Setiap melintasi gerobak penjual martabak yang mangkal di pinggir jalan masuk gang menuju kontrakannya, Pram selalu teringat pada Bu Ocha, sohib semata wayangnya di komplek kontrakan RS9 (nine) itu. Mungkin karena rasanya yang gurih dan manis seperti tawa Bu Ocha yang selalu menghiburnya di setiap dia pulang kerja.
Pram senang, Bu Ocha tak pernah bosan dia bawakan makanan berkarbohidrat tinggi itu. Dan yang lebih Pram suka, wanita setengah baya itu selalu memakannya habis, tak bersisa. Tapi anehnya, badannya tak pernah mengembang, walaupun dia doyan makan. Entah berapa belas jari usus di dalam perutnya.
Seperti saat ini, satu kotak martabak varian keju dan coklat sudah dalam tentengan Pram. Dan Pram yakin usia martabak itu tak lama lagi, karena Bu Ocha akan segera mengeksekusinya.
Jam di pergelangannya sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Biasanya pada jam-jam segini, lagu My Way-nya Frank Sinatra menggema berulang-ulang bagai kaset rusak dari bibir ceriwis
haiiii... update lagi gaesss.... jangan lupa tinggalkan jejak bacanya ya. subscribe, rate bintang lima, dan reviewnya. terima kasih. hapy reading
Kelopak mata Pram mengerjap cepat setelah membaca dua baris kalimat di layar gawainya. Lalu, sekali lagi dia baca pesan di aplikasi percakapan itu untuk meyakinkan bahwa dia tidak salah mengeja tadi. ‘Aku di kontrakan kamu, Mas. Aku tunggu kamu pulang, sekarang.’ Ya, dia tidak salah baca. Begitu pesan dari Hani Bunny Ciki Bunny yang sudah dia baca dua kali. Rasa senang seketika membuncah dihatinya. Bunga-bunga yang kemarin kuncup kini sudah bermekaran lagi di dalam dada. Komunikasi yang sempat terputus selama sepuluh hari dengan sang kekasih, kini terjalin kembali. Belasan, bahkan puluhan pesan untuk Hani yang tak ada jawaban, kini terbalaskan walaupun hanya dengan satu pesan. Pesan yang sangat singkat dan mengandung permintaan itu membuat Pram senewen bukan main. Hani sedang menunggu dirinya. Itu yang membuat rasa optimisnya kembali datang. Namun, kebahagiaan itu terpaksa dia tunda dulu untuk beberapa saat, entah untuk berapa lama. K
“Pramudya ....”Suara Bu Ocha memanggil dari balik punggungnya. Seakan suara itu hanya hembusan angin, Pram tak menggubris sama sekali. Dengan menyandarkan punggung pada dinding dan duduk melipat kaki dengan lutut yang menopang kedua lengan, wajahnya lurus menghadapi undangan berwarna biru di tangan.“Pram, tadi Ibu ketemu Hani di depan gang, lagi nunggu kendaraan. Tapi mukanya sembab gitu, kayak abis nangis. Dia baru dari sini?” cecar Bu Ocha sembari menempatkan duduknya persis di hadapan Pram dengan raut yang menggambarkan rasa keingintahuan yang mendalam.Namun, pria itu tak menjawab. Tetap diam sambil membolak-balik lembar demi lembar buklet undangan itu dengan gerakan lesu. Bola matanya tak bergerak dan kosong, seakan dirinya berada di dimensi lain.Bu Ocha jelas melihat sikap Pram yang asing itu, hingga rasa penasarannya pun tak terbendung lagi. Benaknya sudah menebak ada sesuatu yang memanas tengah terjadi di antara dua oran
Tak salah lagi, Maestro Club yang tertera di aplikasi pencarian lokasi berada di lantai 15 gedung berlantai 46 yang menjulang di hadapannya. Keyakinannya bertambah lagi ketika dia melihat nama night club itu berada di antara jajaran papan nama berneon biru di depan lobby. Tanpa pikir panjang lagi, langkah Pram bergegas memasuki gedung itu dan menuju kotak lift yang akan membawanya ke lantai 15 bersama empat wanita berpakaian seksi dan dua orang laki-laki. Sekilas dia lirik arloji di tangan, sepuluh menit menjelang pukul sebelas malam. Dia merasa lift itu berjalan lambat sekali. Sementara hampir di setiap lantai kotak elevator itu berhenti, padahal tak ada orang yang masuk atau keluar lagi. Sepertinya tujuan mereka pun sama yaitu night club di lantai 15. Rasa tak sabar Pram kian menjadi. Apalagi dia berdiri diantara beberapa wanita yang berpakaian sangat menggoda dan dipastikan membuat setiap hasrat alami laki-laki berguncang hebat kala melihat penampilan mere
Di dalam lift, cinta tak henti-hentinya mengoceh. Merapalkan barisan kata-kata yang membuat panas telinga, walaupun dengan suara yang sudah tak sekencang tadi karena pening yang mulai menggeruduk isi kepala. Dengan tangan yang masih berada di genggaman Pram, gadis itu masih berusaha melepaskan gelang besi yang melingkari tangannya, dan sudah pasti itu percuma. Pram hanya tegak bergeming sambil memperhatikan tombol angka di pinggir pintu lift yang bergerak menurun. Tak dia pedulikan Cinta yang menggerutu tak jelas. Juga membiarkan Sabrina yang masih saja bergoyang diiringi dengan musik halusinasi yang menggema di dalam kepala. Itu karena efek sebutir pil extacy yang Sabrina tenggak saat menjejakkan kakinya di dancefloor tadi. Lift berhenti tepat di lantai dasar. Tanpa perasaan Pram menarik kembali tangan Cinta, hingga dia terseret lagi mengikuti langkah Pram keluar dari kotak besi itu. Atmosfer yang panas dan kejadian adu jotos dengan David di lantai lima bela
Bagi Pram, bukan sesuatu yang baru melihat Aura Cinta Anastasia berpenampilan cantik dan memukau. Karena selama dua bulan ini, setiap hari pun Pram mendapati Cinta berpenampilan seperti itu. Baik ketika sedang syuting film dan sinetron maupun saat pemotretan sebuah produk yang menggunakan Cinta sebagai modelnya. Namun, saat ini di mata Pram, Cinta bukan hanya sekedar cantik dan memukau. Melainkan tampak berkilau. Mengagumkan. Menakjubkan. Apapun namanya. Yang pasti membuat Pram benar-benar terpesona sampai kehilangan kata-kata. Tak berlebihan jika Pram seperti itu. Longdress salem tanpa lengan berbahan satin dengan kerah model sabrina membuat tubuh semampai Cinta tampak kian ramping. Apalagi kedua kaki jenjangnya ditopang dengan Stilletto heel setinggi 8 cm menjadikan tubuh itu kian menjulang. Agar sesuai dengan outfitnya, rambut panjang coklatnya dibiarkan terurai di punggung dengan sedikit gelombang. Dan digenapi dengan make up natural glam with smokey eye
Musik melankolis yang berasal dari band pengiring di atas mini stage terdengar syahdu menyapu lembut telinga para tamu undangan di resepsi pernikahan itu. Disirami dengan cahaya terang benderang dari lampu-lampu krital yang bergelantungan di tengah dan beberapa sudut langit-langit. Atmosferenya cukup hangat menyelimuti, bukan hanya dari cahaya lampu yang menghujani tapi juga karena banyaknya para tamu yang sudah memadati. Ruangan yang dipakai untuk resepsi pernikahan itu terbilang sangat luas. Kapasitasnya diperkirakan cukup untuk menampung sekitar seribu tamu undangan. Di beberapa sudut terdapat booth-booth aneka makanan dan berbagai penganan. Dan di sana terlihat para tamu berbaris tertib untuk mencicipi hidangan yang tersaji nikmat dari berbagai menu, baik yang bercita rasa lokal maupun Internasional. Wajah-wajah ceria yang saling bercengkarama diselingi senda gurau dan canda tawa terdengar bagai dengungan jutaan lebah yang menggaung di seantero ruangan. Seakan me
Langit malam tampak begitu indah dan tenang. Kelam, namun ditaburi jutaan bintang yang tak beraturan. Laksana bentangan kain satin hitam dengan butiran kristal Swarowsky yang bertaburan. Demikian dengan suasana hati Pram kini. Saat berduka karena ditinggal menikah oleh Hani, ada sosok Cinta yang memperlakukan dirinya dengan sangat manis malam ini. Bagi Pram, apa yang telah Cinta lakukan untuknya sangatlah berarti. Mulai dari memberikannya setelan jas mahal, mendandaninya layaknya seorang aktor terkenal, hingga selalu mendampinginya selama berada ditengah-tengah pesta. Tak berlebihan jika saat itu dirinya merasa seperti seorang pangeran yang menggandeng putri raja. Yang pasti malam ini adalah satu moment dalam hidupnya yang tak akan pernah dia lupakan untuk selamanya. Membayangkan itu semua, senyum Pram pun tak surut sedikit pun dari bibirnya sejak dia menggandeng Cinta dan Sabrina keluar dari gedung pernikahan itu, hingga saat ini dirinya berad
Sebenarnya Cinta dan Sabrina berkeras menahan Pram pulang dan ingin dia tidur di apartement saja. Apalagi malam sudah beranjak akan berganti pagi. Jarum panjang di arloji sudah menunjuk angka dua dini hari.Namun Pram serasa kangen dengan suasana kontrakan yang akhir-akhir ini sering dia tinggalkan karena harus menginap di apartement untuk mengawal Cinta dengan jadwal syutingnya yang begitu padat selama satu minggu ini.Alhasil, setelah memastikan Cinta dan Sabrina memejamkan mata di peraduan, Pram pulang dengan mengendarai motor maticnya membelah jalan raya Ibukota yang tengah rehat sejenak dari hiruk pikuknya.Setelah tiba di kontrakan setengah jam setelahnya, dan memasukkan motor di teras, Pram menyebrangi pembatas antar kontrakan menghampiri kontrakan Bu Ocha Dengan menenteng bungkusan berisi sate ayam. Sengaja dia membeli satu porsi lagi ketika makan di pinggir jalan tadi, terkhusus untuk Bu Ocha, sahabat sekaligus tetangga terbaiknya.Walaupun
Pramudya.Dari tempatnya berdiri, di balkon Presidential Suit Room lantai dua puluh hotel Swastika, ia memandangi barisan gedung yang diterangi oleh lampu-lampu aneka warna. Seakan bangunan-bangunan menjulang itu tengah berlomba-lomba memamerkan keindahan di antara langit kelam.Jalan raya ibukota di bawah sana masih tampak sibuk menggeliat walau hari telah beranjak gelap.Diiringi semilir angin malam yang sejuk dan tak menusuk, ia menyandarkan pinggang di pagar balkon bersama secangkir kopi hitam di tangan. Diseruputnya beberapa teguk, lalu ia letakkan kembali ke atas meja kaca.Satu jam lalu, setelah seluruh rangkaian acara akad nikah dan resepsi digelar, sebenarnya ia ingin segera membawa Cinta pulang ke rumah. Namun, Pak Abraham, ayah mertuanya sudah mempersiapkan satu kamar termewah di hotel ini untuknya dan Cinta beristirahat beberapa hari. Tentu saja ia tak mampu menolak. Ia berpikir beginilah cara ia menghargai permintaan ayah mertua
Seseorang tidak bisa memaksakan dengan siapa ia akan jatuh cinta. Tapi hati lebih tahu siapa yang pantas untuk diperjuangkan dan siapa yang pantas didapatkan.Jadi, jangan pernah berhenti mencintai hanya karena pernah terluka. Karena tak ada pelangi tanpa hujan, tak ada cinta sejati tanpa tangisan.Pramudya dan Cinta sudah membuktikan itu semua. Setelah melewati segala rintangan, kepedihan dan kekecewaan, kini saatnya mereka berhak merayakan penyatuan cinta yang sejatinya awal melangkah menuju kehidupan baru.Cermin memang tidak pernah berdusta. Ia menampilkan apa yang ada di hadapannya. Disana terlihat seorang gadis cantik tinggi semampai dalam balutan kebaya putih berkerah rendah. Kalung rantai platina berliontin bentuk matahari melingkar di leher jenjangnya. Rambutnya disanggul dan ditaburi butiran kristal yang berkilau ketika ditimpa cahaya. Wajahnya yang sehalus porcelein dihias dengan warna-warna muda, terkesan alami namun tetap menggetarkan hati saa
Satu minggu kemudian, kesepakatan kerjasama antar dua perusahaan itu akhirnya terlaksana. Dikukuhkan dengan penandatanganan sejumlah dokumen perjanjian oleh Aura Cinta Anastasia sebagai Direktur Utama PT Swasti Karya Utama dan Rosalinda Cattleya Aji Pratama sebagai Direktur Pelaksana PT Andromeda Persada Land.Disaksikan sejumlah jajaran manager dari kedua perusahaan, pengacara masing-masing pihak dan notaris independen.Cinta seakan enggan berkedip ketika menatap sosok Pram yang tampak begitu mempesona di hari istimewa ini. Pria dengan keelokan fisiknya itu semakin menawan dengan setelan jas hitam yang begitu pas membalut tubuh tegapnya. Rambut klimisnya tertata rapi membingkai wajahnya yang segar dengan rahang licin kebiruan. Senyuman tipisnya yang selalu mengembang sepanjang acara tak ayal lagi membuat para kaum hawa melelehkan air liur kala memandangnya.Benar-benar seorang pria dengan pesona yang tak terbantahkan!Demikian juga Pram yang begitu menik
Untung saja Pram sigap menangkap tubuh Cinta yang tiba-tiba lunglai seperti daun kering yang lepas dari tangkai. Sehingga tubuh gadisnya itu tak sampai jatuh menghantam lantai.Lima menit tadi, ruangan lantai tiga mendadak gempar bagai diguncang gempa bumi. Lantaran pekikan panik Juwita saat melihat ibu direktrisnya yang cantik itu tiba-tiba tak sadarkan diri.Para karyawan langsung berhamburan keluar dari kubikel mereka menuju ruang kerja Direktur Utama untuk mengetahui apa yang terjadi.Tapi ketika melihat Pram membopong tubuh Cinta ke atas sofa dan mendekap begitu posesifnya, para karyawati yang melongo ke dalam ruangan justru berharap diri mereka yang pingsan saat itu, demi bisa bertukar tempat dengan Cinta, berada dalam dekapan hangat pria menawan itu.Burhan dan Baldi, serta Juwita akhirnya berhasil menggiring mereka kembali ke kubikel masing-masing, dan menghempaskan harapan semu mereka.Cinta mengerjap-ngerjapkan kelopak mata lemah, menyesu
Pramudya.“Apa kabar?” Terdengar begitu lugu, berbulan-bulan tak jumpa tapi hanya pertanyaan itu yang mampu terucap dari bibirnya.Perlahan Cinta mengurai dekapan dari tubuh tegapnya, kemudian mendongak untuk menjangkau pandangan tepat ke bola matanya yang juga menghangat. Lalu seulas senyum menghiasi wajah gadisnya yang basah.“Kangen.” Singkat, namun menggambarkan sejuta rasa indah.“Sama.” Begitu juga Pram yang seketika kehilangan kata-kata mesra yang sudah ia persiapkan sejak dari rumah. Karena ia terlalu sibuk menjinakkan hati yang kini melonjak-lonjak hendak melambung tinggi.Tanpa ia duga, Cinta menangkup wajahnya, menariknya untuk mendekat, lalu mengecup bibirnya begitu dalam dan lama. Walau terperanjat, ia berharap mampu membekukan waktu untuk menikmati kecupan hangat itu.Belum juga harapannya terkabul, Cinta melerai kecupan panjang di bibirnya. Lalu begitu tergesa-gesa gadis
Cinta.Ia mematut diri sejenak di depan cermin meja rias setelah tubuh semampainya terbalut blazer magenta dan celana panjang dengan warna sama, rambut coklatnya ia biarkan terurai bergelombang, serta riasan wajahnya natural, namun terkesan elegant.Lalu menyungging senyum puas ketika dirasa penampilannya saat ini sudah cukup paripurna. Pasalnya ia menganggap hari ini adalah hari penentuan bagi hidup mati perusahaan. Karena siang nanti ia akan bertemu dengan calon investor yang tertarik menanamkan dana besar pada proyek yang sedang ia perjuangkan. Setidaknya ia ingin memberikan kesan pertama yang positif lewat penampilan.“I’m gonna get dressed for success,” gumamnya sambil tersenyum dan mengerlingkan mata pada pantulan dirinya di cermin.Bergegas ia raih tas tangannya dengan brand terkenal dunia, lalu lekas melangkah keluar kamarnya.“Morning, Pa, Ma.” Ia menyapa setelah berada di kamar kedua orangtuanya.Pak A
Aura Cinta AnastasiaAtmosfere Meeting Room Hotel Swastika saat ini membeku. Dingin, kaku, dan membuat semua peserta internal meeting perusahaan itu mendadak diam membisu. Terlebih saat dua orang anggota tim konsultan bisnis memaparkan sejumlah temuan dan analisa di hadapan mereka.Yang intinya bahwa pembangunan proyek apartement yang akan dibangun oleh Pak Abraham dan rekannya Pak Derry Nugraha terpaksa dihentikan untuk sementara waktu. Dan perusahaan harus mengembalikan keseluruhan dana konsumen yang sudah masuk, juga semua kewajiban perbankan yang sudah jatuh tempo. Sementara sumber keuangan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut berada di titik rawan.Untuk mengatasi kendala tersebut, tak ada cara lain yaitu mencari investor atau menjual semua aset perusahaan bahkan aset pribadi pemilik untuk mendapatkan sumber pendanaan. Sedangkan para calon investor yang dianggap berpotensi saat ini sepertinya mundur teratur setelah berita mengenai masalah pr
“Selamat pagi, Sayang ... “Pram terlihat memutar bola matanya, sedikit jengah mendengar sapaan ibunya itu saat ia melangkah masuk ke ruang kerja dimana sang ibu sedang berkutat dengan beberapa dokumen di belakang meja kaca.“Jangan panggil ‘sayang’, Bu. Nggak suka!”Dari balik kacamatanya, Bu Ocha melirik Pram yang langsung menempatkan diri di kursi seberangnya. Lalu ia mengulum senyum.“Kan emang sayang,” godanya, karena suka melihat wajah puteranya yang tertekuk sebal itu.“Ibu ... please. Udah setua ini dipanggil ‘sayang’ sama Ibu, bikin malu aja,” gerutu Pram sambil memainkan pena di atas meja.Bu Ocha terkekeh ringan sambil melirik Mak Ayu yang duduk di sofa di tengah ruang kerja itu. Demikian juga Mak Ayu yang ikut tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu, lalu menyeruput secangkir teh hangat di tangannya.“Kalo nggak mau dipanggil ‘sayang&r
Pramudya.Ia tertegun menatap sesosok wajah yang tergambar di dalam bingkai foto berukuran besar di salah satu dinding kamar. Kelopaknya sedikit memicing mengamati wajah teduh namun terkesan bijaksana itu. Ia tak menampik bahwa tampilan sosok itu memiliki banyak persamaan dengan dirinya. Sepasang mata yang dalam di kawal dengan kedua alis yang legam. Bibir yang tipis dengan sudut tajam saat tersenyum. Dan garis rahang yang sangat menawan menggambarkan ketegasan. Ia memandangi foto itu seperti sedang bercermin.“Itu Pratama, cinta pertama Ibu, ayah kamu.” Dibelakangnya, Bu Ocha melingkarkan tangan di bahunya, kemudian meletakkan kepala di sana sambil ikut memandangi wajah di dalam bingkai foto warna kuning keemasan di hadapannya.“Ganteng,” Ia memuji tanpa mengalihkan tatapan pada foto itu.“Iya, persis kayak kamu. Wajah kamu seperti copy paste ayah kamu, Pram. Ibu cuma kebagian mewarisi bentuk hidung ke kamu,&rd