Di sebuah tempat di barat kota Jombang tepatnya di daerah perbatasan antara kota Jombang dan kota Kertosono. Di dalam sebuah Musala sederhana bernama Al Hidayah di seberang jalan raya Kayen masuk daerah kecamatan Kertosono.
Dua sosok pemuka agama kota Kertosono tengah berbincang di dalam Musala. Tentang sebuah dinding kabut aneh yang menyelubung tebal bersaf-saf tinggi pas di samping timur Musala Al Hidayah.
Karena pagar Musala Al Hidayah juga berfungsi sebagai batas akhir kota Jombang. Lalu di sebelah barat pagar sudahlah masuk wilayah Kertosono. Sudah sewindu lebih pagar terselimut dinding kabut pekat hitam seakan kota Jombang terkurung di dalamnya.
Namun banyak santri yang rumahnya di desa balik dinding sisi timur termasuk santri dari dua sosok pemuka agama Kertosono tersebut yang tak bisa keluar dari belenggu dinding kabut sehingga berbulan-bulan tak ada kabar berita.
Sedangkan Masyarakat di sisi barat dinding tak berani masuk ke sisi timur takut deng
Krik, krik,Kingkung, kingkung,Suara-suara jangkrik mengerik dan kodok mengorek terdengar leluasa mengisi seluruh sisi hutan Ndawar Belandong. Sebuah nama hutan disisi paling utara kota Jombang di antara perbatasan kota Jombang dan kota Lamongan.Alas Ndawar begitulah julukannya sebuah hutan lebat di atas bukit di atas dataran tinggi namun bukanlah sebuah gunung hanya sebuah dataran tinggi. Alas Ndawar terkenal pula dengan perkebunan rakyat di sisi area Lamongan dengan belasan hektar ditanami pohon kayu putih.Berbeda dengan perbatasan kota Jombang dengan kota disisi yang lain di sisi utara ini berbatasan langsung dengan kota Lamongan dan bersekat hutan lebat bukan pemukiman ataupun jalan raya.Di area ini kota Jombang di serang pasukan jerangkong hidup yang di pimpin oleh panglima Jerangkong. Pasukan jerangkong hidup yang mengambil bentuk serupa tengkorak hidup terkenal sangat beringas dan tak pernah memandang area lawan. Bahkan sering mereka kelua
Di atas awan gelap pas di atas desa Mojokembang, langit masih begitu gelap dengan badai petir tiada hentinya menyambar ke bawah langit. Hujan deras serta angin rebut terus mengguyur dan menderu kencang.Saat di bawah langit kota Jombang terjadi pertempuran sengit di mana-mana pertempuran akhir kota. Dimanah nasib kota Jombang di pertaruhkan dalam pertempuran atau perang kali ini. Di atas langit jua tiada sepi dari perang besar kali ini, di atas awan tampak beberapa kali benturan cahaya kilat memercikkan api dan sesekali menciptakan ledakan dahsyat sehingga percikan dari benturan tersebut sampai terlihat hingga ke bawah.Benturan antara dua kekuatan besar yang sedang bertarung yakni antara Wahyu dan Kebo Marcuet begitu sengitnya. Kali ini keadaan tengah berimbang Wahyu yang terus melancarkan pukulan dan ajian kepada Kebo Marcuet dapat di patahkan mentah-mentah olehnya. Begitu pula sebaliknya Kebo Marcuet walau beberapa kali melayangkan serangan pada Wahyu jua dapat di p
Petapa tanpa nama berjalan perlahan menuju Petapa Effendi dan Haji Rusdi yang terbengong-bengong dengan kedatangan petapa tanpa nama. Meninggalkan Wahyu yang seakan terduduk lemas tak berdaya setelah pundaknya di sentuh petapa tanpa nama.“Assalamualaikum guru,” ujar Petapa Effendik seraya sungkem memberi hormat.“Waalaikumsalam Warahmatullahi wabarakatuh, apa kabar Effendik murid kesayanganku?” ucap Petapa tanpa nama.Seraya mengentakkan tongkat putih di genggamannya dengan teriakan Allahuakbar. Sekali bentakan di atas ujung langit kota Jombang seakan menghentikan keseluruhan aktivitas perang yang ada di bawahnya. Ribuan pasukan kegelapan yang semula meraung-raung, membunuh dan tak bisa di hancurkan kini berlari kocar-kacir ketakutan mendengar satu lengkingan benturan antara tongkat dan atap langit dari petapa tanpa nama.Walaupun mereka berlarian sampai ujung dunia tetap mereka tersapu badai pasir dahsyat yang di timbulkan dari a
Jaka terus berdiri menatap pintu gerbang istana Adi Yaksa penuh amarah matanya sudah memancarkan api membara tentang sebuah puncak kemarahan dalam stadium akhir. Di samping kanan dan kirinya berlari ratusan punggawa lima kota melesat menuju gerbang hitam besar berukir ular raksasa dan tempelan ratusan tengkorak manusia.Jaka terdiam sejenak seraya mengacungkan tangan kanannya ke atas langit dengan posisi telapak tangan terbuka arah langit. Dalam hatinya Gada Alugara datanglah, lalu sebuah sinar cahaya keemasan membentuk sebuah pusaka gada menyatu dari paduan seluruh energi alam sekitar.Dengan satu bentakan terlemparlah sang Gada Alugara melontar ke arah gerbang kegelapan dimanah di sana tertumpuk segala permasalahan pahit antara hidup dan mati. Di mana di balik gerbang tersebut ada sebuah pertaruhan hancur tidaknya kota Jombang. Dimanah sebuah hati dan cintanya dari Putri sedang meronta-ronta terperdaya oleh Adi Yaksa di balik gerbang kesengsaraan tersebut.&ld
Di sisi depan pas di bawah altar singgasana kerajaan. Mas Hasan Jaelani terus bertarung sengit menghadapi puluhan anjing setan dengan pimpinan para anjing. Adalah Jenggrana yang berbentuk tubuh manusia namun berkepala anjing. Bertelinga panjang dengan moncong mulut dan gigi yang tampak runcing-runcing serta terus mengeluarkan lendir racun dari sela-sela moncongnya.Walau hanya berwujud ruh namun Mas Hasan masih sanggup meladeni serangan-serangan anjing setan yang tentu juga berwujud arwah anjing gentayangan pula. Mas Hasan terus melontarkan pukulan-pukulan petirnya namun anjing setan tiada habisnya berdatangan.Dalam Hati Mas Hasan kalau dia tak mengalahkan sang anjing panglima Jenggrana tentu para anjing setan tiada hentinya terus bermunculan karena itulah kelebihan mereka mati satu hidup lagi menjadi dua.Mas Hasan Jaelani terus melompat mundur sambil terus melirik ke atas altar singgasana. Dimanah di samping singgasana terdapat sebuah tempat dengan tiang-tian
Suram di atas langit mendung tak lagi terlihat hanya gelap dan gelap apakah ini kiamat. Mata kecil dari seorang kecil tertumpuk beberapa bangkai manusia mencoba menerka apa yang terjadi namun yang ia lihat hanya kepala terputus, tangan terputus atau kaki terputus. Dia ingin berteriak tapi tiada manusia di sekitarnya.Tangan itu mulai meraih sesuatu di sampingnya entah tulang-belulang atau kayu usang dilumuri darah entah. Sedangkan kakinya mulai gemetar mencoba berdiri dengan segala tenaga tersisa namun terus terjatuh terpeleset genangan air yang tak lagi hitam namun kentalnya merah.Akhirnya jemari kaki mungil miliknya mampu tegap berdiri dengan ribuan usaha. Akhirnya mata redup, sayup kecilnya mulai memandang sekitar. Aduh elok kotaku bagai reruntuhan kota mati dan si mati bergelimpangan bagai pepes ikan pindang yang dikerubungi lalat dan ulat.Tubuhnya masih kecil, tangannya masih kecil, kakinya masih kecil berjalan tertatih di antara dentuman dan ledakan yang
Jaka yang tak tahu arah serta tak tahu lagi mana lawan mana kawan, karena begitu marahnya tengah mengamuk hebat membuat seluruh bala tentara lima kota maupun pasukan setan menjauh darinya. Iya semakin tak terkendali segalanya di libas tanpa ampun dengan api kemarahannya yang tengah berkobar hebat.“Mbah Raji bagaimana ini Jaka kalau sudah seperti ini tak bisa dikendalikan lagi. Jangan sampai keadaan kita yang sudah unggul berbalik kalah kembali sehingga kota tak bisa kita selamatkan lagi,” teriak Gus Bari seraya terus memukul beberapa setan di sekitarnya hingga hancur lebur.“Aku pun tak tahu dan tak mengerti harus berbuat apa Gus,” ujar Mbah Raji yang terus melontarkan kertas mantra dengan sebuah katapel andalannya.Lalu bayangan Dava melesat ke depan menghampiri sang kakak Jaka yang terus mengamuk. Mencoba menenangkannya dengan terus mengingatkannya tentang beberapa hal agar ia tersadar kembali.Sedangkan Adi Yaksa tengah mengamb
“Ayo Mas...!” ucap Dava seraya berdiri dan mulai mengubah dirinya ke dalam mode api hijau yang sangat besar seketika meluncur lurus ke depan menuju ke arah gerombolan para setan durjana.Hwaaa,Teriak Jaka saat mode super api amarahnya aktif kembali kali ini lebih besar dari biasanya. Nyala apinya pun berwarna hitam bukan merah ataupun kuning.“Ayo Nak?” ucap Jaka seraya melirik Wahyu yang hanya tersenyum bangga melihat sang Ayah yang kembali pulih seperti semula bahkan jauh lebih kuat.Slap,Dengan sekali bentakan kaki kanan melesatlah jaka ke atas jauh ke langit. Lalu turun kembali begitu cepat menukik ke bawah bagaikan meteor jatuh dari langit yang terkena atmosfer dengan nyala api membara.Duar,Terdengar suara ledakan jatuhnya Jaka pas di tengah-tengah kerumunan prajurit siluman. Pas tepat jatuh di depan Adi Yaksa. Terlihat Jaka berdiri begitu gagahnya menantang sang raja kegelapan Adi Yaksa dengan mode su
Tengah malam lewat 15 menit sudah Jaka baru pulang dan baru sampai di teras rumahnya pas berdiri di depan pintu depan rumah berbentuk kupu-kupu atau orang Jawa menyebutnya pintu berbentuk kupu tarung. Entah apa maksudnya kupu tarung yang kalau di buat menjadi arti bahasa Indonesia artinya kupu berkelahi mungkin bentuknya yang seperti kupu-kupu saling berhadapan.“Eh ketok enggak ya, ah terobos sajalah,” gerutu Jaka melewati Pintu dengan gampangnya seakan Jaka selalu dengan mudah menembus pintu tebal yang terbuat dari pohon jati hasil karya Mbah Raji tersebut.“Hehe, sudah masuk dong ke dalam rumah, eh percuma dong istriku mengunci pintu kalau aku gampang masuk. Dan oh tidak orang yang bisa kayak aku juga gampang masuk dong. Haduh Putri jadi ngeri meninggalkan kamu lama-lama sayang, ah kok jadi parno begini ya cus ke kamar,” gerutu Jaka melangkah ke kamar dengan langkah di percepat.Sampai pintu kamar ternyata keadaan pintu tak tertutup se
Krek..., blek...,Suara pintu kamar Vivi terbuka perlahan dari luar oleh Jaka dan Bagus yang hendak mengecek keadaan Vivi dan Wahyu.“Rupanya mereka sudah pulas Mas,” ucap Jaka tersenyum kecil melihat tingkah lucu anaknya yang tengah memeluk erat Vivi sambil terus mengusap perut Vivi sambil terus mengigau Mas Dewa.“Eh sebentar deh Dek Jaka coba dengar igauan anakmu itu,” kata Bagus masih berdiri di depan pintu bersama Jaka.“Sebentar Mas, diam lah dulu aku tidak begitu jelas coba aku dengar sekali lagi,” ujar Jaka mendekatkan daun telinganya agak menjorok ke dalam pintu sambil melonggokkan kepala ke dalam kamar.“Mas Dewa cepat lahir ya,” kembali igauan Wahyu terdengar kali ini agak jelas.“Eh benar kan firasatku Mas,” celetuk Jaka menatap Bagus dan Bagus yang tak tahu menahu akan maksud dari Jaka hanya bengong tak mengerti.“Maksudnya bagaimana ini Dek aku jadi penasa
“Tante, tante Vivi, halo dimanakah dirimu Tanteku yang cantik dan perutnya gendut, hehe. Namanya hamil ya memang gendut ya ah aku ini bagaimana,” teriak Wahyu sambil menggerutu menertawakan diri sendiri terus berlari ke arah kamar Vivi.“Nah ini kamar Tante sama Om ini, gedor ah kerjai Tante biar langsung bangun tidur melulu Si Tante ah aku kan kangen,” gerutu Wahyu mulai usil dengan rencana-rencana nakalnya.“Duor,” sekali tendang pas di tengah dengan kakinya membuat suara sangat kencang namun tetap tak terbuka pintu tetap tertutup rapat terkunci dari dalam.“Loh kok enggak bangun juga ini Tante wah tidur apa pingsan sih ini orang, Tante aku kangen!” teriak Wahyu di depan pintu kamar Vivi.“Pakai apa ya biar bunyinya jadi kayak ada ritmenya gitu pas mukul-mukul ini pintu, hem, ahay ini ada palu ini di atas meja kok pas ya ada palu namanya juga novel campur komedi ia kan haha, eh jangan deh nanti
“Brem, brem, tengteng teng, sit hop stop,” celetuk Wahyu langsung lompat dari atas motor bergegas lari menuju dalam rumah Pak Bupati Bagus yang memang sudah terbuka pintu depannya.“Hey, Wahyu hati-hati Nak jangan lari nanti jatuh,” teriak Jaka namun Wahyu tak menggubris dan terus berlari dengan kaki-kaki kecilnya yang menggemaskan.“Assalamualaikum tante, oh tante,” teriak Wahyu sambil terus berlari melewati Omnya yakni Pak Bupati Bagus beserta petinggi T O H yang lain yang tengah asyik mengobrol di ruang tamu.“Eh Wahyu jangan lari-lari Nak nanti jatuh,” teriak Bagus mengingatkan Wahyu namun Wahyu melewatinya begitu saja karena saking rindunya pada tantenya Vivi.Sebentar kemudian Wahyu kembali ke tempat para peringgi T O H yang sedang duduk-duduk seraya menyalami satu persatu dari mereka. Sampai pada tempat bagus duduk Wahyu menyalami Bagus sambil mencium punggung tangannya seraya bertanya, “Om tant
Kelompok Hendrik Wijaya dari golongan hitam telah pergi beberapa menit yang lalu. Tapi masyarakat kota Jombang yang sudah kadung melihat tontonan yang begitu mengerikan menjadi trauma tik sangat ketakutan akan adanya perang kembali.Sejenak Wahyu mengamati ada yang aneh dari kejauhan tempatnya berdiri. Setelah mengalahkan Hendra Wijaya dengan hanya sekali sentuh. Wahyu tampak gelisah, karena sekejap ia seperti melihat sepasang mata menyeramkan yang tengah mengintainya.Wahyu terus memandang ke arah timur jauh tempatnya berdiri agak bingung mematung. Melihat apa sebenarnya yang ia rasakan benar adanya. Si kecil Wahyu yang masih begitu polos tak mengerti bentuk makhluk apa yang membuat desir dalam dadanya sampai bergetar kencang. Seperti ada sesuatu benturan hawa atau aura antara dia dengan makhluk tak kasat mata lain.Sedangkan para petinggi T O H yang sangat senang dapat membatalkan perang setidaknya damai akan tercipta sampai sepuluh tahun ke depan. Masih teram
“He, apa itu?” kata ibu-ibu yang berkerumun di pinggir trotoar.“He, iya kenapa itu ada orang berhadapan di tengah jalan?” sahut ibu satunya.“Eh, itu bukannya Bupati kita ya Pak Bagus?” timpal bapak-bapak yang ikut nimbrung bersama ibu-ibu.“Loh itu di sampingnya bukannya Mas Haji Lurah Dava dari desa Mbanjar Kerep ya?" teriak ibu-ibu yang lain.“Eh ada apa ini Ya Allah, bahaya apa lagi yang akan terjadi di kota kita ini, kenapa para petinggi T O H berkumpul. Lalu siapa mereka yang berpakaian seperti dukun itu. Jangan-jangan mau hendak perang lagi, haduh mbok yo jangan lagi,” ucap beberapa ibu-ibu saling menyahut pertanyaan dengan kekhawatiran akan adanya perang lagi seperti sepuluh tahun yang lalu.“Hei, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sudah-sudah agak menjauh ya ini sangat berbahaya lebih baik pulang deh,” celetuk Gus Pendik yang tiba-tiba ada duduk santai di trotoar di antara kerumunan w
Sumilir Angin wengi kang tumetesAnnambaih kangen ku sangsoyo gediTitipan Rindu Iki sangsoyo akehAmung biso dedungo angenku nggo koweSlirahmu siji Tresnoku Yo mung sijiTak simpen lan tak jogo tekaning patiPanyuwunku kanggo Riko njogo tresno nisunSayang... Aku tulus Tresno slirahmu... HuuuTresno Ra bakal ilyangKangen sangsoyo mbekasTembang rindu kanggo rikoJanji suci tekaning patiSalam Tresno di jogoSnadyan adoh panggonanmuSumpah tulus kanggo rikoSalam rindu neng slirahmu***Petikan dawai gitar dari jemari Halilintar mengalun menyeberangi pintu ke pintu dan mengetuk kaca pintunya. Merayu-rayu penuh ritme agar beberapa orang yang tengah membuka kaca selaras dengan harapan Halilintar mengulurkan sedikit rezeki untuknya makan hari ini.Gitar klasik warna hitam tua terus setia menemani perjuangan sang musisi jalanan. Setia menemani kala hujan tiba atau panas
Sore ini bunga anggrek di halaman rumah Bagus masih saja segar dari air yang disiramkan oleh bik Amanah sejam yang lalu. Mekarnya sangat sempurna dan harumnya semakin semerbak menempel anggun pada inang induknya batang pohon mangga.Tertata rapi bak kebun bunga istana raja dibalut bekas kupasan kulit kelapa yang sering disebut orang sepet di tali rapi dengan tali sejenis kawat kecil. Bunga anggrek lurus tertanam di depan rumah seindah sang pemilik yang selalu memperhatikannya setiap sore sebelum magrib menjelang ayu sama cantiknya.Namun kali ini sang pemilik tampak bermuka murung, gundah gulana dan terpaut seribu pikiran dengan pengembaraan lamunan di atas awang langit senja yang sudah mulai tampak memerahkan langit.Di atas kursi roda Vivi merenung memandang sang bunga lekat menatapnya berlama-lama. Andai saja aku seperti bunga anggrek itu begitu terlihat sempurna di mata siapa saja yang memandangnya menarik hati, ujar dalam hati Vivi yang semakin hari semakin
Pagi gelisah tergambar pada raut wajah Halilintar. Iya masih terpikir seraut wajah dengan senyum anggun. Seorang ibu muda di dalam sebuah mobil warna merah maru, dimanah sang ibu muda tengah di sopiri seorang yang gagah rupawan. Entah itu sopirnya atau sang suami Halilintar tak mau berpikir jauh ke arah sana.Wajah Si Ibu muda membuatnya semakin gelisah. Otaknya semakin pening terpikir siapakah Si Ibu muda tersebut kenapa iya begitu baik dan yang paling membuatnya bingung seorang bapak-bapak yang juga masih muda yang menyopiri Si Ibu muda tersebut sempat memanggil namanya. Padahal iya sangat yakin tak pernah bertemu walau sekejap.Pagi ini Halilintar semakin resah duduk di atas trotoar lampu merah pas perempatan sebelah utara kebun raja. Matanya memang menatap beberapa kendaraan yang berhenti saat lampu tengah menyala merah namun seluruh badan serasa kaku tak ingin beranjak dari lamunan.Ada apa denganku ujarnya dalam benak, seharusnya aku berdiri memainkan gita