"Saya tunggu di poli penyakit dalam."
Helena membaca pesan yang dikirimkan dr. Rony sembari terus melangkah memasuki gedung rumahsakit yang tampak sepi. Logikanya benar-benar tertutup setiap kali menyangkut sang suami, sehingga dia tidak merasa aneh sedikit pun dengan permintaan salah satu dokter yang menangani suaminya itu untuk bertemu di tengah malam.
Helena mengetuk pintu ruangan poli yang tertutup sampai terdengar seruan dari dalam. Dia tersenyum kecil saat melihat pria lima puluh tahunan itu duduk di salah satu kursi, lalu berjalan masuk. Suasana ruangan tersebut tak kalah sepi dari di luar, apalagi saat tidak semua lampu dinyalakan.
"Duduk Helena," pinta dr. Rony.
Helena duduk di depan meja dokter tersebut. "Maaf, Dok. Sebenarnya apa yang ingin dokter bicarakan dengan saya. Apa ada masalah lagi dengan suami saya?"
"Apa kamu sudah diberitahu tentang deposit yang harus kamu tambahkan?" tanya dr. Rony sembari bangkit dari kursinya.
Helena mengangguk pelan dengan wajah berubah muram. "Iya, Dok. Saya sudah diberitahu."
"Apa kamu sudah memiliki uangnya?"
Helena menggeleng dengan kepala menunduk lesu, mendadak dadanya kembali terhantam sesak tak tertahan setiap kali mengingat besarnya uang yang harus disiapkan untuk menunjang kehidupan sang suami. "Saya... Akan tetap berusaha mencarinya, Dok... Bagaimana pun caranya."
"Sebagai seorang istri, kamu memang harus berkorban untuk suami. Dan saat Vian bangun nanti, dia pasti akan sangat berterimakasih padamu."
Helena terdiam, bukan karena meresapi nasihat dari dr. Rony, melainkan merasakan kewaspadaan akan sikap pria itu yang kini berdiri tepat di belakangnya. Bahkan dia mulai merasakan pergerakan dari kedua tangan dr. Rony yang memijat lembut bahunya.
”Saya bisa membantumu untuk membayar biaya perawatan suamimu hanya dengan satu syarat-"
"Tidak perlu repot, Dok," potong Helena yang langsung bangkit dari kursi, memutar badan dan segera bergerak menjauh. "Saya... Akan berusaha-"
"Dengan cara apa?" pungkas pria tua itu dengan senyum miring. "Bukankah kamu hanya diberi waktu sampai bulan ini?"
Tubuh Helena terhimpit pada pinggiran meja dengan kedua tangan yang mencengkeram di sana. Terlihat matanya yang memburam saat menyadari kalau pria itu semakin mendekat. "Saya masih punya pekerjaan-"
"Ayolah, syarat saya sangat mudah dan pasti bisa kamu penuhi dengan sangat baik,” bujuk dr. Rony dengan terus melangkah maju, mencoba memangkas jarak di antara mereka.
“Dokter… mau apa?” tanya Helena tergagap, mencoba tetap tenang walaupun gestur tubuhnya sudah menunjukkan ketakutan.
“Saya hanya ingin kamu menghangatkan ranjang saya, Helena,” bisik dr. Rony dengan sebelah tangan terulur, mencoba menjangkau pipi Helena saat wanita itu lebih dulu menepisnya kasar.
“Tolong anda jangan kurang ajar!” pekik Helena dengan suara bergetar. “Saya bisa teriak-“
“Teriak saja,” tantang dr. Rony dengan senyum miring. “Memangnya siapa yang akan lebih dipercaya di sini? Kamu yang mencoba merayu saya karena butuh uang atau dokter terhormat seperti saya yang kamu fitnah?”
“Apa?” Helena mendengus dengan tatapan tak percaya mendengar kalimat pria itu, ketakutan semakin menyergapnya.
“Saya berani membayarmu saat ini juga, Helena,” tambah dr. Rony dengan tatapan genit ke arah tubuh Helena yang hanya menggunakan baju tidur. “Lima juta untuk sekali main dan sisanya-“
Plaaakkkkk!
Tiba-tiba ssebelah tangan Helena terayun kencang, menyapa pipi pria tua itu hingga terpelanting ke samping. Nafasnya tampak naik turun, akumulasi dari kemarahan dan ketakutan yang sudah bergumul di dada. “Saya bukan wanita murahan yang bisa anda beli dengan uang!”
Helena mendorong tubuh dr. Rony kasar, segera membawa kakinya mengambil langkah seribu meninggalkan ruangan tersebut. Tangisnya pecah dengan terus berlari, menuju satu-satunya tempat yang selama ini menjadi tempat mengadu. Dia bersiap mendorong ruangan yang ditempati oleh sang suami saat tiba-tiba dihadang oleh seorang perawat wanita.
“Helena, kamu kenapa?”
Tubuh Helena masih tampak gemetar dengan airmata membanjir. “Suster Sinta… saya… saya-“
“Kamu kenapa, hem? Tenang dulu lalu bicara,” ujar suster Sinta dengan wajah khawatir.
Helena memejamkan mata sejenak untuk mengontrol ketakutannya, lalu kembali menatap wanita bertubuh besar itu. “Saya hanya sedih karena deposit itu, Suster.”
Suster Sinta mengerutkan kening. “Jangan bohong, Helena… kamu terlihat ketakutan tadi.”
Helena menggeleng cepat, mengingat kembali ancaman yang dilontarkan dr. Rudy. Dia tidak akan mengatakan yang sebenarnya, karena memang di sini posisinya begitu lemah untuk tuduhan sebuah pelecehan seksual. “Saya benar-benar frustasi karena harus menyiapkan deposit yang begitu besar, Sus.”
Suster Sinta menghela nafas panjang. “Sebenarnya masih ada satu cara yang bisa kamu coba.”
“Apa itu, Sus… katakana pada saya.” Helena menggenggam tangan wanita itu dengan wajah antusias.
“Bukannya kamu sudah menjadi pegawai tetap di Perusahaan Hamilton?”
Helena mengangguk cepat.
“Coba saja kamu ajukan pinjaman ke Perusahaan dengan pemotongan gaji setiap bulan sebagai jaminan,” terang Suster Sinta.
“Astaga… kenapa aku tidak pernah terpikirkan.”
***
“Enam puluh juta?! Kamu gila?!”
Pekikan dari manajer keuangan seketika membuat harapan Helena perlahan sirna, walaupun dalam hatinya masih mengharapkan adanya sebuah keajaiban. Setelah mendengar saran dari suster Sinta, pagi ini dia langsung menemui sang manajer untuk mengutarakan niatnya, dan seperti ini lah respon yang didapat.
“Kamu baru dua tahun bekerja di sini dan baru satu tahun menjadi karyawan tetap, sekarang mau mengajukan pinjaman enam puluh juta? Yang benar saja?! Saya yang sudah lebih dari sepuluh tahun di sini saja belum berani mengajukan pinjaman sebesar itu,” omel pria berkacamata itu.
“Maaf, Pak… saya benar-benar terdesak,” pinta Helena dengan suara memelas. “Tolong bantu saya, Pak.”
“Kamu sadar tidak, gajimu hanya lima juta. Kalau nanti dipotong setengahnya, masih butuh waktu dua tahun untuk melunasi. Itupun kalau kamu tidak pernah izin dan lain-lain,” terang pria itu.
“Saya mohon, Pak.” Tiba-tiba Helena berlutut di depan meja pria itu dengan menangkup kedua tangannya di depan wajah. “Saya sangat butuh uang itu.”
“Helena, kamu ini apa-apaan?! Ayo berdiri! Orang bisa salahpaham kalau melihatmu seperti ini,” tegur sang manajer, bersiap menarik tangan Helena saat terdengar suara bariton dari arah pintu.
“Apa yang kau lakukan?”
Helena berjingkat kaget, lehernya memutar cepat dengan mata yang melebar sempurna saat melihat pria yang telah menolongnya ada di sana.
“Tuan Hamilton, ada yang bisa saya bantu?” Manajer itu langsung mendekat dengan wajah panik saat mengetahui sang pemilik perusahaan mendatangi ruangannya.
“Apa?! Tuan Hamilton?” pekik Helena tanpa sadar.
“Helena, bangun,” desis Keyland Hamilton dengan tatapan tajam.
Sang Manajer bergegas membantu Helena yang masih terdiam. Dia berbisik pada wanita itu. “Beliau adalah Tuan Keyland Hamilton, pemilik Perusahaan ini, Helena… kamu yang sopan.”
Helena terpaku dengan mulut terbuka lebar. Dia memang telah bekerja selama dua tahun di perusahaan ini, tapi tak sekalipun pernah melihat wajah sang pemilik Perusahaan, terlebih dia hanya sekretaris biasa. Selain itu, Perusahaan ini memang hanya anak perusahaan yang berada di Inggris, dan yang dia tahu bosnya juga orang Indonesia.
“Apa yang terjadi sampai kau harus berlutut seperti itu?” tanya Keyland dengan tatapan tak suka.
“Maaf, Tuan… Helena baru bekerja dua tahun di sini dan tadi mau mengajukan pinjaman sebesar enam puluh juta. Jadi saya menolak-“
“Ke ruangan saya sekarang dan saya akan memberikannya.”
To be continue….
“Untuk apa dia butuh uang enam puluh juta sampai berlutut seperti itu?” gumam Keyland dengan iris biru pucatnya yang menyorot tajam ke arah layar komouter di hadapannya, melihat biodata Helena dari file kepegawaian perusahaan. Berbagai macam pertanyaan terus berlarian di kepala Keyland saat ini tentang wanita itu, hal yang tidak pernah dia lakukan pada seorang wanita.Dia mendengus keras dengan senyum miring tersungging di bibirnya. “Sepertinya dia tidak ada beda dengan wanita-wanita murahan yang pernah aku tiduri, wanita yang selalu tidak pernah cukup dengan uang.”Rahang Keyland mengetat, apalagi saat teringat bagaimana semalam Helena langsung pergi setelah mendapat panggilan dari seorang dokter, membuatnya berspekulasi bahwa wanita itu mungkin juga menjual tubuhnya demi uang. Anehnya, ada rasa marah saat membayangkan hal tersebut, padahal sebelumnya dia tidak pernah peduli dengan wanita mana pun.“Ke mana dia? kenapa belum datang juga?” gerutu Keyland gusar. Dia baru akan mengangka
“Dasar munafik.” Keyland tersenyum miring dengan tatapan merendahkan. “Bahkan malam belum berganti sejak kau menamparku dan sekarang kau kembali untuk menjual tubuhmu, hem?” Helena menunduk dengan kedua tangan terkepal erat di sisi tubuh, menahan hantaman nyeri di dadanya oleh segala macam hinaan yang siap diterima. Dia benar-benar putus asa, tak mampu lagi memikirkan solusi lagi selain menjual tubuhnya pada pria arogan ini. Baginya pria seperti Keyland Hamilton pasti sudah terbiasa dengan hubungan ranjang seperti ini, dan mungkin akan lebih mudah saat nanti akan mengahirinya begitu saja. “Apa memang selalu seperti ini caramu?” Helena tersentak kaget saat tiba-tiba lengan kekar pria itu menarik pinggangnya seperti sebelum-sebelumnya, mau tak mau membuat wajahnya refleks mendongak. Sekali lagi, dia harus bertatapan dengan iris biru pucat yang seolah ingin mengoyaknya, begitu tajam dan menakutkan. “Cara… apa?” “Cara untuk memikat pria dengan sok jual mahal dan membuat mereka penasar
“Buka bajumu di depanku.” Keyland menyeringai sembari membuka sebuah koper di depannya, menunjukkan kepada Helena bahwa tumpukan uang di dalam koper tersebut yang akan membeli tubuh wanita itu.Keyland menaikkan sebelah alisnya saat mendapati Helena yang masih mematung, hanya kedua tangan wanita itu yang tampak meremas ujung bajunya yang basah. Dia semakin dibuat bingung oleh Helena, sikap dan tindakan wanita itu seolah mencerminkan seorang wanita polos seperti dugaan awalnya. Tapi, logikanya membantah dengan cepat setiap kali mengingat kegilaan Helena akan uang.“Harus berapa lama lagi aku menunggumu, hah?!”Bentakan itu membuat Helena berjingkat, disusul dengan matanya yang kembali terasa memanas. Dengan tangan yang gemetar, dia mulai membuka satu per satu kancing bajunya. Terlihat matanya yang terpejam sembari menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan isakan yang siap keluar. Hantaman rasa bersalah kini mulai menyerang, apalagi saat wajah Vian terus membayang di matanya.“Oh shit!” ump
"Sebenarnya apa tujuanmu? kau membuatku semakin bingung, Helena," gumam Keyland dengan mata yang tak bisa lepas dari wajah cantik Helena yang masih terlelap. Tubuh mereka masih sama-sama polos tertutup selimut, saling berhadapan tanpa penghalang. Biasanya Keyland akan langsung meninggalkan wanita jalang yang habis ditiduri, tapi tidak untuk kali ini- bahkan dia memilih menghabiskan malam bersama Helena hingga pagi menjelang. Tangan Keyland terus bergerak, membelai wajah yang terpahat sempurna di hadapannya. Dia masih tidak bisa menghilangkan bayangan kenikmatan semalam, benar-benar membuatnya menggila hanya karena seorang wanita. Bayangan saat mata cantik Helena yang menyorot sayu, pipi yang merona, dan bibir berlekuk yang terus menjerit karena gairah. Semua itu telah menjadi sajian tak terlupakan untuknya. Keyland tersenyum kecil, dengan ibu jari yang berganti membelai bibir merekah itu. “Harus kuakui bahwa kau adalah wanita paling nikmat yang pernah kutiduri, Bahkan rasanya aku t
Helena tampak berdiri mematung di tengah kamar, menatap ke arah sebuah simple dres cantik yang tergeletak di atas ranjang. Tentu saja gaun itu bukan miliknya, karena bajunya yang basah semalam masih teronggok tak berguna di kamar mandi. Sebenarnya tidak perlu dipertanyakan siapa yang membelikannya, sudah pasti pria yang telah membuatnya hampir tidak bisa bangun pagi ini. Tapi di mana dia, karena nyatanya hanya aromanya saja yang masih tertinggal di kamar ini. “Itu lebih baik,” gumam Helena saat mengira bahwa Keyland sudah pergi meninggalkannya. Dia tidak akan membutuhkan pria itu lagi selama koper berisi uang enam puluh juta masih ada di sana. Helena menghela nafas lega, segera meraih gaun berwana salem itu untuk segera dikenakan. Dia memutar badan, berjalan ke arah sebuah cermin besar yang ada di sudut ruangan. Terlihat bibirnya yang mengulas senyum getir, melihat pantulan dirinya yang tampak begitu menjijikkan. Rambutnya tampak basah, tapi tetap tak akan bisa menghilangkan jejak do
Helena bagaikan seorang Cinderella, hidupnya berubah hanya dalam satu malam. Dia yang sebelumnya hanya seorang wanita dari panti asuhan dengan hidup sangat sederhana, mendadak bisa tinggal di sebuah apartemen mewah. Tentu saja dia tidak bisa menolak saat Keyland memaksanya untuk pindah dari rumah kontrakan, apalagi dengan ancaman pelanggaran kontrak dan harus mengembalikan uang enam puluh juta yang telah didapat. Alhasil, sekarang dia resmi menempati apartemen mewah milik pria itu. “Ada dua kamar di apartemen ini, terserah kau mau menggunakan yang mana,” ucap Keyland setelah membawa wanita itu masuk. “Kamar anda yang mana?” tanya Helena, bermaksud untuk tidak satu kamar dengan pria itu. Keyland tersenyum kecil. “Kau pikir aku tinggal di sini?” Kening Helena tampak berkerut tak mengerti. Pasalnya pria itu mengatakan tidak mau repot-repot datang ke tempatnya saat ingin bercinta, dan bersikeras membawanya pindah agar bisa lebih leluasa. Lalu untuk apa dia diminta pindah kalau bukan un
Ah sial… sudah kubilang jangan datang sekarang.” Keyland menahan lengan wanita berambut pendek itu, tapi langsung ditepis kasar. “Aku hanya penasaran, seperti apa wanita jalangmu kali ini,” jawab wanita itu dengan tatapan masih tertuju pada Helena di hadapannya. Perlahan dia mendekat, dengan mata yang mengamati wajah dan penampilan Helena dengan seksama. Mendadak sebelah alisnya terangkat dengan kening berkerut samar. “Apa benar kamu wanita yang dibeli sama Keyland? Aku rasa wajahmu nggak cocok untuk seorang wanita jalang.” “She is different,” sahut Keyland dengan senyum kecil, kembali mendaratkan pantat tepat di samping Helena. Dia menarik wanita itu, memeluk pinggangnya posesif. “She is still virgin-“ “Masih perawan?!” pekik wanita itu dengan mata melebar. “Apa kalian pacarana?!” Sontak Helena menggeleng cepat. “Tidak, kami tidak memiliki hubungan seperti itu.” Wanita itu mendengus keras dan ikut duduk di sofa lain. Matanya bergerak-gerak menatap Helena dan Keyland bergantian.
Eeengg.... Helena tampak mengerang pelan, mengerutkan kening sembari membuka mata perlahan. Dia menggeliatkan tubuhnya yang terasa begitu kaku, terutama bagian pangkal paha. Semalam Keyland kembali memasukinya berulang kali, seolah pria itu benar-benar tidak pernah kehilangan energi. Sedangkan dirinya hanya bisa menikmati, dan mungkin harus mulai membiasakan diri. “Apa kau memang terbiasa selalu bangun siang?” Suara bariton itu membuat Helena refleks menoleh, mendapati Keyland yang duduk pada sofa di dekat balkon. Pria itu sudah tampak rapi dengan setelan kemeja dan celana kain, tengah menyesap kopi yang masih terlihat mengepul. Helena terpesona untuk sesaat, seolah sedang mendapatkan pemandangan layaknya cerita di novel-novel. “Kalau kau tidak segera bersiap, kau akan telat bekerja,” tambah Keyland sembari meletakkan cangkirnya, lalu bangkit dari sofa dan mendekat ke arah ranjang. “Walaupun kau adalah teman tidurku, bukan berarti kau akan mendapatkan keistimewaan saat di kantor. In
Helena terlihat duduk pada sofa panjang di dalam ruang kerja Keyland, terlihat keningnya yang berkerut dengan mata menatap jengah pada beberapa jenis makanan yang tersaji di atas meja. Beberapa menit yang lalu Keyland meminta pada Joddy untuk membelikan makanan untuknya, tentu saja makanan tersebut akan sangat menggiurkan baginya saat dalam kondisi normal, tapi sekarang semua makanan itu malah membuatnya tak berselera.“Perutmu tidak akan kenyang hanya dengan memelototi semua makanan itu, Sayang….” Sindir Keyland yang duduk di kursi kebesarannya, tampak fokus dengan berkas-berkas di meja tapi tetap sesekali melirik ke arah Helena.“Aku benar-benar tidak ingin memakan semua makanan ini, dan malah membuatku mual,” balas Helena sembari menyandarkan punggungnya kasar.Keyland menghela nafas panjang, baru kali ini kesabarannya meningkat dalam menghadapi seorang wanita. Dia bangkit dari kursinya, berjalan cepat dan kini ikut duduk di sisi Helena. Sebelah tangannya menarik sisi wajah cantik
“Aku baru tahu kalau kamu punya banyak uang.”Seketika Helena menghentikan gerakan tangannya yang tengah menata tempat tidur. Dia memejamkan mata singkat untuk segera berpikir keras mengenai jawaban yang akan ditanyakan Vian selanjutnya.“Lina bilang kalau gajinya UMR,” tambah Vian yang kini duduk di kursi rodanya.Helena menoleh, memasang senyum kecil. “Sebenarnya aku sudah diangkat menjadi pegawai tetap di perusahaan, dan ternyata uang tunjangan di luar gaji lumayan besar.”“Apa kamu diangkat karena ada hubungan-““Nggak ada hubungannya,” sela Helena tegas, emosinya hampir tersulut kembali. “Aku diangkat sebagai pegawai tetap sebelum Keyland ke Indonesia.”“Oke, maaf,” balas Vian santai.Helena menghela nafas, kembali melanjutkan gerakan membereskan tempat tidur mereka. Setelahnya dia menghampiri Vian. “Ayo, waktunya kamu mandi-““Nggak usah,” balas Vian cepat, bibirnya tampak mengulas senyum manis tak seperti biasanya. “Aku nggak mau kamu telat ke kantor lagi gara-gara aku, jadi le
Helena tampak menggeliat dengan mata perlahan terbuka, merasakan sebuah lengan yang menimpa perutnya dengan begitu posesif. Dia tersenyum kecil, mendapati wajah tampan Keyland yang masih tampak terlelap di sampingnya, perlahan jari jemarinya terulur untuk membelai di sana. Entah sudah berapa lama dia tertidur, yang pasti kamar yang mereka tempati sekarang sudah tampak temaram karena lampu belum dinyalakan.“Tidurmu nyenyak?”Suara serak itu membuat gerakan jari Helena terhenti untuk sesaat, mendapati iris biru pucat itu mulai terbuka menatapnya. Dia mengangguk pelan, kembali membelai sisi wajah Keyland lembut. “Rasanya baru kali ini aku merasakan tidur yang begitu nyenyak setelah hampir satu bulan mengurus Vian di rumah.”“Kau memang terlihat sangat kelelahan,” ucap Keyland dengan tatapan lekat. “Tapi setelah ini kau akan lebih santai.”Helena mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”Keyland tak menjawab kebingungan Helena, malah kini balik bertanya. “Kau ingin makan apa malam ini, hem?”“
“Hamil?!” pekik Keyland dengan mata berbinar. “Helena benar-benar hamil anakku?”“Helena memang hamil, tapi belum tentu juga itu anakmu,” jawab Cindy santai.“Jangan sembarang, sudah pasti itu anakku,” eyel Keyland dengan mata melotot. Sedangkan Cindy menedipkan mata, memberikan tanda padanya untuk melihat Helena, karena wanita itu hanya diam dengan mata memburam.“Helena, kau baik-baik saja?” Keyland sedikit membungkuk dengan sebelah tangan membelai sisi wajah Helena yang memucat. “Hei, kenapa kau diam?”Helena menoleh ke arah Cindy dengan tatapan tak bisa diartikan. “Aku- hami?”“Iya, Helena… dari hasil USG tampak kantung kehamilan, walaupun masih belum terlihat janinnya. Tapi kemungkinan besar kau memang hamil,” terang Cindy dengan senyum lembut.“Tapi- bagaimana mungkin? Aku masih dalam masa ber-KB,” cicit Helena dengan mata yang memanas.“Itu takdir, Sayang….” Keyland menangkup wajah Helena agar menatapnya. “Takdir memang menginginkan kita bersama.”Helena menggeleng kuat, membia
“Helena….” Keyland dengan wajah panik langsung masuk ke dalam bilik yang ditempati Helena, wanita itu terlihat berbaring di ranjang pasien dengan mata terpejam. Dia duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Helena yang terasa dingin. Mata Helena memang terpejam, tapi kening wanita itu tampak berkerut dalam menandakan bahwa tidak benar-benar hilang kesadaran.“Helena, kau bisa mendengarku?” tanya Keyland berganti membelai sisi wajah Helana yang kehilangan ronanya.Perlahan mata Helena terbuka, menatap pria itu sayu. “Kenapa kamu di sini?”“Astaga… aku benar-benar khawatir saat tahu kamu pingsan,” Balas Keyland sembari mengecupi punggung tangan Helena.“Aku baik-baik saja, hanya pusing.”“Kalau kau memang baik-baik saja, sekarang kau tidak akan berada di sini,” omel Keyland dengan tatapan tajam.“Kepalaku memang sedikit pusing, dan tadi aku sempat kehingan keseimbangan saat di kamar mandi. Tapi sekarang aku merasa lebih baik,” terang Helena dengan berniat menarik tangannya dari genggama
“Akhirnya selesai juga….” Helena menghela nafas panjang setelah baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah yang semakin banyak. Setiap hari dia harus mengurus Vian yang memang belum bisa mandiri dalam hal apa pun, mulai dari mandi, buang air, berpakaian bahkan juga menyiapkan segala keperluan lain. Helena tidak akan mengeluh karena semua itu memang sudah menjadi tanggung jawabnya, walaupun dia menjadi sering terlambat datang ke kantor dalam beberapa hari ini.“Aku harus segera mandi,” gumamnya setelah mengeringkan cucian. Dia baru akan melangkah keluar dari laundry room saat tiba-tiba terdengar kegaduhan dari arah dapur.Prraaangg… ppyyaaarrrr….Helena berjingkat kaget, segera membawa langkahnya ke sumber suara. Matanya tampak melebar dengan wajah terperangah saat melihat semua masakan di atas meja makan terjatuh di lantai, meninggalkan taplak meja yang terjuntai tak karuan.“Aku benar-benar nggak berguna!” teriak Vian sembari memukul pegangan kursi rodanya.“Astaga, Yan… ini kenapa?” He
“Aku sudah boleh pulang, Sayang.”Mata Helena melebar mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Vian. “Beneran?!”Vian mengangguk dengan senyum lebar, menatap ke arah taman rumah sakit dengan dirinya yang duduk di kursi roda. “Hem… rasanya aku tidak sabar untuk menghirup udara bebas di luar rumah sakit. Pasti akan sangat menyenangkan bisa kembali hidup berdua denganmu meskipun masih di rumah kontrakan.”Sontak Helena terdiam, melupakan fakta bahwa dirinya belum memberi tahu Vian tentang tempat tinggalnya selama ini. Bahkan, sampai detik ini semua barang-barang Vian masih dititipkan di rumah suster Sinta.“Hei, kenapa kamu diam saja? Kamu nggak suka kalau aku ikut pulang?”Helena tersenyum kecil sembari menggeleng pelan. “Mana mungkin aku nggak suka, bahkan aku sudah memimpikan bisa pulang bersamamu sejak lama, tapi-““Tapi apa?”“Sebenarnya-” Helena menggigit bibirnya sendiri, tanda kalau ragu untuk berucap. Hal tersebut tentu saja tak terlepas dari perhatian Vian yang memang su
Beberapa hari ini Helena kembali menjalani kehidupan normal seperti dulu, pagi pergi bekerja dan sore menemani Vian di rumah sakit. Sesekali dia ikut menemani Vian terapi, hingga pria itu kini sudah mulai bisa duduk sendiri. Sudah hampir satu minggu juga kehidupan normalnya dilalui tanpa bertemu dengan Keyland, pria itu benar-benar menepati janji untuk tidak mengusiknya. Namun, apakah Helena merasa tenang? nyatanya ada ruang di sudut hatinya yang malah terasa kosong.“Hel, kenapa sih bengong aja?” tanya mbak Nadia yang saat ini duduk di hadapan Helena, mereka sedang makan siang di kantin perusahaan.“Nggak kok, itu perasaan Mbak Nadia aja,” balas Helena dengan senyum tipis.“Terus itu nasi mau diaduk sampai jadi apa, hem?”Refleks Helena menurunkan tatapan ke arah piring miliknya. Benar saja, nasinya sudah tampak mengenaskan bercampur dengan lauk. Dia menghela nafas panjang sembari meletakkan sendok, berganti meraih capucino dingin dan menyesapnya.“Eh, sejak pulang liburan kok aku ng
“Kau tidak perlu pindah dari apartemen ini sesuai ucapanku waktu itu.”Kalimat itu membuat Helena tersenyum tipis tanpa mengubah posisinya yang saat ini bersandar di dada Keyland, dengan tubuh polos mereka sama-sama terendam di dalam busa sabun yang terasa hangat di dalam bathup. Tak perlu ditanya lagi apa yang baru saja mereka lakukan, karena Keyland seperti orang kesetanan yang tidak memberikan waktu bagi Helena untuk beristirahat. Mereka terus mengulang sentuhan kenikmatan, seolah tidak akan pernah bisa melakukannya lagi.“Kau bisa mengganti password pintunya kalau takut aku akan tiba-tiba datang,” bisik Keyland dengan bibir yang mengecup leher Helena.“Oke, aku akan menggantinya nanti agar kamu tidak seenaknya muncul tiba-tiba,” balas Helena dengan jari jemarinya yang terus menjalari lengan Keyland di perutnya.“Hem… kau bisa tetap menyapaku di kantor saat bertemu.” Keyland semakin mengeratkan pelukannya, dengan bibir yang terus berjalan di sepanjang bahu polos Helena.“Dan jangan