.“Itu takdir, Sayang….” Keyland menangkup wajah Helena agar menatapnya. “Takdir memang menginginkan kita bersama.”Helena menggeleng kuat, membia
“Helena….” Keyland dengan wajah panik langsung masuk ke dalam bilik yang ditempati Helena, wanita itu terlihat berbaring di ranjang pasien dengan mata terpejam. Dia duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Helena yang terasa dingin. Mata Helena memang terpejam, tapi kening wanita itu tampak berkerut dalam menandakan bahwa tidak benar-benar hilang kesadaran.“Helena, kau bisa mendengarku?” tanya Keyland berganti membelai sisi wajah Helana yang kehilangan ronanya.Perlahan mata Helena terbuka, menatap pria itu sayu. “Kenapa kamu di sini?”“Astaga… aku benar-benar khawatir saat tahu kamu pingsan,” Balas Keyland sembari mengecupi punggung tangan Helena.“Aku baik-baik saja, hanya pusing.”“Kalau kau memang baik-baik saja, sekarang kau tidak akan berada di sini,” omel Keyland dengan tatapan tajam.“Kepalaku memang sedikit pusing, dan tadi aku sempat kehingan keseimbangan saat di kamar mandi. Tapi sekarang aku merasa lebih baik,” terang Helena dengan berniat menarik tangannya dari genggama
“Akhirnya selesai juga….” Helena menghela nafas panjang setelah baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah yang semakin banyak. Setiap hari dia harus mengurus Vian yang memang belum bisa mandiri dalam hal apa pun, mulai dari mandi, buang air, berpakaian bahkan juga menyiapkan segala keperluan lain. Helena tidak akan mengeluh karena semua itu memang sudah menjadi tanggung jawabnya, walaupun dia menjadi sering terlambat datang ke kantor dalam beberapa hari ini.“Aku harus segera mandi,” gumamnya setelah mengeringkan cucian. Dia baru akan melangkah keluar dari laundry room saat tiba-tiba terdengar kegaduhan dari arah dapur.Prraaangg… ppyyaaarrrr….Helena berjingkat kaget, segera membawa langkahnya ke sumber suara. Matanya tampak melebar dengan wajah terperangah saat melihat semua masakan di atas meja makan terjatuh di lantai, meninggalkan taplak meja yang terjuntai tak karuan.“Aku benar-benar nggak berguna!” teriak Vian sembari memukul pegangan kursi rodanya.“Astaga, Yan… ini kenapa?” He
“Aku sudah boleh pulang, Sayang.”Mata Helena melebar mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Vian. “Beneran?!”Vian mengangguk dengan senyum lebar, menatap ke arah taman rumah sakit dengan dirinya yang duduk di kursi roda. “Hem… rasanya aku tidak sabar untuk menghirup udara bebas di luar rumah sakit. Pasti akan sangat menyenangkan bisa kembali hidup berdua denganmu meskipun masih di rumah kontrakan.”Sontak Helena terdiam, melupakan fakta bahwa dirinya belum memberi tahu Vian tentang tempat tinggalnya selama ini. Bahkan, sampai detik ini semua barang-barang Vian masih dititipkan di rumah suster Sinta.“Hei, kenapa kamu diam saja? Kamu nggak suka kalau aku ikut pulang?”Helena tersenyum kecil sembari menggeleng pelan. “Mana mungkin aku nggak suka, bahkan aku sudah memimpikan bisa pulang bersamamu sejak lama, tapi-““Tapi apa?”“Sebenarnya-” Helena menggigit bibirnya sendiri, tanda kalau ragu untuk berucap. Hal tersebut tentu saja tak terlepas dari perhatian Vian yang memang su
Beberapa hari ini Helena kembali menjalani kehidupan normal seperti dulu, pagi pergi bekerja dan sore menemani Vian di rumah sakit. Sesekali dia ikut menemani Vian terapi, hingga pria itu kini sudah mulai bisa duduk sendiri. Sudah hampir satu minggu juga kehidupan normalnya dilalui tanpa bertemu dengan Keyland, pria itu benar-benar menepati janji untuk tidak mengusiknya. Namun, apakah Helena merasa tenang? nyatanya ada ruang di sudut hatinya yang malah terasa kosong.“Hel, kenapa sih bengong aja?” tanya mbak Nadia yang saat ini duduk di hadapan Helena, mereka sedang makan siang di kantin perusahaan.“Nggak kok, itu perasaan Mbak Nadia aja,” balas Helena dengan senyum tipis.“Terus itu nasi mau diaduk sampai jadi apa, hem?”Refleks Helena menurunkan tatapan ke arah piring miliknya. Benar saja, nasinya sudah tampak mengenaskan bercampur dengan lauk. Dia menghela nafas panjang sembari meletakkan sendok, berganti meraih capucino dingin dan menyesapnya.“Eh, sejak pulang liburan kok aku ng
“Kau tidak perlu pindah dari apartemen ini sesuai ucapanku waktu itu.”Kalimat itu membuat Helena tersenyum tipis tanpa mengubah posisinya yang saat ini bersandar di dada Keyland, dengan tubuh polos mereka sama-sama terendam di dalam busa sabun yang terasa hangat di dalam bathup. Tak perlu ditanya lagi apa yang baru saja mereka lakukan, karena Keyland seperti orang kesetanan yang tidak memberikan waktu bagi Helena untuk beristirahat. Mereka terus mengulang sentuhan kenikmatan, seolah tidak akan pernah bisa melakukannya lagi.“Kau bisa mengganti password pintunya kalau takut aku akan tiba-tiba datang,” bisik Keyland dengan bibir yang mengecup leher Helena.“Oke, aku akan menggantinya nanti agar kamu tidak seenaknya muncul tiba-tiba,” balas Helena dengan jari jemarinya yang terus menjalari lengan Keyland di perutnya.“Hem… kau bisa tetap menyapaku di kantor saat bertemu.” Keyland semakin mengeratkan pelukannya, dengan bibir yang terus berjalan di sepanjang bahu polos Helena.“Dan jangan