"Malam yang dianggap sakral itu adalah malam satu suro. Biasanya yang lahir di malam itu akan jadi incaran dukun-dukun penganut ilmu hitam. Dan kamu menjadi incaran sintren di tusuk konde ini. " tambah Mbah Waci.
Sontak semua yang mendengar menjadi terkejut. Tak terkecuali Nayla yang sangat kaget dengan perkataan Mbah Sami. Ia melirik ke arah Angel. Kemudian kembali menatap ke Mbah Waci.
"Terus apa yang harus saya lakukan, Mbah?"
Hingga angin kencang bertiup tiba-tiba. Padahal sebelumnya cuaca sangat cerah. Dengan cepat langit mulai mendung. Awan hitam nampak bergulung-gulung.
"Kita lanjutkan di dalam. Sepertinya mau hujan. Motor kalian masukan ke halaman saja. Masih banyak yang harus kamu tahu tentang tusuk konde ini. Tusuk konde ini sangat haus darah. Dia juga butuh tumbal. Karena ikatan pengasihan yang diikat oleh pemilik dengan iblis."
Akhirnya mereka pun beranjak. Aldo memasukkan motor miliknya dan juga milik Nayla. Sementara Angel dan N
Rasti diam, ia melihat ke arah Nayla, Angel dan Aldo yang juga tengah menatapnya."Ras, tolong bantu aku ya." Nayla menyatukan kedua telapak tangannya memohon pada Rasti."Baiklah! Aku akan membantu kalian.""Terimakasih, Ras. Terimakasih banyak."Tiba-tiba suara petir menyambar. Langit semakin gelap. Angin pun bertiup semakin kencang. Saat Aldo akan berdiri untuk menutup pintu, pergelangan tangannya langsung ditarik oleh Waci. Hingga ia pun kembali duduk."Jangan! Ada dia di depan pintu!"Mendengar perkataan Mbah Waci semuanya langsung menoleh ke arah pintu depan. Di penglihatan Nayla, Angel dan Aldo mereka tak melihat siapa pun. Tetapi di mata Rasti dan Mbah Waci, sosok sinden berkebaya merah itu tengah berdiri di depan pintu. Senyumnya yang menyeringai menunjukkan deretan giginya yang berwarna kuning. Serta darah terus mengucur dari luka-luka yang menganga."Tapi enggak ada siapa-siapa, Mbah," kata Angel."Pejamk
"Oh ... tapi makasih banyak ya, Ras. Kamu sudah sangat membantu aku."Ketika itu terdengar Mbah Waci menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Seraya ia mulai membuka kedua matanya."Nak Nayla, duduklah di hadapanku dan berikan telapak tanganmu," ujar Mbah Waci yang membuat Nayla bingung. Dia menoleh ke Rasti, Angel dan Aldo. Melihat Rasti mengangguk, Nayla pun pindah, duduk di depan Mbah Waci dan mengulurkan tangan kanannya sesuai dengan perintah wanita itu.Mbah Waci membuka salah satu peniti yang terpasang di bajunya. Kemudian wanita itu sengaja menusukkan ujung peniti yang tajam pada jari telunjuknya.Ia pun melakukan hal yang sama pada jari telunjuk Nayla. Sehingga darah segar keluar akibat tusukan peniti."Aaahh!" pekik Nayla kesakitan.Mbah Waci mengambil bunga-bunga yang dipetik tadi. Ia mengoleskan darahnya pada setiap kelopak bunga."Oleskan darah kamu pada setiap kelopaknya." Perintah Mbah Waci dengan
Melihat Nayla yang menghentikan motornya, reflek Aldo pun menginjak rem. Hampir saja moge-nya menabrak bagian belakang motor Nayla."Mbak! Kok berhentinya mendadak sih? Untung masih sempat ngerem!" protes Aldo."Maaf, Do. Tadi aku sama Angel melihat sinden merah itu di belakang kamu.""Di mana, Mbak?" Aldo menoleh ke belakang. Pandangan matanya langsung mengedar ke sekitar yang mulai terlihat gelap dan sepi."Tadi dia ada di jok belakang kamu, Do," sahut Angel."Masa?"Angel mengangguk kuat."Ya sudah ayo kita lanjut lagi. Udah mau magrib. Mana udah sepi lagi.""Tumben sih ya hari ini sesepi ini kampung. Biasanya enggak seperti ini," cerocos Aldo masih melihat ke sekitar. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Sesekali ia menengok ke belakang."Kita jalannya beriringan aja. Aku ngerasa hawanya mulai enggak enak," ucap Nayla."Bener, Mbak Nay. Tiba-tiba bulu kudukku merinding," tambah Aldo."Aku
Tampak Nayla ragu untuk berbicara. Sampai beberapa detik kemudian ...."Tadi aku seperti melihat sintren itu sedang duduk di dahan pohon di sana." Kembali Nayla menoleh ke belakang ke arah dua pohon trembesi. Angel dan Aldo mengikuti yang di tunjukkan Nayla."Kusumawardhani maksudnya, Mbak?""Iya, Do. Kusumawardhani yang sudah bersatu dengan sintren itu."Dari jarak sekitar tiga meter, kedua pohon trembesi itu tampak sangat menyeramkan. Daun dan dahannya yang menyerupai payung yang lebar seakan seperti tempat naungan bagi makhluk tak kasat mata.Sepintas tercium bau wangi yang sangat menyengat bercampur dengan aroma darah yang anyir. Sangat menusuk indra penciuman mereka bertiga sampai mereka memencet hidung masing-masing."Wangi banget!" seru Angel dengan mengedarkan pandangannya."Kita mending cepat pergi dari sini aja deh!" ajak Nayla.Tiba-tiba Nayla seperti mendengar suara Mbah Waci yang berbisik di telinganya.
"Pasti, Nduk. Cuman kembali pada Nayla sendiri. Sebenarnya jika kutukan garwa tusuk konde itu membuatnya terlihat lebih cantik dan awet muda. Semua urusannya akan lancar dan terhindar dari kesialan.""Tapi kutukan itu membutuhkan tumbal, Mbah!" bantah Rasti."Memang. Karena semua pasti ada resikonya." Mata Mbah Waci melihat lurus ke depan sambil mulutnya bergerak mengunyah kinang.Wanita itu seperti sedang memikirkan sesuatu. Dalam beberapa detik, bibirnya langsung berwarna merah."Mbah, kok diam? Lagi mikirin apa, Mbah?" tanya Rasti sambil menggeser duduknya lebih dekat dengan Mbah Waci."Mbah merasa sosok yang ada di tusuk konde itu sangat jahat. Dia berambisi untuk mendapatkan raga Nayla untuk wadah berikutnya.""Si sintren itu, Mbah?""Iya!""Sebenarnya Kusumawardhani itu siapa, Mbah?""Dia sinden yang melakukan perjanjian dengan iblis. Dan dia juga yang meminta pada Kakek Nayla agar sintren itu di masukkan ke
Deg!Jantung Nayla semakin berdetak cepat. Pikirannya tertuju pada sosok Kusumawardhani.'Apa itu penampakan Kusumawardhani?' ucap Nayla dalam hatinya."Sampai sekarang Nenek masih kepikiran dendam apa yang dimiliki Kusumawardhani pada Kakek kamu, Nduk."Nek Waci tertunduk. Wajahnya yang keriput tergambar kecemasan dan kegelisahan hatinya."Oh, ya Nay, gimana kalau bungkusan dari Mbah Waci tadi kamu taburin ke sekitar rumah. Masih sisa 'kan?" Tiba-tiba Angel berbisik di telinga Nayla.Nayla hanya manggut-manggut. Lalu ia bangkit dan berjalan menuju kamarnya.Tak lama Nayla sudah keluar kamar dan berlalu menuju ke ruang depan. Sami yang penasaran pun mengikuti cucunya itu disusul oleh Angel.Segera Nayla menaburkan garam pemberian Mbah Waci ke sekitar halaman depannya. Tak lupa bagian samping rumah sampai belakang."Nay, apa yang sedang kamu lakukan? Itu apa?""Ini dari neneknya teman Nayla, Nek,"
Saat baru beberapa langkah. Tiba-tiba perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik walau umurnya sudah tak lagi muda itu berdiri."Tunggu! Mama mau ngomong. Duduk sini dulu!" ujarnya dengan suara yang mulai melembut.Aldo pun berbalik dan duduk di sofa coklat empuk hingga berhadapan dengan Ajeng, Mama Aldo"Mau ngomong apa, Ma?""Kamu udah dewasa sekarang. Kamu sudah saatnya kerja, Nak.""Iya, Ma. Tapi cari kerja jaman sekarang susah!""Bantu Om Arman di perkebunan, Do," ujar Ajeng tiba-tiba sampai membuat Aldo sedikit tercekat."Enggak ahh! Aldo enggak mau." Sambil menyilangkan kaki kirinya ke atas kaki kanan."Kamu kesana itu cari pengalaman! Lagian setiap hari kerjaan kamu cuma keluar, main, pulang malam. Enggak bermanfaat!" cecar Ajeng tanpa henti."Aku itu tadi habis bantuin pacar Mas Wisnu, Ma.""Pacar Mas Wisnu?" Tampak dahi Ajeng mengerut."Iya. Mbak Nayla!"Ajeng memalin
Di saat Ajeng akan larut dalam mimpinya. Ia merasa pintu kamarnya terbuka. Sampai menimbulkan suara yang mengerikan.Krieeet.Wanita cantik itu melihat seseorang yang sangat ia sayangi. Tepat di belakang orang itu, terlihat seraut wajah yang putih pucat dengan mata dan mulut yang terus mengeluarkan darah."Aaaaaarrrrghhh! Aaarrggghhh!!!" jerit Ajeng kencang di tengah malam.Mendengar suara jeritan Ajeng, seketika Aldo terbangun. Ia berlari kencang menuruni tangga dan menuju ke kamar orang tuanya. Yang berada di ruang tengah.Tok tok tokTok tok tok"Ma!! bukain pintunya, Ma. Mama kenapa? Bukain pintunya, Ma!" Berkali-kali Aldo mengetuk pintu kamar yang terkunci.Terdengar suara derap langkah kaki yang berlari ke arah kamar. Didi sang satpam yang sedang jaga malam itu langsung menghampiri Aldo yang masih mengetuk pintu. "Kenapa, Mas Aldo?""Enggak tau, Pak. Dari tadi Mama teriak-teriak teru
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Setelah membayar taxi online, Nayla dan Rasti langsung berlari masuk ke dalam gedung yang cukup mewah di mana mereka mengikuti training. Sepatu pantofel hitam dengan heels 3 cm yang mereka pakai sangat tak nyaman digunakan berlari. Tapi karna takut terlambat, mau tak mau Nayla dan Rasti berlari walau harus pandai-pandai menjaga keseimbangan badannya. "Nay, benerin dulu rambut kamu. Berantakan tuh!""Oh ya!" Nayla langsung membenarkan helai rambut yang keluar dan menggulung rambutnya dengan rapi. Tak lupa mereka berdua saling mengingatkan dan mengamati penampilan satu sama lain. Sampai di depan resepsionis. Nayla dan Angel menunjukkan kartu anggota training. Setelah mendapatkan jadwal dan di mana ruangan mereka hari itu, dengan berjalan cepat keduanya segera menuju ruangan yang berada di lantai 5.Lift pagi itu terlihat tak terlalu banyak orang. Tanpa berpikir macam-macam keduanya langsung masuk. Apalagi saat Nayla mel
"Terimakasih, Bu. Rejeki pagi-pagi," ujar satpam budi kegirangan. "Mau di kubur di mana, Bu?""Terserah, Pak. Asal jangan di sini.""Oh baik, Bu."Setelah Tante Dewi mengunci semua pintu rumah. Satpam Budi yang masih berada di rumah itu sedang mencari sebuah kantong keresek. Dimasukkan bangkai itu ke dalam kantong. Ketika akan keluar dari rumah, Budi kembali menoleh ke belakang. "Lagi ada saudaranya ya,Bu di rumah?" tanya tiba-tiba satpam Budi. "Hah? Enggak ada saudara, Pak," jawab Tante Dewi sambil menoleh ke belakang. Tak hanya Tante Dewi. Nayla dan Rahma pun juga ikut menoleh melihat ke arah yang di lihat satpam tersebut. "Itu ada perempuan, Bu sedang melihat ke sini.""Haaah?" Tante Dewi, Rahma dan Nayla hanya bisa mengangnga kaget. Kecuali Rasti. Gadis itu seperti melihat seseorang di dalam rumah. Menyadari matahari yang semakin tinggi, Tante Dewi menyuruh anak dan keponakannya itu untuk segera berangkat agar tidak terlambat. Begitu juga si satpam yang sudah berhasil mend
Dan karena rasa ngantuk, tak terasa mereka semua tertidur dengan berdempetan di kasur. Tetapi Nayla dan Rasti tertidur di karpet lantai. Sinar matahari pagi menembus sela-sela jendela. Tante Dewi terbangun sambil mengucek kedua matanya. Ia terkejut saat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Buru-buru wanita itu membangunkan Nayla, Rasti dan Rahma. "Ayo bangun! Bangun Rahma, Nayla, Rasti. Sudah pagi. Kalian terlambat nanti!"Tampak Nayla yang terlebih dahulu mulai menggerakkan badannya."Jam berapa ini, Te?" tanya Nayla sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Hah? Kesiangan ini, Te!""Makanya! Cepet kamu bantu Tante bangunin mereka!"Tiga puluh menit kemudian. Di ruang tamu, semuanya sudah tampak rapi dengan pakaian yang mereka kenakan. Karena mereka semua bangun kesiangan pagi itu semuanya berangkat tanpa sarapan."Kalian udah siap semua? Rahma kamu nanti pulang jam berapa?" tanya Tante Dewi."Jam lima Ma, bisa juga lebih. Soalnya ada kerja kelompok nanti d
"Tumbal para laki-laki, Mbak?" celetuk Rahma. "Iya benar." Wajah Nayla tertunduk dan berubah sedih. Dia teringat akan Wisnu sang pujaan hati yang sudah meninggal. Nayla masih sangat menyesal dan masih belum bisa maafkan dirinya sendiri atas kematian sang kekasih. Seandainya Nayla tak menemukan dan mengambil tusuk konde itu, mungkin saat ini dia masih bisa bersama Wisnu dan tak dihantui seperti ini. "Ras, kayaknya aku tau siapa pocong itu." Tiba-tiba Nayla mengangkat kepalanya dan menatap Rasti di samping. Kedua bola mata mereka saling beradu pandang."Siapa?"Semua yang ada di ruangan saat itu menatap ke arah Nayla dengan tajam. "Dano!""Siapa Dano itu, Mbak?"Rasti memicingkan mata kanannya. Mencoba mengingat-ingat siapa nama yang disebut Nayla."Oh! Dia korban yang belum lama ini?" cetus Rasti. Dengan cepat kepala Nayla mengangguk beberapa kali."Maksudnya gimana, Nay?" tanya Tante Dewi yang tak mengerti apa yang dibicarakan keponakannya itu. "Jadi saat Nayla dan Angel akan k
"Oh ya kamu kok belum tidur?" tanya Dion. "Iya Rasti tadi lihat penampakan pocong.""Pocong! Kok bisa?""Gak tau. Tapi sepertinya pocong itu adalah tumbal dari tusuk konde ini, Yon.""Gila! Tusuk konde itu harus benar-benar di musnahkan. Sebelum makin banyak korban.""Iya. Eh, lanjut besok ya, Yon. Kasihan Rasti, aku harus temenin dia dulu.""Oke."Telepon pun terputus. Dion kembali berbaring di kasur, sampai akhirnya kedua matanya pun dapat terpejam dan Dion terlelap dalam tidurnya. Sementari itu di rumah Tante Dewi.Semuanya jadi terbangun karena teriakan Rasti. Mereka duduk di ruang tamu. Selesai telepon, Nayla kembali ke ruang tamu sambil membawa segelas air untuk temannya itu. "Minum dulu, Ras." "Makasih, Nay.""Memangnya tadi apa yang membuat kamu teriak, Nduk?" tanya Tante Dewi lembut. Rasti terdiam beberapa saat, sampai Nayla menyenggol lengannya. Membuat Rasti gelagapan. "Kok diam? ditanya Tante, Ras!""Oh maaf, Tante." Rasti memalingkan pandangannya pada kamar Nayla.
Tangannya sibuk mengeluarkan satu per satu barang yang ada di dalam laci tersebut. Sampai raut wajah Dion berubah melihat sebuah foto usang yang masih hitam putih. "Ini yang aku cari. Ini foto aku saat aku umur 5 tahun. Dan ini Mas Agung, lalu perempuan ini." Kalimatnya terhenti. Dion duduk di pinggir ranjang. Foto usang itu masih di lihatnya dengan serius. Dahinya mengerut mencoba mengingat-ingat kejadian yang telah lama terjadi. "Perempuan ini yang namanya Mawar, gadis yang dicintai Mas Agung, tapi enggak mendapat restu Mama Papa."Lalu Dion membalik foto usang itu. Tepat di pojok kanan bawah terdapat sebuah tulisan yang tintanya hampir pudar. Dion pun mencoba mengeja tulisan yang samar tersebut."Wo ... no ... giri?""Apa desa Nayla di Wonogiri ya? Kalau bener, bisa jadi sinden merah yang mengikuti Nayla adalah Mawar yang dulu pernah dicintai Mas Agung."Dengan cepat Dion langsung membereskan semua pakaian dan barang-barang miliknya. Semuanya dia kembalikan ke dalam lemari. Men
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Rahma, Rasti, Nayla dan Tante Dewi masih berkumpul di ruang tv. Terdengar suara tawa mereka yang memecah keheningan malam. Acara komedi tersebut membuat Nayla dan Rasti merasa terhibur. Setelah acara pun selesai. Tante Dewi menyuruh mereka bertiga untuk langsung masuk ke dalam kamar dan tidur. Agar besok kembali segar saat beraktivitas. Rasti mengikuti langkah Nayla menuju kamar. Saat itu pandangan mata Rasti tak sengaja melihat ke arah jendela yang tirainya belum tertutup. "Nay, itu tirainya belum di tutup!""Oh ya, lupa kali Tante Dewi. Aku tutup dulu deh!" Nayla berjalan ke arah jendela sambil menyisir rambutnya dengan jari tangan. Sementara itu Rasti masih berdiri di depan pintu kamar Nayla. Matanya masih menatap ke arah Nayla yang kini sudah berada di depan jendela. Nayla menarik pengait tirai. Tiba-tiba Rasti terkejut bahkan hampir teriak. Namun buru-buru Rasti menutup mulutnya dan menyembunyikan rasa kagetnya. Rasti tak mau kalau jeri
Perempuan itu pun terjatuh ke tanah. Kedua kakinya seperti tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Tatapan matanya masih melihat punggung laki-laki yang baru saja meninggalkan dirinya. "Kenapa kamu tega, Mas." Dion hanya terdiam. Ia merasa kasihan pada perempuan yang tak dikenalnya itu. Walaupun ia tak tahu persis apa yang terjadi, namun ia juga membenarkan apa yang dikatakan perempuan itu pada Kakaknya. Hingga Dion mendengar suara yang tak asing baginya. Ia merasa tubuhnya seperti sedang digoyang-goyang. Sampai dirinya mulai terbangun. "Nak, kamu kenapa? Kenapa bisa di sini?" Dion tersentak kaget. Hingga membuat wanita setengah baya yang memakai baju tidur itu juga ikut kaget."Mama!""Kamu kenapa, hah?""Ehh ... "Dion menoleh ke kanan dan ke kiri. Membuat Mamanya makin keheranan dengan kelakuan anak laki-lakiny itu."Cari siapa?""Anuu ... Ini di rumah, Ma?""Loh iya! Ini di rumah. Emang kamu kira di mana? Di hutan?!"Dion hanya terdiam sambil celingukan. "Dion! Kamu kenapa sih?
Melihat gelagat Dion yang aneh, Mas Agung kembali bertanya. Hingga membuat Mama Dion juga ikut penasaran."Kenapa? Ada apa di depan?""Enggak, Mas.""Tapi wajah kamu kok kayak habis lihat setan?" Dion terhenyak dengan kalimat kakaknya itu. 'Iya, dia sinden tusuk konde itu. Sinden yang mengikuti Nayla. Tapi kenapa dia sekarang juga mengikuti aku? Padahal aku belum berbuat apa-apa,' batin Dion sendiri. "Dion!" panggil sang Mama yang sedang berjalan mendekati putra bungsunya. Wanita itu sedikit melongok keluar. Pintu yang mau ditutup Dion dibuka oleh Mamanya. "Enggak ada orang Dion. Siapa yang kamu lihat?""Memang gak ada, Ma. Ya sudah ayo masuk, Ma, udah malem." Dion langsung memeluk Mamanya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.Setelah mengantar sang Mama ke dalam kamar. Dion berniat untuk ke kamarnya yang berada di lantai dua.Baru menaiki beberapa anak tangga, Dion melihat sekelebat bayangan dari arah dapur yang lampunya sudah dimatikan. Sejenak Dion menghentikan langkahnya. Di