"Nenek?" bisik Nayla
Angel mendongakkan kepalanya. Lalu ia berdiri di sebelah Nayla. Menatap orang-orang yang semakin jalan mendekat.
"Alhamdulillah! Ada yang membantu mencari kita, Nay!" Raut wajah Angel berubah senang.
Segera Nayla dan Angel berlari ke arah orang-orang itu. Ketika itu, Nek Sami langsung memeluk tubuh Nayla erat dan menumpahkan tangisannya. Yang sejak tadi berusaha ia tahan.
Rasa gelisah, cemas dan khawatir pada Nayla seketika hilang karena sudah berhasil menemukan cucunya itu.
"Pak! Tolong bantu teman kami. Dia tidak sadarkan diri dan terluka," kata Nayla.
"Memangnya kalian kenapa?" tanya salah seorang warga yang bertubuh kurus ceking.
"Apa kalian tidak tahu? Daerah sini angker. Di sini terkenal daerah tengkorak!" sahut warga yang lain.
"I-iya, Pak. Kami tahu itu. Kami juga tadi tidak sengaja masuk ke daerah tengkorak. Karena harus mencari teman kami," jelas Nayla.
"Jadi kalian sudah masuk
"Sus, terimakasih ya. Keluarganya sedang menuju ke sini.""Baik. Nanti kalau keluarganya sudah datang bisa langsung ke bagian administrasi ya," ujar suster yang bernama Dina dari nametag yang dipakainya.Nayla pun menganggukkan kepalanya. Lalu berjalan menuju sebuah bangku kayu panjang.Bangku itu terletak di sebuah taman kecil rumah sakit. Sebuah kolam ikan yang berukuran sedang dengan air mancur di tengahnya, menghiasi taman itu. Nayla duduk menghadap kolam ikan."Aku kok deg-degan ya mau ketemu Tante Ajeng. Udah lama enggak ketemu semenjak aku melamar kerja di Bank dan kematian Mas Wisnu," bisik Nayla gelisah.Ketika itu dari belakang ada yang menepuk pundak Nayla. Sehingga membuat Nayla terkejut dan menoleh ke belakang."Angel!!""Hahahaha! Kaget? Lagian kenapa kaget sih? Mikirin apa?" tanya gadis berbaju kuning itu. Nayla menggeser duduknya agar Angel bisa duduk di sampingnya."Pegang deh!" Nayla meraih t
Keadaan rumah sakit pagi itu sangat ramai. Banyak perawat dan pasien yang keluar masuk UGD. Setiap kali pintu UGD terbuka, Tante Ajeng langsung menengok. Mengira jika itu anaknya.Sesekali wanita itu melihat HP nya jika ada kabar dari sang suami.Rasa cemas dan khawatir juga meliputi raut wajah lelaki yang duduk di kursi belakang mobil. Kesan berwibawa masih terlihat di wajahnya walaupun lelaki itu sedang memikirkan kondisi anak laki-lakinya."Pak, tolong lebih cepat ya," pintanya pada sang sopit taksi."Baik, Pak."Sekitar tiga puluh menit perjalanan, sebuah mobil taksi sudah memasuki pelataran rumah sakit.Setelah memberikan beberapa lembar uang pada sang sopir, lelaki yang berkisaran umur lima puluh tahunan itu langsung berlari masuk ke dalam rumah sakit.Pandangannya mengedar mencari meja resepsionis. Langkahnya cepat menuju meja yang ada seorang suster itu."Sus! Saya mau tanya. Di mana ruangan atas nama Aldo P
Ajeng hanya tersenyum membalas perkataan Pradipta. Dengan telaten wanita itu mempersiapkan makanan untuk suaminya. Yang sudah ia beli sejak tadi."Oh ya, Ma. Gimana keadaan Aldo?""Aldo sudah di pindahkan ke ruang rawat, Pa. Berkat darah Papa. Aldo selamat.""Alhamdulillah. Habis makan aku mau ke ruangan Aldo, Ma.""Iya, Pa. Ini Papa makan dulu." Ajeng memberikan piring dengan menu daging rendang kepada Pradipta.Dengan lahap, Pradipta menyendokkan makanan ke dalam mulutnya. Karena memang perutnya yang sudah keroncongan."Ma, apa kamu tadi pulang dulu ganti baju?"Ajeng mengernyit. Lalu ia duduk di kursi samping ranjang."Ganti baju? Mama dari tadi belum pulang, Pa. Bahkan belum ganti baju. Masih pakai baju ini," jawabnya sambil tatapan mata menatap suami."Kamu dari tadi belum ganti baju? Enggak pakai baju kebaya?""Hahahaha." Ajeng tertawa menutup mulutnya. "Enggak, Pa. Ngapain aku pakai kebaya di rumah sa
"Dingin banget sih!" Sampai menggigil aku. Kenapa hawanya mendadak berubah gini? Sampai merinding!" gumam Aldo dengan terus berjalan menuju kamar mandi.Tanpa Aldo ketahui, seraut wajah pucat dan berlumuran darah menatapnya dari kaca jendela.Dalam hitungan beberapa detik, Aldo sudah kembali berada di ranjangnya.Ketika ia menarik selimut yang bergaris putih biru khas rumah sakit itu, tak sengaja mata Aldo melihat seraut wajah menyeramkan yang menempel di kaca jendela. Yang mengarah pada sebuah ruang server yang sangat jarang di datangi orang.Dengan mata melotot mengeluarkan darah dan rambut panjang yang acak-acakan membuat sosoknya sangat menyeramkan. Aldo langsung menarik selimutnya. Menutupi seluruh tubuhnya agar tak terlihat.Tubuh dan tangannya langsung gemetaran. Laki-laki itu hanya bersembunyi di dalam selimut."Si-Siapa itu? Sepertinya bukan So-so-sok sinden merah! Tapi aku seperti kenal wajahnya!
Wanita itu tampak sedang menunggu majikannya datang. Pintu rumah sengaja ia buka. Sambil ia duduk di sebuah kursi.Ketika itu hidungnya mencium aroma sesuatu yang sangat busuk. Bahkan sangat busuk dan sesekali anyir.Sontak Sri langsung berdiri dan berjalan ke teras. Pandangannya melihat ke sekitar halaman. Pot-pot bunga juga turut ia periksa."Ambu opo sih iki? Kok enggak uenak men!" seru Sri sambil menutup hidungnya yang pesek. (Bau apa sih ini? Kok enggak enak banget!)Dari pos keamanan terlihat seseorang yang mendekati Sri."Goleki opo Sri?" tanya Pak Didi."Aku nyium bau enggak enak. Kayak bangkai gitu.""Mosok bangkai tikus sih?""Yo enggak tau. Bantu cari ae wes!" (Ya enggak tau. Bantuin cari aja!)Bergegas Sri dan Didi mengitari halaman depan. lampu teras yang terang cukup mampu memberikan pencahayaan pada penglihatan mereka."Enggak onok opo-opo kok Sri. Paling hidungmu itu deket s
Sri mengambil foto dengan bingkai berwarna putih. Terlihat empat orang di dalam foto tersebut. Yang terdiri dari Bu Ajeng, Pak Aryo Pradipta, Wisnu dan Aldo."Kenopo, Sri?" tanya Didi yang sudah berada di belakangnya."Coba kamu perhatikan foto ini!" Sri menunjukkan foto itu pada Didi.Didi pun mengamatinya. Lalu ia menatap pada Sri."Foto keluarga Pak Aryo dengan istri dan dua anaknya, Sri," ujar Didi."Iiih bukan itu maksudku ... perhatikan lagi dengan benar, Pak!"Kembali tatapan mata Didi beralih pada foto yang di tunjukan Sri.Kemudian matanya sedikit menyipit. Sambil mejauh dekatkan foto tersebut."Iki ... bayangan opo yo?" tanya Didi menunjuk sebuah kabut putih yang membentuk seperti seseorang. Berada tepat di belakang Bu Ajeng."Menurut kamu, ini seperti sosok perempuan enggak?"Didi terdiam. Ia tak menjawab pertanyaan Sri. Lelaki itu masih mengamati foto yang kini berad
Di dalam kamar, Ajeng yang sedang tertidur nyenyak merasakan semilir angin dingin menyentuh kaki hingga betisnya.Dengan mata yang mengantuk, Ajeng menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuh.Namun kali ini ia merasa seperti ada air yang menetes di betisnya itu. Seketika tangan Ajeng mengelap air yang membasahinya itu.Tetapi air itu terasa lengket di tangan Ajeng. Hingga terpaksa Ajeng membuka mata yang masih sangat berat.Matanya langsung membulat lebar saat melihat seluruh telapak tangannya berwarna merah."Da-darah?" Suaranya tertahan.Rasa kantuknya seketika hilang. Kepalanya mulai berpendar ke sekitar kamar. Kemudian ia sedikit melongok ke bawah tempat tidur.Tetapi tak ada apa pun di sana.Rasa takut mulai melanda Ajeng. Tiba-tiba hidungnya mengendus sesuatu yang sangat busuk dan amis.'Bau apa ini? Apa Papa buang angin ya?' batin Ajeng dalam hati."Pa!" panggil Ajeng.
Didi dan Sri berjalan keluar kamar. Saat Sri akan menutup pintu."Sri! Pintunya buka aja! Enggak usah di tutup.""Iya, Nyonya."Di saat itu, pandangan mata Sri tertuju pada jendela kamar. Yang tertutup tirai berwarna putih tipis.Sri tercekat, melihat sosok yang terlihat dari luar."Woi! Sri! Sini!" Suara Didi yang sudah berada di luar kamar membuat Sri terkejut. Seketika matanya berkedip dan hanya sekali kedipan mata, sosok itu sudah menghilang.Sri mendekati Didi yang menatapnya heran penuh tanya."Kamu kenapa, Sri? Kayak habis lihat setan!""Sepertinya begitu, Pak.""Hah? Yang benar kamu?" Didi terkejut.Tangan Sri langsung menyeret Didi yang masih bingung."Ayo kita ke depan saja. Biar enggak kedengeran Tuan dan Nyonya."Mereka berdua kini sudah duduk di kursi teras rumah. Angin malam bertiup sepoi-sepoi. Sementara langit semakin terlihat mendung."Apa y